III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis
3.1.2. Kebijakan Pemerintah
Sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh pada saat alokasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah keuntungan yang maksimum dan alokasi barang dan jasa memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan mengacu pada distribusi pendapatan antara berbagai golongan atau wilayah, yang menjadi target pembuat kebijakan.
Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et al, 2004).
Terdapat dua bentuk kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tiga tujuan tersebut, yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak.
Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor terhadap suatu komoditi melalui pemberlakuan tarif atau kuota.
Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari harga di pasar dunia.
Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengenai Perjanjian Pertanian atau Agrement on Agricultural (AoA) maka setiap negara anggota harus mengurangi distorsi-distorsi perdagangan pertanian, seperti subsidi domestik, subsidi ekspor dan akses pasar. Untuk subsidi domestik, dalam pelaksanaannya diuraikan 'menjadi tiga kotak perlakuan yaitu kotak hijau (green box), kotak kuning (amber box) dan kotak biru (blue box). Perlakuan pada kotak hijau meliputi kebijakan bantuan pertanian secara umum, seperti penelitian dan pengembangan, pengendalian hama dan penyakit, keamanan pangan serta bantuan pangan domestik. Perlakukan pada kotak hijau menghasilkan dampak yang minimum terhadap perdagangan dan dikecualikan dari setiap komitmen pengurangan.
Perlakuan pada kotak kuning meliputi kebijakan bantuan harga tertentu yang ditujukan kepada petani. Perlakukan ini dihitung pada produk dengan dasar
produk dan harus diturunkan sebesar 20 persen untuk negara maju hingga tahun 2000 dan 13.3 persen untuk negara berkembang hingga tahun 2004. Sedangkan untuk negara kurang berkembang dikecualikan dari ketentuan ini. Perlakuan pada kotak biru adalah pembayaran langsung di bawah program pembatasan produksi dan bebas dari pengurangan. Hal ini tidak perlu dikurangi karena dianggap berhubungan dengan faktor produksi tetapi tidak untuk dikaitkan dalam hal penetapan harga dan volume hasil.
Kesepakatan lain dalam perjanjian WTO adalah pengurangan subsidi ekspor sebesar 66.67 persen untuk negara berkembang dalam 10 tahun dan pengurangan volume dan pengeluaran anggaran masing-masing 20 persen dan 36 persen dalam enam tahun untuk negara maju. Kesepakatan terakhir dari perjanjian pertanian adalah bahwa semua anggota WTO harus mengubah hambatan non-tarif menjadi hambatan tarif dan menetapkan tingkat minimal untuk pangsa impor.
Adanya berbagai kesepakatan di atas maka setiap negara anggota WTO wajib memenuhi semua kewajiban yang diharuskan melalui penetapan kebijakan pemerintah yang sesuai dengan perjanjian tersebut. Setiap kebijakan subsidi maupun kebijakan perdagangan akan berdampak pada output maupun input suatu komoditi yang diproduksi oleh suatu negara.
a. Kebijakan Terhadap Harga Output
Intervensi pemerintah pada kebijakan output dibagi menjadi delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang menampilkan dua instrumen kebijakan harga output, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan
oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak. Subsidi (positif dan negatif) bertujuan untuk membuat perbedaan antara harga domestik dan harga di pasar dunia dalam rangka melindungi produsen dan konsumen dalam negeri.
Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Output Instrumen Dampak terhadap Produsen Dampak terhadap
Kebijakan perdagangan merupakan pembatasan yang diterapkan pada impor maupun ekspor suatu komoditi. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri karena harga domestik lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan mempunyai perbedaan pada tiga aspek, yaitu implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan dan tingkat kemampuan penerapan (Monke and Pearson, 1989). Adapun berbedaan tersebut adalah:
1. Implikasi pada anggaran pemerintah
Kebijakan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah karena pemerintah harus mengeluarkan dana untuk subsidi komoditi yang bersangkutan.
Kebijakan subsidi negatif atau pajak akan menambah anggaran pemerintah, karena pemerintah mendapat tambahan penerimaan dari para wajib pajak.
Sedangakan, kebijakan perdagangan tidak mempunyai dampak terhadap anggaran pemerintah.
2. Tipe alternatif kebijakan
Kebijakan subsidi mempunyai delapan tipe alternatif kebijakan, yaitu : a. Subsidi positif terhadap produsen barang impor.
b. Subsidi negatif terhadap produsen barang impor.
c. Subsidi positif terhadap produsen barang ekspor.
d. Subsidi negatif terhadap produsen barang ekspor.
e. Subsidi positif terhadap konsumen barang impor.
f. Subsidi negatif terhadap konsumen barang impor.
g. Subsidi positif terhadap konsumen barang ekspor.
h. Subsidi negatif terhadap konsumen barang ekspor.
Kebijakan perdagangan terdiri dari dua tipe alternatif kebijakan, yaitu : a. Hambatan terhadap barang impor.
b. Hambatan terhadap barang ekspor.
3. Tingkat kemampuan penerapan.
Kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan terhadap komoditi yang tradable atau komoditi yang diekspor dan diimpor. Sedangkan kebijakan subsidi, dapat diterapkan ke semua komoditi baik komoditi tradable maupun komoditi non
tradable. Salah satu kebijakan yang banyak diterapkan pemerintah adalah kebijakan subsidi positif' terhadap produsen barang impor. Pemerintah menginginkan pertumbuhan output hasil pertanian dalam negeri dan melakukan subsidi terhadap produksi komoditi tersebut dari anggaran pemerintah.
Gambar 1. Subsidi Positif terhadap Produsen Barang Impor
Sumber: Monke and Person, 1989
Kebijakan subsidi positif terhadap produsen barang impor akan meningkatkan transfer kepada produsen menjadi Pp lebih yang tinggi dari harga internasional Pw. Hal ini akan menyebabkan peningkatan output domestik dari Q1
menjadi Q2. Konsumsi domestik tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar tersebut menciptakan adanya efisiensi yang hilang dalam ekonomi. Hal tersebut
P
dikarenakan pemerintah tidak memilih penggunaan sumberdaya yang langka untuk dialokasikan pada tingkat harga yang terbentuk sebesar Pw.
Biaya impor untuk komoditi Q2 – Q1 adalah sebesar Q1CBQ2. Kebijakan subsidi oleh pemerintah akan meningkatkan produksi domestik untuk mensubstitusi jumlah impor dengan nilai sumberdaya domestik yang digunakan memproduksi sebesar Q2 – Q1 adalah area di bawah kurva penawaran, yaitu Q1CAQ2. Efisiensi yang hilang akibat adanya subsidi positif terhadap produsen barang impor dapat ditunjukkan dengan perbedaan antara biaya sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan produksi domestik Q1CAQ2 dengan opportunity cost dari impor sebesar Q1CBQ2, atau area CAB.
b. Kebijakan Terhadap Harga Input
Selain kebijakan terhadap output, kebijakan pemerintah juga diterapkan pada input (pupuk, pestisida, dan sebagainya) baik input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan.
Intervensi pemerintah pada input non tradable berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input tersebut hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah berupa kebijakan-kebijakan dalam perdagangan input juga akan mengubah variabel-variabel seperti halnya pada output.
Gambar 2(a) menunjukkan adanya pajak pada input yang menyebabkan peningkatan biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik mengalami penurunan dari Q1 menjadi Q2 dan kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC, yang merupakan perbedaan output yang hiang dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut sebesar Q2BCQ1.
1. Kebijakan input tradable.
Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable
Sumber: Monke and Person, 1989
Gambar 2(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Kondisi perdagangan bebas menunjukkan harga yang berlaku adalah Pw dan tingkat produksi yang dihasilkan adalah Q1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah dan penggunaan input intensif sehingga kurva penawaran (S) bergeser ke kanan bawah dan produksi mengalami kenaikan dari Q1 menjadi Q2. Sedangkan efisiensi yang hilang karena adanya subsidi tersebut adalah ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2.
Salah satu kebijakan input tradable yang ditetapkan pemerintah untuk industri gula adalah subsidi pupuk. Kebijakan subsidi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani tebu dan industri gula.
2. Kebijakan Input Non Tradable
Kebijakan pemerintah pada input non tradable, berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah pajak dan subsidi. Pd adalah harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi. Pc merupakan harga di tingkat konsumen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi.
Harga di tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi adalah sebesar Pp.
Gambar 3. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Gambar 3 (a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp dan
C S
harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang diukur dari perbedaan antara kemampuan konsumen untuk membayar (Q2CAQ1) dan biaya sumberdaya produksi (Q2CAQ1) terhadap perubahan output yang dihasilkan. Sehingga efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BEA dan dari konsumen sebesar BCA.
Gambar 3(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya subsidi menyebabkan produk yang dihasilkan meningkat menjadi Q2. Harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi yaitu Pp, sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu Pc. Efisiensi yang hilang diukur dari besarnya biaya produksi yang dikeluarkan akibat penambahan output (Q1ACQ2) dengan kemampuan konsumen membayar terhadap perubahan produk yang dihasilkan (Q1AEQ2). Sehingga efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC sedangkan dari konsumen sebesar ABE.
Kebijakan untuk input non tradable antara lain adalah kebijakan tenaga kerja berupa penetapan upah minimum. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja
.