• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grafik Kunjungan Ke Karimunjawa

5.6 Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan

Kawasan Karimunjawa pada awalnya merupakan kawasan Cagar Alam Laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/Kpts-II/1986 tanggal 9 April 1986. Kemudian melalui Surat Menteri Kehutanan No.161/Menhut-II/1988 tanggal 23 Pebruari 1988, kawasan tersebut dinyatakan sebagai taman nasional. Setelah itu, melalui SK Menteri Kehutanan No.78/ Kpts-II/1999, tanggal 22 Pebruari 1999 ditetapkan sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa. Taman Nasional Karimunjawa memiliki luas 111.625 Ha meliputi 22 pulau.

Visi Taman Nasional Karimunjawa adalah mewujudkan pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem Taman Nasional Karimunjawa melalui perlindungan hutan dan penegakan hukum, optimalisasi pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian yang didukung kelembagaan dan kemitraan yang kuat.

Misi Taman Nasional Karimunjawa, sebagai berikut :

1. Meningkatkan efektifitas pengelolaan TNKJ sesuai fungsi kawasan

2. Mewujudkan kelembagaan dan kemitraan yang kuat dalam pengelolaan TNKJ.

3. Mengembangkan dan memantapkan upaya pengawetan, pengendalian dan pemanfaatan tumbuhan satwa liar.

4. Memantapkan upaya perlindungan, penegakan hukum dan pengendalian kebakaran hutan di TNKJ.

5. Mengembangkan ODTWA, jasa lingkungan dan pengembangan bina cinta alam.

Prinsip Pengelolaan Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan Taman Nasional Karimunjawa dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, sebagai berikut :

1. Pengelolaan terpadu, dalam perencanaan / program dan kegiatan, pengembangan dan penerapan pengaturan pemanfaatan potensi secara lestari. 2. Pengelolaan dengan sistem zonasi, orientasi konservasi bersumber pada

pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

3. Pengamanan kawasan melalui upaya preventif yang diikuti dengan tindakan represif.

4. Tidak mengurangi luas kawasan, tidak mengubah fungsi kawasan dan tidak memasukkan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli.

Landasan peraturan perundangan yang mendasari penyusunan Rencana Pengelolaan Lima Tahun ini adalah :

1. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang-Undang RI. No. 9 Tahun 1990, tentang Kepariw isataan.

3. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

5. Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

6. Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan. 7. Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1985, tentang Perikanan.

8. Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1985, tentang Perlindungan Hutan. 9. Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1994, tentang Pengusahaan Pariwisata

Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

10.Peraturan Pemerintah Ri No. 68 Tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawsan Pelestarian Alam.

11. Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

12. Peraturan Pemerintah RI No. 8 Tahun 1999, tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

13. Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

14. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 10 Tahun 2001, tentang Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) Propinsi Jawa Tengah Tahun 2002. 15. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun 2001, tentang Program

Pembangunan Daerah (Propeda) Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 – 2005. 16. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 21 Tahun 2003, tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah.

17. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 22 Tahun 2003, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Propinsi Jawa Tengah.

18. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Karimunjawa.

Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa ke depan ditujukan untuk dapat menanggulangi persoalan dengan mempe rtimbangkan pelestarian SDA & E sehingga terwujud pengelolaan yang lestari dengan tetap dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sesuai dengan perubahan dinamika masyarakat. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pembangunan di bidang sumber daya ala m adalah menciptakan suatu kondisi yang serasi antara ketersediaan sumber daya alam dengan dinamika penduduk (Propeda Kabupaten Jepara Tahun 2001-2005).

Pengelolaan ekosistem kawasan Taman Nasional Karimunjawa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa yang menyangkut pemantapan kawasan dilaksanakan yaitu dengan dilakukannya penataan batas kawasan konservasi perairan Taman Nasional Karimunjawa pada tahun 2000 oleh panitia tata batas yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jepara No. 660.1/60 tahun 2000 tanggal 29 Pebruari 2000. Berita acara tata batas kawasan pelestarian alam

perairan Taman Nasional Karimunjawa sampai dengan tahun 2002 sudah dapat diselesaikan. Penataan luar batas kawasan perairan dilaksanakan pada tahun 2000 yaitu dengan dipasangnya 2 buah rambu suar masing-masing di Pulau Sintok di sebelah Timur dan Pulau Bengkoang di sebelah Utara kawasan dan 4 titik referensi masing-masing di Tanjung Pudak Pulau Karimunjawa sebelah Selatan, Pulau Bengkoang di sebelah Utara, Pulau Nyamuk dan P. Kembar di sebelah Barat. Selain itu untuk kawasan darat (hutan dan sebagian Pulau Kemujan, telah dilaksanakan tata batasnya pada tahun 1998 dan telah dikukuhkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 72/Kpts-II/1998.

Penataan mintakat yang ditetapkan tahun 1988, karena perkembangan kerusakan sumber daya alam dan perkembangan dinamika masyarakat di sekitar kawasan, perlu ditinjau ulang. Dasar pertimbangan revisi zona antara la in adalah adanya kerusakan ekosistem pada kawasan zona inti perairan. Disamping itu penetapan zona belum mengakomodasikan keperluan masyarakat.

Penetapan lokasi zonasi yang telah ada (1988) dan yang direvisi telah melalui beberapa proses kajian (ekologis, sosekbud dan konsultasi publik). Proses penataan zonasi baru dilakukan melalui koordinasi berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan Kawasan Karimunjawa yaitu Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara dan dalam pelaksanaannya melibatkan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat diantaranya WCS (Wildlife Conservation Society) dan Yayasan TAKA.

Proses yang dilalui dalam penataan zonasi ini antara lain:

Identifikasi Isu

Proses ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi yang ada dan mungkin timbul di Karimunjawa yang berkaitan dengan sumberdaya alam, kelembagaan, masyarakat dan pola pemanfaatan perikanan.

Pengumpulan Data

Proses ini dilaksanakan untuk mengetahui kondisi kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kegiatan yang dilaksanakan adalah:

1. Survei ekologi

Survey ekologi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: (1) Terumbu karang, (2) invertebrata, dan (3) Ikan karang. Survei ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang. Hasil survei digunakan sebagai input data dan informasi dalam penataan zonasi di kawasan taman nasional.

2. Sosial ekonomi

Survei ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat tentang zonasi yang ada. Survei ini dilakukan dengan menggunakan metode quisioner dan wawancara la ngsung terhadap responden yang dipilih secara acak.

3. Studi alat tangkap muroami

Penelitian mengenai alat tangkap muroami dilakukan untuk mengetahui dampak aktifitas ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan ekologis

Proses Penyusunan Zonasi

Proses ini dilaksanakan dengan mengumpulkan informasi serta mencari masukan dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Wujud nyata dari proses ini adalah:

1. Lokakarya Kabupaten Jepara I

Lokakarya ini dilaksa nakan pada tanggal 24 Juni 2004. Lokakarya ini menghasilkan 2 rekomendsi yang berkaitan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yaitu:

a. BTNKJ segera menyelesaikan penyusunan rencana pengelolaan TN Karimunjawa serta rencana teknis terkait (antara lain rencana pengembangan zonasi dan pariwisata alam laut) secara terpadu melalui forum koordinasi yang efektif dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

b. Khusus untuk penyusunan rencana pengembangan zonasi yang merupakan inti dari pengelolaan taman nasional, data dan informasi yang berkaitan dengan kondisi potensi dan sosek perlu di cermati dengan menganalisa data tersebut.

Data dan informasi tersebut bersumber dari pihak-pihak yang telah melakukan penelitian di Karimunjawa. Pembahasan dilakukan secara bertahap (lokal, kabupaten, propinsi) dan konsisten dengan partisipasi pihak-pihak terkait.

2. Lokakarya Desa

Lokakarya dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Januari 2004 yang bertujuan untuk menggali pemikiran masyarakat mengenai zonasi Taman Nasional Karimunjawa. Lokakarya desa dihadiri oleh perwakilan dari masing-masing desa dan menghasilkan beberapa usulan masyarakat mengenai zonasi.

3. Lokakarya Kabupaten Jepara II

Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 20 - 21 Januari 2004 untuk menindaklanjuti hasil dari lokakarya Jepara I dan Lokakarya desa. Kegiatan ini bertujuan untuk menampung aspirasi semua pihak yang terkait dalam rangka penyusunan naskah zonasi. Hasil dari lokakarya ini adalah (1) Rumusan rancangan naskah zonasi, (2) Membentuk tim teknis yang bertugas menyusun naskah zonasi Taman Nasional Karimunjawa dan melakukan konsultasi public.

4. Kelompok Kerja Kajian zonasi

Kelompok kerja ini merupakan penjelmaan dari tim teknis yang bertugas melakukan pembahasan draft zonasi dan sosialisasi dalam rangka mencari masukan dari semua pihak yang terkait.

5. Lokakarya Kabupaten Jepara III

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2004 yang bertujuan untuk membahas dan menyetujui draft terakhir kajian zonasi Taman Nasional Karimunjawa.

Zonasi yang sebelumnya berlaku di Taman Nasional Karimunjawa dan usulan zonasi hasil kompromi/konsultasi publik masyarakat desa dan kabupaten Jepara lengkapnya kami tampilkan dalam lampiran.

Kawasan konservasi Laut Taman Nasional Karimunjawa merupakan salah satu perwakilan tipe pulau-pulau kecil, yang walaupun cukup potensial namun memiliki berbagai keterbatasan, sehingga pemanfaatannya seoptimal mungkin tidaklah semudah kawasan lain. Menurut Fauzi dan Anna (2005), diantara batasan-batasan optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut adalah kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan berbagai keterbatasan lainnya. Menurut Purwanto (1999) ekosistem Kepulauan Karimunjawa menggambarkan ‘keunikan habitat’ sebagai akibat isolasi geografis dari Gunung Muria (P. Jawa) dengan terdapatnya berbagai jenis biota dilindungi dan vegetasi endemik, sebagai akibat keragaan ukuran pulau. Kedua ciri diatas memiliki makna ekologis: kerentanan/fragilitas akan pemanfaatan yang sangat berlebihan, keterbatasan sumberdaya air tawar, dan kecenderungan percepatan kerusakan bila terjadi perubahan yang berlebihan/bencana alam (Elnino, pencemaran). Namun hal tersebut bukanlah menjadi halangan untuk memanfaatkan potensi-potensi lainnya, khususnya yang dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan penghuninya.

Selain potensi utama sebagai penyumbang stok sumberdaya ikan di laut utara jawa, salah satu potensi kepulauan Karimunjawa yang diperkirakan dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi baik bagi masyarakat setempat maupun bagi ekonomi wilayah adalah kegiatan pariwisata. Tipe kepulauan yang unik dengan berbagai tipe ekosistem baik di darat yaitu berupa hutan hujan dataran rendah, hutan pantai, hingga ke lepas pantai yaitu hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang relatif masih alami, merupakan potensi wisata yang sangat potensial.

Sebagai salah satu perwakilan tipe pulau-pulau kecil, pembangunan Kep. Karimunjawa yang juga merupakan sebuah kawasan konservasi harus mampu mengakomodir dua hal penting, yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) merupakan penanggungjawab pengelolaan ekosistem kawasan Taman Nasional Karimunjawa dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu pemerintah daerah juga

berkepentingan untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya di Karimunjawa sebagai salah satu roda penggerak perekonomian wilayah. Sistem pengelolaan kawasan karimunjawa selama ini masih berbagai kelemahan khususnya keterpaduan kegiatan diantara instansi dan lembaga yang berkaitan didalamnya. Penegakan peraturan dan kebijakan yang berlaku cenderung dianggap hanya merupakan tanggung jawab pihak Balai Taman Nasional, sementara konsep pengembangan ekonomi wilayah dianggap sebagai sesuatu yang terpisah. Permasalahan yang terjadi di Karimunjawa sudah sangat kompleks dan merupakan hasil rangkaian proses yang telah berlangsung lama. Dibutuhkan suatu paradigma baru untuk melakukan perubahan dalam sistem pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa yang lebih baik. Paradigma ini harus mencakup aspek sosial ekonomi, ekologi, dan kebijakan.

Secara global, terdapat pergeseran paradigma konsep konservasi dari titik berat perlindungan kawasan kearah pemanfaatan yang lestari. Keberadaan kawasan konservasi diharapkan dapat secara optimal bermanfaat bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Sementara itu dalam rangka otonomi daerah, UU No.22 tahun 1999 merupakan rujukan utama bagi pemerintah baik pusat maupun daerah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam pasal 10 antara lain dijelaskan:

1. Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara pelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

2. Kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, meliputi:

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah tersebut

b. Pengaturan kepentingan administratif c. Pengaturan tata ruang

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan.

Dimana dalam pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa wilaya h daerah propinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 (1) terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan.

Kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam mengelola kawasan lautnya termasuk usaha pelestariannya dan pergeseran paradigma konservasi dari perlindungan kearah pemanfaatan yang lestari memunculkan peluang dibentuknya sebuah konsep pengelolaan bersama (Colaborative management).

Dalam sistem pengelolaan bersama, semua pihak yang berkepentingan di Karimunjawa dapat duduk bersama dan melihat kawasan Karimunjawa sebagai asset yang perlu dikelola secara benar dan lebih baik, dengan mempertimbangkan berbagai dimensi. Usaha pengelolaan dan pelestarian ini harus melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan di Karimunjawa, seperti Pemerintah Daerah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, masyarakat, sektor swasta dan pihak-pihak lain. Diperlukan suatu pendekatan yang menyeluruh dengan visi bersama dan satu proses koordinasi yang terencana, agar mekanisme kerjasama dapat berjalan sebagaimana mestinya, disamping diperlukan komitmen kelembagaan yang kuat dari masing-masing stakeholder yang terlibat.

Sementara itu untuk menjaga pemba ngunan di Karimunjawa secara berkelanjutan, maka hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan adalah membangun kemandirian dari masyarakat setempat, sebagai pihak yang merasakan dampak langsung dari suatu kegiatan pembangunan. Kemandirian dapat dirangsang dengan serangkaian program pemberdayaan masyarakat, diantaranya yang bisa diterapkan untuk daerah kepulauan seperti Karimunjawa adalah:

• Penguatan kelembagaan dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat dan pelestarian sumberdaya alam, yang diantaranya dapat dilakukan dengan optimalisasi fungsi koperasi yang telah ada

• Pemberdayaan berbasis budidaya, seperti keramba jaring apung, rumput laut dan lain-lain

• Pemberdayaan pariwisata berbasis konservasi

• Pemberdayaan istri-istri nelayan dengan memberikan alternatif kegiatan untuk penguatan ekonomi rumah tangga

Untuk menjamin kesinambungan program-program pemberdayaan masyarakat, perlu dilengkapi dengan suatu struktur insentif. Berbagai fasilitas yang mendukung keber lanjutan suatu program yang dilaksanakan diantaranya sengan fungsi fasilitas kredit mikro serta didukung oleh fungsi-fungsi lembaga pemasaran

5.6 Game Theory Untuk Analisis Kebijakan

Dalam pengelolaan Karimunjawa baik sebagai Kawasan Konservasi maupun sebagai tempat pemukiman dan mencari nafkah bagi masyarakat sekitar, tentunya tidak akan terlepas dari adanya benturan-benturan kepentingan yang tidak jarang menimbulkan konflik. Beberapa konflik yang sering terjadi diantaranya penggunaan kawasan dilindung i oleh kegiatan masyarakat, seperti pembukaan tambak baru yang meliputi kawasan konservasi, konflik kepemilikan lahan, pembatasan operasi beberapa alat tangkap dan lain-lain.

Untuk mencari suatu sistem pengelolaan kawasan konservasi Karimunjawa yang mengarah kepada pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, perlu interaksi partisipatif dari pihak-pihak yang terlibat menuju suatu sistem kelembagaan yang akan memuaskan semua stakeholders, khususnya antara masyarakat dan pemerintah. Terdapat banyak cara yang digunakan untuk menggambarkan proses bargaining dalam melaksanakan suatu program seperti pengelolaan oleh masyarakat secara bersama dimana salah satunya adalah dengan menggunakan model Game Theory

Secara umum pihak-pihak yang berkepentingan di Karimunjawa dapat dibedakan kedalam tiga kelompok stakeholder, yaitu Departemen Kehutanan yang diwakili Balai Taman Nasional Karimunjawa selaku instansi pengelola kawasan konservasi, Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara, dan Masyarakat Karimunjawa. Terkait dengan konflik yang terjadi, maka dilakukan analisis Game Theory.

Game Theory digunakan untuk menggambarkan dan menganalisis konflik serta interaksi secara matematis yang terjadi antar stakeholder dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Karimunjawa. Dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa ini, stakeholder (player) adalah pemerintah daerah, masyarakat nelayan, dan Departemen Kehutanan (Dephut).

Pada Game Theory, digunakan asumsi rasionalitas dimana tiap orang akan memaksimumkan pahalanya (rewards) berupa keuntungan, pendapatan, atau keuntungan subyektifnya, dalam lingkungan keadaan dimana dia menghadapinya (Anwar, 2002).

Dalam analisis Game Theory ini digunakan model interaksi yang sederhana antara 2 stakeholder (player), dimana player-player yang ada dalam konflik pasir laut ini adalah Dephut (D), pemerintah daerah (G) dan masyarakat nelayan (N). Pemilihan strategi dan interaksi antara 2 player didasarkan pada issue riil serta kondisi yang relevan di lapangan. Strategi yang dipilih dalam analisis in i adalah meneruskan kawasan konservasi atau menghentikan kawasan konservasi, sedangkan interaksi antara 2 player yang dipilih adalah interaksi antara pemerintah daerah (G) dengan nelayan (N), antara Dephut (D) dengan nelayan, dan Dephut (D) dengan pemerintah daerah (G).

Besarnya payoff pemerintah daerah didasarkan pada pajak yang diterima dari aktifitas wisata dan kunjungan lainnya di Karimunjawa, yang pada tahun 2004 mencapai Rp. 10.105.000,- (mulai tahun 2005 kemungkinan jauh lebih besar, karena bertambahnya sejumlah fasilitas wisata dan beroperasinya kapal cepat milik Pemda). Payoff Dephut didasarkan pada tiket yang terjual kepada pengunjung kawasan konservasi, yang karena dalam hal ini belum ada pemberlakuan harga tiket, maka nilainya diasumsikan berdasarkan Analisis

Willingness To Pay pengunjung Taman Nasional Karimunjawa. Dari hasil Analisis Willingness To Pay, rata-rata nilai harga tiket yang didapatkan adalah Rp. 4.293,-, yang jika dikalikan dengan jumlah kunjungan tahun 2004 yaitu 13.182 orang (mulai tahun 2005 kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar) maka diperoleh nilai payoff nya sebesar Rp. 56.590.326,-. Sedangkan untuk masyarakat nelayan nilai payoff nya didasarkan pada rata-rata selisih nilai ekonomi produksi

ikan di Karimunjawa setelah tahun 1998, berdasarkan hasil perhitungan valuasi ekonomi yang telah dilakukan, yaitu kerugian sebesar Rp. 7.490.532,-.

Tabel 13. Matriks Payoff Interaksi antara Pemerintah Daerah dengan Dephut Dephut (D) Teruskan (1) Hentikan (2) Teruskan (1) (10.105.000) , (56.590.326) (10.105.000) , (0) Pemda (G) Hentikan (2) (0 ) ,(56.590.326) (0 ) , (0)

Tabel 14. Matriks Payoff Interaksi antara Pemerintah Daerah dengan Nelayan Nelayan (N) Teruskan (1) Hentikan (2) Teruska n (1) (10.105.000) , (-7.490.532) (10.105.000) , (0) Pemda (G) Hentikan (2) (0 ) , (-7.790.963) (0 ) , (0)

Tabel 15. Matriks Payoff Interaksi antara Dephut dengan Nelayan

Nelayan (N)

Teruskan (1) Hentikan (2) Teruskan (1) (56.590.326) , (-7.490.532) (56.590.326) , (0) Dephut

(D) Hentikan (2) (0) ,(-7.790.963) (0) , (0)

Pada Tabel 13 di atas, yaitu matriks payoff antara Pemerintah Daerah dan Dephut dengan mudah kita dapat menentukan strategi optimal yang bisa dimainkan oleh kedua pemain, yaitu meneruskan kawasan konservasi. Dengan meneruskan kawasan konservasi kedua pihak akan memperoleh keuntungan, masing 10.105.000 dan 56.590.326. Sementara jika kedua pemain memainkan

strategi menghentikan kawasan konservasi maka keduanya tidak akan mendapatkan keuntungan.

Pada interaksi antara pemerintah daerah dengan nelayan, terlihat bahwa sulit untuk mendapatkan solusi optimum. Jika kedua pihak sama -sama menggunakan strategi 1 yaitu meneruskan keberadaan kawasan konservasi, maka satu pihak (Pemda) sementara pihak lain (nelayan) mendapatkan kerugian. Sementara jika kedua pihak sama -sama tidak meneruskan keberadaan kawasan konservasi maka kedua pihak tidak ada yang diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan. Namun yang perlu dicatat dalam hal ini bahwasanya kerugian nelayan akibat diteruskannya kawasan konservasi adalah bersifat sementara, jika masyarakat mempertahankannya kemungkinan besar pada saat-saat berikutnya akan juga diuntungkan. Bahkan apabila kawasan konservasi dihentikan, strategi yang semula tidak menguntungkan dan tidak menguntungkan bagi kedua pihak, dapat saja berubah menjadi merugikan. Karena kawasan konservasi dapat kita ibaratkan sebagai investasi pada masa depan, yang perlu pengorbanan diawal.

Hal tersebut juga berlaku pada interaksi antara nelayan dengan Dephut, apabila kedua pemain memainkan strategi yang sama untuk mneruskan kawasan konservasi maka satu pihak yaitu Dephut diuntungkan sementara pihak lain yaitu nelayan dirugikan. Namun demikian kerugian ini bisa berarti investasi atau pengorbanan dari nelayan, untuk masa depan lingkungan mereka yang lestari dan peningkatan tangkapan ikan mereka.

Dalam game theory, untuk mendapatkan strategi yang paling baik bagi semua pihak yang terlibat idealnya dilakukan secara berulang-ulang, mengikuti perkembangan terakhir (aktual) yang berkembang. Repetitive games akan mengarah kepada kesimbangan baru yang lebih baik dan menguntungkan semua pihak, dimana para pemain mengalami proses belajar (learning by doing) untuk saling percaya (personal trust) satu sama lain (Anwar, 2002a), sehingga akan tercapai suatu kondisi yang disebut Pareto Optimal, yaitu satu gugus (set) strategi dimana jika salah satu pemain merubah strateginya, maka suatu kerugian umum (global loss) akan terjadi

Jika pihak-pihak yang terlibat dapat sering berinteraksi secara berulang- ulang setiap waktu, maka ancaman terhadap strategi mementingkan diri sendiri yang disebabkan oleh kondisi saling tidak percaya satu dengan lainnya (mistrusting each other) akan dapat dihindari. Dari permaina n di atas apabila

semua pihak memilih strategi meneruskan kawasan konservasi, namun diantara mereka tidak konsekuen dengan strateginya, dimana aturan-aturan konservasi dilanggar, maka investasi melalui kawasan konservasi tidak akan menguntungkan atau meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam hal ini suatu kerugian umum akan muncul, dimana masyarakat nelayan akan semakin sulit menggantungkan hidupnya di perairan Karimunjawa, sementara pemerintah baik Pemda maupun Dephut menderita kerugian karena harus melakukan upaya rehabilitasi yang membutuhkan biaya besar dan waktu panjang. Kondisi seperti itu tentunya tidak akan terjadi jika masing-masing pihak sadar bahwa saling bekerjasama akan menghasilkan suatu kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi kedua pihak.

Kerjasama yang efektif akan terbangun jika masing-masing pihak memiliki sikap saling percaya. Apabila salah satu pihak berkhianat, misalkan diantara aparat yang semestinya menjadi contoh/panutan, kedapatan melanggar aturan konservasi, semisal ikut menga mbil atau memperjualbelikan biota yang dilindungi ataupun memberikan ijin terhadap jenis usaha atau transaksi yang yang

Dokumen terkait