II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Hutan dan Pengelolaan Hutan
2.2.2. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
2.2.2.5 Kebijakan Pengelolaan Hutan pada Tahun 1985-1990
meter kubik per tahun), Australia (0,2 juta meter kubik pertahun), Afrika Selatan (4 juta meter kubik per tahun), dan negara-negara Eropa (10 juta meter kubik per tahun).
Ekspor kayu bulat sebagai bahan baku meningkat tajam pada tahun 1970-an hingga mencapai 28 juta meter kubik, dan mencapai puncaknya sekitar 36 juta meter kubik pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen kayu bulat terbesar didunia dengan pangsa pasar mencapai 41 persen dari total pangsa pasar di dunia atausetara dengan 2,1 milyar dolar AS. Hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO (Food and Agricultural Organization) maupun Departemen Kehutanan RI menyebutkan bahwa produksi hasil utama hutan Indonesia dan jumlah hasil hutan yang diekspor pada tahun 1980 adalah kayu bulat, kemudian diikuti dengan kayu gergajian dan kayu lapis. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 ini, 45 perusahaan HPH mendapatkan izin konsesi dan mulai aktif beroperasi. Sejak diberlakukannya sistem pengolahan hutan melalui bentuk HPH, pemerintah Indonesia telah memberikan izin kepada 585 perusahaan HPH, yang menguasai 62 juta hektar, baik yang dikelola oleh swasta maupun badan pemerintah.
Lemahnya aspek pengawasan dan penegakan hukumdi Indonesia juga menyebabkan eksploitasi sumber daya hutan oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH semakin tidak terkendali. Walaupun pada mulanya HPH dimaksudkan untuk mempertahankan lahan-lahan hutan sebagai hutan produksi permanen. Namun, sistem konsesi ini justru menjadi penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan Indonesia. Undang-Undang Kehutanan yang dikeluarkan sejak tahun 1967 memberikan dasar hukum pemberian hak pemanenan kayu kepada perusahaan-perusahaan HPH untuk mengelola hutan selama 20 tahun.
Sejak adanya kebijakan pengelolaan hutan melalui mekanisme konsesi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan HPH, kerusakan hutan Indonesia terus bertambah setiap tahun. Pada tahun 1950 sampai dengan 1985 wilayah hutan yang rusak mencapai 32,9 juta hektar lahan atau setara dengan 942 ribu hektar lahan hutan pertahun. Angka kerusakan hutan ini terus bertambah hingga mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an yang mencapai 45,6 juta hektar lahan atau setara dengan 5,7 juta hektar per tahun.
2.2.2.5 Kebijakan Pengelolaan Hutan pada Tahun 1985-1990
Kebijakan pengelolaan hutan pada era ini difokuskan pada industri pengolahan kayu dan ekspor kayu bulat Indonesia secara langsung ke negara pembeli. Gejala tidak sehat mulai
24
muncul dengan penebangan yang melebihi RKT (rencana kerja tahunan), serta tidak adanya adanya kontrol harga dari pemerintah. Selain itu industri kayu bulat Indonesia yang berorientasi ekspor mulai menimbulkan pengembangan industri kayu olahan di Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Jepang yang mendapatkan pasokan kayu bulat atau log dari Indonesia. Pemerintah mulai mengembangkan juga bisnis kayu olahan di dalam negeri dan mengharuskan pengusaha HPH untuk membuat industri kayu olahan untuk mengingkatkan nilai dan aktivitas ekonomi sehingga tidak hanya menjual kayu bulat atau log.
Pada awal tahun 1985, pemerintah menerapkan larangan ekspor kayu bulat atau log
dengan tujuan untuk mempromosikan pelestarian alam serta menerapkan pajak ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian. Kebijakan ini diterapkan pemerintah untuk mendorong nilai tambah produk kehutanan dengan pengembangan industri hilir perkayuan terutama industri kayu lapis. Awal tahun 1978, Direktur Jenderal Kehutanan memprakarsai pembangunan Hutan Tanaman Industri dan dilaksanakan melalui sistem yang disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI/HTI). Pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang mengharuskan perusahaan HPH untuk memiliki atau menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang memiliki pabrik pengolahan kayu untuk memproduksi kayu gergajian, kayu lapis, papan, dan sebagainya. Jumlah pabrik kayu lapis meningkat tajam dari 21 pabrik pada tahun 1979 menjadi 101 pabrik pada tahun 1985, dan produksi naik dari 624.000 meter kubik pada tahun 1979 menjadi hampir 4,9 juta meter kubik pada tahun 1985, kemudian produksi mencapai angka 10 juta meter kubik pada tahun 1993. Pada tahun 1990-an, industri kayu lapis menyerap lebih dari 70 persen produksi kayu bulat dan 90 persen dari total produksi kayu lapis tersebut ditujukan untuk ekspor. Pada tahun 1986, peraturan mengenai pemberian izin HPHTI tahun 1978 disempurnakan pada tahun 1986 melalui Surat Keputusan Menteri KehutananNo. 417/II/1986 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Kebijakan pemerintah di sektor kehutanan Indonesia yang cenderung mengembangkan industri pengolahan kayu domestik yang terfokus pada industri kayu lapis ini didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) meningkatkan perolehan devisa dari ekspor kayu olahan; (2) memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan; (3) meningkatkan nilai jual (nilai tambah) kayu hutan Indonesia di pasar internasional maupun pasar domestik; (4) memacu perkembangan ekonomi regional.
Pada bulan November 1989, pemerintah memberlakukan pajak ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian, yakni sebesar 250 sampai 1000 US$ per meter kubik. Kebijakan ini diambil pemerintah untuk lebih mendorong ekspor kayu lapis. Hal ini memberikan dampak pada peningkatan secara drastis produksi kayu lapis termasuk dengan nilai ekspornya.
25
Sebaliknya, produksi kayu bulat dan kayu gergajian juga meningkat pada tahun 1990 karena adanya peningkatan konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis dan peningkatankonsumsi kayu gergajian domestik yang diindikasikan oleh peningkatan ekspor mebel yang terbuat dari kayu (wooden furniture).
Kebijakan pengolahan kayu lapis ini telah berhasil mengembangkan industri kayu lapis domestik dan kayu gergajian di Indonesia serta membuat Indonesia menjadi negara eksportir utama kayu olahan. Negara-negara importir utama kayu lapis Indonesia di antaranya adalah Cina, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Nilai ekspor kayu lapis meningkat dari sebesar 0,82 milyar US$ pada tahun 1985 menjadi 2,73 milyar US$ pada tahun 1990. Kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan pemerintah juga meningkat hingga mencapai 301 juta US$ pada tahun 1990.
Menurut FWI/GFW (1999) sejak tahun 1985 dan sejak pemberlakuan kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu hutan, laju deforestasi hutan Indonesia mengalami percepatan. Sekitar 60 persen hutan dataran rendah di tiga pulau terbesar di Indonesia sudah ditebang di antara tahun 1985 sampai tahun 1997. Pada tahun 1995, terdapat sekitar 585 konsesi HPH, yang luasnya mencakup 63 juta hektar lahan hutan di seluruh Indonesia. Namun pada pertengahan tahun 1990-an, izin sekitar 100 perusahaan HPH dicabut karena pemegang hak konsesi melakukan pelanggaran hukum dan sebagian karena nilai tegakan pohon di banyak konsesi HPH sudah menurun. Namun hal ini tidak berarti kegiatan pembalakan atau logging perusahaan-perusahaan HPH ini terhenti karena sebagian dialihkan ke lima perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I sampai Inhutani V), atau dibentuk kembali menjadi perusahaan patungan antara perusahaan swasta dan salah satu dari badan usaha milik negara.
Pada pertengahan 1998, hanya 39 juta hektar lahan hutan yang tetap berada seluruhnya di tangan para pemegang konsesi HPH swasta, sedangkan 14 juta hektar dikelola oleh lima perusahaan Inhutani, 8 juta hektar berada di bawah perusahaan patungan pemerintah dan swasta, serta 8 juta hektar lainnya telah dicanangkan untuk dikonversi kepenggunaan non kehutanan. Jumlah dan luas total kawasan HPH terus berkurang sejak pertengahan tahun 1990-an, dan konsesi HPH memberikan pangsa pasokan kayu yang lebih kecil di Indonesia dibandingkan pada masa lalu.