• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN

DEVELOMENT MECHANISM) TERHADAP KAWASAN HUTAN

BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO

TESIS

Oleh

FL. FERNANDO SIMANJUNTAK

077005037/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

SE

K O L A H

P A

S C

A S A R JA

(2)

MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN

DEVELOMENT MECHANISM) TERHADAP KAWASAN HUTAN

BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FL. FERNANDO SIMANJUNTAK

077005037/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis

: MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN

DEVELOMENT MECHANISM ) TERHADAP

KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL

KYOTO

Nama Mahasiswa : FL. Fernando Simanjuntak

Nomor Pokok

: 077005037

Program Studi

: Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasutioan, SH, MH)

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M. Hum)

Anggota

Anggota

Ketua Program Studi

D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Clean Development Mechanism

(CDM) atau yang diartikan dalam bahasa

Indonesia dengan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah merupakan satu-satunya

mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan peran negara berkembang

untuk membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK (Gas Rumah Kaca).

Pembahasan tentang

Clean Development Mechanism

(CDM), harus dikaitkan dengan

terminologi perubahan iklim, Gas Rumah Kaca (GRK), Efek Rumah Kaca (ERK),

Protokol Kyoto dan seterusnya. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi

fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena

kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang

diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat

perubahan iklim. Peran utama hutan adalah untuk menyerap GRK — terutama karbon

— yang ada di atmosfer. Karenanya kegiatan kehutanan dalam isu perubahan iklim

ini termasuk dalam carbon sequestration activities, yaitu kegiatan-kegiatan yang

menyerap karbon yang ada di atmosfer. Oleh sebab itu hutan juga dikenal sebagai

carbon sinks (rosot karbon). Dengan perannya ini, hutan dapat membantu mencapai

tujuan Konvensi Perubahan Iklim dalam menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah

kaca pada tingkat aman yang tidak membahayakan sistem iklim global.

Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum

(legal instrumen)

yang

dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan

untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak mengganggu

sistem iklim bumi. Setelah diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997, Protokol Kyoto

dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah Apakah Mekanisme

Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto

memilki kekuatan hukum secara global, sejauh mana ruang lingkup Mekanisme

Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto

dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penerapan Mekanisme Pembangunan

Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto

Metode penelitian yang dilakukan berbentuk yuridis normatif dengan metode

deskriptif analitis. Data sekunder diperoleh melalui penelitian perpustakaan

(library

research)

yaitu Undang-Undang, Keputusan-Keputusan

(Agreement)

Konferensi,

(6)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih

(CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto dinyatakan telah

berkekuatan hukum secara global sejak 21 Maret 1994, setelah diratifikasi oleh 50

negara. Dan hingga tahun 2005, konvensi tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari

141 negara dan mempunyai ruang lingkup pada sektor reforestasi dan aforestasi

namun masih memiliki kendala-kendala teknis yaitu

Baseline; Non-permanence;

Uncertainties; Leakage (kebocoran;

Aadditionality;

Dampak Sosial dan Ekonomi

dan

Dampak Pada Ekosistem Alam

sehingga CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih

dapat berjalan secara penuh, efektif dan berkelanjutan berdasarkan Protokol Kyoto

dan diharapkan kesiapan semua pihak dalam mengimplementasikannya secara global,

baik dari negara-negara Annex I dan Annex II.

Disarankan agar suatu negara dan masyarakat dunia untuk mempersiapkan

diri dalam menyiapkan kelembagaan yang terkait dengan implementasi Protokol

Kyoto melalui proyek-proyek CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih, termasuk

Indonesia. Penunjukan otoritas nasional

(Designated National Authority, DNA)

merupakan syarat utama agar negara berkembang dapat berpartisipasi. Lembaga

inilah yang nantinya akan merancang kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan

proyek

(project development)

dan pengembangan kapasitas

(capacity building)

agar

para pihak yang tertarik melakukan investasi dapat merancang proyeknya bersama

mitranya di mana proyek akan diimplementasikan. Otoritas nasional ini juga akan

membantu pemerintah dalam meningkatkan kesadaran publik

(public awareness)

akan pentingnya membangun proyek-proyek baru yang ramah lingkungan.

(7)

ABSTRACT

Occasionally, Clean Development Mechanism (CDM) in Indonesian version

means “Mekanisme Pembangunan Bersih” which is only one mechanism under

Kyoto Protocol possibly for developing countries countries in Annex I at mitigation

effort to reduct greenhouse gases (GHG). The description of Clean Development

Mechanism (CDM) must be consulted to climate change, Greenhouse Gases (GHG),

Greenhouse Effect, Kyoto Protocol and so on.

The more using of energy, mainly fosil

energy is main source for increasing emission of GHG. Deforestation is caused by

natural phenomena or illegal logging donated greenhouse gases which was emmissed

to atmosphere and decreased forest function as acounter climate change. Main role

of forest is to adopt greenhouse gases – mainly carbon – flied around atmosphere.

Therefore, forestry activities at climate change issue summarized to carbon

sequestration activities, activities adopted carbon at atmosphere. Therefore, it is also

welknowned as carbon sinks. Its role is will help to reach Climate Change

Convention target in stabilizing of greenhouse gases concentration in safety position

which never take at risk for global climate system.

Kyoto Protocol Kyoto is legal instrumen designed for implementing Climate

Change Convention purposed to stabilize Greenhouse in which does not borther

climate system. Since adopting on 11 December 1997, Kyoto Protocol legally signed

on 16 March 1998.

Basically, the problems will be analyzed in this research is “Is Clean

Development Mechanism (CDM) for forestry on Kyoto Protocol having strengthed

legal framework globally, How far the scope of Clean Development Mechanism

(CDM) for forestry on Kyoto Protocol and What are the problems will be faced in

implementing Clean Development Mechanism (CDM) for forestry on Kyoto Protocol.

Academically, this research adopts juridical normative by using analytic

descriptive method. The secondary data compiled from library research, Regulation,

Convention, Government Regulation, some books literatures, conferences Agreement

and journal connected to thesis. The data analysis written juridically with qualitative

norm implemented both deductive and inductive method in which the description

mainly concerned in formal regulations connected with Clean Development

Mechanism for forest sector under Kyoto Protocol. From analysis results

summarizing in which answering the problems descriptively.

The conclusion absolutely denoted that Clean Development Mechanism for

forest sector under Kyoto Protocol declared having legal status globally since 21

March 1994 after ratificated by 50 countries. And until 2005, the convention

ratificated by more than 141 countries and especially for forest sector covered both

reforestation and aforestation but still having a little bit problem technically, they are

Baseline; Non-permanence; Uncertainties; Leakage (kebocoran;

Aadditionality;

(8)

Protocol and hopefully all stakeholders implemented globally, even countries in

Annex I and Annex II.

In regard, all countries prepared any bodies and institution related to Kyoto

Protocol implementation of Clean Development Mechanism projects, especially for

Indonesia Kyoto. Designated National Authority, DNA was a main term in regard the

developing countries participated in the projects. This authority will design the

program related to project development and capacity building in which all part of

developers will invest in designing the project with their own partners where the

project implement is. National Authority also helps Government in developing public

awareness towards the essential of establishing newest eco project.

(9)

KATA PENGANTAR

Di celah kesibukan waktu yang cukup padat sebagai wakil rakyat sekaligus

sebagai Ketua DPRD di Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara, penulis

berupaya sekuat tenaga untuk dapat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara dengan judul tesis “MEKANISME PEMBANGUNAN

BERSIH

(CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM)

TERHADAP KAWASAN

HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO“ sebagai syarat yang harus

dipenuhi untuk menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum pada Univeritas Sumatera

utara.

Proses selama mengikuti perkuliahan banyak suka duka serta berbagi macam

kesulitan terutama masalah waktu yang harus dibagi, dimana jarak domisili yang

harus ditempuh setiap perkuliahan harus memakan waktu lebih kurang tujuh jam

perjalanan. Kesulitan tersebut tidak mengendorkan niat dan cita-cita penulis untuk

dapat meraih gelar Magister Ilmu Hukum, karena penulis meyakini betapa pentingnya

ilmu yang harus dimiliki penulis yang ditransfer para dosen yang sangat berkualitas

untuk diabdikan penulis ke tengah-tengah masyarakat banyak di kemudian hari.

Di saat penulis akan melanjutkan penyempurnaan tesis ini, penulis menyadari

betapa banyak kekurangan dan keterbatasan kemampuan, tetapi penulis tidak mau

surut dan mundur karena kekurangan-kekurangan yang ada. Penulis telah

membulatkan tekad dalam hati “Ilmu itu harus kuraih dan kumiliki dan tidak akan ada

(10)

Terima kasih Tuhan...! Puji syukur yang tiada taranya penulis persembahkan

kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan telah memberiku waktu dan kesempatan

yang sangat berarti untuk menggapai cita-cita, Tuhan memelihara dan menuntun

hidupku mulai perkuliahan sampai pada gilirannya penulis dapat menyempurnakan

tesis ini.

Kebahagiaan dan kebanggaan yang tiada taranya penulis rasakan setelah para

dosen pembimbing menyatakan setuju dengan judul tesis ini. Penulis berharap bahwa

disamping manfaat untuk menyelesaikan studi, penulis juga berharap bahwa

pembahasan dalam tesis ini dapat bermanfaat untuk orang banyak khususnya

kontribusi pemahaman betapa pentingnya kepedulian untuk menjaga dan

menyelamatkan lingkungan hidup.

Pembahasan dari judul tesis ini adalah membahas prinsip-prinsip hukum

dalam penyelamatan lingkungan hidup dan pengendalian kerusakan hutan yang

sangat berdampak pada perubahan iklim yang harus dijaga, karena apabila berbicara

masalah hutan dan perubahan iklim, berarti juga membicarakan kelangsungan hidup

manusia dan kehidupan orang banyak.

Penulias menyadari bahwa, uraian yang terdapat dalam tesis ini belumlah

merupakan hasil pemikiran yang bersifat final dan sempurna, tetapi penulis

menyadari akan kekurangan dan kelemahan, baik dari sisi untaian kata-kata dan

kalimat maupun substansi yang menjadi topik bahasan. Menyadari kekurangan dan

kelemahan yang sangat banyak tersebut, penulis sangat mengharapkan kritikan dan

(11)

kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan dan pembahasan dalam tesis ini

dapat diatasi dengan baik atau setidaknya dapat diminimalisir kekurangan dan

kesalahan yang penulis tuangkan dalam tesis ini.

Atas sumbangsih kritik dan saran-saran dalam penyempurnaan tesis ini,

panulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah berperan

langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas-tugas

penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

Penulis tidak lupa mengutarakan beberapa nama yang secara langsung penulis

sebutkan namanya dalam tesis ini, sebagai ungkapan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & Sp.A(K) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara,

2.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3.

Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana USU, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang

telah memberikan perhatian penuh, dan membekali penulis dengan ilmu yang

bermanfaat dalam menyelesaikan studi

4.

Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku

komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi

(12)

5.

Bapak/Ibu para dosen dan Guru Besar yang telah memberikan mata kuliah selama

penulis duduk di bangku kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

6.

Istriku dan anak-anakku tercinta, Aditya Wims, Putri margaretha, Dading Justice

Reformasi, yang telah mendukung dan mendorong penulis menggapai cita-cita

untuk menyelesaikan studi Sekolah Pascasarjana USU sebagai teladan warisan

intelektual di masa depan.

7.

Abangda Erwin Hasibuan, SH. MH, sahabatku Moslem dan saudara-saudaraku

yang kukasihi yang singkat nama penulis sebutkan dengan NN yang sangat

banyak membantu dan mendorong penulis mulai dari awal studi sampai

selesainya tesis ini.

8.

Drs. Karel Sihotang dan Masa Sihombing, SH serta seluruh staf sekretariat DPRD

Tapanuli Utara yang telah banyak memberikan dukungan moril hingga penulis

dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya.

9.

Puncak ucapan terima kasih ini saya persembahkan buat Ayahanda Amry

Simanjuntak dan Almarhumah Ibunda tercinta Erita Lumangga Hutauruk, yang

sejak penulis lahir telah bercita-cita supaya penulis menjadi orang yang bijak,

pintar dan berguna bagi orang banyak. Mudah-mudahan dengan keberhasilan

penulis dalam menyelesaikan studi ini, dapat membahagiakan kedua orang tua

yang sangat penulis kasihi.

Sesungguhnya ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada semua pihak

(13)

menyelesaikan penulisan tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

namun tetap terukir dalam hati sanubari penulis yang tidak akan terlupakan penulis

selama hidup. Semoga semua jasa baik dan bantuan yang diberikan selama ini

mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi

kemajuan kita semua.Semoga...!

Terima kasih.

Medan, Juni 2009

(14)

RIWAYAT HIDUP

Nama

: FL. Fernando Simanjuntak

Tempat/Tanggal Lahir

: Padang Sidempuan, 10 Juni 1968

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama :

Kristen

Protestan

Pekerjaan

: Ketua DPRD Kabupaten Tapanuli Utara

Pendidikan

: SD Negeri Tamat Tahun 1981

SMP Negeri 2 Tarutung Tamat Tahun 1984

SMA HKBP Tarutung Tamat Tahun 1987

Strata Satu (S1) Universitas Sisimangaraja XII

Tamat Tahun 1993

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009

Organisasi

: Tahun 1997 Sampai 2004 Pengacara Penasehat

Hukum Kabupaten Tapanuli Utara

Tahun 1999 Sampai Sekarang Ketua GM SKFFI

Kabupaten Tapanuli Utara

Tahun 2001 Sampai Sekarang Ketua DPD KNPI

Kabupaten Tapanuli Utara

Tahun 2001 Sampai 2004 Wakil Ketua DPD II

Partai Golkar Kabupaten Tapanuli Utara

Tahun 2004 Sampai Sekarang Sekretaris DPD II

Partai Golkar Kabupaten Tapanuli Utara

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

... i

ABSTRACT

... iii

KATA PENGANTAR

... v

RIWAYAT HIDUP

...

x

DAFTAR ISI

... xi

DAFTAR TABEL

... xiv

DAFTAR GAMBAR

... xvi

DAFTAR ISTILAH

... xvii

BAB I

PENDAHULUAN

... 1

A.

Latar Belakang Penelitian ...

1

B.

Perumusan Masalah ...

16

C.

Tujuan Penelitian ...

17

D.

Manfaat Penelitian ...

17

E.

Keaslian Penelitian...

18

F.

Kerangka Teori dan Konsep...

19

G.

Metode Penelitian ...

22

1.

Metode Pendekatan ...

22

2.

Spesifikasi Penelitian ...

22

(16)

4.

Alat Pengumpulan Data ...

24

5.

Metode Analisis Data...

25

BAB II

KEKUATAN HUKUM MEKANISME

PEMBANGUNAN BERSIH (CDM) TERHADAP

KEHUTANAN BERDASARKAN PROTOKOL

KYOTO

... 26

A.

Hutan di Indonesia ...

28

1. Tutupan

Hutan...

28

a. Laju Deforestrasi dan Emisi Karbon...

33

b. Lahan Kritis dan Produktivitas Hutan...

36

2. Potensi

Hutan ...

44

a. Tekanan Kerusakan Hutan ...

44

b. Upaya Konservasi dan Pengendalian

Kerusakan Hutan...

45

B.

Keanekaragaman Hayati ...

48

1. Kondisi Keanekaragaman Hayati...

48

2. Ancaman Terhadap Kenaekaragaman Hayati...

80

3. Upaya Pengelolaan Keanekaragaman Hayati ...

82

C.

Perubahan Iklim ...

87

1. Dampak Perubahan Iklim...

91

2. Upaya Dunia Dalam Pengendalian

Dampak Perubahan Iklim...

93

(17)

D.

Kekuatan Hukum Mekanisme Pembangunan

Bersih (CDM) Menurut Perundang – Undangan

di Indonesia ... ...

99

BAB III

RUANG LINGKUP MEKANISME

PEMBANGUNAN BERSIH TERHADAP

KAWASAN HUTAN BERDASARKAN

PROTOKOL KYOTO

... 103

A.

Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan.

103

B.

Protokol Kyoto...

109

C.

Kebijakan Indonesia Terhadap Mekanisme

Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan...

114

BAB IV

BERBAGAI PERMASALAHAN TEKNIS

MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH

(CDM) KEHUTANAN

... 123

1.

Baseline

... 123

2.

Non-permanence

... 124

3.

Uncertainties

... 125

4.

Leakage

... 127

5.

Additionality

... 128

6.

Dampak Sosial dan Ekonomi ...

128

7.

Dampak Pada Ekosistem Alam...

129

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

... 130

A.

Kesimpulan ... 130

B.

Saran... 131

(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1

Hasil Penafsiran Citra Satelit Pada Hutan Suaka

Alam di Beberapa Provinsi Terpilih s/d Tahun 2003...

30

2

Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan

Kawasan Hutan dan Perairan, Tahun 2003 (Ha)...

32

3

Produksi kayu Gergajian Menurut Provinsi,

Tahun 2000 - 2004 ... 38

4

Perkembangan Produksi Kayu Olahan Menurut

Jenisnya, Tahun 1995/1996 – 2004... 39

5

Produksi Kayu Lapis Menurut Provinsi, Tahun 2000–2004... 40

6

Luas Kawasan Hutan Yang Perlu Direhabilitasi

Sampai Dengan Tahun 2002 (Ha)... 42

7

Realisasi Kegiatan Reboisasi 5 Tahun Terakhir, Tahun

2000 – 2004 (Ha) ... 43

8

Status Keterancaman Jenis Dipterocarpaceae

di TNBG Berdasarkan Daftar Merah IUCN ... 62

9

Jumlah Species Keanekaragaman Hayati... 64

10

Daftar Flora dan Fauna Yang Dilindungi Di Sumatera Utara.... 65

11

Daftar Flora dan Fauna Yang Tidak Dilindungi

Di Sumatera Utara Yang Dimanfaatkan ... 69

12

Tumbuhan Darat... 72

13

Satwa Daratan ... 73

(19)

15

Potensi Lahan Yang Layak Untuk CDM ... 116

(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1

Gas Rumah kaca (GRK) ...

91

2

Struktur Penunjukan Otoritas...

114

3

Struktur Institusi Nasional untuk CDM ...

114

4

Ilustrasi perhitungan keuntungan karbon dari proyek

CDM Kehutanan ...

118

5

Ilustrasi pemberian kredit karbon...

119

(21)

DAFTAR ISTILAH

Aforestrasi

Konversi lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (biasa

disebut penghijauan) dengan menggunakan jenis tanaman (

species

) asli (

native

) atau

dari luar (

introduce

). Menurut

Marrakech Accord

(2001) kegiatan penghijauan

tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya bukan merupakan hutan.

Akumulasi

Terkumpulnya suatu zat tertentu menjadi satu kesatuan dalam kurun waktu tertentu.

Atmosfer

Lapisan udara yang menyelimuti planet bumi. Atmosfer terdiri dari nitrogen (79,1%),

oksigen (20,9%), karbondioksida (+/- 0,03%) dan beberapa gas mulia (argon, helium,

xenon dan lain-lain), ditambah dengan uap air, amonia, zat-zat organik, ozon,

berbagai garam-garaman dan partikel padat tersuspensi. Atmosfer bumi terdiri dari

berbagai lapisan, yaitu berturut-turut dari bawah ke atas adalah troposfer, stratosfer,

mesosfer dan termosfer.

Bahan Bakar Fosil

Bahan bakar yang terbentuk dari fosil-fosil tumbuhan dan hewan di masa lampau.

Contoh bahan bakar fosil (BBF) atau

fossil fuel

adalah minyak bumi, gas alam dan

batu bara. BBF tergolong bahan bakar yang tidak terbarukan.

Biogas

Gas yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroorganisme, biasanya dihasilkan dari

bahan baku sampah organik ataupun dari sisa pencernaan (baca: kotoran) mahluk

hidup. Unsur utama biogas adalah gas metana (CH4).

Biomassa

Total berat kering (

dry weight

) satu spesies atau semua spesies mahluk hidup dalam

suatu daerah yang diukur pada waktu tertentu. Ada dua jenis biomassa, yaitu

biomassa tanaman dan biomassa binatang.

BOE

(22)

CH4

Gas Metana. Salah satu GRK utama yang memiliki GWP sekitar 25 kali CO2. GRK

ini banyak dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerobik, misalnya

sawah, penimbunan sampah organik dan kotoran mahluk hidup.

CO2

Karbondioksida. Salah satu dari enam GRK yang utama dan dijadikan referensi GRK

yang lain dalam menentukan Indek GWP, sehingga GWP-nya = 1. GRK ini banyak

dihasilkan dari pembakaran BBF, biomassa dan alih guna lahan.

COP

Conference of Parties

. Konferensi para pihak (negara-negara) penandatangan

konvensi PBB, dalam hal ini konvensi perubahan iklim (UNFCCC).

COP/MOP

Conference of Parties Serving as Meeting of Parties

. Konferensi Para Pihak

Konvensi Perubahan Iklim yang merupakan Pertemuan Para Pihak Protokol.

Deforestasi

Penebangan hutan atau konversi lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara

permanen.

El Nino/ENSO

Kadangkala disebut ENSO (

El Nino-Southern Oscillation

) adalah peristiwa

meningkatnya suhu muka air laut di sebelah timur hingga tengah Samudra Pasifik.

Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun setiap 2-13 tahun sekali dan berlangsung selama

12-18 bulan.

Emisi

Zat yang dilepaskan ke atmosfer yang bersifat sebagai pencemar udara.

ET

Emission Trading

. Mekanisme perdagangan emisi antar negara maju untuk

menghasilkan AAU (

Assigned Amount Unit

), satuan penurunan emisi GRK.

GWP

Global Warming Potential

. Indeks potensi pemanasan global, yaitu indeks yang

mengunakan CO2 sebagai tolok ukur.

Gigaton

(23)

Gletser

Lapisan es yang besar yang bergerak di lereng gunung atau daratan karena adanya

gaya gravitasi. Gletser biasanya bergerak sangat lambat, dari 10 m - 1000 m per

tahun. Lapisan es ini luasnya bisa menyamai sebuah benua, contohnya lapisan es

yang menutupi Benua Antartika.

HFCs

Hidrofluorokarbon. Salah satu dari enam GRK yang diperhitungkan dalam pasal 3

Protokol Kyoto.

HPH

Hak Pengusahaan Hutan. Izin yang dikeluarkan untuk kegiatan pengelolaan hutan

dengan sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di kawasan hutan-hutan alam

produksi selama periode tertentu, umumnya 20 tahun, dan dapat diperbaharui lagi

untuk satu periode selanjutnya, yaitu selama 20 tahun lagi.

HTI

Hutan Tanaman Industri adalah program penanaman lahan hutan tidak produktif

dengan tanaman-tanaman industri seperti pohon kayu jati dan mahoni guna memasok

kebutuhan serat kayu (dan kayu pertukangan) untuk pihak industri.

IPCC

Intergovernmental Panel on Climate Change

adalah suatu panel ilmiah yang terdiri

dari para ilmuwan dari seluruh dunia. Panel ini bertugas untuk mengkaji atau meneliti

semua aspek dari masalah perubahan iklim.

INC

Intergovernmental Negotiating Organization

. Panitia yang dibentuk PBB untuk

mempersiapkan penyusunan UNFCCC sebelum dan sesudah

Earth Summit

(1992) di

Rio de Janeiro.

JI

Joint Implementation

adalah sebuah mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat

dilakukan oleh antarnegara maju untuk menghasilkan ERU (

Emission Reduction

Unit

), satuan penurunan emisi GRK.

Karbondioksida

(lihat CO2)

Keanekaragaman Hayati

(24)

hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman hayati mencakup keanekaragaman genetik,

spesies dan ekosistem.

LULUCF

Land-use, Land-use Change and Forestry

adalah kegiatan yang berkaitan dengan

penggunaan dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan yang berpengaruh

langsung terhadap emisi GRK karena adanya pelepasan dan penyerapan karbon,

seperti dalam hal penebangan dan kebakaran hutan.

MW

Megawatt = 1 juta watt

Reforestasi

Umumnya berarti penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut

Marrakech Accord

(2001), kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan

yang telah rusak sebelum 31 Desember 1989.

Salinitas

Kemasinan atau kadar garam yang terdapat dalam sebuah larutan.

Simpanan Karbon

Banyaknya kandungan karbon yang ada di pohon pada suatu areal hutan. Asumsinya

pohon menyerap dan menyimpan CO2.

TSCF

Terra Standart Cubic Feet

= 1012 SCF (

Standard Cubic Foot

)

tC/Tj

ton Coal/Terra joule

Vegetasi

Tumbuh-tumbuhan pada suatu area yang terkait sebagai suatu komunitas tetapi tidak

secara taksonomi. Atau, jumlah tumbuhan yang meliputi wilayah tertentu atau di atas

bumi secara menyeluruh.

UNFCCC

United Nations Framework Convention on Climate Change

adalah Konvensi PBB

(25)

UNEP

United Nations Environment Programme

adalah sebuah badan PBB yang berwenang

untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan negara anggota PBB akan

masalah-masalah lingkungan.

WMO

(26)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Clean Development Mechanism (CDM) atau yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan Mekanisme Pembangunan Bersih merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan peran negara berkembang untuk membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi

GRK (Gas Rumah Kaca).

Membicarakan

Clean Development Mechanism

(CDM), harus dikaitkan

dengan terminologi perubahan iklim. Gas Rumah Kaca (GRK), Efek Rumah Kaca

(ERK), Protokol Kyoto dan seterusnya.

Secara umum iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah

hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter iklim lainnya

dalam jangka waktu yang panjang antara 30-100 tahun (inter centenial). Jadi berbeda

dengan cuaca yang merupakan kondisi sesaat, iklim adalah rata-rata kondisi cuaca

dalam jangka waktu yang sangat panjang. Perubahan iklim adalah terjadinya

perubahan kondisi rata-rata parameter iklim. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu

singkat (mendadak), tetapi secara perlahan dalam kurun waktu yang cukup panjang

antara 50-100 tahun.

1

1

(27)

Perubahan iklim terjadi akibat proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata

permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer. Akumulasi panas itu sendiri terjadi

akibat adanya efek rumah kaca di atmosfer bumi.

Efek rumah kaca (ERK) merupakan suatu fenomena dimana gelombang pendek radiasi

matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi.

Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer.

Namun tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan ke angkasa luar. Sebagian

gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi.

Proses ini dapat berlangsung berulang kali, sementara gelombang yang masuk juga terus

bertambah. Akibatnya terjadi akumulasi panas di atmosfer. Kondisi ini sama persis seperti yang terjadi

di rumah kaca yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan.

Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang diemisikan dari berbagai kegiatan manusia, yang

memiliki kemampuan untuk meneruskan gelombang pendek dan mengubahnya menjadi gelombang

yang lebih panjang. Selain itu, GRK juga memiliki kemampuan meneruskan sebagian gelombang

panjang dan memantulkan gelombang panjang lainnya.

Dalam Protokol Kyoto terdapat enam jenis GRK, yaitu karbondioksida (CO2), nitroksida

(N2O), methana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon

(HFC).2

Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak adanya atmosfer bumi dan efek inilah yang

telah memungkinkan suhu bumi menjadi lebih hangat dan layak dihuni. Para ahli mengatakan tanpa

adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33oC lebih dingin dibandingkan saat ini.

Perkembangan populasi dan aktivitas manusia terutama sejak revolusi industri di pertengahan

abad XIX, telah meningkatkan emisi GRK dengan laju yang sangat tinggi dan akibatnya efek rumah

kaca yang terjadi di atmosfer semakin kuat.

2

(28)

GRK dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dibedakan atas

beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan

peternakan. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama

emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan

menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai

penghambat perubahan iklim. Demikian pula halnya dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang

merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas

karbondioksida.3

Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam

National Communicati4 pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan perubahan lahan dan

kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK yaitu sekitar 63 persen. Sementara sektor

energi menempati urutan kedua, sekitar 25 persen dari total emisi.

Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju

kerusakan hutan di Indonesia. Dalam dekade terakhir ini laju kerusakan hutan adalah sekitar 2 juta ha

setiap tahunnya. Data terakhir menunjukkan bahwa kawasan hutan yang rusak telah mencapai lebih

dari 43 juta hektar.5

Pada saat terjadi kerusakan hutan akan terjadi pelepasan emisi karbon ke atmosfer. Melalui

aktivitas deforestasi, sekitar 33 persen karbon akan dilepaskan ke atmosfer, sementara akibat

pembakaran biomassa dan dekomposisi, emisi karbon yang dilepas ke atmosfer adalah sebesar 32

persen dan 22 persen.

Emisi GRK dari sektor energi terutama disebabkan oleh pembakaran sumber energi fosil yang

berlebihan terutama minyak bumi, gas bumi dan batubara. Kegiatan sehari-hari yang terkait dengan

3

Ibid, hlm. 7

4

Kementerian Lingkungan Hidup. Indonesia: the First National Communication to the UNFCCC. 1997

5

(29)

sektor ini adalah pembangkitan listrik serta penggunaannya, kegiatan industri, dan transportasi.

Semakin boros pemanfaatan sumber energi ini, maka akan semakin banyak emisi GRK yang

dihasilkan.

Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi

GRK khususnya CH4 yang dihasilkan dari sawah tergenang. Selain CH4, GRK lain yang

dikontribusikan dari sektor pertanian, adalah N2O yang dihasilkan dari pemanfaatan pupuk serta

praktek pertanian. Sektor peternakan juga tak kalah dalam mengemisikan GRK. Proses fermentasi di

dalam sistem pencernaan ternak seperti halnya kotoran yang dihasilkan, akan menghasilkan CH4.6

Rangkaian kejadian ini dipercaya mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang akan

memberikan dampak bagi kehidupan. Mengingat perubahan iklim bersifat global, maka dampak yang

ditimbulkannya pun akan bersifat global pula. Tidak ada daerah yang akan luput dari dampak

perubahan iklim, perbedaannya hanya pada tingkat dampak yang dirasakan serta kemampuan untuk

beradaptasi.

Dalam skala global, perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya pencairan lapisan es.

Pencairan ini tidak hanya terjadi di daerah kutub tetapi juga di beberapa puncak gunung yang selama

ini dipercaya ditutupi lapisan es abadi. Sejak dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi ini

telah berkurang sebanyak 10 persen.

Mencairnya lapisan es memberikan dampak berupa peningkatan volume air di permukaan

bumi secara keseluruhan, terutama volume air laut. Selain itu, peningkatan suhu juga akan

mengakibatkan meningkatnya pemuaian air yang akan berakibat pada peningkatan volume.

Peningkatan volume air laut pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan tinggi muka air laut.

Jika tinggi muka air laut meningkat dapat dibayangkan daerah pesisir akan berubah dari

daratan menjadi lautan. Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change

6

(30)

(IPCC)7 menyatakan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut

setinggi 10-25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air laut akan mencapai 15-95

cm dibandingkan saat ini. Dengan kondisi tersebut akan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir yang

tenggelam dan mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus mengungsi ke

daerah yang lebih tinggi.

Perubahan iklim juga akan mengakibatkan terjadinya pergeseran musim. Dibeberapa tempat,

musim kemarau akan semakin panjang sementara musim hujan memendek. Akibatnya akan timbul

bencana kekeringan. Kekeringan akan memberikan dampak turunan seperti kegagalan panen serta

krisis air bersih.

Musim kemarau yang panjang mengakibatkan terjadinya musim hujan yang pendek namun

dengan intensitas yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan bencana banjir, badai dan tanah

longsor.

Dampak perubahan iklim juga dirasakan di Indonesia. Tidak dapat disangkal lagi, karena

kondisi geografis dan topografisnya, Indonesia termasuk negara yang rawan terhadap dampak

perubahan iklim.

Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3oC sejak tahun 1990. Dan

di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1oC di atas suhu rata-rata tahun

1961-1990.8

Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tak

menentunya pola curah hujan. Dalam abad ini, curah hujan di Indonesia rata-rata turun sekitar 2-3

persen pertahun. Sebaliknya, akibat dari perubahan iklim, curah hujan diperkirakan justru akan

meningkat di wilayah Indonesia bagian selatan.

7

Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.

8

(31)

Ketidakpastian musim akan mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya. Bukan

hanya musim tanam yang tak menentu, melainkan juga kegagalan panen akibat kemarau panjang atau

hujan yang berlebih.

Tak menentunya iklim menyebabkan turunnya produksi pangan di Indonesia, akibatnya

Indonesia harus mengimpor beras. Peningkatan intensitas hujan akan menimbulkan banjir yang

kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air. Tingginya curah hujan

juga mengakibatkan hilangnya lahan dan erosi tanah. Akibatnya, kerugian pada sektor pertanian

mencapai US$ 6 milyar pertahun.9 Dengan naiknya permukaan air laut, banyak pulau-pulau kecil dan

daerah landai di Indonesia akan tenggelam. Diperkirakan sekitar 2.000 pulau akan hilang dari wilayah

Indonesia.10 Akibatnya, masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak.

Mereka akan kehilangan bukan saja tempat tinggal serta infrastruktur pendukung yang telah terbangun

tetapi juga mata pencahariannya. Hal ini terutama disebabkan oleh berkurangnya tangkapan ikan

akibat tak menentunya kondisi iklim –misalnya kecepatan angin- serta gangguan yang terjadi terhadap

ikan di laut karena perubahan temperatur air laut. Kenaikan air laut juga akan merusak ekosistem hutan

bakau (mangrove), serta mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.

Masalah lain yang ditimbulkan sebagai akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya

kualitas air tanah di perkotaan akibat intrusi (perembesan)air laut. Intrusi air laut juga mempengaruhi

kondisi sungai dan danau dan akan berdampak terhadap kehidupan yang berlangsung di dalamnya.

Kerusakan juga akan terjadi pada banyak infrakstruktur kota akibat salinitas air laut.

Sektor kehutanan pun akan menerima dampak dari perubahan iklim ini. Ketidakmampuan

beberapa jenis flora dan fauna untuk beradaptasi akan mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi

ekologi hutan. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah sementara spesies yang lebih kuat

9

The Asian Development Bank. 1994. Socio-economic Impacts of Climate Change and a National Reponse Strategy. A Report of The Regional Study on Global Environment Issues: Country Study of Indonesia.

10

(32)

akan berkembang tak terkendali.11 Selain itu, panjang serta keringnya musim kemarau telah memacu

peningkatan terjadinya kebakaran hutan.

Dampak lain dari perubahan iklim di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi penyakit

tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Tanpa adanya upaya memperlambat terjadinya perubahan

iklim, diperkirakan kasus malaria yang pada tahun 1989 sebesar 2.705 akan menjadi 3.246 di tahun

2070, demikian pula dengan kasus demam berdarah dalam periode yang sama akan meningkat empat

kali lipat.12

Sudah barang tentu, dampak negatif akan dirasakan dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada

tahun 2000 kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh Indonesia

berjumlah US$ 150 milyar dan menelan korban jiwa sebanyak 690.13 Sementara studi yang dilakukan

memperkirakan kerugian tahunan di sektor pertanian sebesar Rp. 23 milyar, di sektor pariwisata

sebesar Rp. 4 milyar dan dana perbaikan infrastruktur pesisir sekitar Rp. 42 milyar14

Konvensi Perubahan Iklim mulai ditandatangani di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di

Rio de Janeiro, Brazil, pada bulan Juni 1992. Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal

21 Maret 1994. Konvensi Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat

mengikat para pihak yang telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut dengan

Undang-Undang No. 6 tahun 1994.

Konvensi ini bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman

yang tidak membahayakan sistem iklim global. Dalam konvensi ini belum dicantumkan target-target

yang mengikat. Namun demikian, konvensi ini membagi para pihak ke dalam dua kelompok, yaitu

negara industri dan ekonomi dalam transisi yang terdaftar dalam Annex I (dikenal sebagai negara

Annex I) serta negara berkembang yang dikenal dengan negara non-Annex I.

11

Rini Hidayati. 2001. Masalah Perubahan Iklim di Indonesia. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

12

ALGAS. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. 1997

13

Kompas, 7 Maret 2001

14

(33)

Prinsip kesetaraan dan prinsip ‘common but differentiated responsibilities’ (prinsip tanggung

jawab bersama dengan tingkat yang berbeda-beda)merupakan dasar dalam Konvensi ini. Karenanya,

negara-negara Annex I harus melakukan langkah nyata dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di

dalam negerinya

Pada tahun 1995, diselenggarakan Conference of the Parties (COP) untukpertama kalinya di

Berlin, Jerman. Pertemuan yang merupakan upaya negosiasi internasional ini menghasilkan

kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menghadapi perubahan

iklim. Termasuk di dalamnya untuk memperkuat komitmen negara Annex I, yang tidak tercantum di

dalam konvensi, dengan mengadopsi suatu protokol atau bentuk hukum lainnya. Kesepakatan yang

dihasilkan pada COP I kemudian dikenal dengan nama Berlin Mandate.

Setelah melakukan negosiasi yang sangat intensif selama dua tahun, akhirnya disepakati

sebuah protokol yang mengikat secara hukum dengan komitmen yang lebih tegas dan lebih rinci.

Protokol Kyoto ini diadopsi pada pertemuan COP III di Kyoto, Jepang pada tahun 1997. COP III yang

dikenal dengan Konferensi Kyoto merupakan sebuah ajang pergulatan antara negara maju dan

berkembang. Negara Annex I yang dianggap telah lebih dahulu mengemisikan GRK ke atmosfer

melalui kegiatan industrinya menolak untuk memberikan komitmen yang berarti di dalam Protokol

Kyoto. Sementara negara berkembang merasa belum mampu untuk menurunkan emisi GRK-nya

karena dianggap akan menghambat proses pembangunan di negaranya.

Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang

sangat serius dalam menghadapi perubahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh

negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2%

dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008 – 2012.15

Mekanisme CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih

murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya,

15

(34)

CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility

mechanisms). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK

tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction). CER ini diperhitungkan

sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai

penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam

pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B

Protokol Kyoto.16

Perkembangan negosiasi internasional, baik mengenai Konvensi Perubahan Iklim maupun

mengenai Protokol Kyoto yang berlangsung sejak awal dekade 90-an telah memunculkan berbagai isu

baru. Salah satu isu baru ini adalah pelaksanaan CDM di sektor kehutanan.

Sesungguhnya hutan memiliki peran yang unik dalam isu perubahan iklim. Peran utama hutan

adalah untuk menyerap GRK — terutama karbon — yang ada di atmosfer. Karenanya kegiatan

kehutanan dalam isu perubahan iklim ini termasuk dalam carbon sequestration activities, yaitu

kegiatankegiatan yang menyerap karbon yang ada di atmosfer. Oleh sebab itu hutan juga dikenal

sebagai carbon sinks (rosot karbon). Dengan perannya ini, hutan dapat membantu mencapai tujuan

Konvensi Perubahan Iklim dalam menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman

yang tidak membahayakan sistem iklim global.

Mengingat peran hutan tersebut, maka diusulkan agar sektor kehutanan dapat pula digunakan

dalam upaya penurunan emisi GRK secara global. Isu kehutanan, yang dalam Konvensi Perubahan

Iklim dan Protokol Kyoto dimasukkan dalam isu Land-Use, Land-Use Change and Forestry

(LULUCF), yaitu mengenai pemanfaatan lahan, perubahannya serta sektor kehutanan, sempat menjadi

isu kunci dalam beberapa COP, terutama dalam COP VI di Den Haag tahun 2000 dan COP VI-bis

(bagian kedua dari COP VI) di Bonn tahun 2001. Dokumen yang dihasilkan pada COP VI-bis, yang

dikenal sebagai Bonn Agreement, akhirnya memuat kesepakatan mengenai pemanfaatan sektor

16

(35)

kehutanan dalam CDM yang terbatas pada kegiatan reforestasi (reforestation) dan aforestasi

(aforestation).17

CDM Kehutanan memiliki berbagai permasalahan teknis yang hingga COP VIII belum

berhasil disepakati. Permasalahan tersebut mengenai baseline yaitu kondisi yang digunakan sebagai

dasar perhitungan bagi besarnya CER (Certified Emission Reduction) yang dihasilkan. Hal lain yang

tidak kalah pentingnya dalam CDM Kehutanan adalah besarnya ketidakpastian (uncertainties) yang

ada. Ketidakpastian ini terutama dalam hal perhitungan (measurement uncertainty) dan dalam hal

menentukan parameter yang terkait dengan CDM Kehutanan.

Indonesia yang kaya akan biodiversity dan merupakan salah satu negara di dunia yang

memiliki kawasan hutan tropis (rain forest) sangat potensial untuk dijadikan kawasan project CDM.

Salah satu kawasan hutan yang ada adalah kawasan hutan di Sumatera. Selain hutan Leuser dengan

Kawasan Taman Nasional Gunung Lesuser nya, kawasan hutan Batang Toru juga menyimpang

keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi dan layak untuk dilindungi sehingga potensial

sebagai lahan project CDM.

Kawasan Hutan Batang Toru secara goegrafis terletak antara 980 53, - 990 26, bujur timur dan 020 03, - 010 27, lintang utara. Hutan alami (primer) yang tersisa saat ini di Batang Toru seluas 136.284 ha dan berada di blok barat seluas 81.344 ha, di blok timur 54.940 ha. Secara administrative lokasi ini terletak di wilayah 3 kabupaten, yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. 89.236 ha atau sekitar 65,5 persen terletak di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang mengairi areal persawahan di lembah Sarulla dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sipansihaporas serta Aek Raisan. Sisanya dibagi dua wilayah Kabupaten Tapsel dan Tapteng.

Dari hasil survey YEL (Yayasan Ekosistem Lestari), hutan Batang Toru merupakan daerah tangkapan air untuk 10 sub-DAS, dimana kawasan DAS ini masih memiliki tutupan hutan yang masih utuh dibagian hulunya dan merupakan fungsi penting sebagai penyangga dan pengatur tata air maupun sebagai pencegah bencana. 10 sub-DAS yang berasal dari hutan Batang Toru adalah Sipansihaporas,

17

(36)

Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan Selatan),

Aek Garoga, Aek Tapus dan Sungai Pandan. Dalam hal ini, air di Batang Toru sangat penting untuk masyarakat sekitarnya untuk lokasi perkebunan

dan persawahan, terutama untuk kehidupan manusia. Disamping untuk sumber kehidupan itu, saat ini dilema untuk mempertahankan keperawanan (The Virgin Forest) hutan ini menjadi sebuah tantangan bagi semua pihak untuk tetap melestarikan dan menjaganya.

Dilema kedua adalah rencana pembangunan industri Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal PLTP Sarulla di Taput, Pertambangan Emas oleh PT. Agincourt Oxiana (dulu PT.Newmont Horas Nauli) di Tapanuli Selatan dan PLTA Sipansihaporas di Tapanuli Tengah. Ketiga industri ini tentunya sangat membutuhkan sumber air dari hutan Batang Toru.

Proyek PLTP Sarulla tentunya akan sangat membutuhkan ketersediaan sumber air bawah tanah yang berkelanjutan, maka semuanya itu tergantung kepada kelestarian ekosistim yang ada di hutan tersebut. Proyek penambangan emas oleh PT.Agincourt yang berdekatan dengan hutan Batang Toru di blok barat juga sangat mengharapkan resapan air dari hutan Batang Toru, dimana sebagaian dari wilayah pertambangan ini masih merupakan tutupan hutan primer. Sedangkan untuk PLTA Sipansihaporas jelas merupakan teknologi yang membutuhkan perhitungan cukup teliti mengenai debit air yang akan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Dimana PLTA Sipansihaporas ternyata dapat menghasilkan tenaga listrik 50 MW.

Khusus untuk PLTA Sipansihaporas, pihak pengelola proyek ini sudah sepantasnya berterimakasih kepada Pemkab/Kabupaten Tapanuli Utara, karena rata-rata air sungai tangkapan Hutan Batang Toru bersumber dari wilayah kabupaten ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah PLTA Sipansihaporas akan nantinya akan memberikan sumbangsih semisal Community Development (CD) atau semacam sumbangan atas pemfaatan jasa pelestarian alam ke Kabupaten Tapanuli Utara ?

Hutan Batang Toru memiliki Geografi/topografi yang sangat rumit dan bergelombang. Jenis hutan yang dapat ditemui saat ini adalah hutan pegunungan rendah, hutan gambut, hutan batu kapur

(37)

Tanah dan air di hutan Batang Toru memiliki keasaman PH 4-5 dengan air berwarna coklat jernih. Sedangkan jenis-jenis pohon yang ada didominasi Cemara Gunung (Atturmangan/Casuarina sp), Sappinur Tali (Dacridium spp) dan jenis-jenis mayang (palaquiumspp) disamping itu juga terdapat jenis-jenis pohon Famili Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae.

Survei Vegetasi yang dilakukan oleh YEL beberapa tahun yang lalu, ditemukan 11 jenis tanaman yang merupakan spesies baru di dunia ilmiah. Disamping itu juga ditemukan beragam jenis vegetasi khas Sumatera, seperti bunga bangkai Rafflesia Gadutensis dan bermacam-macam bunga anggrek. Sementara itu, rata-rata curah hujan di hutan Batang Toru bias mencapai 4.500 sampai 5.000 mm per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa curah hujan dilokasi tersebut cukup tinggi, karenanya suhu pada malam harinya dilokasi ini bisa menurun hingga 14 derajat celcius.

Dengan kondisi hutan dimaksud, kawasan hutan Batang Toru Tapanuli Utara sudah selayaknya dijadikan site bagi CDM project berdasarkan Protokol Kyoto jika permasalahan dan kendala dalam CDM itu sendiri dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan harapan dunia sebagai usaha penurunan efek Gas Rumah Kaca.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut tentang :

1. Apakah Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto memilki kekuatan hukum secara global ?

2. Sejauh mana ruang lingkup Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto ?

(38)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah tentang

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.

2. Untuk mengetahui sejauh mana ruang lingkup Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.

3. Untuk menemukan permasalahan yang dihadapi dalam penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu baik secara

teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting bagi negara-negara Annex I dan Non Anex I khususnya Indonesia dalam kaitannya dengan penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto. Dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang ilmu hukum secara umum dan hukum administrasi negara secara khusus.

2. Secara praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pembaharuan dan

pengembangan hukum nasional kearah penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan

berdasarkan Protokol Kyoto.

b. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu hukum terutama dalam bidang hukum

administrasi negara, khususnya mengenai Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan

berdasarkan Protokol Kyoto.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

(39)

Berdasarkan Protokol Kyoto” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan

yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan azas-azas

keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan

implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep

a. Kerangka Teori

Menentukan suatu teori dalam penelitian adalah penting, sedemikian pentingnya sehingga menurut David Madsen sebagaimana dikutip oleh Lintong O. Siahaan mengatakan “The basic purposes of scientific research is theory he adds that a good theory properly seen present a systematic view of phenomene by specifiying realitations among cariables, with the purposes of exploring and prediction the phenomenona”18

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisi serta untuk menganalisis berbagai permasalahan mendasar dalam penelitian ini adalah teori negara hukum kemudian untuk mendukung teori ini digunakan teori negara kesejahteraan.

Penjelasan terhadap landasan teoritis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Teori Negara Hukum

Konsepsi Negara Hukum adalah suatu gagasan bernegara yang paling ideal. Gagasan negara hukum ini telah berkembang sejak Plato menulis Nomoi atau bahkan jauh sebelum itu19. Gagasan negara hukum didasari oleh suatu keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil20.

Immanuel Kant, dalam bukunya Methaphysiche Ansfagrunde der Rechtslehre,

mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti

18

Lintong O. Siahaan. Prospek PTUN sebagaimana Penyelesaian Sengketa Administrasi Indonesia. Cetakan pertama. (Jakarta. Perum Percetakan Negara RI. 2005) hlm. 5

19

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 7

20

(40)

sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat pelindung hak – hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwakerstaat atau

nachtwachterstaat21

2. Teori Negara Kesejahteraan

Negara Kesejahteraan adalah sebuah Negara yang memiliki wewenang secara bebas digunakan (tujuan politik dan administrasi) untuk memodifikasi percaturan kekuatan pasar yang paling tidak pada tiga ketentuan – yang pertama dengan memberi garansi baik secara individu dan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan minimum terlepas dari nilai pasar dari kerja atau kekayaan; kedua dengan membatasi perluasan rasa tidak aman dengan memberdayakan individu atau masyarakat guna mendapatkan kemungkinan – kemungkina sosial ….. yang sebaliknya akan menggiring (menghilangkan) krisis invidu atau masyarakat itu; dan yang ketiga dengan memberi keyakinan bahwa seluruh masyarakat tanpa perbedaan status atau kelas ditawarkan standar yang memuaskan dalam kaitannya dengan pelayanan public. (Briggs 1967 : 29)

Selanjutnya Briggs menjelaskan lagi :

It is duty of the community through the power of the state to modify deliberately the normal play of economic forces in a market economy in order to assist the needs of the underprivileged groups and individuals by providing every citizen with a basic real income adequate for subsistence, irrespective of the market value of his work. (Briggs, 1967 : 72)22

Merupakan tanggung jawab masyarakat lewat kekuasaan Negara untuk memodifikasi secara bebas permainan kekuatan ekonomi lewat pasarnya dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat atau individu yang serba kekurangan dengan memberi setiap penduduk penghasilan yang memadai dalam mencari nafkah hidup, terlepas dari nilai pasar dari kerja mereka (Briggs. 1967 : 72)

3. Teori Sistem Hukum Analitis Mekanis23

Teori ini dikenal juga dengan sebutan Metode Mekanis (piecemeal Method Analytic). Konsep dasar teori ini adalah:

“Piecemeal approach; it is analytic in the sense that the entity of interest is divided into simple component parts, which are investigated separately”

Teori ini mengatakan bahwa setiap bagian dari keseluruhan dipandang sebagai bagian yang terpisahkan dari keseluruhan itu.

21

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum – Suatu Studi Tentang Prinsip – Prinsipnya Dilihat Dari Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66

22 Op.cit, hlm. 47

23

(41)

Sedangkan kerangka konsepsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penjelasan dan penjabaran dari maksud dan arti dari terminologi pokok pembahasan

sebagai elemen dasar dari maksud dan tujuan dari pembahasan penelitian dimaksud.

b. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsepsi tersebut adalah pengertian dari terminologi

berikut:

1.

Mekanisme Pembangunan Bersih (

Clean Development Mechanism

); yaitu salah

satu instrument dalam mitigsi perubahan iklim, yang hingga saat ini adalah satu –

satunya mekanisme fleksibel yang melibatkan negara – negara berkembang dalam

pelaksanaannya.

24

2.

Kawasan Hutan; adalah suatu zona atau areal tumbuhnya vegetasasi flora dan

fauna dengan berbagai keakeragaman hayatinya.

3.

Protokol Kyoto; adalah merupakan sebuah kesepakatan internasional yang

menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi perubahan iklim.

Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara

bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari

tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008 – 2012.

25

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang

24

Meuthia A Naim, Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, Edisi Kedua, KLH-RI, 2007, hlm. 15

25

(42)

terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan pendapat ahli hukum maupun pendapat praktisi hukum kemudian dikaitkan dengan data primer.

2. Spesifikasi Penelitian

Sesuai dengan rumusan penelitian maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang betujuan menggambarkan prinsip-prinsip hukum dalam penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.

3. Metode Pengumpulan Data

Menitikberatkan pada penelitian kepustakaan (library research) dan berdasarkan kepada data sekunder dan data primer, maka bahan kepustakaan yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu:26

a. Bahan Hukum Primer; yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: 1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945; 2. Peraturan dasar, yaitu:

a. Batang tubuh UUD 1945; b. Ketetapan – ketetapan MPR(S) 3. Peraturan Perundang – undangan:

a. Undang – Undang atau Perpu; b. Peraturan Pemerintah; c. Keputusan Presiden; d. Keputudan Menteri; e. Peraturan Daerah.

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat. 5. Yurisprudensi;

6. Traktat;

7. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya KUHP (WvS) dan KUHPerdata (BW).

26

(43)

b. Bahan Hukum Sekunder; yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya rancangan undang – undang (RUU), rancangan peraturan pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum dan sebagainya. c. Bahan Hukum Tertier; yakni bahan – bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus – kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.27

4. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga data yang dikumpulkan pada dasarnya merupakan data sekunder sehingga alat yang digunakan adalah studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan kepustakaan berupa peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan masalah yang dikaji. Dilakukan pula penelaahan terhadap bahan – bahan hukum lainnya, seperti karya ilmiah dan kamus yang membantu dalam menganalisis dan memahami penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan protokol Kyoto.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui data kepustakaan dan didukung dengan data hasil wawancara dengan informan atau responden lainnya.

5. Metode Analisis Data

Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui study kepustakaan

(Library Research), peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian lainnya untuk mendukungnya. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian. Dengan analisis kualitatif juga dilakukan interpretasi. Berdasarkan metode interpretasi ini diharapkan dapat menjawab permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

Penelitian hukum normatif yang dilakukan di sini mengutamakan penelitian

Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan

Protokol Kyoto.

27

(44)

BAB II

KEKUATAN HUKUM MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CDM)

TERHADAP KEHUTANAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO

Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragman Hayati, visi dari pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia adalah ”terwujudnya masyarakat Indonesia yang peduli, berbudaya, mandiri dan cerdas dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati untuk tahun 2003 – 2020 dijabarkan ke dalam lima tema utama yaitu:

1. Pembanguna kapasitas manusia dan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati; 2. Pengembangan sumber daya, teknologi dan kearifan lokal;

3. Peningkatan konservasi dan rehabilitasi keanekaragaman hayati; 4. Peningkaran kapasitas kelembagaan dan pranata kebijakan; 5. Peningkatan kapasitas penyelesaian konflik.

Dalam setiap tema diajukan program-program beserta indikator kinerja keberhasilan dan usulan lembaga yang melakukan. Semua ini dimaksudkan menjadi langkah-langkah untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati dan mengembalikan perannya sebagai aset bangsa.

(45)

1. Hutan berfungsi mengatur iklim mikro dan memberikan layanan lingkungan (alam) seperti air kepada masyarakat dan pengguna jasa alam di hilit, tempat hidup berbagai aneka ragam hayati dan memberikan kekayaan hasil hutan berupa kayu dan produk non-kayu seperti damar, rotan, madu dan bahan obat-obatan yang menjadi mata pencaharian penduduk di sekitar hutan. Perubahan iklim dapat memberikan dampak serius terhadap layanan alam maupun kerusakan hutan (seperti kebakaran) jika hutan tidak dikelola dengan baik. Usaha perlindungan terhadap ekosistem hutan dengan peran penting dalam memberikan hasil kekayaan dan jasa lingkungan perlu terus dilakukan.

2. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Perubahan iklim bisa berdampak serius terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Perlu dibuat bank genetik berbagai spesies tumbuhan yang ada di tanah air. Dengan demikian kekayaan hayati tersebut dapat dijaga untuk memberikan manfaat bagi bangsa.

A.

Hutan di Indonesia

1. Tutupan Hutan

Dalam RPJMN 2005 – 2009, kebijakan pembangunan diarahkan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, antara fungsinya sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sebagai penopang sistem kehidupan, untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

(46)

pengelolaan sumber daya alam ini akan mengakibat dampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di atas bumi ini.

Hutan di Indonesia merupakan sumber daya yang sangat penting karena melingkupi sebagian besar wilayah daratan Indonesia dan menjadi paru-paru dunia. Hutan di Indonesia memiliki fungsi yang beragam baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan. Hutan merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna karena hutan-hutan di Indonesia terkenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar. Selain itu hutan yang luas tersebut merupakan benteng pencegah bencana alam. Sebagai wahana penyimpan air misalnya, hutan-hutan di Indonesia menjadi tanggul alam pencegahan banjir dan erosi. Demikian pula dalam fungsinya sebagai penahan laju angin (windbreaks),

hutan-hutan tersebut mencegah terjadinya badai. Dengan demikian hutan dapat mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim global.

Dalam hubungannya dengan perubahan iklim global, Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografi dunia, karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar kedua di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia, mempunyai fungsi sebagai penyerap emisi gas-gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global, sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim global. Dari luas daratan Indonesia yang lebih dari 191 juta hektar, lebih dari 58 persennya berupa hutan.

(47)
[image:47.612.109.514.312.715.2]

Berbagai kegiatan atau bencana alam yang terjadi di wilayah kawasan hutan alam seperti misalnya kegiatan peladang berpindah, pertambangan dan kebakaran hutan telah menyebabkan berkurangnya areal berhutan di hutan-hutan alam. Contoh lain adalah hasil penginderaan jauh dengan satelit untuk kawasan hutan suaka alam, yang menemukan bahwa pada tahun 2003, sebesar 2.871.000 hektar dari kawasan hutan tersebut ternyata bukan lagi masuk dalam kategori hutan. Kenyataan ini cukup mengkhawatirkan, terutama pada kawasan suaka alam di beberapa provinsi, karena proses perusakan yang terjadi pada hutan alam itu

Gambar

Tabel 1 :  Hasil Penafsiran Citra Satelit Pada Hutan Suaka Alam Di Beberapa Provinsi Terpilih s/d Tahun 2003
Tabel 2 :  Luas Kawasan Hutan Dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan, Tahun 2003 (Ha) Hutan
Tabel 4 :Perkembangan Produksi Kayu Olahan Menurut Jenisnya, Tahun 1995/1996 - 2004
Tabel 6 :  Luas Kawasan Hutan Yang Perlu Direhabilitasi Sampai Dengan  Tahun 2002 ( Ha)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya murid atau siswa adalah merupakan insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orang

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan suami dari perspektif konseling feminis merupakan sebuah pilihan dan kekuatan yang

Permasalahan yang dapat penulis angkat ialah bagaimana kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung dalam upaya mempertahankan lahan pertanian di Kabupaten Badung dan bagaimana

The present study aimed at assessing the efficiency of the Keyword Method and the Total Physical Response Method when teaching new vocabulary words in a foreign language,

korban berontak dengan cara menggigit bagian lengan terdakwa dan kemudian saksi korban lari namun kembali dikejar, ditangkap dan dipeluk terdakwa, lalu terdakwa menurunkan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kinerja jaringan Jalan Kaliurang dan Jalan Parangtritis menggunakan variabel volume dan kapasitas jalan, menganalisis

Kriteria yang dapat digunakan untuk menganalisis teks berita adalah struktur teks.. Kriteria analisis berita dengan KOPS adalah: konteks, opini, perspektif,