• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.4 Pabrik Gula Semboro

PG Semboro berada di Desa/Kecataman Semboro, Kabupaten Jember.

Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan dengan dicanangkannya program revitalisasi dari sebelumnya sebesar 4 500 tth.

Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.

Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses dari sulfitasi menjadi remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.

5.5 Pabrik Gula Wringinanom

Beroperasi sejak masa kolonial, sebelum restrukturisasi BUMN Perkebunan tahun 1996 PG yang administratif masuk wilayah Kabupaten Situbondo ini menjadi unit usaha PTP XXIV-XXV. Sejalan perubahan frontal pada tatanan di semua aspek kehidupan dan lingkungan, termasuk tidak adanya

lagi kawasan tata ruang budidaya tebu dan kebebasan petani untuk mengusahakan tanaman apa saja yang dinilai paling menguntungkan, namun PG Wringinanom tetap eksis dan terus berkembang. Pengembangan areal terus dilakukan, baik TS maupun TR, seirama kapabilitas PG untuk menggiling tebu lebih banyak.

Sasaran utama adalah daerah sawah berpengairan teknis yang secara agronomis juga digunakan untuk budidaya padi dan palawija. PG Wringinanom meyakini bahwa melalui penerapan agroekoteknologi, kecukupan agroinputs, penataan masa tanam, dan perbaikan manajemen tebang-angkut, produktvitas yang meningkat akan menjadi daya tarik bagi petani untuk menjadikan tebu sebagai komoditas alternatif. Selain itu, pengembangan juga dilakukan ke lahan kering sepanjang air dapat dipompa secara artesis. Upaya menarik animo petani juga dilakukan melalui perbaikan kinerja pabrik dan kelancaran giling.

Sadar akan pentingnya tebu rakyat dalam pemenuhan kebutuhan bakan baku dan pengembangan PG lebih lanjut, pelayanan prima kepada petani teru diupayakan dengan sebaik-baiknya. Secara periodik, PG menyelenggarakan Forum Temu Kemitraan (FTK) guna membahas berbagai persoalan yang dihadapi petani, baik di luar maupun dalam masa giling. Dalam upaya peningkatan produktivitas, PG Wringinanom antara lain melakukan optimalisasi masa tanaman dan penataan varietas menuju komposisi ideal dengan proporsi antara masak awal, tengah dan akhir dengan sasaran berbanding 30-40-30. Melalui kebun semacam ini, petani diharapkan dapat belajar lebih banyak tentang pengelolaan kebun melalui best agricultural practices.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu

Produktivitas tebu tanam awal di lahan sawah sebesar lebih tinggi daripada produksi tanam awal dilahan kering. Demikian pula produksi tebu pada tanam awal (bibit) lebih tinggi dari pada produksi tebu yang berasal dari kepras 1.

Produksi tebu dari bibit di lahan sawah sekitar 120 ton/ha, sedangkan produksi tebu dari kepras 1, 2, dan 3 berturut turut 110, 100, dan 95 ton/ha. Produksi tebu di lahan tegalan untuk dari bibit sekitar 100 ton/ha, sedangkan produksi untuk kepras 1, 2, dan 3 berturut turut adalah 90, 80, dan 75 ton/ha.

Selain itu, keragaan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu yang rendah disebabkan input yang rendah karena keterbatasan petani untuk membiayai usahataninya secara mandiri. Kondisi tersebut tercermin dari pemakaian bibit seadanya dengan kecenderungan melakukan kepras berulang kali, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan per hektar dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, makin banyak petani di Jawa tidak bersedia menanam tebu sehingga areal pengusahaan tebu berkurang yang pada akhirnya semakin banyak PG kekurangan bahan baku. Luas areal tanam tebu di Jawa pada tahun 1995 sebesar 308.4 ribu hektar menurun menjadi 214 ribu hektar pada tahun 2002, sedangkan pada tahun yang sama untuk Luar Jawa, dari 125.3 ribu hektar meningkat menjadi 137.2 ribu hektar (Malian, et al; 2004).

Meskipun produksi tebu pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan pada tegalan, kebijakan produksi gula dengan mengandalkan tebu lahan sawah di Jawa jelas sangat tidak bijaksana. Hal ini disebabkan potensi usahatani tebu lahan kering di Jawa masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan

manajemen usahatani yang dibarengi kebijakan pemerintah terhadap insentif harga gula dan penyediaan kredit usahatani. Di sisi lain, Pulau Jawa juga merupakan sentra produksi beras, sehingga akan bersaing ketat dalam pemanfaatan lahan yang ada.

6.2 Biaya Produksi Usahatani Tebu

Biaya usahatani tebu terdiri dari biaya untuk pembelian bibit terutama untuk tanam awal, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja, sewa lahan dan biaya lain. Komponen biaya tenaga kerja terdiri dari biaya persiapan dan pengolahan tanah, kletek, tanam, kepras, pemeliharaan dan tebang, muat, angkut (TMA).

Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen dengan pabrik. Rata-rata biaya TMA per ton tebu adalah Rp 45 000 – Rp 50 000.

Tabel 6. Struktur Biaya usahatani Tebu (%)

Struktur Biaya Sawah Bibit SR1 SR2 SR3 Tegalan Bibit TR1 TR2 TR3

Pupuk 5.16 7.34 7.52 7.91 6.59 9.29 9.58 9.74

Bahan Bakar 0.53 0.64 0.66 0.69 0.67 0.82 0.84 0.85

Pestisida 0.62 0.76 0.78 0.82 0.80 0.96 0.99 1.01

Tenaga Kerja 40.70 48.30 47.20 48.43 47.26 55.46 54.29 53.67

Modal 7.41 7.41 7.41 7.69 7.41 7.41 7.41 7.41

Lahan 36.87 34.93 35.80 37.66 26.15 25.27 26.07 26.49

Bibit 8.19 0.00 0.00 0.00 10.46 0.00 0.00 0.00

Pajak 0.51 0.62 0.64 0.67 0.65 0.79 0.81 0.83

Biaya tenaga kerja untuk usahatani tebu di lahan tegalan lebih tinggi dari pada lahan sawah disebabkan pemeliharaan tanaman di lahan tegalan lebih intensif dari pada di lahan sawah, seperti kegiatan pemupukan, kletek dan bumbun. Biaya sewa lahan di lahan sawah juga lebih tinggi dari lahan tegalan.

Tabel 7. Biaya Usahatani Tebu di Lahan Sawah (Rp)

Biaya untuk bibit pada kepras tidak ada, hal ini disebabkan karena kepras berasal dari keprasan bibit pertama. Biaya pupuk untuk kepras juga menjadi lebih besar karena tanaman kepras memerlukan pupuk yang lebih banyak. Biaya sewa lahan pada kepras lebih rendah dari tanaman bibit karena waktu panen yang lebih pendek.

Tabel 8. Biaya Usahatani Tebu di Lahan Tegalan (Rp)

Struktur Biaya Tegalan Bibit TR1 TR2 TR3

Pupuk 1 260 000 1 470 000 1 470 000 1 470 000

Bahan Bakar 129 000 129 000 129 000 129 000

Pestisida 152 500 152 500 152 500 152 500

Tenaga Kerja 9 036 000 8 778 000 8 328 000 8 103 000

Modal 1 416 200 1 172 360 1 136 360 1 118 360

Lahan 5 000 000 4 000 000 4 000 000 4 000 000

Bibit 2 000 000 0 0 0

Pajak 125 000 125 000 125 000 125 000

Total 19 118 700 15 826 860 15 340 860 15 097 860

6.3 Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu

Keuntungan finansial (privat) merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau

efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Usahatani tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan). Pada musim tanam 2006/2007, usahatani tebu di dua kabupaten di Provinsi Jawa Timur secara finansial menguntungkan seperti terlihat pada Tabel 9. Namun demikian tingkat keuntungan usahatani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit.

Rata-rata keuntungan privat usahatani tebu bekisar antara Rp. 4.7 juta sampai Rp.7.9 juta per hektar.

Keuntungan usahatani tebu secara finansial menurut tipe lahan dan tipe bibit bervariasi. Walaupun demikian, terdapat kecenderungan produktivitas tebu di lahan sawah lebih besar daripada di lahan tegalan, sementara tanaman awal (bongkar kepras) dan kepras 1 lebih besar dibandingkan dengan kepras 2 dan seterusnya. Keuntungan usahatani tebu secara ekonomi dapat dipandang sebagai cerminan efisiensi ekonomi suatu usaha. Berdasarkan data menunjukkan bahwa meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan tetapi secara ekonomi tidak demikian. Usahatani tebu merugi secara ekonomi. Kerugian bervariasi antara Rp 2 902 536 sampai dengan Rp 5 689 459. Hal ini disebabkan karena biaya input tenaga kerja yang dibayarkan petani lebih tinggi dari harga sosialnya.

Tenaga kerja merupakan input yang sangat mempengaruhi dalam usahatani tebu karena proporsinya mencapai 40 hingga 55 persen dalam struktur biaya usahatani tebu. Sementara harga sosial outputnya lebih rendah dibanding harga privatnya.

Perbedaan nilai keuntungan secara finansial dan ekonomi ini merupakan petunjuk adanya distorsi pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah atau ketidaksempurnaan pasar gula dan industri gula.

Tabel 9. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Berdasarkan Jenis Lahan dan Tipe Bibit (Rp)

Penerimaan Biaya Keuntungan

Finansial Ekonomi Finansial Ekonomi Finansial Ekonomi Sawah Bibit 29,823,010 19,844,948 24,410,700 25,534,407 5,412,310 - 5,689,459 Sawah R1 27,337,759 18,191,202 20,038,860 21,146,247 7,298,899 - 2,955,044 Sawah R2 24,852,508 16,537,457 19,552,860 20,642,247 5,299,648 - 4,104,790 Sawah R3 23,609,883 15,710,584 19,309,860 20,390,247 4,300,023 - 4,679,663 Tegalan Bibit 26,409,485 16,537,457 19,118,700 21,054,407 7,290,785 -4,516,950 Tegalan R1 23,785,219 14,883,711 15,826,860 17,786,247 7,958,359 - 2,902,536 Tegalan R2 21,160,952 13,229,965 15,340,860 17,282,247 5,820,092 - 4,052,281 Tegalan R3 19,848,819 12,403,092 15,097,860 17,030,247 4,750,959 - 4,627,154

Fenomena yang terjadi dalam usahatani tebu adalah keuntungan finansial yang diperoleh meningkat ditahun kedua kemudian semakin menurun ditahun ke tiga dan berikutnya. Hal ini disebabkan petani tidak lagi membeli bibit pada tahun ke dua dan seterusnya sehingga komponen biaya pada tahun kedua dan seterusnya semakin berkurang. Bibit pada tahun ke dua dan seterusnya berasal dari keprasan tebu dari panen pertama. Produktivitas panen dari keprasan semakin menurun lama semakin menurun yang menyebabkan penerimaannya semakin menurun.

Harga input yang dibayar oleh petani lebih rendah, sementara harga output yang diterima petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya (sosial).

Dalam usahatani tebu, pemerintah telah menetapkan kebijakan proteksi baik terhadap input maupun output untuk melindungi petani tebu di pasar domestik.

Subsidi berbagai pupuk terlihat dari Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk ZA dan Phonska berturut-turut sebesar Rp 1 050/kg dan Rp 1 750/kg. Selain itu pemerintah juga menetapkan harga dasar gula petani (dana talangan) sebesar Rp 4 950/kg. Selain itu ada juga proteksi berupa penerapan tarif impor gula sebesar Rp 700/kg. Dengan keterbatasan keuangan pemerintah, maka selain kebijakan

subsidi, pemerintah harus dengan seksama membuat kebijakan yang berkaitan dengan efisiensi terutama efisiensi pabrik gula.

6.4 Daya Saing Usahatani Tebu

Daya saing dilihat dari keunggulan kompetitif dan juga komparatif.

Keunggulan kompetitif usahatani tebu ditentukan oleh keuntungan privat dan nilai rasio biaya domestik (PCR). Rasio PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi tebu. Usahatani tebu dikatakan efisien secara financial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu. Semakin kecil PCR yang di peroleh maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki.

Data pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa koefisien PCR di semua wilayah lebih kecil dari satu, yang berarti sistem usahatani tebu mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk memperoleh keuntungan secara finansial. Namun kemampuan membayar biaya domestik tersebut untuk setiap wilayah berbeda, seperti terlihat dari koefisien PCR yang berbeda. Disamping itu terdapat kecenderungan bahwa koefisien PCR pada usahatani tebu di lahan kering lebih kecil dibandingkan dengan di lahan sawah.

Berdasarkan nilai rasio PCR yang diperoleh dari matriks analisis kebijakan diperoleh nilai PCR yang berkisar antara 0.64 sampai 0.81. Nilai rasio PCR terbesar diperoleh pada tebu di lahan sawah yang ditanam dari bibit, sedangkan nilai rasio PCR terendah didapat pada tebu di lahan tegalan yang berasal dari kepras1. Nilai PCR selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rasio PAM Usaha Tani Tebu

tebu sawah tebu tegalan

bibit r1 r2 r3 bibit r1 r2 r3

1 NPCO [A/E] 1.53 1.53 1.53 1.53 1.62 1.62 1.62 1.62

2 NPCI [B/F] 0.58 0.59 0.59 0.59 0.58 0.59 0.59 0.59

3 PCR [C/(A-B)] 0.81 0.69 0.74 0.77 0.71 0.60 0.66 0.70

4 DRC [G/(E-F)] 1.24 1.10 1.20 1.26 1.20 1.05 1.17 1.26

5 EPC [(A-B)/(E-F)] 1.67 1.71 1.73 1.75 1.82 1.89 1.93 1.96

6 PC [D/H) -1.31 -5.62 -2.28 -1.54 -2.67 -16.56 -3.75 -2.33

7 SRP [L/E] 0.49 0.53 0.53 0.54 0.62 0.63 0.64 0.64

Keunggulan komparatif usahatani tebu dilihat dari rasio DRC. Nilai DRC ini menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Nilai koefisien DRC usahatani tebu berkisar antara 1.05 sampai dengan 1.26. Nilai DRC terkecil diperoleh dari usahatani tebu kepras 1 di lahan tegalan dan nilai DRC terbesar diperoleh dari usahatani tebu kepras3 di lahan sawah. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu secara ekonomi tidak efisien dan tidak mempunyai keunggulan komparatif karena nilai DRC lebih dari satu. Hal ini disebabkan karena nilai sosial output atau harga paritas gula jauh lebih kecil daripada harga privatnya. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena biaya input tenaga kerja yang dibayarkan petani lebih tinggi dari harga sosialnya.

Tenaga kerja merupakan input yang sangat mempengaruhi dalam usahatani tebu karena proporsinya mencapai 40 hingga 55 persen dalam struktur biaya usahatani tebu. Tabel 10 menunjukkan nilai rasio DRC yang mengecil pada tahun kedua dan kemudian membesar lagi pada tahun ketiga dan ke empat. Hal ini disebabkan karena input bibit pada tahun ke dua diperoleh dari keprasan sehingga petani tidak

mengeluarkan biaya untuk bibit. Nilai DRC yang membesar di tahun ke tiga dan ke empat lebih disebabkan oleh produktivitas yang menurun, karena produksi tebu dari hasil keprasan semakin menurun. Nilai DRC relatif sama untuk kedua agroekosistem. Meskipun produktivitas berbeda antar antar agroekosistem namun berbeda, biaya yang dikeluarkan juga mengimbangi penerimaannya.

6.5 Dampak Kebijakan Pemerintah

Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi.

Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata (Monke and Pearson (1989)).

Dampak kebijakan subsidi input (terutama pupuk) yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer input melalui koefisien proteksi input nominal (NPCI). Sedangkan dampak kebijakan harga output dapat dilihat dari nilai transfer output melalui koefisien proteksi output nominal (NPCO). Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Kecenderungan tersebut adalah sama untuk semua jenis bibit dan lahan. Hal ini mencerminkan

distribusi pupuk di Propinsi Jawa Timur cukup baik, sehingga harga pupuk di pasar antar wilayah tidak terdistorsi. Selain dari sisi input produksi, petani juga menikmati insentif harga output yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53 - 62 persen dari harga jual yang seharusnya, dengan koefisien NPCO sekitar 1.53 - 1.62 (Tabel 10). Hal ini memberikan makna bahwa produsen domestik menerima harga jual gula yang lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi dan output tersebut dinikmati oleh semua petani tebu yang berada di Jawa Timur. Pengaruh tingkat proteksi secara simultan terhadap input tradable dan harga output dapat dilihat dari besaran koefisien EPC (effective protection coefficient). Semakin besar koefisien EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas tebu. Pada Tabel, nilai EPC antar wilayah relatif sama yaitu bekisar 1.67 - 1.96 yang berarti tingkat proteksi kumulatif mencapai 67 - 96 persen. Besaran ini memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat protektif terhadap petani tebu dan industri gula nasional.

6.6 Analisis Sensitivitas

Berdasarkan perhitungan PAM sebelumnya diketahui bahwa usahatani tebu di daerah penelitian tidak memiliki keunggulan komparatif dengan nilai DRC lebih besar dari satu. Nilai rasio dalam perhitungan PAM akan berubah apabila nilai input dan output dalam usahatani berubah. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan dalam input maupun output yang dapat mengubah nilai DRC menjadi kurang dari satu sehingga diperoleh keunggulan komparatif.

Ada tiga simulasi yang dijalankan untuk melakukan analisis sensitivitas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Simulasi peningkatan harga gula dunia. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui perubahan daya saing gula apabila harga gula dunia naik 25 persen, simulasi ini sesuai dengan tren peningkatan harga gula di pasar internasional yang terjadi belakangan ini seiring dengan meningkatnya harga pangan dan juga harga bahan bakar.

2. Analisis sensitivitas apabila terjadi kenaikan produktivitas 20 persen.

Simulasi ini sangat relevan dengan dengan program yang dicanangkan pemerintah (Kementerian Pertanian), yaitu program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional.

3. Analisis sensitivitas apabila terjadi penurunan suku bunga kredit dari 16 persen menjadi 12 persen per tahun. Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh kredit yang diberikan terhadap daya saing.

Hasil analisis sensitivitas difokuskan pada rasio PCR dan DRC. Hasil sensitivitas 1 yaitu peningkatan harga gula dunia sebesar 25 persen tidak merubah rasio PCR tapi mengubah rasio DRC <1. Analisis sensitivitas 2 yaitu peningkatan produktivitas sebesar 20 persen mengubah kisaran rasio PRC menjadi 0.5 – 0.7 dan DRC menjadi 0.76 – 0.94. Analisis sensitivitas 3 yaitu penurunan suku bunga kredit 2 persen mengubah kisaran rasio PCR menjadi 0.59 – 0.79 dan DRC menjadi 1.02 – 1.26.

Tabel 11. Analisis Sensitivitas PCR

Rasio Tebu Sawah Tebu Tegalan

PC r1 r2 r3 PC r1 r2 r3

rasio awal PCR [C/(A-B)] 0.81 0.69 0.74 0.77 0.71 0.60 0.66 0.70 sensitivitas1 PCR [C/(A-B)] 0.81 0.69 0.74 0.77 0.71 0.60 0.66 0.70 sensitivitas2 PCR [C/(A-B)] 0.70 0.60 0.64 0.67 0.62 0.53 0.58 0.60 sensitivitas3 PCR [C/(A-B)] 0.79 0.67 0.72 0.75 0.69 0.59 0.65 0.68

Tabel 12. Analisis Sensitivitas DRC

Rasio Tebu Sawah Tebu Tegalan

PC r1 r2 r3 PC r1 r2 r3

rasio awal DRC [G/(E-F)] 1.28 1.10 1.20 1.26 1.20 1.05 1.17 1.26 sensitivitas1 DRC [G/(E-F)] 0.99 0.86 0.94 0.98 0.94 0.81 0.91 0.97 sensitivitas2 DRC [G/(E-F)] 0.94 0.80 0.87 0.91 0.87 0.76 0.84 0.89 sensitivitas3 DRC [G/(E-F)] 1.26 1.07 1.17 1.23 1.18 1.02 1.15 1.23

6.7 Perbandingan Industri Gula Asing dan Industri Gula Nasional

Hampir semua negara saat ini sedang mengalami permasalahan dengan industri gulanya, baik dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internal (dalam negeri) maupun eksternal (luar negeri). Menghadapi permasalahan tersebut umumnya mereka sangat sigap dan terkoordinasi dengan sangat baik untuk segera menyiapkan alternatif pemecahan yang benar-benar dapat tetap melindungi produsen sekaligus konsumen. Sebagai contoh, permasalahan efisiensi direspon dengan perbaikan (modernisasi) teknologi usahatani maupun pabrik gula, rasionalisasi pabrik gula, privatisasi hingga merger beberapa pabrik gula menjadi satu manajemen. Permasalahan ketidakadilan pasar internasional direspon dengan peningkatan efisiensi produksi, pengembangan produk turunan gula, pengembangan akses pasar dalam negeri dan luar negeri melalui hubungan bilateral dan penerapan kebijakan promosi sekaligus proteksi secara simultan.

6.7.1 Struktur Industri Gula Kristal Putih Nasional

Awalnya, industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih.

Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000an ketika harga gula dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan untuk dibangunnya pabrik gula rafinasi. Sejak saat itu struktur industri gula dibagi menjadi dua yaitu gula kristal putih dan gula rafinasi. Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI.

Jumlahnya mencapai 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera.

Bisa dikatakan mulai dari produsen gula hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja (oligopolistik). Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu dan Sugar Group Companies.

6.7.2 Industri Gula Brasil

Sawit et al (2004) menyatakan bahwa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mencermati perkembangan budi industri gula di Brasil saat ini adalah pengalaman negara tersebut selama lima abad, yang tentu saja menjadi dasar pijakan yang kokoh bagi pemerintah, industri, maupun para petani tebu untuk mengembangkan sektor tersebut. Kenyataan bahwa semua pelaku industri tanaman tebu di Brasil adalah sektor swasta menjadikan budi daya tebu di Brasil sangat berorientasi pada efisiensi dan keuntungan ekonomi.

Salah satu faktor yang turut berperan dalam berkembangnya industri tebu di Brasil adalah dukungan finansial kepada para pelaku di lapangan. Dengan digulirkannya kebijakan liberalisasi perdagangan di sekitar agribisnis yang diwarnai dengan makin berkurangnya campur tangan langsung pihak pemerintah,

saat ini yang tersisa hanyalah peran pemerintah untuk menyediakan bantuan finansial kepada petani melalui tersedianya kredit yang lebih murah dari bung pasar.

Pemerintah Brasil menyerahkan pengembangan industri tebu pada sektor swasta. Privatisasi sektor tersebut terbukti telah menjadikan industri tersebut sangat efisien dan kompetitif di dunia. Kebijakan agribisnis tebu diarahkan pada usaha untuk menciptakan demand yang tinggi terhadap alkohol. Alkohol sebagai salah satu alternatif energi yang lebih ramah lingkungan dinilai lebih menjajikan prospek bisnis yang lebih menguntungkan.

Berdasarkan keberhasilan industri gula di Brasil maka indonesia dapat mencontoh beberapa kebijakan yang dapat diterapkan di Indonesia, yaitu:

1. Perlu diadakan modernisasi alat-alat produksi gula, karena sebagian besar pabrik gula di Indonesia merupakan peninggalan Belanda. Berdasarkan pengalaman dari Brasil, meningkatnya kapasitas produksi tebu dan gula sangat ditunjang oleh tersedianya alat-alat industri yang cukup modern yang kebetulan sudah diproduksi nasional.

2. Untuk efisiensi dalam penglolaan usahatani tebu dan industri gula perlu dipikirkan langkah privatisasi secara meluas dengan pola penerapan kebijakan yang berorientasi pada efisiensi dan keuntungan ekonomi secara konsisten. Pada jangka panjang langkah ini akan membentuk suatu struktur industri gula yang lebih tahan terhadap situasi persaingan perdagangan gula yang semakin tajam. Peran pemerintah hanya dibatasi sebagai fasilitator yang menyediakan insentif dan infrastruktur seperti

kredit, penelitian dan pengembangan dan sarana distribusi dan transportasi.

6.7.3 Industri Gula Thailand

Sawit et al (2004) menyatakan bahwa kebijakan industri gula Thailand dijalankan oleh sugar Board, yang terdiri dari petani, pabrik gula, dan pemerintah.

Dalam melaksanakan usahataninya, para petani tebu mendapat bantuan kredit dari Bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit sesuai dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Petani mendapat 70 persen pendapatan dari penjualan gula di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik menerima 30 persen. Selain itu, ada juga program mortgage (gadai) dimana 80 persen dari

Dalam melaksanakan usahataninya, para petani tebu mendapat bantuan kredit dari Bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit sesuai dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Petani mendapat 70 persen pendapatan dari penjualan gula di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik menerima 30 persen. Selain itu, ada juga program mortgage (gadai) dimana 80 persen dari

Dokumen terkait