• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI

ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA

C. Kebijakan untuk Nelayan

Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Hal ini sesuai dengan pengertian tentang nelayan pada UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 butir 10). Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Dengan kata lain, ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan pun semakin beragam statusnya. Dalam bahasa sosiologi, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau labour division13.

13

Selanjutnya, Ditjen Perikanan14 mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan, yaitu:

1. Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

2. Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

3. Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

Klasifikasi nelayan di atas semakin kurang memadai seiring dengan perkembangan karakteristik usaha perikanan. Ada pemilik kapal yang saat ini tidak melaut, bahkan belum pernah melaut sama sekali. Dalam bahasa nelayan, mereka sering disebut juragan darat. Klasifikasi nelayan sekarang ini semakin rumit, karena posisi anak buah kapal (ABK) semakin hierarkis, seperti juru mudi, juru lampu, juru arus, juru selam, juru mesin, juru campoan, awak kapal biasa15. Jadi, keragaman status nelayan di atas terjadi seiring berkembangnya usaha perikanan.

14

Direktorat Jenderal Perikanan, 2000, “Buku Statistik Perikanan Indonesia.” Jakarta.

15

Masyhuri. 1999. “Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi”: Telaahan Sebuah Pendekatan. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan - LIPI.

Sementara itu, berdasarkan tingkatan usaha perikanan, Pollnac16 membedakan nelayan ke dalam dua kelompok, yaitu nelayan besar (large-scale

fishermen) dan nelayan kecil (small-scale fishermen). Pembedaan ini berdasarkan respon untuk mengantisipasi tingginya resiko dan ketidakpastian. Namun, Satria17 mengganggap bahwa pengelompokan Pollnac ini kurang memadai untuk Indonesia sebagai negara berkembang, sehingga dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi, (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi.

Pertama, peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Istilah subsisten ini dikarenakan alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Umumnya, mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau kapal tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant-fisher menjadi post- peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti motor tempel atau kapal motor. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah mulai berorientasi pasar. Sementara tenaga

16

Pollnac, Richard B. 1998. “Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pembangunan Perikanan Berskala Kecil”, dalam Cernea Michael, “Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi dalam Pembangunan Pedesaan”. UI-Press. Jakarta.

17

kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak tergantung pada anggota keluarga saja.

Ketiga, commercial fisher, adalah nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Begitu juga dengan teknologi, kelompok ini sudah menggunakan teknologi modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.

Keempat, industrial fisher, yang pengertiannya dapat mengacu pada Pollnac (1998). Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan ikan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai ABK dengan organisasi kerja yang lebih kompleks. Adapun ciri nelayan industri menurut Pollnac18 , yaitu:

a. Diorganisasikan dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan perikanan agroindustri di negara-negara maju.

b. Secara relatif lebih padat modal.

c. Memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu.

d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Tabel D. Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha Jenis Orientasi

Ekonomi dan

Tingkat

Teknologi Hubungan Produksi

18

Pasar Usaha Tradisional Subsisten; rumah

tangga

Rendah Tidak hierarkis, status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Usaha

Post-Traditional

Subsisten; surplus; rumah tangga; pasar domestik

Rendah Tidak hierarkis, status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Usaha Komersial Surplus; pasar

domestik; ekspor

Menengah Hierarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang

heterogen

Usaha Industri Surplus; ekspor Tinggi Hierarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang

heterogen

Dengan berdasar pada pengklasifikasian nelayan menurut Satria (2002) di atas, khususnya pada teknologi, maka nelayan Indonesia sebagian besar tersebar berada pada usaha tradisional (peasant-fisher) dan usaha post-traditional, dan sedikit di usaha komersial (Lihat Tabel E). Artinya, nelayan Indonesia hanya mampu melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar pesisir yang banyak menimbulkan konflik dan overfishing. Sedangkan kekayaan sumberdaya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia banyak dinikmati kapal asing, baik yang resmi (legal) maupun illegal yang umumnya menggunakan alat tangkap modern dan armada yang sangat besar. Ketidakmampuan melakukan penangkapan di ZEEI diperparah dengan berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan nelayan. permasalahan tersebut baik timbul dari sisi sumberdaya perikanan sendiri yang bersifat fugitive dan cenderung ke arah open access, maupun kendala yang ditimbulkan oleh pengembangan skala ekonomi yang ditandai dengan lemahnya kapital dibidang perikanan dan sedikitnya investasi dibidang tersebut. Kombinasi

kedua kendala tersebut menyebabkan pelaku perikanan, khususnya mereka yang berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong masyarakat miskin. Misalnya, hasil perhitungan COREMAP di 10 propinsi menunjukan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 1996/1997 masih berkisar antara Rp 82.000 sampai Rp 200.000 per bulan. Tentu saja, jumlah tersebut masih jauh di bawah upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 380.000 pada tahun yang sama19 .

Tabel E. Jenis Kapal dan Jumlah

No. Jenis Kapal Jumlah (Unit)

1 Perahu Tanpa Motor 230.360

2 Perahu Motor Tempel 125.580

3 Kapal Motor (KM) KM < 5 GT KM 5-10 GT KM 10-20 GT KM 20-30 GT KM 30-50 GT KM 50-100 GT KM 100-200 GT KM > 200 GT 118.600 72.060 23.610 6.880 3.780 2.300 5.510 3.590 870 Jumlah 593.140 Sumber: www.dkp.go.id

Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan sangat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Kusnadi20 membagi faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan ke dalam dua kelompok, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan kondisi internal sumberdaya

19

Fauzi, Akhmad. 2002. “Kredit Perikanan di Indonesia: Suatu Tinjauan Krisis”. Bahan Press Release Media Indonesia.

20

Kusnadi. 2004. “Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaharuan”. Bantul.

manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Faktor-faktor internal mencakup masalah antara lain: (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan ikan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan (6) gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan.

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Faktor-faktor eksternal mencakup masalah antara lain: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan; (5) penegakkan hukum yang lemah terhadap perusakan lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pasca-tangkap; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non-perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.

Kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan Indonesia merupakan sebuah ironis. Betapa tidak, mereka miskin di tengah kekayaan potensi sumberdaya perikanan yang melimpah disekitarnya. Namun demikian, kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di negara-negara maju. Fauzi (2003) mengungkapkan bahwa permasalahan nelayan dan kemiskinan memang bukan merupakan monopoli permasalahan negara-negara berkembang semata. Disebutkan, di negara maju sekalipun permasalahan kemiskinan nelayan akan timbul manakala terjadi mismanagement terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian, memang kuncinya di sini adalah pada aspek pengelolaan sumberdaya dan pemahaman terhadap permasalahan kemiskinan nelayan itu sendiri.

Lebih lanjut Akhmad Fauzi21 mengungkapkan, bahwa berbeda dengan sektor primer lainnya, sumberdaya ikan memiliki karakteristik unik yang harus dipahami benar sehingga tidak menghasilkan pemahaman mengenai kemiskinan yang keliru (misleading) yang pada akhirnya melahirkan strategi pengentasan kemiskinan yang keliru pula. Adapun beberapa karakteristik untuk sumberdaya ikan tersebut diantaranya, yaitu :

Pertama, kondisi kepemilikan yang bersifat common property dibarengi dengan rejim yang akses terbuka dalam eksploitasinya, menyebabkan timbulnya masalah eksternalitas. Eksternalitas adalah akibat yang harus ditanggung oleh aktifitas yang ditimbulkan pihak lain. Bentuk eksternalitas misalnya perebutan daerah tangkap atau sering dikenal dengan istilah space interception externality

21

Fauzi, Akhmad. 2003. “ Paradok Kemiskinan Nelayan”. Working Paper Jurusan SEI, FPIK-IPB. Bogor.

dimana masing-masing nelayan ingin mendahului yang lainnya untuk mencapai

fishing ground. Eksternalitas juga bisa terjadi karena gear externality atau eksternaitas alat dimana penggunaan satu alat bisa menimbulkan kerugian atau kerusakan pada alat lain. Contoh eksternalitas dalam bentuk ini adalah penggunaan alat tangkap yang destruktif seperti trawl dan pengunaan dinamit. Kombinasi dari berbagai eksternalitas ini menimbulkan biaya yang cukup tinggi dalam bentuk menurunnya kapasitas sumberdaya perikanan yang pada gilirannya akan menurunkan rente ekonomi yang dihasilkan.

Kedua, masyarakat nelayan, terutama nelayan marjinal menghadapi apa yang disebut sebagai highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan sukses).

Highliner adalah nelayan atau kelompok nelayan yang memiliki kelebihan skill dan modal yang cenderung memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari nelayan umumnya. Dengan melihat kelompok mereka ini, sering timbul ilusi pada nelayan kebanyakan bahwa suatu saat merekapun akan menjadi kaya seperti

highliner tadi. Ilusi ini pulalah yang menyebabkan terjadinya sticky labor force dimana ekses tenaga kerja di sektor perikanan sulit dikurangi. Pada akhirnya sulit bagi mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan (poverty trap).

Ketiga, usaha perikanan mengalami apa yang disebut sebagai cycle

asymmetry atau siklus yang non simetrik. Copes22 seorang perintis teori ekonomi perikanan mengemukakan karakteristik sifat ini dari sifat kapital perikanan yang

irreversible (sulit ditarik kembali). Usaha perikanan mengalamai fluktuasi yang diakibatkan oleh faktor alam.

22

Copes. P. 1986. “Prawn Fisheries Management in South Australia with Specific Reference to Problems in Gulf St. Vincent and Investigator Strait”. Technical Report. Departemen of Fisheries. Adelide.

Keempat, Copes juga mengemukakan bahwa kemiskinan yang persisten disebabkan pula sulitnya penyesuain terhadap produktivitas (adjustment to

productivity gains) dimana pergerakan surplus tenaga kerja di sektor perikanan sangat bersifat dapat balik (reversible). Dengan sifat rejim open acces, nelayan bisa kembali ke komunitasnya dimana ia memperoleh free access atas sumberdaya perikanan.

Kelima, sektor perikanan seperti halnya sektor primer lainnya sering mengalami masalah finansial. Seperti kurangnya modal serta sulitnya akses ke lembaga keuangan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah di negara berkembang sering memberikan bantuan berupa kredit ringan atau subsidi untuk meningkatkan investasi berupa kapal dan alat. Namun ternyata, kebijakan ini sering menjadi tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Fenomena yang disebut sebagai perverse assistance telah terbukti terjadi di beberapa negara maju sekalipun. Sebagai contoh, pada tahun 1981 pemerintah Selandia Baru menyadari bahwa susbsidi yang mereka berikan ke sektor perikanan justru menyebabkan industri perikanan yang overcapitalized dan telah menyebabkan economic

overfishing dimana armada yang makin banyak justru menghasilkkan produksi perikanan yang makin sedikit. Permasalahan ini terjadi juga di Indonesia, dimana program motorisasi atau yang dikenal dengan istilah revolusi biru (blue

revolution) misalnya, justru menimbulkan dampak overcorwded bagi nelayan khususnya di pantai utara Jawa dan nasib mereka tidak lebih baik dari sebelumnya.

Dengan melihat kompleks permasalahan yang menyebabkan kemiskinan nelayan, nampaknya pemerintah akan sulit mendapatkan obat mujarab untuk menuntaskan kemiskinan nelayan tersebut. Namun paling tidak ada beberapa strategi kunci yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi kemiskinan nelayan baik secara kualitas maupun kuantitas, diantara yaitu 23:

Pertama, spek ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat krusial, karena disinilah bermuara persoalan kemiskinan. Assessment terhadap sumberdaya perikanan nampaknya perlu dipikirkan kembali. Dengan berdasar pada maximum sustainable yield (MSY), klaim potensi perikanan sebesar 6.2 juta ton per tahun menimbulkan dua konsekensi. Satu, dengan potensi sebesar itu dan produksi yang kurang lebih masih 4 juta ton saat ini, bisa menimbulkan interpretasi peningkatan produksi. Kenyataannya jika dihitung dengan kegiatan illegal fishing dan unreported fishing (penangkapan yang tidak dilaporkan), maka angka 6.2 juta tersebut sudah pasti akan terlewati. Dua, sebagaimana dikemukakan oleh bioekonom terkemuka Collin Clark, MSY sama sekali mengabaikan aspek ekonomi. Dengan demikian, look at the resource first

and its economic consequences haruslah menjadi kata kunci pertama dalam program pengentasan kemiskinan nelayan.

Kedua, economic overfishing (tangkap lebih secara ekonomi) merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan kita dan timbulnya kemiskinan di wilayah pesisir, di samping biological overfishing (tangkap lebih secara biologi). Dengan demikian, strategi yang menyangkut ke arah tersebut dipikirkan secara matang. Salah satunya adalah dilakukannya Adaptive Rationalization yang

23

merupakan hybrid dari instrument ekonomi yang berdasar pasar (market mechanisme) dengan penguatan kelembagaan lokal. Karena dalam perikanan yang terkendali sekalipun, rent dissipation (hilangnya rente ekonomi) dapat terjadi jika rasionalisai perikanan hanya dilakukan berdasarkan mekanisme pasar belaka seperti kuota dan limited entry.

Ketiga, sebagaimana diuraikan pada sintesis kemiskinan, kalau ditarik resultan dari persoalan siklus non simetris dan sulitnya penyesuaian terhadap

productivity gain maka strategi investasi yang tepat akan dapat membantu mengurangi kemiskinan di sektor perikanan. Namun harus dipahami benar, strategi investasi di perikanan, khususnya perikanan pesisir sangat unik karena terkait dengan karakteristik sumberdaya perikanan yang unik pula.

Keempat, karena anatomi kemiskinan nelayan terkait dengan perverse

assistance seperti halnya subsidi, maka strategi subsidi yang tepat akan mengurangi tekanan kemiskinan. Fauzi (2002) secara detail telah mengupas masalah strategi subsidi ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiskinan dapat dikurangi jika strategi subsidi dilakukan dengan pengelolaan input yang terkendali (perfectly constrained effort management) dan good subsidy dapat dilakukan pada perikanan yang sudah overcapacity sehingga rente ekonomi bisa dibangkitkan kembali yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan nelayan dalam jangka panjang. Pemberian kredit adalah salah kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan, grant, dsb) maupun pelayanan umum (pembangunan infrastuktur). Dalam kaitannya dengan sektor perikanan,

subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama menjadi bahan perdebatan mengingat implikasinya terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri.

Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara komrehensif oleh Milazzo (1998) dalam Fauzi (2002) menunjukkan bahwa secara global subsidi yang diberikan kepada perikanan baik dalam bentuk skim kredit mapun grant mencapai antara US$ 14 hingga 20 milyar yang setara dengan 17% sampai 25% dari total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan subsidi sebesar itu telah menyebab terjadinya overcapacity dibidang perikanan. Arnason (1999) dalam Fauzi (2002) lebih jauh mengatakan bahwa subsidi yang diberikan pada perikanan yang nota bene merupakan sumberdaya yang bersifat common property justru akan hanya menimbulkan economic waste.

Dengan demikian, kebijakan subsidi baik dalam bentuk grant maupun kredit harus disikapi secara cermat dan hati-hati. Fauzi (2002) mengingatkan, keberpihakan pemerintah dalam kredit perikanan hendaknya tidak dilihat dari besarnya kredit yang diberikan maupun program kredit yang diluncurkan, namun harus dilihat secara menyeluruh, misalnya dalam pola subsidi yang lain seperti

subsidi harga yang dampak distortifnya secara ekonomi relatif lebih kecil. Mengingat, dalam jangka pendek, kebijakan kredit di bidang perikanan dapat meningkatkan produktivitas. Namun demikian, dalam jangka panjang, meningkatnya angka produksi tersebut dihadapkan (vis a vis) pada penurunan hasil tangkapan yang berujung pada overfishing. Hal ini dikarenakan, sifat sumberdaya perikanan yang sangat khas. Fenomena ini dapat kita lihat di pantai

utara Jawa, dimana produktifitas nelayan mengalami penurunan dengan berkurangnya sumberdaya ikan serta daerah fishing ground yang semakin jauh.

Dokumen terkait