• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

4.4 Metode Analisis

4.4.1.3. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing

Input yang digunakan dalam proses produksi dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan domestic factor (non tradable goods). Tradable goods adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, sedangkan domestic factor adalah input yang tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional. Selain itu ada barang-barang yang tidak diperdagangkan (non tradable) tapi di dalamnya terdapat komponen asing (indirectly traded) seperti peralatan.

Input yang paling dominan dalam usahatani adalah lahan dan tenaga kerja.

Kedua input ini digolongkan ke dalam input yang tidak diperdagangkan, sehingga dimasukkan ke dalam komponen biaya domestik 100 persen. Bibit tebu yang di gunakan dapat berupa bibit baru atau tebu keprasan. Bibit digolongkan ke dalam input domestik karena menanam dari bibit yang dikembangkan sendiri oleh PG atau P3GI, kemudian bibit yang digunakan berasal dari tebu keprasan maka digolongkan dalam komponen biaya domestik. Pestisida, herbisida, bahan bakar dan pupuk merupakan barang yang diperdagangkan oleh karena itu dimasukkan dalam komponen input tradable.

4.4.1.4 Perhitungan dan Analisis PAM

Kriteria analisis kebijakan yang dihasilkan PAM adalah sebagai berikut:

1. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) = C/(A – B)

Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR menunjukkan berapa banyak sistem produksi usahatani tebu dapat menghasilkan untuk membayar semua faktor domestik yang digunakannya, dan tetap dalam kondisi kompetitif. Keuntungan maksimal akan diperoleh jika sistem produksi usahatani tebu mampu meminimumkan nilai PCR, dengan cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila nilai PCR < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani tebu mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat.

2. Domestic Resources Cost (DRC) = G/(E – F)

Merupakan rasio biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya, dalam mata uang asing (US$). Nilai DRC merupakan salah satu kriteria kemampuan sistem usahatani dalam membiayai faktor domestik pada harga sosialnya atau kriteria dari efisiensi ekonomi relatif dari suatu sistem produksi.

Nilai DRC merupakan kriteria keunggulan komparatif dari usahatani tebu.

DRC > 1 sistem produksi usahatani tebu dinilai tidak mampu bertahan tanpa subsidi pemerintah, sehingga lebih baik melakukan impor saja daripada memproduksi sendiri, karena sistem produksi usahatani dinilai akan memboroskan sumberdaya yang langka.

DRC < 1 dan nilainya makin kecil, berarti sistem produksi usahatani tebu makin efisien dan memiliki daya saing di pasar dunia, sehingga dinilai memiliki peluang ekspor yang makin besar.

3. Transfer output (OT) = A – E

Transfer output adalah selisih antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai OT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output privat dengan harga output sosial.

OT > 0 besarnya transfer dari konsumen kepada produsen, artinya produsen akan menerima harga jual yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya sehingga konsumen dirugikan.

OT < 0 konsumen menerima insentif dari produsen dan dalam hal ini petani atau produsen yang dirugikan.

4. Nominal Protection Coefficient of Output (NPCO) = A / E

Koefisien proteksi nominal terhadap output merupakan rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial dan merupakan indikasi adanya transfer output. NPCO menunjukkan besarnya dampak kebijakan pemerintah yang mengakibatkan divergensi antara harga privat dan harga sosial atau output.

NPCO >1 petani tebu menerima subsidi atas output di pasar domestik di atas harga efisiennya (harga pasar dunia).

NPCO <1 terjadi pengurangan penerimaan petani akibat kebijakan output, seperti adanya pajak.

5. Input Transfer (IT) = B – F

Transfer input adalah selisih antara input tradable pada harga privat dengan biaya input non tradable pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable.

IT > 0 harga sosial input asing lebih rendah akibat tarif impor, akibatnya petani harus membayar lebih mahal

IT < 0 ada subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar secara penuh korbanan sosial yang harusnya dibayar oleh petani.

6. Nominal Protection Coefficient of Input (NPCI) = B/F

Koefisien proteksi nominal terhadap input merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan hara sosial, dan merupakan indikasi transfer input.

NPCI menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan divergensi antara harga privat dan harga sosial untuk input asing

NPCI>1 pemerintah menaikkan harga input asing di pasar domestik di atas harga efesiennya (harga dunia).

NPCI<1 petani menerima subsidi atas input asing

7. Factors Transfer (FT) = C – G

Nilai transfer faktor merupakan perbedaan harga antara harga privat dan harga sosial yang diterima produsen untuk membayar input non tradable. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah (biasanya dalam bentuk kebijakan subsidi) terhadap produsen input domestik.

FT > 0 ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik

8. Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A – B)/(E – F)

Koefisien proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefisien proteksi output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik dan merupakan transfer kebijakan dari pasar produk dan input tradable.

EPC > 1 dampak kebijakan pemerintah memberi dukungan dengan menaikan harga output dan atau input tradable di atas harga efisien.

EPC < 1 kebijakan pemerintah tidak berjalan efektif.

9. Transfer bersih (NT) = D – H

Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani.

NT > 0 terdapat tambahan surplus produsen yang disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output

NT < 0 terdapat penurunan surplus produsen yang disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output.

10. Koefisien profitabilitas (PC) = D/H

Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial dan merupakan indikasi yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, input asing dan input domestik PC > 1 secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif

kepada produsen

PC < 1 kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima petani produsen lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa kebijakan.

11. Rasio subsidi bagi produsen (SRP) = L/E

SRP merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. SRP menunjukkan besarnya proporsi penerimaan dalam harga dunia yang dapat meng-cover subsidi atau pajak.

SRP < 1 kebijakan pemerintah menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosialnya.

SRP > 1 kebijakan pemerintah menyebabkan petani tebu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya sosialnya.

4.4.2 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas atas parameter-parameter yang penting seringkali amat membantu dalam melakukan analisis sebuah sistem usahatani. Perubahan yang terjadi pada harga input akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap keuntungan dibandingkan dengan perubahan harga output. Hal ini disebabkan oleh karena input tertentu hanya merupakan bagian kecil dari total biaya, sedangkan perubahan harga output akan mempengaruhi pendapatan secara keseluruhan.

Analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan mengubah nilai output gula dan juga perubahan pada beberapa input seperti rendemen, produktivitas, dan kredit. Berdasarkan perubahan nilai tersebut kemudian dianalisis perubahannya terhadap nilai rasio PAM.

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1 Provinsi Jawa Timur

Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah Pabrik Gula (PG) terbanyak, yaitu 33 PG dari 59 PG yang ada di Indonesia. Total produksi gula Jawa Timur sebanyak 1 075 792 ton, atau sebesar 46.6 persen dari total produksi nasional pada tahun 2005/2006. Produksi tebu yang dihasilkan di Jawa Timur adalah sebanyak 14 665 500 ton atau mencakup 48.5 persen dari total produksi tebu nasional. Jika dilihat dari total kapasitas terpasang, industri gula jawa Timur memiliki total kapasitas terpasang terbesar di Indonesia yaitu 90 430 ton tebu per hari dari total 197 840 tth (P3GI, 2007).

5.2 Kabupaten Situbondo

Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Jawa bagian utara, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo.

Secara geografis Kabupaten Situbondo berada pada posisi 70 35’- 70 44’ lintang selatan dan 1130 30’-1140 42’ bujur timur. Luas wilayah Kabupaten Situbondo adalah 1 638.50 km2 atau 163 850 hektar. Kondisi fisiknya berbentuk memanjang dari barat ke timur  140 km dengan rata-rata lebar wilayah  11 km.

Kabupaten Situbondo berada pada ketinggian 0-1.250 m di atas permukaan air laut. Temperatur daerah ini  24,70 C-27,90 C dengan rata-rata

curah hujan 994 mm-1.503 mm per tahunnya sehingga daerah ini tergolong kering. Umumnya keadaan tanah menurut teksturnya tergolong sedang 96,26%, tergolong halus 2,75% dan tergolong kasar 0,99%. Drainase tanah tergolong tidak tergenang 99,42%, kadang-kadang tergenang 0,05% dan selalu tergenang 0,53%.

Jenis tanah di Kabupaten Situbondo antara lain berjenis alluvial, regosol, gleysol, renzine, grumosol, mediteran, latosol dan androsol. Bagian terbesar tanah di Kabupaten Situbondo terbentuk dari jenis tanah latosol seperti di Kecamatan Sumber Malang sedangkan bagian terkecil adalah dari jenis tanah regosol seperti yang terdapat di Kecamatan Mangaran. Jenis tanah dan sebarannya merupakan keunggulan yang berbeda dengan kabupaten lain sehingga pembangunan sektor pertanian dan industri yang berbasis sumberdaya alam banyak yang dikembangkan, salah satunya adalah industri tebu.

Secara administratif Kabupaten Situbondo terdiri dari dari 17 Kecamatan dan dari 17 Kecamatan tersebut hanya 13 Kecamatan yang memiliki pantai.

Jumlah kelurahan dan desa masing-masing adalah 4 kelurahan dan 132 desa.

Tanaman tebu dibudidayakan hamper di semua kecamatan tersebut pada berbagai skala luasan.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Situbondo adalah lahan sawah. Tahun 2007 lahan sawah tersebut seluas 30 405.95 hektar. Dilihat dari perkembangannya dari tahun 2005 samapai 2007 lahan sawah di wilayah Situbondo mengalami penurunan yaitu dari 31 638.50 hektar menjadi 30.405,95 hektar. Luas lahan kering justru mengalami peningkatan dari 26 765.30 hektar menjadi 27 997.13 hektar. Sebaliknya untuk penggunaan lahan lainnya dari tahun 2005 sampai 2007 mengalami luasan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Luas Wilayah Situbondo Menurut Penggunaan Lahan di Kabupaten Situbondo (Ha)

Penggunaan Lahan Luas

2005 2006 2007

Sawah 31 638.50 31 638.50 30 405.95

Pertanian tanah kering 26 765.30 26 765.30 27 997.13

Kebun campuran 414 414 414

Perkebunan 1 780.26 1 780.26 1 768.26

Hutan 73 407 73.407 73 407

Rawa/danau/waduk 174 174 174

Tambak/kolam 1 875.30 1 875.30 1 875.30

Padang rumput/tanah kosong 7 464 10 7 464.10 7 6464.10 Tanah tandus/rusak/tambang 17 052.10 17 052.10 17 502.10

Pemukiman 2 841 2 841 2 841.72

Lain-lain 438.44 438.44 438.44

Sumber: BPS Situbondo 2005, 2006, 2007

Perkembangan usahatani tebu di Kabupaten Situbondo dilihat dari luas panen dan produktifitas menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Luas areal panen dari tahun 2003 sampai 2007 mengalami peningkatan dari 7.2 ribu hektar menjadi 8.3 ribu hektar. Produktifitas gula juga mengalami peningkatan, yaitu dari 59.1 kuintal per hektar menjadi 64.8 kuintal per hektar, seperti yang terlihat pada Tabel 5. Peningkatan terjadi karena adanya peningkatan rendemen pada tebu.

Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Situbondo pada tahun 2007 sebesar 638.5 ribu jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 390 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2007 sebanyak 342.2 ribu jiwa dan 180.8 ribu (52,67%) jiwa bekerja di sektor pertanian. Persentase tersebut

menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian. Hal tersebut menggambarkan bahwa Kabupaten Situbondo merupakan wilayah agraris.

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2006, 2006 dan BPS Situbondo, 2007

5.3 Kabupaten Lumajang

Kabupaten Lumajang merupakan wilayah yang terletak pada 112°53' - 113°23' Bujur Timur dan 7°54' - 8°23' Lintang Selatan. Luas wilayah keseluruhan Kabupaten Lumajang adalah 1790.90 km2 atau 3.74% dari luas Provinsi Jawa Timur. Luas tersebut terbagi dalam 21 Kecamatan yang meliputi 197 Desa dan 7 keluraha. Kabupaten Lumajang terdiri dari dataran yang subur karena diapit oleh tiga gunung berapi, yaitu: Gunung Semeru (3.676 m), Gunung Bromo (3.295 m) dan Gunung Lamongan (1.668 m). Kabupaten ini sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Malang, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Jember dan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.

Ketinggian daerah Kabupaten Lumajang bervariasi dari 0-3.676 m dengan daerah yang terluas adalah pada ketinggian 100-500 m dari permukaan laut 63 405.50 hektar (35.40%) dan yang tersempit adalah pada ketinggian 0-25 m di atas permukaan laut yaitu 19 722.45 hektar (11.01%) dari luas keseluruhan Kabupaten Lumajang. Secara umum keadaan drainase di Kabupaten Lumajang cukup baik mengingat keadaan topografi yang bervariasi kemiringannya. Berdasarkan klasifikasi lereng (kemiringan), wilayah Kabupaten Lumajang termasuk kategori:

datar (0-2%) seluas 87 199.59 hektar (45.9%) , landai-agak miring (2-15%) seluas 1 459.57 hektar (17.57%), miring-agak curam (15-40%) seluas 28 827.89 hektar (10.10%) dan curam-sangat curam (lebih dari 90%) seluas 36 602.65 hektar.

Keadaan topografi di Kabupaten Lumajang yang bervariasi mulai datar sampai curam menguntungkan dari aspek ketergantungannya. Pengaturan air yang baik dan berfungsinya saluran pengairan, menyebabkan daerah tidak tergenang kecuali jika terjadi bencana alam. Penentuan iklim di Kabupaten Lumajang didasarkan pada sistem Shcmidt dan Ferguson. Sistem ini hanya membandingkan jumlah bulan basah dan bulan kering. Berdasarkan klasifikasi Shcmidt dan Ferguson terdapat tiga macam iklim di Kabupaten Lumajang. Tipe pertama adalah iklim tipe C, yaitu iklim yang bersifat agak basah. jumlah bulan kering rata-rata kurang dari tiga bulan dan buah-buahan lainnya adalah bulan basah dengan jumlah curah hujan bulanan lebih dari 100 mm.

Sektor pertanian merupakan tulang punggung kegiatan penduduk Kabupaten Lumajang. Luas lahan sawah di wilayah ini adalah 34 042 hektar. Hal ini didukung dengan daerah yang dekat dengan gunung berapi yang laharnya menyuburkan tanah di wilayah Lumajang. Keberadaan gunung yang menyediakan

lahan subur juga memberikan keuntungan lain bagi Lumajang. Mata air yang mengalir dari lereng gunung dan belum terpolusi menjadi sumber air utama bagi pengembangan pertanian organik.

Selain penghasil tanaman pangan, Lumajang juga menjadi daerah produsen sayuran dan buah-buahan. Buah-buahan yang dihasilkan lumajang, pisang berukuran besar/pisang agung menjadi salah satu daya tarik. Pisang ini menjadi bahan baku pembuatan keripik dan sale pisang. Sentra penanaman pisang agung terletak di Kecamatan Senduro. Kegiatan di bidang perkebunan turut pula memberi andil pada perekonomian daerah, seperti kakao, kelapa, karet, tebu, kopi, cengkeh, tembakau, dan kapas. Tebu juga merupakan hasil perkebunan terbesar kedua setelah pisang yang dihasilkan di Kabupaten Lumajang. Menurut BPS (2007), luas perkebunan di Kabupaten Lumajang mengalami penurunan yaitu menjadi hanya seluas 11 473 hektar. PG Semboro berada di Desa/Kecataman Semboro, Kabupaten Jember. Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan dengan dicanangkannya program revitalisasi dari sebelumnya sebesar 4 500 tth. Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.

Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses

dari sulfitasi dan remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.

5.4 Pabrik Gula Semboro

PG Semboro berada di Desa/Kecataman Semboro, Kabupaten Jember.

Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan dengan dicanangkannya program revitalisasi dari sebelumnya sebesar 4 500 tth.

Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.

Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses dari sulfitasi menjadi remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.

5.5 Pabrik Gula Wringinanom

Beroperasi sejak masa kolonial, sebelum restrukturisasi BUMN Perkebunan tahun 1996 PG yang administratif masuk wilayah Kabupaten Situbondo ini menjadi unit usaha PTP XXIV-XXV. Sejalan perubahan frontal pada tatanan di semua aspek kehidupan dan lingkungan, termasuk tidak adanya

lagi kawasan tata ruang budidaya tebu dan kebebasan petani untuk mengusahakan tanaman apa saja yang dinilai paling menguntungkan, namun PG Wringinanom tetap eksis dan terus berkembang. Pengembangan areal terus dilakukan, baik TS maupun TR, seirama kapabilitas PG untuk menggiling tebu lebih banyak.

Sasaran utama adalah daerah sawah berpengairan teknis yang secara agronomis juga digunakan untuk budidaya padi dan palawija. PG Wringinanom meyakini bahwa melalui penerapan agroekoteknologi, kecukupan agroinputs, penataan masa tanam, dan perbaikan manajemen tebang-angkut, produktvitas yang meningkat akan menjadi daya tarik bagi petani untuk menjadikan tebu sebagai komoditas alternatif. Selain itu, pengembangan juga dilakukan ke lahan kering sepanjang air dapat dipompa secara artesis. Upaya menarik animo petani juga dilakukan melalui perbaikan kinerja pabrik dan kelancaran giling.

Sadar akan pentingnya tebu rakyat dalam pemenuhan kebutuhan bakan baku dan pengembangan PG lebih lanjut, pelayanan prima kepada petani teru diupayakan dengan sebaik-baiknya. Secara periodik, PG menyelenggarakan Forum Temu Kemitraan (FTK) guna membahas berbagai persoalan yang dihadapi petani, baik di luar maupun dalam masa giling. Dalam upaya peningkatan produktivitas, PG Wringinanom antara lain melakukan optimalisasi masa tanaman dan penataan varietas menuju komposisi ideal dengan proporsi antara masak awal, tengah dan akhir dengan sasaran berbanding 30-40-30. Melalui kebun semacam ini, petani diharapkan dapat belajar lebih banyak tentang pengelolaan kebun melalui best agricultural practices.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu

Produktivitas tebu tanam awal di lahan sawah sebesar lebih tinggi daripada produksi tanam awal dilahan kering. Demikian pula produksi tebu pada tanam awal (bibit) lebih tinggi dari pada produksi tebu yang berasal dari kepras 1.

Produksi tebu dari bibit di lahan sawah sekitar 120 ton/ha, sedangkan produksi tebu dari kepras 1, 2, dan 3 berturut turut 110, 100, dan 95 ton/ha. Produksi tebu di lahan tegalan untuk dari bibit sekitar 100 ton/ha, sedangkan produksi untuk kepras 1, 2, dan 3 berturut turut adalah 90, 80, dan 75 ton/ha.

Selain itu, keragaan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu yang rendah disebabkan input yang rendah karena keterbatasan petani untuk membiayai usahataninya secara mandiri. Kondisi tersebut tercermin dari pemakaian bibit seadanya dengan kecenderungan melakukan kepras berulang kali, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan per hektar dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, makin banyak petani di Jawa tidak bersedia menanam tebu sehingga areal pengusahaan tebu berkurang yang pada akhirnya semakin banyak PG kekurangan bahan baku. Luas areal tanam tebu di Jawa pada tahun 1995 sebesar 308.4 ribu hektar menurun menjadi 214 ribu hektar pada tahun 2002, sedangkan pada tahun yang sama untuk Luar Jawa, dari 125.3 ribu hektar meningkat menjadi 137.2 ribu hektar (Malian, et al; 2004).

Meskipun produksi tebu pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan pada tegalan, kebijakan produksi gula dengan mengandalkan tebu lahan sawah di Jawa jelas sangat tidak bijaksana. Hal ini disebabkan potensi usahatani tebu lahan kering di Jawa masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan

manajemen usahatani yang dibarengi kebijakan pemerintah terhadap insentif harga gula dan penyediaan kredit usahatani. Di sisi lain, Pulau Jawa juga merupakan sentra produksi beras, sehingga akan bersaing ketat dalam pemanfaatan lahan yang ada.

6.2 Biaya Produksi Usahatani Tebu

Biaya usahatani tebu terdiri dari biaya untuk pembelian bibit terutama untuk tanam awal, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja, sewa lahan dan biaya lain. Komponen biaya tenaga kerja terdiri dari biaya persiapan dan pengolahan tanah, kletek, tanam, kepras, pemeliharaan dan tebang, muat, angkut (TMA).

Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen dengan pabrik. Rata-rata biaya TMA per ton tebu adalah Rp 45 000 – Rp 50 000.

Tabel 6. Struktur Biaya usahatani Tebu (%)

Struktur Biaya Sawah Bibit SR1 SR2 SR3 Tegalan Bibit TR1 TR2 TR3

Pupuk 5.16 7.34 7.52 7.91 6.59 9.29 9.58 9.74

Bahan Bakar 0.53 0.64 0.66 0.69 0.67 0.82 0.84 0.85

Pestisida 0.62 0.76 0.78 0.82 0.80 0.96 0.99 1.01

Tenaga Kerja 40.70 48.30 47.20 48.43 47.26 55.46 54.29 53.67

Modal 7.41 7.41 7.41 7.69 7.41 7.41 7.41 7.41

Lahan 36.87 34.93 35.80 37.66 26.15 25.27 26.07 26.49

Bibit 8.19 0.00 0.00 0.00 10.46 0.00 0.00 0.00

Pajak 0.51 0.62 0.64 0.67 0.65 0.79 0.81 0.83

Biaya tenaga kerja untuk usahatani tebu di lahan tegalan lebih tinggi dari pada lahan sawah disebabkan pemeliharaan tanaman di lahan tegalan lebih intensif dari pada di lahan sawah, seperti kegiatan pemupukan, kletek dan bumbun. Biaya sewa lahan di lahan sawah juga lebih tinggi dari lahan tegalan.

Tabel 7. Biaya Usahatani Tebu di Lahan Sawah (Rp)

Biaya untuk bibit pada kepras tidak ada, hal ini disebabkan karena kepras berasal dari keprasan bibit pertama. Biaya pupuk untuk kepras juga menjadi lebih besar karena tanaman kepras memerlukan pupuk yang lebih banyak. Biaya sewa lahan pada kepras lebih rendah dari tanaman bibit karena waktu panen yang lebih

Biaya untuk bibit pada kepras tidak ada, hal ini disebabkan karena kepras berasal dari keprasan bibit pertama. Biaya pupuk untuk kepras juga menjadi lebih besar karena tanaman kepras memerlukan pupuk yang lebih banyak. Biaya sewa lahan pada kepras lebih rendah dari tanaman bibit karena waktu panen yang lebih

Dokumen terkait