• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 1 Konsep Daya Saing

3.1.4. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah biasanya diterapkan untuk melindungi produk dalam negeri terhadap produk luar negeri dan juga biasanya untuk meningkatkan ekspor produk dalam negeri. Kebijakan tersebut biasanya bertujuan untuk memperbaiki kegagalan pasar, yang biasanya diberlakukan untuk input dan output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Secara garis besar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terdiri dari dua bentuk, yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi ini terdiri dari dua bentuk, yakni subsidi positif dan subsidi negatif atau biasa disebut dengan pajak. Kemudian kebijakan hambatan perdagangan yakni berupa tarif dan kuota.

Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi, dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas. Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input

pertanian. Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi kelompok seperti produsen, pedagang, dan konsumen dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu dilakukan (Pearson et al. 2005).

53 Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa kebijakan harga (price policies) dibedakan menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrument, penerimaan yang akan diperoleh, dan tipe komoditi. Implementasi dari kebijakan ini nantinya akan dapat mempengaruhi kemampuan negara dalam memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi konsumen dan produsen dalam negeri.

1) Tipe Instrumen

Pada tipe instrumen ini terdapat dua kebijakan, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah atau untuk pemerintah. Pembayaran yang berasal dari pemerintah disebut dengan subsidi positif, sedangkan pembayaran untuk pemerintah disebut dengan subsidi negatif atau biasa disebut dengan pajak. Subsidi dilakukan untuk melindungi baik konsumen maupun produsen dengan menciptakan harga dalam negeri atau domestik agar berbeda dengan harga yang berlaku di internasional. Kebijakan perdagangan merupakan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah pada ekspor atau impor suatu komoditi tertentu. Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Menurut Salvatore (1997) tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diimpor atau diekspor. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah sejak lama. Sedangkan kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non-tarif yang paling penting, dimana dimana adanya pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota dapat digunakan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu, atau bisa juga untuk melindungi sektor pertanian. Tujuan dilakukannya kebijakan tersebut adalah untuk menciptakan perbedaan harga yang terjadi di pasar domestik dengan harga yang terjadi di pasar internasional dan juga untuk membatasi kuantitas barang yang masuk ke dalam negeri (barang impor).

2) Kelompok Penerimaan

Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen.

54 Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah.

3) Tipe Komoditi

Tujuan dengan adanya pengklasifikasian tipe komoditi adalah untuk membedakan komoditi mana yang dapat diekspor dan komoditi yang dapat diimpor. Tidak adanya kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga internasional, sehingga harga yang digunakan untuk ekspor adalah fob atau harga pelabuhan, sedangkan harga yang digunakan untuk impor adalah cif atau harga di pelabuhan pengekspor. Namun apabila diberlakukan kebijakan untuk barang ekspor dan impor maka harga yang terjadi di pasar domestik akan berbeda dengan harga fob dan cif.

3.1.4.1. Kebijakan Output

Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan

Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Kebijakan terhadap output dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor baik berupa subsidi positif maupun subsidi negatif atau pajak. Berikut dampak yang diberikan dengan adanya subsidi positif terhadap produsen pada barang impor dan ekspor dapat dilihat pada Gambar 1. P P Pp H B S S Pw G E F A Pp A Pw C B D D Q1 Q2 Q3 Q Q2 Q1 Q3 Q4 Q

(a) S+/PI (b) S+/PE

Gambar 1. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen Barang Impor dan Ekspor Sumber : Monke and Pearson (1989)

55 Gambar 1(a) merupakan gambar subsidi positif yang ditujukan untuk produsen barang impor. Adanya subsidi positif ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat, sedangkan jumlah impor akan menurun. Hal ini disebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri di dalam negeri. Pada Gambar 1(a) output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 dan jumlah impor menurun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2, sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Besarnya subsidi per output sebesar (Pp - Pw) pada tingkat output Q2, sehingga transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp - Pw) atau PpABPw. Biaya korbanan jika barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri di dalam negeri adalah sebesar Q1CAQ2, sedangkan jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Sehingga efesiensi yang hilang dengan adanya subsidi tersebut adalah sebesar CAB.

Gambar 1(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi mengakibatkan output produksi dalam negeri dan jumlah ekspor meningkat yakni dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH.

3.1.4.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input asing (Tradable) dan input domestik (Non Tradable). Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun subsidi negatif atau pajak, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input asing (Tradable) karena input domestik (Non Tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.

a) Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input Tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input Tradable ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini.

56 P P S’ S’ S C S Pw A C Pw A B B D D Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q (a) S-/Pt (b) S+/Pt

Gambar 2. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable

Sumber : Monke and Pearson (1989)

Gambar 2(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input Tradable yang digunakan. Pajak pada input akan menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun, yakni dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran (supply) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1.

Gambar 2(b) menunjukkan dampak subsidi pada input Tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input Tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga produksi meningkat, yakni dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran bergeser ke bawah (S’). Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang betambah setelah menigkatnya output dengan peningkatan nilai output.

b) Kebijakan Input Non Tradable

Kebijakan input Non Tradable dapat berupa kebijakan subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Dampak kebijakan subsidi dan pajak pada input Non Tradable dapat dilihat pada gambar 3.

57 P P C S S Pc Pp C Pd B A Pd A B Pp E Pc E D D Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q (a) S-/Pnt (b) S+/Pnt Keterangan :

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan subsidi dan pajak Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan subsidi dan pajak

Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi dan pajak Gambar 3. DampakSubsidi Dan Pajak Pada Input Domestik

Sumber: Monke and Pearson (1989)

Gambar 3(a) menunjukkan dampak pajak pada input Non Tradable,

dimana sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi tingkat harga keseimbangan yang terjadi berada pada Pd dan dengan tingkat output keseimbangan sebesar Q1. Pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2, begitu juga harga yang diterima produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Besaran efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen yakni sebesar BEA dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA.

Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input Non Tradable,

dimana sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi tingkat harga keseimbangan yang terjadi berada pada Pd dan dengan tingkat output keseimbangan sebesar Q1. Adanya subsidi ini akan menyebabkan produksi meningkat dari dari Q1 menjadi Q2. Harga yang diterima produsen akan meningkat menjadi Pp sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akan turun menjadi Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABE.

3.1.5. Teori Policy Analysis Matrix (PAM)

Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM), yaitu matrik yang berfungsi untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan

58 pemerintah terhadap suatu komoditi. Metode Policy Analysis Matrix (PAM) dikemukakan oleh Monke dan Pearson pada tahun 1989. Menurut Monke dan Pearson (1989), Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditas yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolah, dan pemasaran.

Menurut Indriyati (2007), metode PAM dapat mengidentifikasi tiga analisis, yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif), dan analisis dampak kebijakan. Dalam metode PAM terdapat asumsi-asumsi yang digunakan, antara lain :

1) Perhitungan berdasarkan Harga Privat (Privat Cost), yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.

2) Perhitungan berdasarkan Harga Sosial (Sosial Cost) atau Harga Bayangan (Shadow Price), yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. Pada komoditas yang dapat diperdagangkan (Tradable), harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.

3) Output bersifat Tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing (Tradable) dan domestik (Non Tradable).

4) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.

Tiga tujuan utama dari metode PAM yakni memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat atau sebuah ukuran dayasaing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Sehingga dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai sistem usahatani lainnya memungkinkan kita untuk melakukan urutan daya saing pada tingkat harga aktual untuk berbagai sistem usahatani tersebut. Kemudian tujuan kedua dari anallisis PAM ialah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, dimana dihasilkan dengan menukar

output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (sosial opportunity cost). Tujuan terakhir dari analisis PAM ialah menghitung transfer effect, sebagai dampak dari

59 sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya sebelum dan sesudah penerapan kebijakan kita bisa menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Metode PAM menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output

maupun faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) (Pearson et al. 2005).

Tabel 5. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Uraian Penerimaan Output

Biaya Input

Keuntungan

Tradable Non Tradable

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak

Kebijakan I J K L

Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan :

A : Penerimaan Privat G : Biaya Input Non Tradable Sosial

B : Biaya Input Tradable Privat H : Keuntungan Sosial

C : Biaya Input Non Tradable Privat I : Transfer Output

D : Keuntungan Privat J : Transfer Input Tradable

E : Penerimaan Sosial K : Transfer Faktor

F : Biaya Input Tradable Sosial L : Transfer Bersih

3.1.5.1. Analisis Keuntungan

1) Keuntungan Privat (PP) PP = D = A - B - C

Secara finansial kegiatan usahatani akan layak untuk diteruskan, jika keuntungan privat lebih besar atau sama dengan nol, sebaliknya bila kurang dari nol maka usahatani tersebut rugi.

2) Keuntungan Sosial (PS) PS = H = E - F - G

Secara ekonomi pengusahaan suatu komoditas layak untuk diteruskan, jika nilai keuntungan sosial lebih dari satu atau sama dengan nol dan jika nilainya kurang dari nol maka kegiatan usahatani tersebut tidak layak untuk diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian.

60 3.1.5.2. Analisis Efisiensi (Keunggulan Komparatif dan Kompetitif)

1) Rasio Biaya Privat (PCR) PCR

Jika PCR memiliki nilai lebih kecil dari satu, maka suatu komoditas akan memiliki keunggulan kompetitif, yang berarti untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan.

2) Rasio Biaya Sumber Daya (DRC) DRC

Jika DRC memiliki nilai lebih kecil dari satu, maka suatu pengusahaan komoditas tertentu akan memiliki keunggulan komparatif, yang berarti pengusahaan komoditas tersebut memiliki efisiensi secara ekonomi.

3.1.5.3. Dampak Kebijakan Pemerintah

1) Kebijakan Output a) Transfer Output (TO)

TO = I = A - E

Transfer Output menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output yang menyebabkan harga output privat dan sosial berbeda. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai transfer Output yang positif berarti masyarakat harus membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih besar dari harga yang seharusnya diterima.

b) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NPCO

61 Koefisien Proteksi Output Nominal digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Apabila nilai NPCO lebih kecil dari satu maka menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa pajak.

2) Kebijakan Input a) Transfer Input (TI)

TI = J = B - F

Nilai Transfer Input yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah keuntungan yang diterima secara finansial llebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

b) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)

NPCI =

Nilai Koefisien Proteksi Input Nominal lebih dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sector yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi menggunakan input local.

c) Transfer Faktor (TF) TF = K = C - G

Nilai Transfer Faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable, dimana jika nilai TF positif maka terdapat subsidi negatif atau pajak pada input non tradable, sedangkan jika TF memiliki nilai negatif maka terdapat subsidi positif pada input non tradable.

62 3.1.5.4. Kebijakan Input - Output

1) Koefisien Proteksi Efektif (EPC)

EPC =

Nilai Koefisien Proteksi Efektif menunjukkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan tingginya proteksi pemerintah dalam sistem produksi suatu komoditas, sedangkan jika nilai EPC kurang dari satu menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah.

2) Transfer Bersih (TB) TB = L = D – H

Nilai transfer bersih menunjukkan ketidakefisienan dalam sistem produksi. Jika TB memiliki nilai lebih besar dari nol maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil dari nol akan menunjukkan keadaan yang sebaliknya.

3) Koefisien Keuntungan (PC) PC =

Nilai koefisien keuntungan menunjukkan dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan yang diterima oleh produsen. Jika nilai PC kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dari pada tanpa adanya kebijakan. Sebaliknya, jika nilai PC lebih dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar.

4) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)

SRP =

63 Nilai SRP kurang dari nol menunjukkan kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. Namun jika nilai SRP lebih dari nol menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi.

3.1.6. Analisis Sensitivitas

Sifat dari metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang kaku atau statis, menyebabkan tidak bisa dilakukannya simulasi untuk kemungkinan perubahan- perubahan pada faktor usahatani, misalnya perubahan pada variabel-variabel biaya atau penerimaan. Sehingga untuk mereduksi kelemahan dari metode ini maka dilakukanlah analisis sensitivitas.

Analisis sensitivitas merupakan suatu alat dalam menganalisis pengaruh- pengaruh risiko yang ditanggung dan ketidakpastian dalam analisa proyek (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil dari suatu kegiatan ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan terhadap faktor- faktor dalam perhitungan biaya atau benefit. Menurut Kadariah (1988), analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing terpisah atau dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan- perubahan tersebut, dan menentukan dengan berapa suatu unsur harus berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

Pada bidang pertanian, kegiatan ekonomi atau proyek-proyek biasanya sensitif akibat empat masalah utama, yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan hasil (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas membantu dalam menentukan unsur-unsur sensitif yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Menurut Yusran (2006), Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan analisis sensitivitas adalah :

1) Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu.

64 2) Analisis sensitivitas hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif jeruk siam di Kabupaten Garut, serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut.

Tahap pertama dalam penelitian ini adalah menganalisis bagaimana daya saing pada komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Melalui hasil PAM tersebut dapat diketahui keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas jeruk siam. Keunggulan kompetitif tercermin dari nilai keuntungan privat (PCR) dan rasio biaya privat sedangkan keunggulan komparatif tercermin dari keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC).

Kemudian tahap selanjutnya adalah menaganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Pendekatan yang dilakukan juga melalui Matriks Kebijakan pemerintah (PAM). Pada analisis tersebut akan diketahui kebijakan yang berkaitan dengan input antara lain Transfer Input (TI), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). Kebijakan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Kebijakan gabungan antara input dan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Bersih (TB), Keofisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsisi Produsen (SRP).

Tahap terakhir yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena metode PAM hanya memberlakukan satu harga sedangkan harga yang terjadi sebenarnya sangat bervariasi. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat konsistensi kelayakan dari suatu kegiatan ekonomi secara sistematis atau untuk melihat apa yang akan

65 terjadi pada hasil suatu kegiatan ekonomi apabila terdapat perubahan pada variabel-variabel biaya atau benefit. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah variabel input output yang berdasarkan asumsi kondisi yang mungkin terjadi di tempat penelitian dan dengan mengubah besaran masing-masing variabel dengan besaran persentase perubahan yang sama. Adapun penetapan skenario yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1)

Pelemahan nilai mata uang rupiah (depresiasi) dan penguatan nilai mata uang rupiah (apresiasi) sebesar lima persen. Depresiasi dan apresiasi sebesar lima persen ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi kurs mata uang rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika pada tahun 2010.

2)

Kenaikan dan penurunan harga jeruk siam sebesar sepuluh persen. Fluktuasi harga jeruk siam ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian pada tahun 2010.

3)

Kenaikan harga pupuk bersubsidi ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 mengenai kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi, dimana kenaikan harga pupuk urea sebesar 33 persen, pupuk SP-36 sebesar 29 persen dan pupuk ZA sebesar 33 persen.

Skema kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

i

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional

1. Persaingan dengan jeruk siam impor dan peluang ekspor 2. Potensi Kabupaten Garut sebagai sentra produksi Jeruk Siam

3. Peran Pemerintah dalam mengembangkan Jeruk Siam di Kabupaten Garut

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Buah Jeruk Siam di Kecamatan

Samarang

PAM

(Policy Analysis Matrix)

Analisis Daya Saing Jeruk Siam Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Analisis Keunggulan Kompetitif (PP, PCR) Analisis Keunggulan Komparatif (SP, DRC) Analisis Kebijakan Input (TI,TF,NPCI) Analisis Kebijakan Output (TO,NPCO) Analaisis Kebijakan Input- Output (TB,EPC,PC,SRP)

Daya Saing Jeruk Siam dan Dampak

Kebijakan Pemerintah

Analisis Sensitivitas

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Samarang. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Garut merupakan sentra produksi jeruk dan juga sentra produksi jeruk siam di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah produksi jeruk keprok/siam sebesar 10.758,1 Ton dari total produksi jeruk keprok/siam Jawa Barat sebesar 23.732 Ton.

Selanjutnya dipilihnya Kecamatan Samarang sebagai lokasi penelitian karena lokasi tersebut merupakan sentra utama jeruk siam di Kabupaten Garut. Berdasarkan data realisasi luas tanam (sisa tanaman akhir) dan produksi jeruk siam di Kabupaten Garut pada tahun 2010, Kecamatan Samarang merupakan sentra utama jeruk siam terbesar dengan jumlah 148.977 pohon atau 22,48 persen dari luas tanam total di Kabupaten Garut. Selain itu jumlah produksi jeruk siam di Kecamatan Samarang pada tahun 2010 mencapai 3314 Ton atau meliputi 36,09 persen dari total produksijeruk siam di Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan

Dokumen terkait