• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kebijakan Pengembangan Wilayah Perbatasan

Pengembangan wilayah perbatasan memerlukan manajemen pengelolaan kawasan perbatasan yang tepat diantaranya berupa koordinasi antar pengambil kebijakan pada berbagai tingkatan baik pusat, provinsi dan kabupaten sehingga perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan dapat menjadi solusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Adapun peran dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta pihak lainnya menurut Hamid dan Alkadri (2003) seperti tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Peran pemerintah dan pihak lainnya dalam pengembangan kawasan perbatasan

No Pihak Terkait Peranan

1 Pemerintah pusat Penyusunan kebijakan umum dan fasilitasi dalam hal : -Perluasan jaringan informasi dan telekomunikasi -Pengembangan kerjasama dengan negara tetangga

-Pengembangan infrastruktur & tata ruang wilayah perbatasan

-Pemetaan potensi wilayah perbatasan -Pemasangan patok-patok perbatasan negara 2 Pemerintah

provinsi

Mengkoordinasikan semua rencana kerjasama pengembangan kawasan perbatasan antar kabupaten/kota yang memiliki wilayah perbatasan

3 Pemerintah kabupaten/kota

-Menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian operasional di kawasan perbatasan yang disesuaikan dengan RTRW nasional.

-Meningkatkan kemampuan masyarakat di kawasan perbatasan

-Merencanakan dan menyelenggarakan forum perencanaan lintas batas antarnegara sesuai dengan kewenangannya -Melaksanakan kegiatan pengelolaan perbatasan antar

negara sesuai dengan kewenangannya

4 Pihak lainnya -Perguruan tinggi diharapkan dapat menjembatani kepentingan pemerintah dengan masyarakat

-LSM diharapkan dapat melakukan pengontrolan demi kepentingan umum

-Swasta diharapkan turut berperan dalam investasi di wilayah perbatasan

-Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan

Sumber : Hamid dan Alkadri, (2003)

Berdasarkan peran dari setiap tingkatan pemerintahan dan tentunya didasarkan pada kondisi serta permasalahan di wilayah perbatasan tersebut maka dalam RPJM nasional tahun 2004–2009 direncanakan akan dilaksanakan kegiatan-kegiatan pokok untuk memfasilitasi pemerintah daerah di wilayah perbatasan yakni:

1. Penguatan pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui: (a) peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi, (b) peningkatan kapasitas SDM, (c) pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan, (d) peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;

2. Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), public service obligation (PSO) untuk telekomunikasi, program listrik masuk desa; 3. Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan

tanda- tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional;

4. Peningkatan kerjasama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan;

5. Peningkatan kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara. Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor unggulan;

6. Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat, dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.

Selanjutnya dalam pengembangan wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain perlu dilakukan zonasi wilayah pengembangan yang didasarkan pada perbedaan jumlah penduduk, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan, kondisi sosial ekonomi dan budaya sebagaimana dikemukakan oleh Depdagri (2005) bahwa zonasi wilayah pengembangan meliputi: a) program pengembangan wilayah perbatasan bertipologi wilayah perekonomian maju (RI–Malaysia); b) program pengembangan wilayah perbatasan bertipologi wilayah perekonomian menengah (RI–PNG); c) program pengembangan wilayah perbatasan berorientasi freeport zones (RI–Singapura dan RI- Filipina); d) program pengembangan wilayah perbatasan inisiatif baru (RI–RDTL).

Pemerintah dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) merespon dampak pisahnya Timor Leste dengan menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dimuat dalam RPJM dan RTRW baik nasional, provinsi maupun kabupaten. a. Kebijakan Pemerintah Pusat

Kabupaten TTU ditetapkan sebagai salah satu dari 20 kabupaten yang menjadi prioritas pembangunan sebagaimana tertuang dalam RPJM Nasional tahun 2004–2009. Sedangkan dalam RTRWN dinyatakan tentang kawasan strategis nasional termasuk perbatasan darat NTT dengan Timor Leste dengan kategori E2 yang berarti lebih menekankan pada aspek keamanan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong kawasan strategis nasional, dan Kefamenanu sebagai ibu kota Kabupaten TTU termasuk dalam kategori tersebut yang dikelompokkan ke dalam kawasan pengembangan baru dari kawasan strategis nasional.

b. Kebijakan Pemerintah Provinsi

Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam Propeda dan Renstrada NTT tahun 2004-2008 telah menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan. Perda Provinsi NTT No.9 tahun 2005 tentang RTRW Provinsi NTT tahun 2006-2020 pasal 20 menyatakan bahwa kawasan strategis daerah meliputi kawasan perbatasan negara yang pengembangannya dilakukan dengan cara (a) mendorong pengembangan kawasan perbatasan Republik Indonesia, Timor Leste dan Australia sebagai beranda depan Negara Indonesia di daerah; (b) percepatan pembangunan kawasan perbatasan negara yang berlandaskan pada pola kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan. Kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan ditingkatkan dengan menetapkan kawasan andalan Noelbesi yang meliputi sub kawasan: Kapan (TTS) – Eban (TTU) – Amfoang (Kupang) yang berada di wilayah perbatasan dengan district enclave Oekusi; sedangkan kelestarian lingkungan dilakukan dengan menetapkan kawasan prioritas negara yang berfungsi lindung dan mendukung pengelolaan sungai batas negara yang juga memiliki fungsi ekonomi dan bernilai strategis terhadap keamanan. Hal ini dilanjutkan dengan membuat rencana tata ruang wilayah perbatasan Provinsi NTT dengan district enclave Oekusi, meskipun belum ditetapkan sebagai perda. Pemerintah

Provinsi NTT juga mengusulkan adanya kelembagaan formal yang bertugas mengelola wilayah perbatasan sehingga dapat mengkoordinir kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan.

c. Kebijakan Pemerintah Kabupaten

Sedangkan dalam RPJM Kabupaten TTU tahun 2005–2010 telah ditegaskan bahwa potensi pendapatan di Kabupaten TTU dapat diperoleh dari dibukanya pasar perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi, meskipun belum difungsikan. Selanjutnya Kabupaten TTU juga telah mengembangkan Kota Wini sebagai kota satelit yang salah satu pertimbangannya karena letak Wini yang hanya berjarak 8 km dari Oekusi sehingga Wini dapat pula dijadikan kota transito. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamid dan Alkadri (2003) bahwa wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai model pengembangan kawasan transito, kawasan agropolitan, kawasan wisata. Sedangkan strategi yang dikembangkan dapat berupa pengembangan spasial dan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan investasi, pengembangan jaringan regional dan pengembangan komoditas unggulan. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian tentang penentuan komoditas unggulan dan jaringan regional yang dapat meningkatkan interaksi spasial di wilayah perbatasan.

Selain itu, pemerintah Kabupaten TTU sebagai daerah otonom merespon dengan melakukan pemekaran kecamatan dari 9 kecamatan menjadi 24 kecamatan sehingga kecamatan di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste berjumlah 5 kecamatan (semula 3 kecamatan) dengan maksud mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran kecamatan juga secara ekonomi dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam hal menciptakan daerah pertumbuhan baru yang dapat meningkatkan interaksi antar sektor di wilayah tersebut sebagaimana dikatakan oleh Losch dalam Rustiadi et al.(2007).