• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI

ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA

D. Kebijakan di ZEEI Selama Ini

Hingga saat ini, sekitar 6.000 kapal asing masih melakukan aktivitas penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Tentu saja, keberadaan kapal asing tersebut mendapat pengakuan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1985 disebutkan bahwa: “Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan, bahwa “Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku”. Dengan demikian, secara terang-terangan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 9 Tahun 1985, Pemerintah Indonesia membuka kran kapal asing untuk terlibat dalam mengeksploitasi sumberadaya ikan Indonesia yang ada di ZEEI.

Pengakuan terhadap keberadaan kapal asing di ZEEI oleh UU No. 9 Tahun 1985 dilanjutkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang merupakan revisi UU No. 9 Tahun 1985. Pada Pasal 29 ayat (1) disebutkan

“Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 29 ayat (2), disebutkan bahwa “Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku”.

Selain itu, pengakuan terhadap keberadaan kapal asing dalam melakukan penangkapan ikan di ZEEI juga diakui oleh UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada Pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan eksploitasi suatu sumberdaya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya”.

Sebagai turunan atau peraturan pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1983, maka keterlibatan kapal asing di ZEEI diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pada Pasal 2 ayat (3) PP No. 15 Tahun 1984 disebutkan bahwa, “Dalam rangka meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia, orang atau badan hukum Indonesia yang bergerak dibidang usaha perikanan Indonesia dapat mengadakan kerja sama dengan orang atau badan hukum asing dalam bentuk usaha patungan atau bentuk kerja sama lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dengan berdasar pada ketentuan-ketentuan di atas yang mengakui keberadaan kapal asing di ZEEI, maka kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, yang waktu itu dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, diantaranya yaitu: (1) pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan nasional; (2) skema sewa (charter); (3) sewa-beli (leasing); dan (4) skema kemitraan (joint

venture). Keempat skim tersebut disederhanakan menjadi tiga, yaitu sewa-beli,

joint venture dan lisensi. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah ini mendapatkan berbagai kritikan dari beberapa pakar ekonomi dan pakar perikanan.

Menurut mereka, kebijakan pemerintah yang dulu diberikan oleh Menteri Pertanian yang kemudian dilanjutkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dalam membolehkan kapal asing menangkap ikan di ZEEI harus dikaji kembali secara komprehensif karena mengandung beberapa kelemahan, khususnya kelemahan data statistik perikanan yang digunakan sebagai dasar dan terbatasnya sistem pengawasan (Kusumastanto, 2003). Kusumastanto lebih jauh menjelaskan, bahwa bila ditinjau dari perspektif rente ekonomi, kebijakan ini hanya memberikan keuntungan pada pengusaha asing dan nasional yang akan memanfaatkan apabila rente yang dibayarkan kepada negara tidak sepadan. Di dalam ekonomi sumberdaya perikanan, rente sumberdaya perikanan (fishery resource rent)

diartikan sebagai nilai manfaat bersih dari pemanfaatan sumberdaya perikanan setelah seluruh komponen biaya diperhitungkan. Lebih dari itu, tanpa diimbangi oleh pengawasan yang ketat, kebijakan ini dikhawatirkan menimbulkan gejala tangkap lebih (overfishing) dan terjadi konflik antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing.

Sementara itu, apabila menggunakan kebijakan publik dalam membahas kebijakan mengenai pengelolaan di ZEEI selama ini, maka masalah yang akan timbul diantaranya menurut Kusumastanto24 yaitu:

1. Kebijakan Lisensi

Pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan nasional yang hanya menjadi agen bagi pengusaha asing untuk menangkap ikan di ZEEI merupakan sesuatu yang beresiko terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di ZEEI. Dalam mekanisme kebijakan seperti ini, tidak ada instrumen, pendukung yang mengefektifkan kebijakan pada tataran implementatif, baik berupa insentif maupun disinsentif. Oleh karena itu, mekanisme kebijakan pemberian lisensi akan sangat dengan mudah disalahgunakan atau diselewengkan oleh para pemburu rente, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan overfishing sebagaimana kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang menghancurkan sumberdaya hutan.

24

Kusumastanto, Tridoyo. 2003. “Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah”. Garamedia, Jakarta.

2. Kebijakan Charter dan Leasing

Kebijakan skema sewa (charter) dan sewa-beli (leasing) yang memberikan kesempatan kepada perusahaan perikanan nasional untuk menyewa kapal asing. Perbedaan skema charter dan leasing adalah bahwa kapal yang disewa-belikan pada akhirnya akan dimiliki oleh perusahaan perikanan nasional. Masalahnya adalah, jangan sampai kebijakan ini dengan skema ini hanya menduplikasi model masa lalu yang implikasinya menghancurkan sumberdaya perikanan nasional dan merugiakan nelayan lokal. Secara faktual, pengusaha perikanan domestic yangmenggunakan fasilitas semacam ini di masa lalu hanya menjadi “mafia” yang dibecking oleh institusi kekuasaan. Selain itu, persoalan kedua skema ini adalah lemahnya mekanisme perlindungan dan pengawasan serta sanksi yang dikenakan kepada pengguna kapal asing di ZEEI, sehingga lagi-lagi tidak ada jaminan bagi terciptanya kelestarian sumberdaya ikan di ZEEI.

3. Kebijakan Joint Ventura

Skema kemitraan (Joint Ventura) yang dilakukan oleh pengusaha perikanan nasional dan pengusaha pemilik kapal ikan asing. Dalam skema

kebijakan ini, pengusaha domestic yang bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing harus memenuhi syarat bahwa ia mempunyai kapal penangkap ikan. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka pengusaha perikanan domestic akan mendapatkan izin untuk bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing. Resiko selama ini adalah orang atau badan hukum domsetik yang akan bermitara dengan pihak asing bisa saja tidak memiliki kapal, tetapi menggunakan kapal ikan pengusaha perikanan lain, sehingga mendapatkan izin penggunaan kapal ikan berbendera asing. Dengan demikian, pengusaha perikanan nasional hanya menjadi broker pengusaha kapal ikan asing.

Dengan meminjam istilah neo-marxis, apabila ketiga kebijakan di atas tidak disertai dengan dukungan instrumen kelembagaan kuat, model kebijakan ini hanya melegitimasi “gejala kompradorisasi”25 . Oleh karena itu, agar pemanfaatan sumberdaya perikanan di ZEEI menciptakan kelestarian, maka diperlukan kebijakan yang tepat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menertibkan kapal asing tersebut, menurut Akhmad Fauzi26 : Pertama adalah melakukan decommissioning yaitu mencoba memisahkan dengan jelas mana kapal bendera Indonesia dan mana kapal berbendera asing dengan cara phasing out. Dalam langkah ini, hanya ada dua jenis armada yang beroperasi yakni asing atau domestik. Saat ini kapal-kapal

25

Kusumastanto. 2003 Ibid.

26

Fauzi. Akhmad. 2005. “Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sentesisi dan Gagasan”. Gramedia. Jakarta.

yang berada diantara keduanya (status yang tidak jelas) seperti kapal asing tapi berbendera Indonesia atau kapal Indonesia tapi awak asing harus mulai dipertegas statusnya melalui decommissioning.

Kedua menentukan besaran Total Allowable Level of Foreign Fishing (TALFF), yakni surplus sumberdaya di wilayah ZEEI yang dihitung berdasarkan selisih kelebihan Optimum Sustainable Yield (OSY) dengan kapasitas penangkapan dalam negeri (domestik).

Ketiga menentukan estimasi permulaan (initial estimate) untuk access fee berdasarkan alat tangkap, jenis ikan, tonase kapal, dan daerah penangkapan. Estimasi ini akan terus disesuaikan secara berkala dengan masuknya data yang lebih akurat mengenai dinamika SDA perikanan dan pemanfaatannya.

Keempat membangun sistem monitoring, control, dan enforcement yang dapat menggambarkan dinamika keberadaan dan pemanfaaatan sumberdaya perikanan baik secara nasional maupun regional.

Kelima mengadakan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara yang berminat dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia. Kerjasama ini bertujuan saling menguntungkan dan bersama-sama melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal.

Sementara itu, mengenai keberadaan kapal asing di ZEEI, Menteri Fredi Numberi mengeluarkan kebijakan yang membebaskan kapal asing dari ZEEI pada akhir tahun 2007, yaitu untuk kapal Filipina, pemerintah bahkan sudah

menghentikan izinnya mulai 5 Desember 2005 yang lalu. Sementara untuk kapal Thailand akan dihentikan izinnya tahun 2006, dan Cina pada 2007. Namun demikian, terbebasnya perairan ZEEI pada tahun 2007 bukan berarti pemerintah mengusir semua kapal asing, karena pemerintah masih memberi kesempatan kepada mereka untuk berlayar dan mencari ikan di perairan Indonesia. Syaratnya, pemilik kapal-kapal asing itu harus membangun industri perikanan di Indonesia, bekerja sama dengan pengusaha Indonesia. Selain itu, awak kapalnya harus berasal dari Indonesia. Mengenai kebijakan ini, kembali harus kita cermati secara komprehensif, apakah armada tangkap nasional sudah siap mengisi kekosongan armada tangkap asing? Lantas apa yang harus disiapkan saat ini guna menghadapi kekosongan armada tangkap asing tersebut?

Dokumen terkait