BAB IV CAPAIAN KERJA KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN
4.1 Intervensi Kebijakan
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif
Saat ini Indonesia menganut Sistem pendaftaran tanah publikasi negatif atau dikenal juga dengan sistem stelsel negatif. Pada sistem pendaftaran tanah publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran informasi yang tercantum di dalam sertipikat hak atas tanah. Informasi yang tercantum tersebut dianggap benar sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian, untuk meningkatkan jaminan kepastian hukum diperlukan perubahan sistem pendaftaran tanah nasional dari pendaftaran tanah sistem publikasi negatif menuju pendaftaran tanah sistem publikasi positif. Pada sistem publikasi positif, setiap informasi dijamin kebenarannya oleh negara. Apabila terjadi kesalahan informasi yang dilakukan oleh negara, maka sebagai bentuk pertanggungjawaban negara wajib mengganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Namun demikian, perubahan sistem pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan berbagai prakondisi (pre-requisite condition) yang diperlukan. Perubahan pendaftaran tanah sistem publikasi positif dapat dilakukan apabila ketersedian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan dan Cakupan Wilayah yang Bersertifikat telah mencapai 80% dari luas wilayah Indonesia di luar kawasan hutan. Pada tahap awal diperlukan upaya untuk
10 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
mengidentifikasi sebaran lokasi ketersediaan peta pertanahan dan cakupan wilayah bidang tanah yang telah bersertifikat.
Bebeberapa langkah yang diperlukan untuk mencapai pre-requisite condition perubahan pendaftaran tanah menjadi sistem publikasi positif meliputi: (i) Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan; dan (ii) Percepatan Pelaksanaan Sertipikasi Tanah. Sebagai konsekuensi logis dari penjaminan kebenaran informasi batas bidang tanah, perlu dilakukan upaya memastikan batas kawasan hutan dengan kawasan non hutan. Publikasi batas kawasan hutan dan non kawasan hutan harus dilakukan pada skala yang sama dengan skala pendaftaran tanah (skala kadastral) dan terintegrasi dalam sistem pendaftaran tanah nasional. Selain itu, mendukung upaya percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah pada seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia maka perlu dilakukan penyelesaian permasalahan tanah adat/ulayat melalui pelaksanaan pendaftaran tanah adat/ulayat. Pemahaman sistem hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan khususnya pada wilayah adat/ulayat terutama wilayah timur Indonesia, meskipun Indonesia memiliki hukum pertanahan yang mengatur secara jelas mengenai tata cara baik kepemilikan maupun proses jual-beli. Adanya perbedaan pemahaman sistem hukum tanah di berbagai wilayah di Indonesia seringkali menimbulkan konflik pertanahan. Sehingga sistem tenurial dan pola kerjasama pemanfaatan berdasarkan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya matrikulasi penyamaan pemahaman konsep terlebih dahulu.
Dalam rangka pelaksanaan identifikasi cakupan peta dasar pertanahan dibutuhkan informasi data spasial. Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (2014) diketahui luas wilayah nasional Indonesia adalah 189.073.900 Ha, yang terdiri atas kawasan hutan dan kawasan budidaya. Dari luas keseluruhan wilayah nasional tersebut yang merupakan kawasan budidaya adalah seluas 64.324.754,31 Ha. Pada tahun 2016, Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional telah disusun peta dasar pertanahan dengan cakupan seluas 29.379.816,84 Ha atau 45,67%.
Selanjutnya untuk cakupan bidang tanah bersertipikat, berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan-Kementerian ATR/BPN, data spasial cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi pada tahun 2016 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kualitas data dan informasi. Cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi pada tahun 2016 sebesar 7,89 Juta Ha (12,11 Juta Ha bila ditambah dengan enclave). Metode pengolahan data yang dipakai adalah dengan menggabungkan bidang-bidang tanah tersebut, hal ini untuk menghindari data yang saling tumpang tindih dan dapat menghindari perhitungan ganda. Penggabungan bidang-bidang tanah dilakukan karena masih ada beberapa data yang saling tumpang tindih. Untuk data bidang tanah bersertifikat yang telah terdigitasi dengan kondisi baik, artinya tidak ada data yang tumpang tindih maka perhitungan dengan menggunakan software pemetaan dapat dilakukan langsung tanpa perlu untuk menggabungkan data yang tumpang tindih
tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan data, sebagian besar provinsi masih memiliki persentase cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi di bawah 20%.
A. Rencana
Berdasarkan uraian di atas terkait perubahan pendaftaran tanah menuju sistem publikasi positif, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2017 telah menetapkan beberapa target kegiatan sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya informasi cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat;
2. Tercapainya kesepakatan materi acuan Sosialisasi Pendaftaran Tanah Adat/Ulayat; dan
3. Disepakati dan terlaksananya pilot project Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan. B. Capaian
Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya informasi cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat
a. Cakupan Peta Dasar Pertanahan
Perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif membutuhkan kesiapan teknis dan yuridis. Salah satu aspek teknis yang diperlukan adalah ketersediaan cakupan peta dasar pertanahan sebagai peta rujukan dalam pembuatan dan penerbitan sertifikat. Semakin baik dan semakin luas cakupan peta dasar pertanahan yang dimiliki suatu wilayah diasumsikan akan semakin baik juga kualitas peta bidang tanah bersertifikat yang dihasilkan. Dengan demikian, akan menjamin kebenaran informasi informasi bidang tanah yang telah bersertipikat sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya konflik pertanahan.
Proses pengolahan data cakupan peta dasar pertanahan dilakukan secara spasial dengan menghitung luas cakupan peta pada lembar-lembar Peta Dasar Pertanahan yang diperoleh dari Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar–Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Hasil pengolahan data spasial pada Tahun 2013 diperoleh capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan seluas 25,44 juta hektar atau 13,31% dari luas Wilayah Nasional Indonesia (191,09 juta hektar).
Pada tahun 2014 Badan Informasi Geospasial (BIG) menerbitkan luas spasial wilayah Indonesia, yang terdiri atas wilayah kawasan hutan dan wilayah non-kawasan hutan. Perhitungan luas wilayah nasional dengan metode menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection. Proyeksi luas tersebut sesuai dengan arahan BIG dalam
12 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
variabel luas wilayah nasional yang diterbitkan oleh BIG menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk perhitungan cakupan peta dasar pertanahan, agar mendapatkan kualitas informasi yang lebih baik mengenai luas wilayah Indonesia. Sejak tahun 2014 dan seterusnya variabel pembagi perhitungan diubah menjadi luas wilayah nasional di luar kawasan hutan mengganti variabel pembagi dari tahun sebelumnya yaitu luas wilayah nasional.
Berdasarkan informasi dari BIG tersebut, luas wilayah nasional di luar kawasan hutan adalah seluas 64.324.754 Ha. Dari luasan tersebut, pada tahun 2014 terdapat seluas 14.962.428,14 Ha yang telah dipetakan dalam peta dasar pertanahan. Selanjutnya pada tahun 2015, kegiatan penyusunan peta dasar pertanahan sehingga cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan mencapai sebesar 26,9 juta hektar (41,83% dari luas kawasan budidaya). Pada tahun 2016 Kementerian ATR/BPN melakukan kegiatan pembuatan peta dasar pertanahan untuk skala 1:1.000 dan 1:2.500, sehingga pada tahun 2016 luas cakupan peta dasar pertanahan menjadi 29,37 Juta Ha (45,67% bila dibandingkan luas kawasan budidaya). Pada tahun 2016, cakupan peta dasar pertanahan mengalami peningkatan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan cakupan peta dasar pertanahan pada tahun 2014.
Selanjutnya pada tahun 2017, Kementerian ATR/BPN melakukan penyusunan peta dasar pertanahan menggunakan media foto udara dengan tingkat kedetailan yang cukup tinggi pada skala 1:1.000. Penyusunan peta ini hanya dilakukan pada wilayah-wilayah yang cakupannya tidak terlalu luas. Adapun wilayah yang disusun peta dasar pertanahan tersebut antara lain: Kabupaten Kampar, Sumbawa, Deli Serdang dan Kota Waringing Barat. Total luas untuk Peta Dasar Pertanahan yang disusun pada tahun 2017 seluas ± 167.066 Ha. Selain itu, pada tahun 2017 juga dilakukan pembuatan peta dasar untuk mendukung penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pada beberapa wilayah yaitu Labuan Bajo, Pulau Wetar dan Teluk Mutiara. Dengan demikian, cakupan peta dasar pada tahun 2017 tidak mengalami peningkatan yang besar tetapi memiliki kualitas kedetailan yang tinggi.
Data cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan tahun 2017 yang diperoleh dari Kementerian ATR/BPN merupakan data AOI (Area Of Interest). Data AOI merupakan data rencana awal kegiatan yang akan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN. Namun setelah dilakukan konfirmasi dapat dipastikan bahwa rencana AOI tidak ada perubahan dengan hasil akhir, dengan demikian luasan yang direncanakan pada AOI sama dengan luasan hasil akhir kegiatan pembuatan Peta Dasar Pertanahan. Dengan demikian, hingga tahun 2017 cakupan Peta Dasar Pertanahan sebesar 29,546 Juta Ha (45,93 % dari luas kawasan budidaya).
Berdasarkan cakupan luas peta dasar pertanahan tersebut, terdapat beberapa provinsi yang memiliki cakupan peta dasar pertanahan yang sudah lebih dari 80% yaitu Provinsi Aceh, Bali, D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Namun sebaliknya beberapa provinsi yang masih memiliki cakupan
peta dasar pertanahan di bawah 20% yaitu: DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, dan Riau. Cakupan peta dasar untuk Provinsi DKI Jakarta masih di bawah 10% namun bila dibandingkan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat sudah cukup besar. Anomali ini perlu mendapat perhatian semua pihak agar cakupan peta dasar pertanahan dapat menjadi lebih baik. Dengan capaian cakupan Peta Dasar Pertanahan tersebut diharapkan dapat menghasilkan data sertipikasi bidang tanah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Rekapitulasi cakupan peta dasar pertanahan Tahun 2014 s.d 2017 disajikan pada Tabel 4.1, sedangkan cakupan peta dasar pertanahan berdasarkan provinsi disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1
Rekapitulasi Cakupan Peta Dasar Pertanahan Tahun 2014 s.d 2017
Uraian Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Luas Wilayah
Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha Luas Kawasan
Budidaya Nasional 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha Cakupan Peta Dasar
Pertanahan di Kawasan Budidaya 14,96 juta Ha (23,26%) 26,9 Juta Ha (41,83%) 29,37 Juta Ha (45,67) 29,54 Juta Ha (45,93) Sumber: Badan Informasi Geospasial (2014); Direktorat Pengukuran dan Pemetaan
Dasar– Kementerian ATR/BPN (2014-2017)
Berdasarkan uraian di atas, secara umum capaian cakupan peta dasar pertanahan sampai dengan tahun 2017 dapat disajikan pada Gambar 4.1 berikut.
14 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Gambar 4.1
Luas Wilayah Nasional dan Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2017
Perhitungan cakupan peta dasar pertanahan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis berikut: (1) Data spasial cakupan peta dasar pertanahan Kementerian ATR/BPN perlu diolah agar tidak terdapat area yang bertampalan; (2) Pada wilayah yang saling bertampalan, dilakukan penggabungan menjadi satu area gabungan, sehingga tidak terjadi double counting daerah cakupan pada area yang sama; (3) Wilayah laut dan wilayah kawasan hutan yang masuk dalam lembar peta dasar pertanahan, tidak dimasukkan dalam perhitungan cakupan peta dasar pertanahan; (4) Sesuai arahan BIG, perhitungan luas menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection.
Tabel 4.2
Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2017 Berdasarkan Provinsi
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan
(Ha) Persentase (%) Aceh 2.293.894,50 2.063.641,48 89,96 Bali 430.782,66 429.446,49 99,69 Banten 732.307,14 200.324,92 27,36 Bengkulu 1.081.984,64 321.447,66 29,71 DI Yogyakarta 298.332,38 298.283,28 99,98 DKI Jakarta 64.623,82 6.020,78 9,32 Gorontalo 420.247,38 387.613,71 92,23
LUAS WILAYAH NASIONAL 189.073.900 Ha
TERPETAKAN MENJADI PETA DASAR PERTANAHAN
37.686.995 Ha
LUAS WILAYAH NON HUTAN 64.324.754 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
29.546.883 Ha
LUAS WILAYAH HUTAN 124.749.146 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan
(Ha) Persentase (%) Jambi 2.769.107,17 292.425,99 10,56 Jawa Barat 2.875.796,22 2.217.196,24 77,10 Jawa Tengah 2.788.249,39 2.140.041,70 76,75 Jawa Timur 3.439.007,49 738.480,14 21,47 Kalimantan Barat 6.420.377,40 1.759.603,67 27,41 Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.705.717,84 86,79 Kalimantan Tengah 2.602.813,50 710.412,23 27,29 Kalimantan Timur 4.258.575,96 844.009,84 19,82 Kalimantan Utara 1.326.458,49 481.278,50 36,28
Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 336.507,08 33,38
Kep. Riau 229.819,83 130.887,69 56,95
Lampung 2.417.687,64 1.793.422,41 74,18
Maluku 720.481,21 366.297,97 50,84
Maluku utara 629.517,46 200.501,07 31,85
Nusa Tenggara Barat 928.105,55 691.839,51 74,54
Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 2.870.008,34 94,69
Papua 1.746.190,12 94.027,58 5,38 Papua Barat 521.870,51 58.681,93 11,24 Riau 1.805.133,04 110.019,12 6,09 Sulawesi Barat 570.776,65 348.803,57 61,11 Sulawesi Selatan 2.375.862,88 1.002.286,08 42,19 Sulawesi Tengah 2.078.666,53 678.831,82 32,66 Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 940.751,47 73,88 Sulawesi Utara 750.253,17 617.578,58 82,32 Sumatera Barat 1.848.089,33 1.421.821,43 76,93 Sumatera Selatan 5.195.630,61 1.884.607,97 36,27 Sumatera Utara 3.426.624,65 1.404.065,66 40,98 INDONESIA 64.324.754,31 29.546.883,77 45,93
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN; Pengolahan Data oleh Kementerian PPN/Bappenas, 2017
16
Gambar 4.2
b. Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi
Analisis sebaran data spasial cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dilakukan untuk menghitung persentase cakupan luas bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi secara nasional. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk evaluasi kesiapan negara untuk mengubah sistem pendaftaran tanah stelsel negatif menjadi sistem pendaftaran tanah stelsel positif. Asumsi yang digunakan adalah semakin besar cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat maka akan semakin terjamin kepastian hukum hak atas tanah.
Data spasial bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan-Kementerian ATR/BPN sampai dengan Bulan Agustus 2017. Jumlah bidang tanah terdaftar seluruh Indonesia sampai dengan Bulan Agustus 2017 sebanyak 46.531.139 bidang. Dari jumlah tersebut, jumlah bidang tanah yang telah terpetakan sebanyak 26.426.014 bidang (12.795.593 hektar). Namun demikian, data spasial bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi yang diperoleh oleh Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional berjumlah 23,7 juta bidang. Selanjutnya data yang dapat diolah dan dipetakan berjumlah 23,3 juta bidang dengan total luas 8.623.982 Ha. Sedangkan sisanya sekitar 400 ribu bidang tidak dapat diolah dan dipetakan karena memiliki kualitas yang kurang baik. Secara umum, terdapat beberapa temuan dalam proses pengolahan data, antara lain: (i) kesalahan sistem proyeksi; (ii) bidang tanah masuk dalam kawasan hutan; (iii) bidang tanah berpotongan dengan batas administrasi; dan (iv) terdapat bidang tanah yang muncul pada tahun 2016 namun hilang pada tahun 2017.
Perhitungan persentase cakupan bidang tanah bersertipikat terdigitasi dilakukan dengan membandingkan luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah diolah dengan luas kawasan budidaya Indonesia seluas 64.324.754 Ha (berdasarkan SK. BIG No.20 Tahun 2013) dan kawasan enclave seluas 892.088 Ha. Capaian pada tahun 2017 seluruh Indonesia sebesar 13,22%. Berikut perbandingan capaian data rekapitulasi dari hasil pengolahan bidang tanah bersertipikat pada tahun 2016 dengan tahun 2017 (Tabel 4.3).
Tabel 4.3
Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Tahun 2016 dan 2017
Uraian Tahun 2016 Tahun 2017
Luas Wilayah Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha
Luas Kawasan Budidaya Nasional (dengan Luas Enclave)
64.324.754 Ha (65.210.543 Ha)
64.324.754 Ha (65.216.843 Ha) Jumlah Bidang Tanah yang Diolah 22,9 juta bidang 23,3 juta bidang Luas Bidang Tanah Bersertipikat yang
Terdigitasi
7.896.944 Ha (12,11%)
8.623.982 Ha (13,22%)
18 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Perhitungan cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi dilakukan pada masing-masing provinsi sesuai dengan kelompok data yang diperoleh dari Kementerian ATR/BPN yang meliputi 34 provinsi. Berdasarkan hasil pengolahan cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi, diketahui bahwa sebanyak 29 provinsi memiliki persentase cakupan bidang tanah bersertipikat masih di bawah 20% dari luas budidaya dan enclave yang masuk kategori sangat rendah. Sedangkan sebanyak 3 (tiga) provinsi memiliki persentase cakupan pada rentang 20% hingga 40% yang masuk kategori rendah yaitu Provinsi Bali, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Tengah. Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Riau memiliki persentase cakupan paling tinggi dibanding provinsi lain yaitu pada rentang 40% hingga 60% yang tergolong katagori sedang. Berikut tabulasi persentase cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi setiap provinsi (Tabel 4.4).
Tabel 4.4
Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang telah Terdigitasi Tahun 2017
Provinsi Luas budidaya (Ha) Luas budidaya (Ha)+ enclave terdigitasi (Ha)Luas sertipikat Persentase
Aceh 2.293.894,50 2.302.540,90 225.887,11 9,81% Bali 430.782,66 432.798,52 143.737,41 33,21% Banten 732.307,14 736.804,94 126.479,06 17,17% Bengkulu 1.081.984,64 1.083.870,11 180.076,35 16,61% DI Yogyakarta 298.332,38 298.527,27 66.166,73 22,16% DKI Jakarta 64.623,82 64.738,33 32.398,75 50,05% Gorontalo 420.247,38 429.293,81 53.438,76 12,45% Jambi 2.769.107,17 2.777.520,04 260.467,83 9,38% Jawa Barat 2.875.796,22 2.896.086,95 382.342,47 13,20% Jawa Tengah 2.788.249,39 2.799.777,28 469.262,41 16,76% Jawa Timur 3.439.007,49 3.447.680,67 365.511,82 10,60% Kalimantan Barat 6.420.377,40 6.448.632,94 1.032.074,42 16,00% Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.993.222,03 354.164,65 17,77% Kalimantan Tengah 2.602.813,50 2.866.168,52 678.015,64 23,66% Kalimantan Timur 4.258.575,96 4.273.371,54 760.379,26 17,79% Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.345.134,35 112.535,97 8,37% Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 1.018.727,14 111.231,46 10,92%
Kep. Riau 229.819,83 241.337,41 39.843,05 16,51%
Lampung 2.417.687,64 2.420.731,71 347.966,10 14,37%
Maluku 720.481,21 725.761,10 14.354,40 1,98%
Maluku Utara 629.517,46 632.913,68 37.270,61 5,89%
Nusa Tenggara Barat 928.105,55 937.719,21 91.133,46 9,72% Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 3.036.367,35 42.543,63 1,40%
Papua 1.746.190,12 1.751.152,47 121.181,01 6,92%
Provinsi Luas budidaya (Ha)
Luas budidaya (Ha) + enclave
Luas sertipikat
terdigitasi (Ha) Persentase
Riau 1.805.133,04 2.037.311,60 878.184,17 43,11% Sulawesi Barat 570.776,65 575.371,31 62.345,39 10,84% Sulawesi Selatan 2.375.862,88 2.397.985,47 151.434,77 6,32% Sulawesi Tengah 2.078.666,53 2.088.825,74 122.116,22 5,85% Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 1.274.551,33 52.017,59 4,08% Sulawesi Utara 750.253,17 750.768,83 16.712,75 2,23% Sumatera Barat 1.848.089,33 1.861.814,70 236.753,87 12,72% Sumatera Selatan 5.195.630,61 5.227.260,67 471.929,87 9,03% Sumatera Utara 3.426.624,65 3.488.771,64 503.207,46 14,42% INDONESIA 64.324.754,31 65.216.843,87 8.623.982,90 13,22%
Sumber: Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B-Kemen. ATR/BPN, Pengolahan data oleh Kementerian PPN/Bappenas (2017).
Apabila dibandingkan dengan data capaian tahun 2016, terdapat kenaikan persentase luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi dan jumlah bidang tanah yang dapat diolah. Namun demikian masih terdapat beberapa provinsi yang mengalami penurunan persentase luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi. Untuk menghindari terjadinya perhitungan ganda maka dilakukan seleksi dan penggabungan bidang-bidang yang saling tumpang tindih. Dengan demikian dapat disampaikan bahwa data capaian cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi pada tahun 2017 sudah memiliki kualitas data yang lebih baik dibanding data yang diperoleh dari data tahun 2016.
Data cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi pada tahun 2017 khusus untuk Provinsi Jawa Timur tidak semua dapat dilakukan perhitungan. Terdapat 2 (dua) kabupaten yaitu Ponorogo dan Madiun yang dikeluarkan dari perhitungan karena memiliki kualitas data yang kurang baik sehingga tidak dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut. Kerusakan data spasial bidang tanah bersertipikat pada Kabupaten Ponorogo dan Madiun teridentifikasi berupa bidang tanah yang saling tumpang tindih dan tersebar dengan pola tidak teratur yang tidak identik dengan bidang-bidang tanah pada umumnya. Sehingga atas usulan dan arahan dari Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B-Kementerian ATR/BPN agar kedua kabupaten tersebut dapat dikeluarkan dari perhitungan, dan data akan diperbaiki lebih lanjut oleh Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B Kementerian ATR/BPN dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan kedua Kantor Pertanahan tersebut yaitu Kabupaten Ponogoro dan Madiun.
20
Gambar 4.3
2. Tercapainya kesepakatan materi acuan Sosialisasi Pendaftaran Tanah Adat/ulayat Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Negara mengakui keberadaan adat beserta hak-haknya. UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria juga telah menggariskan ketentuan mengenai adat, seperti Pasal 2, ayat (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Namun demikian, pada Pasal 3 menyatakan pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Selanjutnya, UU 6/2014 tentang Desa Pasal 1, huruf l menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Berdasarkan peraturan perundangan yang ada (Permen Agraria 5/1999), syarat pengakuan keberadaan tanah adat/ulayat sebagai berikut:
x Masyarakat hukum adat/ulayat, terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
x Tanah adat/ulayat, terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
x Aturan hukum adat/ulayat, terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pendaftaran tanah adat/ulayat adalah masih beragamnya pemahaman stakeholder terkait terhadap peran
masing-22 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
tentang tanah adat/ulayat yang disusun belum dilengkapi dengan data spasial sehingga tidak jelasnya wilayah adat/ulayat. Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi kepada stakeholder terkait.
Pada tahun 2017 Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional belum dapat menyusun materi sosialisasi pendaftaran tanah adat/ulayat karena belum disepakati aturan mengenai pendaftaran tanah adat/ulayat. Salah satunya peraturan perundangan yang perlu direvisi dan diselaraskan adalah Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu yang sudah direvisi dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Peraturan tersebut menyebabkan ketidakjelasan mengenai pengertian Hak Ulayat, unsur-unsur adanya Hak Ulayat, dan penentuan masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, serta ketentuan pengaturan tanah adat/ulayat.
Beberapa poin penting yang perlu disesuaikan dengan peraturan terkait tanah adat/ulayat antara lain:
x Hak Ulayat tidak sama dengan Hak Komunal; x Terdapat dualisme subyek dan obyek yang diatur;
x Terdapat kontradiksi antar beberapa pasal didalamnya; dan
x Konsep hak komunal dalam Permen ATR No.9/2015 bertentangan dengan Pasal 16