• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kebijakan Pemerintah Mengenai PKO

Pemanfaatan buah kelapa sawit menjadi produk-produk industri yang mempunyai nilai tambah dapat dihasilkan dari daging buahnya, biji, cangkang, tandan kosong, bahkan limbahnya. Khusus biji sawit, sudah banyak produk pangan yang telah diproduksi dari PKO menjadi asam lemak, stearin, lemak laurik dan turunan-turunan asam lemaknya yang dapat digunakan untuk bahan baku berbagai produk makanan yang salah satunya yaitu makanan cokelat

confectionery. Pemerintah bersama industri terkait selalu mengupayakan kemajuan industri hilir dari produk turunan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan devisa negara dan menciptaan lapangan kerja baru.

Produk kelapa sawit 60 persennya diekspor dalam bentuk primer dan 40 persen dalam bentuk setengah jadi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional menetapkan industri berbasis minyak kelapa sawit mentah yang salah satunya adalah PKO sebagai prioritas untuk dikembangkan untuk nilai tambah lebih tinggi. Pengembangan turunan minyak sawit ini memiliki prospek yang sangat baik ke depannya dan dapat mulai dilakukan melalui pendekatan klaster. (Kemenperin, 2010). Pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu Domestic Market Obligation (DMO). Sesuai dengan Undang- Undang No.18 tentang perkebunan yang mengamanatkan keamanan

penawaran minyak sawit dalam negeri (Novindra, 2011). Sejalan dengan alternatif kebijakan pemerintah ini PKO sebagai salah satu hasil perkebunan kelapa sawit juga perlu dibatasi ekspornya dalam bentuk mentah untuk menciptakan daya saing yang lebih tinggi, untuk itu selanjutnya diperlukan pengembangan industri hilirnya dan keamanan pasokan PKO dalam negeri.

Permasalahan dengan pengolahan produk hilir, produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Saat ini, nilai tambah tersebut banyak dinikmati oleh industri pengolahan hasil (industri hilir) yang berada di luar negeri. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Namun demikian, pengembangan kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas komoditas.

Krisisrisis ekonomi yang sempat melanda Indonesia mengakibatkan ketersediaan dana menjadi kendala utama untuk melanjutkan percepatan pembangunan perkebunan. Pada awal krisis, tidak sedikit perusahaan perkebunan menghadapi masalah keuangan sehingga terpaksa menghentikan kegiatannya. Pembangunan perkebunan sempat mengalami stagnasi bahkan pada beberapa kasus perkebunan besar mengalami kerusakan karena dijarah dan dirusak masyarakat. Permodalan untuk perkebunan baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan, merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan perkebunan. Namun sejak berlakunya Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dan IMF, kredit lunak menjadi sangat terbatas. Sejak saat itu, ketersediaan modal mengandalkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan dari dalam dan luar negeri dengan pola pengadaan dan penyaluran sistem komersial.

Tahun 2006 pemerintah mulai memberi perhatian terhadap permodalan usaha perkebunan terkait dengan pengembangan industri hilir dalam meningkatkan nilai tambah pada komoditas sawit. Pemerintah mencanangkan subsidi kredit investasi untuk sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini sesuai

dengan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 yang selanjutnya ditanggapi oleh Kementerian Pertanian melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri Petanian Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang subsidi kredit untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit melalui revitalisasi perkebunan. Selanjutnya kebijakan ini untuk penyalurannya bekerjasama dengan pihak perbankan melalui perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri Keuangan/Dirjen Perbendaharaan dengan 16 Bank Pelaksana (PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera Barat/Bank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur) .

Revitalisasi Perkebunan yang dimaksudkan dalam upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah. Selanjutnya pemerintah bekerjasama dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan hilir hasil perkebunan yang bernilai tambah dan pemasaran hasil. Pendanaan pembiayaan 100 persen berasal dari dana perbankan dengan subsidi bunga dari pemerintah.

Secara umum, pembiayaan investasi tergantung kepada adanya kredit dan iklim usaha yang berlaku. Keperluan kredit pun tidak hanya terbatas kepada kredit/pembiayaan investasi di on farm tetapi juga kepada investasi pada pengolahan, perdagangan dan asuransi. Kebutuhan akan dana investasi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor dalam perekonomian. Dana investasi yang dibutuhkan berjumlah besar jika ingin menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan catatan tidak ada masalah efisiensi dari suatu perekonomian dalam menggunakan barang modal. Kebijakan percepatan pembangunan perkebunan tidak terlepas dari keberadaan sumber dana investasi, ketersediaan dana investasi dan tingkat bunga pinjaman untuk dana investasi.

Mencermati kondisi pembiayaan hulu sampai hilir perkebunan di atas, pembiayaan perkebunan untuk keperluan investasi dan modal kerja pembangunan

perkebunan dapat dikatakan masih lemah. Kelangkaan modal, sistem penyaluran biaya secara komersial, dan kurangnya perhatian dari lembaga keuangan terhadap perkebunan merupakan kelemahan pembangunan perkebunan di Indonesia. Pembiayaan perkebunan juga masih dihadapkan pada permasalahan klasik pembiayaan melalui kredit, yaitu masalah sumber dan akses kredit terutama untuk petani. Selain itu, daya saing investasi juga lebih lemah dibandingkan negara- negara produsen komoditas perkebunan lainnya.

Dokumen terkait