TIM PENYUSUN LAPORAN
1. Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D2. Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP 3. Ir. Rinella Tambunan, MPA
4. Ir. Nana Apriyana, MT 5. Santi Yulianti, S.IP, MM 6. Hernydawaty, SE, ME 7. Aswicaksana, ST, MT, M.Sc 8. Awan Setiawan, SE, MM, ME 9. Elmy Yasinta Ciptadi, ST, MT 10. Zaenal Arifin, ST, MPIA 11. Gita Nurrahmi, ST 12. Fadiah Adlina Ulfah, S.Si 13. Edi Setiawan, S.Si 14. Giara Iman Nanda, S.Si 15. Sylvia Krisnawati 16. Cecep Saryanto 17. Ujang Supriatna 18. Pratiwi Khoiriyah
19. Meddy Chandra Himawan 20. Widodo
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga kegiatan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Tahun 2017 telah selesai dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional ini pertama kali diinisiasi pada tahun 2013, dibentuk sebagai upaya koordinasi dalam perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional sesuai dengan White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional yang diterbitkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas pada tahun 2013. Selanjutnya, koordinasi strategis ini menjadi prakondisi pengenalan isu yang kemudian menjadi kebijakan dalam RPJMN 2015-2019; dan dengan terbitnya RPJMN 2015-2019 menjadi awal pembaharuan kebijakan bidang pertanahan, serta untuk memantau dan memberikan arahan dalam pelaksanaan kebijakan RPJMN bidang pertanahan hingga tahun 2019.
Pada tahun 2017, kegiatan ini dilaksanakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP.15/M.PPN/HK/02/2017 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional, dan beranggotakan perwakilan dari beberapa Kementerian/Lembaga yang menjadi pelaksana kunci bidang pertanahan yaitu Kementerian PPN/Bappenas; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN); Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Sebagaimana tertuang dalam White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional, kebijakan-kebijakan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh kegiatan koordinasi strategis ini adalah: (1) Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistem Publikasi Positif, (2) Kebijakan Asset Reform dan Access Reform, (3) Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan (4) Kebijakan Sumberdaya Manusia Bidang Pertanahan. Capaian pelaksanaan kegiatan ini pada tahun 2017 secara umum telah sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan, walaupun tentunya masih terdapat beberapa kegiatan yang harus dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.
Pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional hanya dapat berjalan dengan adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak antara lain Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian PAN-RB, Kanwil BPN Provinsi dan Bappeda Provinsi serta berbagai pihak lainnya. Oleh sebab itu kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi sebesar-besarnya atas segala partisipasi dan bantuan yang diberikan.
iv Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Laporan ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran mengenai kemajuan pelaksanaan kebijakan pengelolaan pertanahan nasional. Dengan demikian sektor-sektor terkait dapat memperhatikan capaian pelaksanaan yang tertuang, terutama dalam menyusun kebijakan operasional terkait bidang pertanahan di masing-masing sektor.
Jakarta, Desember 2017
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
selaku Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN LAPORAN ...i
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR ISTILAH... ix
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL ..3
BAB III RUANG LINGKUP KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL ...5
BAB IV CAPAIAN KERJA KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN 2017...9
4.1 Intervensi Kebijakan ...9
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif...9
4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform ...25
4.1.3 Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum ...35
4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan ...38
4.2 Koordinasi Sertipikasi Tanah Transmigrasi...39
4.3 Publikasi dan Sosialisasi...42
4.3.1 Media CD ...42
4.3.2 Media Daring ...42
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Rekapitulasi Cakupan Peta Dasar Pertanahan Tahun 2014 s.d 2017...13 Tabel 4.2 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2017
Berdasarkan Provinsi...14 Tabel 4.3 Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Tahun 2016
dan 2017...17 Tabel 4.4 Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang telah Terdigitasi Tahun 2017...18 Tabel 4.5 Program Prioritas Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
2018...28 Tabel 4.6 Capaian Legalisasi Aset dan Redistribusi Aset hingga Oktober 2017...32
viii Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Luas Wilayah Nasional dan Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2017...14 Gambar 4.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan Tahun 2017...16 Gambar 4.3 Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang telah Terdigitasi Tahun 2017....20 Gambar 4.4 Program Prioritas Reforma Agraria dalam RKP 2018...27 Gambar 4.5 Target Reforma Agraria dalam RPJMN 2015-2019 ...31
DAFTAR ISTILAH
1. Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional adalah Tim Koordinasi yang dibentuk oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas yang bertugas antara lain untuk melakukan perbaikan kebijakan bidang pertanahan nasional.
2. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah, serta perbuatan mengenai tanah, yang diatur dengan hukum tanah.
3. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.
4. Tanah Negara adalah Tanah yang tidak dipunyai dengan suatu Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat.
5. Reforma Agraria adalah penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform.
6. Akses Reform (access reform) adalah pemberian akses bagi penerima tanah obyek reforma agraria untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya secara optimal baik untuk bidang pertanian maupun nonpertanian.
7. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA adalah Tanah yang dikuasai oleh negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan dalam rangka Reforma Agraria.
8. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk menerima TORA.
9. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
11. Pengadilan Pertanahan adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara pertanahan.
x Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
12. PRONA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria) adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.
13. PRODA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria Daerah) adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset pada suatu daerah yang dibiayai oleh pemerintah daerah, dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.
14. Sertifikasi tanah lintas K/L adalah adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset yang dibiayai pemerintah untuk beberapa target sektor seperti: petani, nelayan, transmigrasi, UKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
15. Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
16. PTSL (singkatan dari Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap) adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya.
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan bidang pertanahan di Indonesia adalah ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Permasalahan mendasar pertanahan ini adalah kurangnya keadilan: di satu pihak sebagian kecil penduduk Indonesia menguasai tanah yang amat luas, di lain pihak sebagian besar penduduk harus hidup di tanah yang sempit. Selain itu, masih banyaknya terjadi kasus pertanahan menunjukkan belum baiknya administrasi pertanahan di Indonesia dan belum kuatnya kepastian hukum hak atas tanah. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa tanah belum dapat memberikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, peran negara sangat penting dalam mengelola sumber daya alam, termasuk tanah, agar sumber daya alam dan tanah itu benar-benar mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Perbaikan sistem pengelolaan pertanahan yang berkeadilan memerlukan koordinasi intensif dari berbagai pemangku kepentingan. Pada tahun 2013, Kementerian PPN/Bappenas telah menyusun White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional yang kemudian menjadi bahan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional dibentuk pada tahun 2013, sebagai upaya koordinasi dalam perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional sesuai dengan White Paper tersebut. Selanjutnya, koordinasi strategis ini menjadi prakondisi pengenalan isu yang kemudian menjadi kebijakan dalam RPJMN 2015-2019; dan dengan terbitnya RPJMN 2015-2019 menjadi awal pembaharuan kebijakan bidang pertanahan, serta untuk memantau dan memberikan arahan dalam pelaksanaan kebijakan RPJMN bidang pertanahan hingga tahun 2019, dan koordinasi lintas sektor dan lintas K/L dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional dengan pendekatan Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial, dalam perencanaan Reforma Agraria.
Kebijakan RPJMN Tahun 2015-2019 Bidang Pertanahan sebagaimana dimaksud ditekankan pada upaya perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional, untuk menjawab beberapa isu strategis bidang pertanahan yaitu (i) Jaminan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah; (ii) Ketimpangan pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta Kesejahteraan Masyarakat; (iii) Ketersediaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; dan (iv) Kinerja Pelayanan Pertanahan. Isu strategis tersebut dituangkan dalam beberapa kebijakan nasional yang menjadi acuan pelaksanaan program kerja bidang pertanahan tahun 2015-2019 sebagai berikut: (i) Membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif, (ii) Reforma Agraria melalui redistribusi tanah, pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat, (iii) Pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dan (iv) Pencapaian proporsi kompetensi SDM
2 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Upaya perbaikan sistem pengelolaan pertanahan sebagaimana diamanatkan dalam White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional dan RPJMN Tahun 2015-2019 Bidang Pertanahan berdasar pada amanat TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan pertanahan yang berkeadilan maka dibutuhkan koordinasi yang intensif dari berbagai pemangku kepentingan terkait yang melibatkan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, serta Organisasi non pemerintah. Sesuai dengan kewenangannya, Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pembangunan nasional.
Pada tahun 2017, kegiatan ini dilaksanakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP.15/M.PPN/HK/02/2017 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional, dan beranggotakan perwakilan dari beberapa Kementerian/Lembaga yang menjadi pelaksana kunci bidang pertanahan yaitu Kementerian PPN/Bappenas; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN); Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Tim koordinasi strategis ini bersinergi dengan Kelompok Kerja Reforma Agraria di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dibentuk pada pertengahan tahun 2017, yang berfokus pada Asset Reform dan Access Reform (arah kebijakan ii) sesuai dengan penugasan Presiden.
Capaian Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional dirangkum sebagai upaya menjawab kebijakan RPJMN 2015-2019 di atas. Untuk menggambarkan berbagai capaian tersebut hingga Bulan Desember 2017, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional menyusun Laporan Akhir (Final Report) Pelaksanaan Kegiatan. Penyusunan laporan akhir dilakukan melalui rangkaian rapat anggota tim, focussed group discussion (FGD), kunjungan lapangan dan rapat dan sosialisasi di daerah yang melibatkan berbagai stakeholder terkait untuk mendapatkan pemahaman yang sama mengenai reforma agraria (perbaikan sistem pengelolaan pertanahan). Secara umum laporan ini memuat tujuan dan sasaran kegiatan, ruang lingkup kegiatan, rencana kebijakan, dan capaian kerja.
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI STRATEGIS REFORMA
AGRARIA NASIONAL
Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional bertujuan untuk melakukan koordinasi dalam pelaksanaan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, serta penyusunan rencana program dan kegiatan. Adapun sasaran yang akan dicapai, antara lain:
a. Melaksanakan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria;
b. Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan kegiatan (RPK) terkait reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK tersebut;
c. Melaksanakan diseminasi dan sosialisasi kebijakan pertanahan, membangun konsensus, dan mendapatkan dukungan komitmen dari institusi dan pelaku terkait pelaksanaan reforma agraria nasional.
Kegiatan ini dilaksanakan untuk mendukung sasaran rencana strategis Perencanaan Pembangunan Nasional yang berkualitas, sinergis, dan kredibel. Indikator kinerja (outcome) yang digunakan berupa persentase keselarasan muatan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional lingkup Pengembangan Regional. Indikator kinerja pada output yang dihasilkan merupakan Kualitas Kajian Penyusunan RKP bidang tata ruang dan pertanahan yang bersifat holistik dan terintegrasi dalam prioritas pembangunan nasional.
BAB III
RUANG LINGKUP KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA
NASIONAL
Berikut adalah ruang lingkup pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional berdasarkan subjek pelaksana kegiatan, yaitu sebagai berikut :
a. Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN)
Tim Koordinasi Strategis yang beranggotakan Perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan Perwakilan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait kegiatan Pertanahan Nasional, yang pembentukannya ditetapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, memiliki lingkup kerja: (i) Merencanakan, mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan reforma agraria nasional; (ii) Melaksanakan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria nasional; (iii) Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan kegiatan (RPK) terkait reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK tersebut; (iv) Melaksanakan sosialisasi dan publikasi kebijakan dan perkembangan pelaksanaan kegiatan reforma agraria nasional. Secara lebih rinci, kegiatan yang akan dilaksanakan baik melalui Kajian dan Studi Kebijakan Pertanahan Nasional, maupun upaya pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan yang sebelumnya telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Kajian dan Studi Kebijakan. Pelaksanaan kegiatan kajian dan studi kebijakan dilakukan dalam rangka menyusun kebijakan baru dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia. Adapun studi kebijakan yang akan dilakukan pada tahun anggaran 2017 adalah sebagai berikut:
a) Sosialisasi peraturan perundangan terkait tanah adat/ulayat
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan sosialisasi peraturan terkait tanah adat/ulayat, sehingga K/L dan pemda memiliki informasi dan arahan yang jelas dalam menyusun program untuk pengakuan dan penetapan tanah adat/ulayat.
b) Kajian Pelaksanaan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan
Kajian ini dimaksudkan untuk menyusun pedoman pelaksanaan kegiatan publikasi Tata Batas Kawasan Hutan. Pelaksanaan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan dilaksanakan melalui pilot project akan dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada beberapa lokasi yang disepakati dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
6 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Kementerian PPN/Bappenas membantu koordinasi pelaksanaan kegiatan serta melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan tersebut.
c) Kajian Mekanisme Pelaksanaan Access Reform
Kajian ini dilakukan untuk menyusun pedoman umum pelaksanaan access reform yang dapat digunakan oleh K/L yang memiliki kegiatan pemberdayaan masyarakat dan juga Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam menyempurnakan pelaksanaan program Reforma Agraria Nasional. Pedoman ini merupakan strategi umum yang menampung kebutuhan aktual untuk mendukung redistribusi tanah yang telah dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN selama ini.
d) Koordinasi penyusunan NSPK terkait Lembaga Penyediaan Tanah
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan Peraturan Presiden terkait pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah di Lingkungan Kementerian ATR/BPN, sehingga penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dapat berjalan secara optimal.
2. Identifikasi dan Pengolahan Data Capaian Peta Dasar Pertanahan. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mewujudkan perubahan kebijakan pendaftaran pertanahan publikasi positif. Kegiatan ini juga merupakan kelanjutan dari kegiatan tahun sebelumnya untuk mengidentifikasi capaian cakupan peta dasar pertanahan yang telah disusun pada kawasan budidaya (non kawasan hutan).
3. Identifikasi dan Pengoalahan Data Cakupan Bidang Tanah Bersertifikat yang telah Terdigitasi. Kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka mewujudkan perubahan kebijakan pendaftaran tanah nasional dan untuk meningkatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat.
b. Sekretariat Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN)
Sekretariat Reforma Agraria (RAN) dibentuk dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dari Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria. Sekretariat tersebut akan mendukung secara teknis pelaksanaan koordinasi reforma agraria dari aspek (i) penyusunan dan perumusan kebijakan Reforma Agraria Nasional (RAN); (ii) koordinasi pelaksanaan RAN lintas sektor (K/L); (iii) koordinasi penyelesaian permasalahan pertanahan lainnya; dan (iv) pemantauan dan evaluasi. Pelaksanaan kegiatan di sekretariat juga memberikan informasi perkembangan yang aktual kepada Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN).
Perumusan kebijakan terkait sistem pertanahan nasional dalam hal ini kaitannya dengan reforma agraria, diperlukan juga kegiatan studi kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan Reforma Agraria Nasional (RAN) dan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan terkait pertanahan lainnya. Kegiatan studi kebijakan
yang dimaksud adalah untuk merumuskan dan mengidentikasi jenis kebijakan seperti apa yang harus diambil dalam rangka menyelesaikan konflik pertanahan sebagai salah satu bentuk kegiatan reforma agraria. Adapun untuk Tahun Anggaran 2017 perumusan kebijakan yang dilakukan adalah terkait publikasi tata batas kawasan hutan, Harmonisasi Peraturan Terkait Adat/Ulayat, Redistribusi Tanah, dan Pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah.
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan juga membutuhkan media publikasi dan pengenalan program terhadap stakeholder sehingga dapat memberikan informasi mengenai program dan kegiatan yang dilakukan oleh Tim Koordinasi Strategis dan Sekretariat Reforma Agraria. Disamping yang berkaitan dengan kegiatan publikasi dan sosialisasi diperlukan juga kegiatan penyusunan database program mengingat banyaknya pelaku program dan kegiatan yang akan dilakukan pada tahun 2017.
BAB IV
CAPAIAN KERJA KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA
NASIONAL TAHUN 2017
Secara umum Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional tahun 2017 meliputi 3 substansi kebijakan bidang pertanahan, yaitu:
1) Intervensi Kebijakan;
2) Koordinasi Sertipikasi Tanah Transmigrasi; 3) Publikasi dan Sosialisasi Reforma Agraria.
4.1 Intervensi Kebijakan
Intervensi kebijakan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional tahun 2017 merupakan tindaklanjut dari arah kebijakan pengelolaan pertanahan nasional yang tertuang dalam White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional (2013) dan selaras juga dengan arah kebijakan RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanahan. Beberapa intervensi kebijakan yang menjadi fokus pada tahun 2017 adalah: (i) Kebijakan Sistem Pendaftaran Tanah Publikasi Positif; (ii) Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform; (iii) Kebijakan Pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah; dan (iv) Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut capaian masing-masing kebijakan tersebut.
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif
Saat ini Indonesia menganut Sistem pendaftaran tanah publikasi negatif atau dikenal juga dengan sistem stelsel negatif. Pada sistem pendaftaran tanah publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran informasi yang tercantum di dalam sertipikat hak atas tanah. Informasi yang tercantum tersebut dianggap benar sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian, untuk meningkatkan jaminan kepastian hukum diperlukan perubahan sistem pendaftaran tanah nasional dari pendaftaran tanah sistem publikasi negatif menuju pendaftaran tanah sistem publikasi positif. Pada sistem publikasi positif, setiap informasi dijamin kebenarannya oleh negara. Apabila terjadi kesalahan informasi yang dilakukan oleh negara, maka sebagai bentuk pertanggungjawaban negara wajib mengganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Namun demikian, perubahan sistem pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan berbagai prakondisi (pre-requisite condition) yang diperlukan. Perubahan pendaftaran tanah sistem publikasi positif dapat dilakukan apabila ketersedian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan dan Cakupan Wilayah yang Bersertifikat telah mencapai 80% dari luas wilayah Indonesia di luar kawasan hutan. Pada tahap awal diperlukan upaya untuk
10 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
mengidentifikasi sebaran lokasi ketersediaan peta pertanahan dan cakupan wilayah bidang tanah yang telah bersertifikat.
Bebeberapa langkah yang diperlukan untuk mencapai pre-requisite condition perubahan pendaftaran tanah menjadi sistem publikasi positif meliputi: (i) Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan; dan (ii) Percepatan Pelaksanaan Sertipikasi Tanah. Sebagai konsekuensi logis dari penjaminan kebenaran informasi batas bidang tanah, perlu dilakukan upaya memastikan batas kawasan hutan dengan kawasan non hutan. Publikasi batas kawasan hutan dan non kawasan hutan harus dilakukan pada skala yang sama dengan skala pendaftaran tanah (skala kadastral) dan terintegrasi dalam sistem pendaftaran tanah nasional. Selain itu, mendukung upaya percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah pada seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia maka perlu dilakukan penyelesaian permasalahan tanah adat/ulayat melalui pelaksanaan pendaftaran tanah adat/ulayat. Pemahaman sistem hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan khususnya pada wilayah adat/ulayat terutama wilayah timur Indonesia, meskipun Indonesia memiliki hukum pertanahan yang mengatur secara jelas mengenai tata cara baik kepemilikan maupun proses jual-beli. Adanya perbedaan pemahaman sistem hukum tanah di berbagai wilayah di Indonesia seringkali menimbulkan konflik pertanahan. Sehingga sistem tenurial dan pola kerjasama pemanfaatan berdasarkan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya matrikulasi penyamaan pemahaman konsep terlebih dahulu.
Dalam rangka pelaksanaan identifikasi cakupan peta dasar pertanahan dibutuhkan informasi data spasial. Berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (2014) diketahui luas wilayah nasional Indonesia adalah 189.073.900 Ha, yang terdiri atas kawasan hutan dan kawasan budidaya. Dari luas keseluruhan wilayah nasional tersebut yang merupakan kawasan budidaya adalah seluas 64.324.754,31 Ha. Pada tahun 2016, Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional telah disusun peta dasar pertanahan dengan cakupan seluas 29.379.816,84 Ha atau 45,67%.
Selanjutnya untuk cakupan bidang tanah bersertipikat, berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan-Kementerian ATR/BPN, data spasial cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi pada tahun 2016 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan kualitas data dan informasi. Cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi pada tahun 2016 sebesar 7,89 Juta Ha (12,11 Juta Ha bila ditambah dengan enclave). Metode pengolahan data yang dipakai adalah dengan menggabungkan bidang-bidang tanah tersebut, hal ini untuk menghindari data yang saling tumpang tindih dan dapat menghindari perhitungan ganda. Penggabungan bidang-bidang tanah dilakukan karena masih ada beberapa data yang saling tumpang tindih. Untuk data bidang tanah bersertifikat yang telah terdigitasi dengan kondisi baik, artinya tidak ada data yang tumpang tindih maka perhitungan dengan menggunakan software pemetaan dapat dilakukan langsung tanpa perlu untuk menggabungkan data yang tumpang tindih
tersebut. Berdasarkan hasil pengolahan data, sebagian besar provinsi masih memiliki persentase cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi di bawah 20%.
A. Rencana
Berdasarkan uraian di atas terkait perubahan pendaftaran tanah menuju sistem publikasi positif, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2017 telah menetapkan beberapa target kegiatan sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya informasi cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat;
2. Tercapainya kesepakatan materi acuan Sosialisasi Pendaftaran Tanah Adat/Ulayat; dan
3. Disepakati dan terlaksananya pilot project Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan. B. Capaian
Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya informasi cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat
a. Cakupan Peta Dasar Pertanahan
Perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif membutuhkan kesiapan teknis dan yuridis. Salah satu aspek teknis yang diperlukan adalah ketersediaan cakupan peta dasar pertanahan sebagai peta rujukan dalam pembuatan dan penerbitan sertifikat. Semakin baik dan semakin luas cakupan peta dasar pertanahan yang dimiliki suatu wilayah diasumsikan akan semakin baik juga kualitas peta bidang tanah bersertifikat yang dihasilkan. Dengan demikian, akan menjamin kebenaran informasi informasi bidang tanah yang telah bersertipikat sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya konflik pertanahan.
Proses pengolahan data cakupan peta dasar pertanahan dilakukan secara spasial dengan menghitung luas cakupan peta pada lembar-lembar Peta Dasar Pertanahan yang diperoleh dari Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar–Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Hasil pengolahan data spasial pada Tahun 2013 diperoleh capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan seluas 25,44 juta hektar atau 13,31% dari luas Wilayah Nasional Indonesia (191,09 juta hektar).
Pada tahun 2014 Badan Informasi Geospasial (BIG) menerbitkan luas spasial wilayah Indonesia, yang terdiri atas wilayah kawasan hutan dan wilayah non-kawasan hutan. Perhitungan luas wilayah nasional dengan metode menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection. Proyeksi luas tersebut sesuai dengan arahan BIG dalam
12 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
variabel luas wilayah nasional yang diterbitkan oleh BIG menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk perhitungan cakupan peta dasar pertanahan, agar mendapatkan kualitas informasi yang lebih baik mengenai luas wilayah Indonesia. Sejak tahun 2014 dan seterusnya variabel pembagi perhitungan diubah menjadi luas wilayah nasional di luar kawasan hutan mengganti variabel pembagi dari tahun sebelumnya yaitu luas wilayah nasional.
Berdasarkan informasi dari BIG tersebut, luas wilayah nasional di luar kawasan hutan adalah seluas 64.324.754 Ha. Dari luasan tersebut, pada tahun 2014 terdapat seluas 14.962.428,14 Ha yang telah dipetakan dalam peta dasar pertanahan. Selanjutnya pada tahun 2015, kegiatan penyusunan peta dasar pertanahan sehingga cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan mencapai sebesar 26,9 juta hektar (41,83% dari luas kawasan budidaya). Pada tahun 2016 Kementerian ATR/BPN melakukan kegiatan pembuatan peta dasar pertanahan untuk skala 1:1.000 dan 1:2.500, sehingga pada tahun 2016 luas cakupan peta dasar pertanahan menjadi 29,37 Juta Ha (45,67% bila dibandingkan luas kawasan budidaya). Pada tahun 2016, cakupan peta dasar pertanahan mengalami peningkatan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan cakupan peta dasar pertanahan pada tahun 2014.
Selanjutnya pada tahun 2017, Kementerian ATR/BPN melakukan penyusunan peta dasar pertanahan menggunakan media foto udara dengan tingkat kedetailan yang cukup tinggi pada skala 1:1.000. Penyusunan peta ini hanya dilakukan pada wilayah-wilayah yang cakupannya tidak terlalu luas. Adapun wilayah yang disusun peta dasar pertanahan tersebut antara lain: Kabupaten Kampar, Sumbawa, Deli Serdang dan Kota Waringing Barat. Total luas untuk Peta Dasar Pertanahan yang disusun pada tahun 2017 seluas ± 167.066 Ha. Selain itu, pada tahun 2017 juga dilakukan pembuatan peta dasar untuk mendukung penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pada beberapa wilayah yaitu Labuan Bajo, Pulau Wetar dan Teluk Mutiara. Dengan demikian, cakupan peta dasar pada tahun 2017 tidak mengalami peningkatan yang besar tetapi memiliki kualitas kedetailan yang tinggi.
Data cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan tahun 2017 yang diperoleh dari Kementerian ATR/BPN merupakan data AOI (Area Of Interest). Data AOI merupakan data rencana awal kegiatan yang akan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN. Namun setelah dilakukan konfirmasi dapat dipastikan bahwa rencana AOI tidak ada perubahan dengan hasil akhir, dengan demikian luasan yang direncanakan pada AOI sama dengan luasan hasil akhir kegiatan pembuatan Peta Dasar Pertanahan. Dengan demikian, hingga tahun 2017 cakupan Peta Dasar Pertanahan sebesar 29,546 Juta Ha (45,93 % dari luas kawasan budidaya).
Berdasarkan cakupan luas peta dasar pertanahan tersebut, terdapat beberapa provinsi yang memiliki cakupan peta dasar pertanahan yang sudah lebih dari 80% yaitu Provinsi Aceh, Bali, D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Namun sebaliknya beberapa provinsi yang masih memiliki cakupan
peta dasar pertanahan di bawah 20% yaitu: DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, dan Riau. Cakupan peta dasar untuk Provinsi DKI Jakarta masih di bawah 10% namun bila dibandingkan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat sudah cukup besar. Anomali ini perlu mendapat perhatian semua pihak agar cakupan peta dasar pertanahan dapat menjadi lebih baik. Dengan capaian cakupan Peta Dasar Pertanahan tersebut diharapkan dapat menghasilkan data sertipikasi bidang tanah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Rekapitulasi cakupan peta dasar pertanahan Tahun 2014 s.d 2017 disajikan pada Tabel 4.1, sedangkan cakupan peta dasar pertanahan berdasarkan provinsi disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1
Rekapitulasi Cakupan Peta Dasar Pertanahan Tahun 2014 s.d 2017
Uraian Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Luas Wilayah
Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha Luas Kawasan
Budidaya Nasional 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha Cakupan Peta Dasar
Pertanahan di Kawasan Budidaya 14,96 juta Ha (23,26%) 26,9 Juta Ha (41,83%) 29,37 Juta Ha (45,67) 29,54 Juta Ha (45,93) Sumber: Badan Informasi Geospasial (2014); Direktorat Pengukuran dan Pemetaan
Dasar– Kementerian ATR/BPN (2014-2017)
Berdasarkan uraian di atas, secara umum capaian cakupan peta dasar pertanahan sampai dengan tahun 2017 dapat disajikan pada Gambar 4.1 berikut.
14 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Gambar 4.1
Luas Wilayah Nasional dan Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2017
Perhitungan cakupan peta dasar pertanahan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis berikut: (1) Data spasial cakupan peta dasar pertanahan Kementerian ATR/BPN perlu diolah agar tidak terdapat area yang bertampalan; (2) Pada wilayah yang saling bertampalan, dilakukan penggabungan menjadi satu area gabungan, sehingga tidak terjadi double counting daerah cakupan pada area yang sama; (3) Wilayah laut dan wilayah kawasan hutan yang masuk dalam lembar peta dasar pertanahan, tidak dimasukkan dalam perhitungan cakupan peta dasar pertanahan; (4) Sesuai arahan BIG, perhitungan luas menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection.
Tabel 4.2
Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2017 Berdasarkan Provinsi
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan
(Ha) Persentase (%) Aceh 2.293.894,50 2.063.641,48 89,96 Bali 430.782,66 429.446,49 99,69 Banten 732.307,14 200.324,92 27,36 Bengkulu 1.081.984,64 321.447,66 29,71 DI Yogyakarta 298.332,38 298.283,28 99,98 DKI Jakarta 64.623,82 6.020,78 9,32 Gorontalo 420.247,38 387.613,71 92,23
LUAS WILAYAH NASIONAL 189.073.900 Ha
TERPETAKAN MENJADI PETA DASAR PERTANAHAN
37.686.995 Ha
LUAS WILAYAH NON HUTAN 64.324.754 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
29.546.883 Ha
LUAS WILAYAH HUTAN 124.749.146 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan
(Ha) Persentase (%) Jambi 2.769.107,17 292.425,99 10,56 Jawa Barat 2.875.796,22 2.217.196,24 77,10 Jawa Tengah 2.788.249,39 2.140.041,70 76,75 Jawa Timur 3.439.007,49 738.480,14 21,47 Kalimantan Barat 6.420.377,40 1.759.603,67 27,41 Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.705.717,84 86,79 Kalimantan Tengah 2.602.813,50 710.412,23 27,29 Kalimantan Timur 4.258.575,96 844.009,84 19,82 Kalimantan Utara 1.326.458,49 481.278,50 36,28
Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 336.507,08 33,38
Kep. Riau 229.819,83 130.887,69 56,95
Lampung 2.417.687,64 1.793.422,41 74,18
Maluku 720.481,21 366.297,97 50,84
Maluku utara 629.517,46 200.501,07 31,85
Nusa Tenggara Barat 928.105,55 691.839,51 74,54
Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 2.870.008,34 94,69
Papua 1.746.190,12 94.027,58 5,38 Papua Barat 521.870,51 58.681,93 11,24 Riau 1.805.133,04 110.019,12 6,09 Sulawesi Barat 570.776,65 348.803,57 61,11 Sulawesi Selatan 2.375.862,88 1.002.286,08 42,19 Sulawesi Tengah 2.078.666,53 678.831,82 32,66 Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 940.751,47 73,88 Sulawesi Utara 750.253,17 617.578,58 82,32 Sumatera Barat 1.848.089,33 1.421.821,43 76,93 Sumatera Selatan 5.195.630,61 1.884.607,97 36,27 Sumatera Utara 3.426.624,65 1.404.065,66 40,98 INDONESIA 64.324.754,31 29.546.883,77 45,93
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN; Pengolahan Data oleh Kementerian PPN/Bappenas, 2017
16
Gambar 4.2
b. Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi
Analisis sebaran data spasial cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dilakukan untuk menghitung persentase cakupan luas bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi secara nasional. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk evaluasi kesiapan negara untuk mengubah sistem pendaftaran tanah stelsel negatif menjadi sistem pendaftaran tanah stelsel positif. Asumsi yang digunakan adalah semakin besar cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat maka akan semakin terjamin kepastian hukum hak atas tanah.
Data spasial bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan-Kementerian ATR/BPN sampai dengan Bulan Agustus 2017. Jumlah bidang tanah terdaftar seluruh Indonesia sampai dengan Bulan Agustus 2017 sebanyak 46.531.139 bidang. Dari jumlah tersebut, jumlah bidang tanah yang telah terpetakan sebanyak 26.426.014 bidang (12.795.593 hektar). Namun demikian, data spasial bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi yang diperoleh oleh Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional berjumlah 23,7 juta bidang. Selanjutnya data yang dapat diolah dan dipetakan berjumlah 23,3 juta bidang dengan total luas 8.623.982 Ha. Sedangkan sisanya sekitar 400 ribu bidang tidak dapat diolah dan dipetakan karena memiliki kualitas yang kurang baik. Secara umum, terdapat beberapa temuan dalam proses pengolahan data, antara lain: (i) kesalahan sistem proyeksi; (ii) bidang tanah masuk dalam kawasan hutan; (iii) bidang tanah berpotongan dengan batas administrasi; dan (iv) terdapat bidang tanah yang muncul pada tahun 2016 namun hilang pada tahun 2017.
Perhitungan persentase cakupan bidang tanah bersertipikat terdigitasi dilakukan dengan membandingkan luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah diolah dengan luas kawasan budidaya Indonesia seluas 64.324.754 Ha (berdasarkan SK. BIG No.20 Tahun 2013) dan kawasan enclave seluas 892.088 Ha. Capaian pada tahun 2017 seluruh Indonesia sebesar 13,22%. Berikut perbandingan capaian data rekapitulasi dari hasil pengolahan bidang tanah bersertipikat pada tahun 2016 dengan tahun 2017 (Tabel 4.3).
Tabel 4.3
Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat Tahun 2016 dan 2017
Uraian Tahun 2016 Tahun 2017
Luas Wilayah Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha
Luas Kawasan Budidaya Nasional (dengan Luas Enclave)
64.324.754 Ha (65.210.543 Ha)
64.324.754 Ha (65.216.843 Ha) Jumlah Bidang Tanah yang Diolah 22,9 juta bidang 23,3 juta bidang Luas Bidang Tanah Bersertipikat yang
Terdigitasi
7.896.944 Ha (12,11%)
8.623.982 Ha (13,22%)
18 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Perhitungan cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi dilakukan pada masing-masing provinsi sesuai dengan kelompok data yang diperoleh dari Kementerian ATR/BPN yang meliputi 34 provinsi. Berdasarkan hasil pengolahan cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi, diketahui bahwa sebanyak 29 provinsi memiliki persentase cakupan bidang tanah bersertipikat masih di bawah 20% dari luas budidaya dan enclave yang masuk kategori sangat rendah. Sedangkan sebanyak 3 (tiga) provinsi memiliki persentase cakupan pada rentang 20% hingga 40% yang masuk kategori rendah yaitu Provinsi Bali, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Tengah. Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Riau memiliki persentase cakupan paling tinggi dibanding provinsi lain yaitu pada rentang 40% hingga 60% yang tergolong katagori sedang. Berikut tabulasi persentase cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi setiap provinsi (Tabel 4.4).
Tabel 4.4
Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang telah Terdigitasi Tahun 2017
Provinsi Luas budidaya (Ha) Luas budidaya (Ha)+ enclave terdigitasi (Ha)Luas sertipikat Persentase
Aceh 2.293.894,50 2.302.540,90 225.887,11 9,81% Bali 430.782,66 432.798,52 143.737,41 33,21% Banten 732.307,14 736.804,94 126.479,06 17,17% Bengkulu 1.081.984,64 1.083.870,11 180.076,35 16,61% DI Yogyakarta 298.332,38 298.527,27 66.166,73 22,16% DKI Jakarta 64.623,82 64.738,33 32.398,75 50,05% Gorontalo 420.247,38 429.293,81 53.438,76 12,45% Jambi 2.769.107,17 2.777.520,04 260.467,83 9,38% Jawa Barat 2.875.796,22 2.896.086,95 382.342,47 13,20% Jawa Tengah 2.788.249,39 2.799.777,28 469.262,41 16,76% Jawa Timur 3.439.007,49 3.447.680,67 365.511,82 10,60% Kalimantan Barat 6.420.377,40 6.448.632,94 1.032.074,42 16,00% Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.993.222,03 354.164,65 17,77% Kalimantan Tengah 2.602.813,50 2.866.168,52 678.015,64 23,66% Kalimantan Timur 4.258.575,96 4.273.371,54 760.379,26 17,79% Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.345.134,35 112.535,97 8,37% Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 1.018.727,14 111.231,46 10,92%
Kep. Riau 229.819,83 241.337,41 39.843,05 16,51%
Lampung 2.417.687,64 2.420.731,71 347.966,10 14,37%
Maluku 720.481,21 725.761,10 14.354,40 1,98%
Maluku Utara 629.517,46 632.913,68 37.270,61 5,89%
Nusa Tenggara Barat 928.105,55 937.719,21 91.133,46 9,72% Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 3.036.367,35 42.543,63 1,40%
Papua 1.746.190,12 1.751.152,47 121.181,01 6,92%
Provinsi Luas budidaya (Ha)
Luas budidaya (Ha) + enclave
Luas sertipikat
terdigitasi (Ha) Persentase
Riau 1.805.133,04 2.037.311,60 878.184,17 43,11% Sulawesi Barat 570.776,65 575.371,31 62.345,39 10,84% Sulawesi Selatan 2.375.862,88 2.397.985,47 151.434,77 6,32% Sulawesi Tengah 2.078.666,53 2.088.825,74 122.116,22 5,85% Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 1.274.551,33 52.017,59 4,08% Sulawesi Utara 750.253,17 750.768,83 16.712,75 2,23% Sumatera Barat 1.848.089,33 1.861.814,70 236.753,87 12,72% Sumatera Selatan 5.195.630,61 5.227.260,67 471.929,87 9,03% Sumatera Utara 3.426.624,65 3.488.771,64 503.207,46 14,42% INDONESIA 64.324.754,31 65.216.843,87 8.623.982,90 13,22%
Sumber: Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B-Kemen. ATR/BPN, Pengolahan data oleh Kementerian PPN/Bappenas (2017).
Apabila dibandingkan dengan data capaian tahun 2016, terdapat kenaikan persentase luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi dan jumlah bidang tanah yang dapat diolah. Namun demikian masih terdapat beberapa provinsi yang mengalami penurunan persentase luas cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi. Untuk menghindari terjadinya perhitungan ganda maka dilakukan seleksi dan penggabungan bidang-bidang yang saling tumpang tindih. Dengan demikian dapat disampaikan bahwa data capaian cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi pada tahun 2017 sudah memiliki kualitas data yang lebih baik dibanding data yang diperoleh dari data tahun 2016.
Data cakupan bidang tanah bersertipikat yang telah terdigitasi pada tahun 2017 khusus untuk Provinsi Jawa Timur tidak semua dapat dilakukan perhitungan. Terdapat 2 (dua) kabupaten yaitu Ponorogo dan Madiun yang dikeluarkan dari perhitungan karena memiliki kualitas data yang kurang baik sehingga tidak dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut. Kerusakan data spasial bidang tanah bersertipikat pada Kabupaten Ponorogo dan Madiun teridentifikasi berupa bidang tanah yang saling tumpang tindih dan tersebar dengan pola tidak teratur yang tidak identik dengan bidang-bidang tanah pada umumnya. Sehingga atas usulan dan arahan dari Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B-Kementerian ATR/BPN agar kedua kabupaten tersebut dapat dikeluarkan dari perhitungan, dan data akan diperbaiki lebih lanjut oleh Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B Kementerian ATR/BPN dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan kedua Kantor Pertanahan tersebut yaitu Kabupaten Ponogoro dan Madiun.
20
Gambar 4.3
2. Tercapainya kesepakatan materi acuan Sosialisasi Pendaftaran Tanah Adat/ulayat Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Negara mengakui keberadaan adat beserta hak-haknya. UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria juga telah menggariskan ketentuan mengenai adat, seperti Pasal 2, ayat (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Namun demikian, pada Pasal 3 menyatakan pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Selanjutnya, UU 6/2014 tentang Desa Pasal 1, huruf l menyatakan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Berdasarkan peraturan perundangan yang ada (Permen Agraria 5/1999), syarat pengakuan keberadaan tanah adat/ulayat sebagai berikut:
x Masyarakat hukum adat/ulayat, terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
x Tanah adat/ulayat, terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
x Aturan hukum adat/ulayat, terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pendaftaran tanah adat/ulayat adalah masih beragamnya pemahaman stakeholder terkait terhadap peran
masing-22 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
tentang tanah adat/ulayat yang disusun belum dilengkapi dengan data spasial sehingga tidak jelasnya wilayah adat/ulayat. Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi kepada stakeholder terkait.
Pada tahun 2017 Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional belum dapat menyusun materi sosialisasi pendaftaran tanah adat/ulayat karena belum disepakati aturan mengenai pendaftaran tanah adat/ulayat. Salah satunya peraturan perundangan yang perlu direvisi dan diselaraskan adalah Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu yang sudah direvisi dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Peraturan tersebut menyebabkan ketidakjelasan mengenai pengertian Hak Ulayat, unsur-unsur adanya Hak Ulayat, dan penentuan masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, serta ketentuan pengaturan tanah adat/ulayat.
Beberapa poin penting yang perlu disesuaikan dengan peraturan terkait tanah adat/ulayat antara lain:
x Hak Ulayat tidak sama dengan Hak Komunal; x Terdapat dualisme subyek dan obyek yang diatur;
x Terdapat kontradiksi antar beberapa pasal didalamnya; dan
x Konsep hak komunal dalam Permen ATR No.9/2015 bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1 huruf H), UU No.5/1960.
3. Pelaksanaan Pilot Project Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan
Pilot project tata batas kawasan hutan telah diinisiasi sejak tahun 2013 namun baru mencapai kesepakatan antar stakeholder (Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada tahun 2016. Berdasarkan hal tersebut baru pada tahun 2017 kegiatan pilot project Publkasi Tata Batas Kawasan Hutan dapat dilaksanakan.
Kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan dilakukan dalam rangka mewujudkan perubahan sistem pendaftaran pertanahan stelsel negatif menjadi positif. Perubahan sistem pendafataran tanah menjadi stelsel positif hanya dapat dilaksanakan apabila seluruh persyaratan untu perubahan sistem pendaftaran tanah positif tersebut terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan kerugian negara. Salah satu persyaratan dari pelaksanaan perubahan sistem pendaftaran tanah tersebut adalah kebenaran informasi (kepastian hukum) tidak hanya terkait batas bidang-bidang tanah pada kawasan budidaya tetapi perlu juga diperlukan kebenaran informasi terkait batas kawasan hutan dan non hutan (antara budidaya dan lindung) melalui kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan.
Selama ini teridentifikasi bahwa salah satu penyebab ketidakpastian batas antara kawasan hutan dan non hutan adalah karena terdapat perbedaan skala peta yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu peta skala 1:250.000–1:100.000 atau dengan tingkat ketelitian paling rinci skala 1:50.000, sedangkan Kementerian ATR/BPN menggunakan peta dengan skala 1:1.000 s.d 1:10.000. Perbedaan skala tersebut perlu disamakan melalui kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan dengan melakukan pemetaan koridor batas kawasan hutan pada skala 1:2500. Dengan demikian diharapkan kepastian hukum hak atas tanah dapat ditingkatkan kualitas secara signifikan dengan mengintegrasikan hasil pemetaan koridor (garis batas) kedalam sistem pendaftaran tanah nasional pada skala 1:2.500.
Pada tahun 2017 kegiatan Pilot Project Publikasi Tata Batas Kawasan hutan ditindaklanjuti oleh Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, BIG, dan Bappenas dengan beberapa capaian sebagai berikut:
1. Kegiatan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dilakukan di 3 (tiga) provinsi (dengan 4 kawasan hutan) meliputi Provinsi Jawa Barat (kawasan hutan Gunung Ciburial), Provinsi Bangka Belitung (kawasan hutan Pantai Rebo dan Gunung Mangkol), dan Provinsi Bali (kawasan hutan Yeh Ayeh). Koordinasi dilakukan dilingkup pusat oleh Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, BIG, dan Bappenas untuk menyepakati area of interest (AOI) pelaksanaan Publikasi Tata Batas pada tahun 2017 serta keberadaan data pendukung lainnya seperti peta kawasan hutan dan peta dasar. Sementara itu dilakukan pula koordinasi di lingkup daerah dengan melibatkan Kementerian ATR/BPN, BIG, Kementerian LHK, Kementerian PPN/Bappenas, BPKH, Kepala desa/dusun setempat.
2. Keterlibatan BIG dalam pelaksanaan tata batas kawasan hutan. Tahun 2017 mulai dilakukan koordinasi dengan melibatkan BIG untuk pelaksanaan tata batas kawasan hutan, adapun tujuan pelibatan BIG adalah sebagai instansi yang menyediakan peta dasar untuk pelaksanaan kegiatan tata batas ataupun melakukan supervisi terhadap peta yang akan digunakan dalam pelaksanaan tata batas kawasan hutan. Untuk tahun anggaran 2018 BIG juga telah menyediakan anggaran khusus untuk pelaksanaan supervisi peta tata batas kawasan hutan melalui APBN.
3. Survey lapangan dan persiapan kegiatan tata batas kawasan. Hingga bulan Desember 2017 telah dilakukan survey lapangan pelaksanaan publikasi tata batas kawasan hutan diantaranya dilakukan di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Badung Provinsi Bali, serta Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
4. Provinsi Jawa Barat, beberapa hal yang disepakati dalam survey pendahuluan sebagai berikut:
24 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
x Anggota tim pendahuluan terdiri dari Tim ATR/BPN Pusat, Perhutani, BPKH, dan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, Kantor Pertanahan BPN Kabupaten Sumedang dan perwakilan desa.
x Jumlah tugu/patok yang akan dipasang di antara patok-patok eksisting dari KLHK (sebanyak 474 titik) adalah sebanyak 700 titik, sehingga jumlah patok akan menjadi 1174 titik, dan perapatan batas akan dilakukan setiap 100 m (orde 4) dan 25 titik dalam jarak 1 Km (dalam orde 3). Perapatan patok akan dipasang diantara patok eksisting (Patok KLHK) tiap ± 100 m.
x Apabila terdapat perbedaan pada patok penanda batas yang ditunjukkan oleh Perhutani dan Pihak Desa, maka kedua batas tersebut akan diukur, ditandai dan dicatat sebagai bahan laporan.
x Sistem penomoran patok baru akan menggunakan sistem penomoran dan standar dari Kementerian ATR/BPN.
5. Provinsi Bali, beberapa hal yang disepakati dalam survey pendahuluan sebagai berikut:
x Anggota tim survei pendahuluan/reconnaisance batas kawasan Hutan Lindung Yeh Ayah yang terdiri dari pihak Kementerian ATR/BPN, BIG, Dinas Kehutanan Provinsi Bali, BPKH, RPH, KPH, dan perwakilan desa. Dalam setiap tim wajib mengikutsertakan pihak BPKH dan perwakilan dari desa.
x Peta yang digunakan adalah peta dengan skala 1:5.000 dengan spesifikasi KAK dari BIG.
x Patok atau tugu batas yang digunakan setara dengan orde 4 BPN (jarak per 100 m): ukuran 20x20 cm dan orde 3 BPN (jarak per 1 km): ukuran 30x30 cm. Tugu ditanam di tanah sedalam 60 cm dan 20 cm berada di permukaan tanah.
x Penomoran patok/tugu batas menggunakan kombinasi penomoran yang dilakukan Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK.
6. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, beberapa hal yang disepakati antara lain sebagai berikut:
x Pelaksanaan survey pendahuluan untuk Pemetaan Batas Kawasan Hutan Lindung Gunung Mangkol dan Bukit Rebo yaitu tanggal 3 s.d 16 Oktober 2017 (13 hari). x Data awal untuk Pemetaan Batas Kawasan Hutan Lindung Gunung Mangkol
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 792/Kpts-II/1999 tanggal 29 September 1999 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung Gunung Mangkol, dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.575/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016 tanggal 27 Juli 2016 ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) dengan luas 6.009,51 hektar;
x Data awal untuk Pemetaan Batas Kawasan Hutan Lindung Bukit Rebo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.2543/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 7 April 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung Bukit Rebo seluas 1.370,70 Hektar, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.1935/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 7 April 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Produksi Tetap Bukit Rebo seluas 667,04 Hektar.
4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform
Reforma agraria dilakukan melalui penataan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah. Hal ini dilakukan karena salah satu isu yang masih dihadapi hingga saat ini adalah ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya alam termasuk tanah dimana sebagian kecil masyarakat menguasai sebagian besar aset tanah dan sebaliknya sebagian besar masyarakat terutama petani menguasai sebagian kecil aset tanah. Dalam arti sempit, reforma agraria dilakukan melalui redistribusi tanah dan sertipikasi tanah serta program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat penerima aset tanah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Beberapa peraturan perundangan yang mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria antara lain UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), TAP MPR No. IX/2001 yang menyatakan pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Arahan kebijakan terkait dengan reforma agrarian melalui redistribusi tanah juga tercantum dalam Nawacita (9 Program Prioritas) Pemerintahan Jokowi-JK yakni “…. Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar" dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan; peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi kartu "Indonesia Sehat"; Serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta Hektar; program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta Jaminan Sosial untuk seluruh rakyat di tahun 2019 …”. Selanjutnya dituangkan juga dalam RPJMN 2015-2019 ditetapkan menjadi salah satu kebijakan nasional yaitu redistribusi tanah dan access reform (program pemberdayaan masyarakat).
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan redistribusi tanah antara lain: pasca redistribusi tanah belum disertai dengan pemberian akses sumber daya yang cukup kepada masyarakat, data rencana pelepasan kawasan hutan sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA) belum tersedia dengan baik, pelaksanaan reforma agraria belum dipahami secara baik oleh semua sektor terkait baik di pusat maupun di daerah. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan sinergi antar sektor terkait dalam menyiapkan TORA
26 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
Beberapa stakeholder yang terkait antara lain: Kementerian Agraria dan Tata Ruang; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Pemerintah Daerah (provinsi/kab/kota); beberapa unit kerja di lingkungan Kementerian PPN/ Bappenas.
A. Rencana
Berdasarkan uraian di atas terkait dengan Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2017 telah menetapkan beberapa target kegiatan sebagai berikut:
1. Terselenggaranya sosialisasi pelaksanaan reforma agraria.
2. Terlaksananya monitoring dan evaluasi pelaksanaan Reforma Agraria. 3. Tersedianya data lokasi pelepasan kawasan hutan untuk TORA. 4. Tersedianya data program K/L dalam pelaksanaan akses reform. 5. Tersedianya Perpres Reforma Agraria.
B. Capaian
Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:
1. Sosialisasi Reforma Agraria
Reforma Agraria merupakan salah satu janji presiden dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019 dengan target sebesar 9 Juta Ha. Pelaksanaan reforma agraria meliputi asset reform dan access reform. Asset reform dilakukan melalui kegiatan redistribusi tanah dan legalisasi (sertipikasi) aset tanah. Pelaksanaan access reform dilakukan oleh K/L terkait dan pemerintah daerah melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan reforma agraria diharapkan masyarakat yang mendapatkan bantuan sertifikat dapat meningkat kesejahteraannya dengan bantuan dari K/L dan memiliki tanah yang sudah bersertifkat.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2018, Reforma Agraria merupakan salah satu Program Prioritas yang termasuk dalam Prioritas Nasional Pengembangan Wilayah. Berdasarkan konstelasi Prioritas Nasional, Program Prioritas Reforma Agraria terdiri dari 5 Kegiatan Prioritas yaitu (i) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, (ii) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria, (iii) Kepastian Hukum dan Legalisasi atas Tanah Obyek Reforma Agraria, (iv) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas TORA, dan (v) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah.
Selanjutnya masing-masing kegiatan prioritas tersebut dibagi lagi menjadi proyek prioritas nasional (level 3). Berikut dijelaskan masing-masing kegiatan prioritas dari program prioritas reforma agraria tersebut.
REFORMA
AGRARIA
4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas TORA 1. Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria 2. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria 3. Kepastian Hukum dan Legalisasi atas Tanah Obyek Reforma Agraria 5. Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah Gambar 4.4Program Prioritas Reforma Agraria dalam RKP 2018 1.
Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria
- Kem. ATR/BPN; - KLHK;
- Kementan; - Kemen ESDM; - Kemen Desa, PDTT; - KKP; - Kemen.PUPR; - Kemendagri; - Kemenhub; - Setkab - Setneg Pemberdayaan Masyarakat Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi - Kem. ATR/BPN; - KLHK - Kemen BUMN - Kementan
- Kemen.PUPR; - Kemen Kop & UKM - Kemenhub - Kemen Desa, PDTT - Kemen ESDM - KKP
- Kemen PUPR - Kemendagri - Setkab
- Kemen Kum HAM
Gambar 4.
Program Prioritas Reforma Agraria dalam RKP 2018
- Kem. ATR/BPN; - KLHK;
- Kementan; - Kemen Kop & UKM; - Kemen Desa, PDTT; - KKP;
- Kemen.PUPR; - Kemendagri
- LIPI - BPPT
- Kemendag
- Kem. ATR/BPN; - KLHK;
- Kementan; - Kemen Kop & UKM; - Kemen Desa, PDTT; - KKP;
- Kemen.PUPR; - Kemendagri
Program Prioritas Reforma Agraria dalam RKP 2018
- Kem. ATR/BPN; - KLHK;
- Kementan; - Kemen Kop & UKM; - Kemen. Desa, PDTT; - KKP;
- Kemen. PUPR; - Kemendagri - Kemen. PAN-RB - BIG
- LAPAN - Kemen Keuangan
PROGRAM PRIORITAS KEGIATAN
28
Kepastian Hukum dan Legalisasi atas Tanah Obyek Reforma
Agraria
PROGRAM PRIORITAS REFORMA AGRARIA
Kegiatan Prioritas
Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria
Proyek Prioritas
Reviu Peraturan Perundangan Untuk Mendukung Pelaksanaan Reforma Agraria Penyelesaian Konflik Agraria Mengidentifikasi dan Memverifikasi Kasus-kasus Konflik Agraria Struktural
di Berbagai Sektor Strategis Menganalisa dan Menyusun
Pendapat Hukum serta Merekomendasikan Penyelesaian
Kasus Konflik Agraria
Melakukan Review terhadap Hak/Ijin Usaha serta Merubah Tata Batas
Kawasan Hutan untuk Rakyat Koordinasi dan Supervisi dengan K/L
dalam Menjalankan Rekomendasi Penyelesaian Kasus-kasus Konflik
Agraria
Mediasi dan ADR Lainnya untuk Mempercepat Penyelesaian Konflik
Agraria di Semua Sektor Strategis
Kegiatan Prioritas
Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma
Agraria
Proyek Prioritas Inventarisasi P4T dan Identifikasi
tanah obyek reforma agraria Identifikasi Kawasan Hutan yang akan
Dilepaskan
Identifikasi dan Redistribusi HGU habis dan tanah terlantar Identifikasi tanah milik untuk legalisasi aset masyarakat miskin
Identifikasi dan pengembangan kelembagaan subyek penerima
manfaat reforma agraria
Kegiatan Prioritas
Proyek Prioritas
Perbaikan proporsi petugas ukur dan pemetaan serta petugas reforma
agraria di Kab/Kota Peningkatan cakupan peta dasar
pertanahan
Peningkatan cakupan bidang tanah bersertipikat melalui legalisasi aset (PRONA, sertipikasi lintas sektor)
terutama bagi rakyat miskin
Publikasi tata batas kawasan hutan
Legalisasi untuk penguatan hak bersama atas TORA hasil redistribusi
Legalisasi untuk tanah transmigrasi
Sosialisasi peraturan terkait adat/ulayat dan legalisasi pengakuan
wilayah adat
Kegiatan Prioritas
Pemberdayaaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan
dan Produksi atas TORA
Proyek Prioritas Koordinasi lokasi dan target pemberdayaan serta perencanaan
tata guna pada TORA Penyediaan, dan pengembangan teknologi sarana-prasarana dalam
produksi dan pengolaan hasil pertanian, peternakan dan
perkebunan
Penyediaan bantuan permodalan dan pengembangan kelembagaan petani
untuk akses modal usaha Penyediaan bantuan pendampingan
dan pembangunan infrastruktur untuk perbaikan ekosistem dan
produksi pada TORA
Interkoneksi dengan dunia usaha dan pemasaran hasil produksi Sekolah lapang petani subyek penerima manfaat reforma agraria untuk perbaikan tata guna tanah dan
produksi
Kegiatan Prioritas
Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat
dan Daerah
Proyek Prioritas Penyediaan Pedoman teknis
dalam kerangka RA Pembentukan dan operasionalisasi gugus tugas pelaksanaan Reforma Agraria
di Tk. Pusat Pembentukan dan operasionalisasi gugus tugas pelaksanaan RA di Tk. Daerah Menyusun Prioritas Lokasi Bagi Penyediaan Tanah untuk
Kepentingan umum
Tabel 4.5