• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN

A.5 Kebijakan Pertahanan Australia

Selain faktor-faktor yang telah penulis paparkan sebelumnya, faktor lain

yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan luar negeri Australia menurut Bhakti

(2001) ialah kebijakan pertahanan yang juga didominasi oleh eksekutif. Lebih

lengkap, Bhakti menjelaskan bahwa dalam pembuatan kebijakan pertahanan,

terdapat kaukus kabinet mengenai politik luar negeri dan pertahanan yang

beranggotakan Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan

Perdagangan, Menteri Pertahanan, Jaksa Agung, dan Bendahara Negara (Menteri

Keuangan). Tanggungjawab dalam menentukan kebijakan pertahanan Australia

berada pada Departemen Pertahanan Australia yang terdiri dari kelompok sipil

dan militer.

Selanjutnya, sebagai negara yang sebagian besar penduduknya merupakan

keturunan Eropa serta letaknya yang dekat dengan Asia, jauh dari negara asal dan

pelindungnya Inggris dan AS menyebabkan Australia memiliki kepedulian yang

tinggi terhadap negara-negara tetangganya termasuk Indonesia. Sebelum tahun

1970an, doktrin strategis pertahanannya dikenal dengan Forward Defence

Strategy. Strategi ini merupakan upaya Australia membantu AS dalam

membendung komunisme yang datang dari Utara. Hal tersebut pula yang

melatarbelakangi Australia turut serta dalam Perang Korea, Perang Vietnam atau

bahkan konflik antara Indonesia dan Malaysia, seperti yang telah penulis jelaskan

sebelumnya (Bhakti 2001: 40-41). Menurut Bhakti dan Alami (2005: 32)

kebijakan pertahanan Australia dipengaruhi paling tidak oleh dua hal yaitu,

pertama, perubahan strategis pertahanan AS dan Inggris di Asia Pasifik khususnya

Asia Tenggara; kedua, perubahan bentuk ancaman. Perubahan modernisasi alat

utama sistem persenjataan, postur dan strategi pertahanan Australia disesuaikan

dengan perubahan-perubahan lingkungan strategis tersebut. Selain itu, perubahan

kebijakan pertahanan Australia juga dipengaruhi oleh pemerintahan dan Perdana

Menteri dari partai mana yang berkuasa. Jika pemerintahan dari Partai Buruh yang

berkuasa maka, ikatan kekuatan pertahanan dengan negara-negara Asia lebih kuat

dibanding dengan AS, namun bukan berarti Australia melepaskan diri dari

perlindungan AS. Karena jika pemerintahan Buruh berkuasa politik luar negeri

Australia lebih nasionalistik, internasionalistik serta berpandangan luas terhadap

negara-negara di Asia dan Pasifik Selatan. Dengan kata lain kebijakan luar negeri

Australia yang memiliki keterikatan dengan kebijakan pertahanannya selalu

disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal dan

juga internal.

Dalam kaitan dengan Indonesia, siapapun yang berkuasa di Australia akan

tetap memandang Indonesia penting bagi pertahanan Australia. Hal ini

dikarenakan posisi Indonesia yang merupakan tameng sekaligus ancaman bagi

Australia. Oleh sebab itu, Indonesia selalu dicantumkan dan dianggap penting di

dalam Buku Putih Pertahanan Australia (Bhakti dalam Tempo, 21 September

1996; lihat juga Buku Putih Pertahanan Australia 1987; Buku Putih Pertahanan

Australia 1997; Buku Putih Pertahanan Australia 2000; Buku Putih Pertahanan

Australia 2003; Buku Putih Pertahanan Australia 2005; Buku Putih Pertahanan

Australia 2009).

B. Faktor Eksternal

Selain faktor-faktor internal yang menentukan kebijakan luar negeri

Australia ada pula faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi seperti yang

sudah penulis jelaskan. Pemaparan mengenai faktor-faktor eksternal yang

mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia di bawah ini juga berpijak pada

pendapat dari Bhakti di dalam laporan penelitian LIPI tahun 2001, yakni:

B.1. Perubahan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan regional dan

internasional

Konstelasi politik, ekonomi dan keamanan regional serta internasional

tidaklah bersifat statis, melainkan bersifat dinamis dan selalu berubah. Adanya

dinamika baik regional maupun interasional amat mempengaruhi implementasi

politik luar negeri Australia. Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya

bahwa sebelum dan pada Perang Dunia I, politik luar negeri Australia dimainkan

oleh Inggris. Namun, pasca Perang Dunia I menjelang Perang Dunia II Australia

melihat Inggris tidak lagi dapat mengamankan daerah jajahannya di kawasan Asia

Pasifik yang menyebabkan Australia mulai mengalihkan pandangannya ke AS.

Kemudian Perang Pasifik yang mengakibatkan jatuhnya Singapura ke tangan

Jepang akhirnya membuat Australia benar-benar mengalihkan perlindungannya ke

AS yang mengakibatkan kebijakan Australia dipengaruhi oleh AS.

Pasca Perang Dunia II dan dimulainya Perang Dingin membuat Australia

ikut dalam kebijakan AS dengan melaksanakan pembendungan komunisme di

kawasan Asia Pasifik. Selain itu, Australia juga masuk dalam kerangaka

keamanan AS yakni, ANZUS dan SEATO dalam rangka pencegahan komunisme

di kawasan Asia Pasifik (lihat Evans 19991; Firth 2005).

Pada tahun 1983 di bawah pemerintahan Hawke dari Partai Buruh,

Australia mulai merubah kebijakan keamanannya dari “Mencari keamanan dari

Asia” menjadi “Mencari Keamanan di dalam Asia”. Hal ini didasari oleh

pemikiran Hawke bahwa masa depan perdagangan luar negeri Australia berada di

Asia, terutama perdagangan dengan negara Jepang, Cina dan Korea Selatan.

Namun, pada tahun 1997 krisis ekonomi melanda kawasan Asia Pasifik membuat

terpuruknya ekonomi negara-negara Asia tidak terkecuali Indonesia. Krisis

ekonomi yang melanda Asia tersebut bahkan selain membuat ekonomi Indonesia

terpuruk juga menyebabkan kekacauan politik dan memicu konflik sosial di

Indonesia. Hal ini membuat kebijakan luar negeri Australia di bawah

pemerintahan Howard dari Partai koalisi Liberal semakin mendekatkan diri

kepada AS dan mulai menjauhi Asia termasuk Indonesia (lihat Bhakti 2001;

Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005).

Sedangkan menurut Pudjiastuti (2006) krisis tahun 1997 membuat

perekonomian Indonesia terpuruk dan kekacauan stabilitas dalam negeri

Indonesia, hal ini membuat Australia yang memiliki tingkat kemakmuran yang

lebih maju dari Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya menjadi salah satu

negara yang menjadi tujuan utama para imigran asal Indonesia maupun para

imigran lain dari negara Asia Selatan dan Timur Tengah seperti Afghanistan dan

Irak yang memanfaatkan Indonesia sebagai negara transit sebelum menuju

Australia serta berbagai kegiatan lintas batas lainnya (smuggling dan trafficking).

Sejak saat itulah isu-isu perbatasan antara Australia dan Indonesia semakin

menonjol dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah Australia karena Isu

imigran gelap dan pelintas batas ini bukan hanya mengancam keamanan Australia

tapi juga perekonomian Australia.

Perubahan konstelasi politik, keamanan dan ekonomi baik regional

maupun interansional kembali berubah ketika terjadi peristiwa terorisme di AS

pada tahun 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC di New York.

Perubahan ancaman dari konvensional menjadi non konvensional ikut pula

mempengaruhi kebijakan Australia terutama ketika terjadi peristiwa terorisme di

Indonesia dengan meledaknya Bom di Bali pada tahun 2002 dan meledaknya

Bom di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004 (Chauvel 2004 dalam

Mar’iyah 2005).

Hal ini juga terkait dengan pemaparan penulis pada bab sebelumnya

bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan strategis baik itu

perubahan kebijakan AS dan Inggris maupun perubahan ancaman ikut

mempengaruhi kebijakan luar negeri dan pertahanan Australia (Bhakti dan Alami

2005: 32).

Dari penjelasan yang telah penulis uraikan di atas, terlihat bahwa

kebijakan luar negeri Australia dipengaruhi beberapa faktor penting baik itu

faktor-faktor internal maupun faktor eksternal. Penjelasan mengenai faktor-faktor

bertujuan untuk membantu dalam memahami kebijakan luar negeri Australia

terhadap Indonesia di bawah pemerintahan John Howard dari Partai Liberal dan

pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh, yang akan penulis bahas pada bab

selanjutnya.

BAB III

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA:

JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI LIBERAL (1996-2007)

DAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH (2007-2010)

Bab ini membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap

Indonesia pada Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal dan Kevin Rudd

dari Partai Buruh. Bab ini terdiri dari dua sub bab yakni, sub bab pertama

membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah

Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal; sub bab kedua membahas tentang

kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah Pemerintahan Kevin

Rudd dari Partai Buruh. Dari kedua pembahasan tersebut akan terlihat bagaimana

karakter serta perbedaan kebijakan luar negeri dari kedua pemerintahan dengan

Perdana Menteri yang berbeda partai tersebut.

A.1 Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan John Howard Dari Partai Liberal

John Washington Howard merupakan Perdana Menteri Australia yang ke

dua puluh lima. Ia merupakan Perdana Menteri yang diusung oleh Partai koalisi

Liberal dan secara resmi dilantik pada 11 Maret 1996. Dengan pelantikannya ini,

menandakan berakhirnya masa kepemimpinan Paul Keating dari Partai Buruh

selama tiga belas tahun (Wuryandari 2001).

Menurut Kelly (2006) Howard merupakan seorang Perdana menteri yang

telah diragukan untuk membuat kontribusi dalam menentukan kebijakan luar

negeri dan keamanan nasional Australia. Hal ini dikarenakan, sebelum ia

menjabat sebagai Perdana Menteri, selama dua puluh dua tahun ia berkarir di

parlemen Australia terkenal sangat fokus dan perhatian kepada isu-isu domestik

dan memiliki perhatian terbatas pada dunia luas. Lebih jauh lagi, Kelly

mengutarakan bahwa Howard berkuasa sebagai pemula dalam kebijakan luar

negeri, namun naluri yang ia miliki terhadap kebijakan luar negeri cukup dalam.

Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa pada awal pemerintahannya

Howard merupakan seorang yang amatir dalam kebijakan luar negeri. Menurut

Howard dalam Kelly (2006) kebijakan luar negeri merupakan latihan dari sebuah

praktek politik yang didasarkan pada kepentingan nasional dan nilai-nilai

Australia. Dia menolak jika pembuatan kebijakan luar negeri merupakan bentuk

seni eksotis dari diplomasi. Howard merasa bahwa kebijakan luar negeri

dijalankan dengan akal sehat. Selama sepuluh tahun lebih ia memerintah, ia tidak

pernah merubah rumus dasar dari kebijakan luar negerinya, yang hanya

didasarkan pada sikapnya yang juga dipengaruhi oleh Partai Koalisi Liberal yang

konservatif dalam membuat kebijakan terutama pada awal pemerintahannya di

tahun 1996. Hanya saja seiring berjalannya waktu pengalamannya meningkat

sehingga memperhalus kebijakan luar negerinya.

Sedangkan menurut Wuryandari (2001: 50-51) sejak awal

pemerintahannya, Howard terlihat bingung dengan arah kebijakan luar negeri

Australia. Walaupun, setelah Howard dilantik sebagai Perdana Menteri, ia

mengatakan bahwa pemerintahan koalisi Liberal akan melanjutkan kebijakan

pemerintahan Buruh sebelumnya yang dipimpin oleh Paul Keating, yakni

memiliki hubungan yang kuat dengan Asia. Namun, pernyataan tersebut berhenti

hanya sebagai retorika saja. Howard dinilai tidak memberikan perhatian secara

khusus kepada kebijakan luar negeri Australia. Stagnasi kebijakan luar negeri

pada pemerintahan Howard menyebabkan banyaknya kritikan yang ditujukan

kepadanya. Hal ini disebabkan oleh salah satu fungsi kebijakan luar negeri ialah

mempromosikan berbagai kepentingan nasional Australia. Salah satu kritikan

tajam terhadap pemerintahan Howard datang dari surat kabar di Australia “The

Age” menjelang akhir 1996, yang menulis “Australian needs the federal

Government to Determine a clear set of priorities in foreign, defence and trade

policy” (Australia membutuhkan pemerintahan federal untuk menentukan

seperangkat prioritas yang jelas dalam kebijakan luar negeri, pertahanan dan

perdagangan) (terjemahan penulis).

Senada dengan pernyataan Wuryandari, Kelly (2006: 5) menilai bahwa

stagnasi kebijakan luar negeri di awal pemerintahan Howard dikarenakan pada

saat pertama menjabat sebagai Perdana Menteri, Howard hanya memiliki sedikit

kontak internasional, ia juga tidak memiliki jaringan dengan regional serta

memiliki kecurigaan terhadap pengaruh Hawke dan Keating pada Departemen

Luar Negeri dan Perdagangan. Selain itu, Howard juga kurang memahami tentang

konsep kebijakan luar negeri dan memiliki empati yang sedikit dengan Asia.

Memperkuat argumen sebelumnya, menurut Trood (1998: 185) dalam

Wuryandari (2001: 52) dan Suryanarayana (2001) berbeda dengan pasangan

Keating dan Evans dari pemerintahan Buruh, Perdana menteri Howard dan

Menteri Luar Negerinya Downer kurang memiliki antusiasme dalam politik luar

negeri serta cenderung “inward looking” dengan memberikan skala prioritas

utama pada berbagai persoalan domestik. Oleh sebab itu, di awal

pemerintahannya, politik luar negeri Australia mengalami sejumlah kemunduran

terutama dengan Asia yang semakin lama semakin menjauh. Hubungan dengan

Cina mengalami penurunan ketika pemerintahan Howard memberikan dukungan

publik untuk Presiden Clinton pada Maret 1996, untuk penyebaran Angkatan Laut

di Selat Taiwan. Tidak berhenti di situ, pemerintah Howard juga melakukan

pencabutan skema perdagangan bantuan DIFF (Development Import Financial

Facilities) dengan negara-negara Asia, menghapus program siaran Asia dari

Australian Television International, memotong program siaran berbahasa Asia

dari radio Australia.

Kondisi seperti di atas telah menyebabkan banyaknya kritikan terhadap

pemerintahan Howard. Dari kritikan tersebut perlahan Howard menyadari bahwa

untuk menjadi Perdana Menteri Australia yang sukses harus memiliki kebijakan

luar negeri yang efektif seperti yang dilakukan pendahulunya baik Whitlam,

Fraser, Hawke dan Keating yang kesemuanya memiliki jejak kebijakan luar

negerinya masing-masing. Setelah tujuh belas bulan menjabat sebagai Perdana

menteri, pemerintahan Partai koalisi Liberal mulai mengeluarkan serangkaian

kebijakan baru yang menyangkut masalah politik luar negeri, pertahanan dan

perdagangan. Kebijakan tersebut meliputi: White Paper on Foreign and Trade

Policy yang dikeluarkan pada Agustus 1997 dan Australia Strategic Policy pada

Desember 1997 (lihat Muna 2000; Wuryandari 2001; Kelly 2006).

Dari kedua dokumen yang dikeluarkan ini, pemerintahan Howard

mencoba untuk meredefinisi kepentingan masa depan Australia di bidang politik

luar negeri, pertahanan dan keamanan serta perdagangan, yakni dengan

melakukan penyesuaian diri dari perkembangan regional dan internasional. Di

dalam dokumen tersebut, pemerintahan Howard menetapkan prioritas dari

kebijakan luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasionalnya, yakni sebagai

berikut :

Pertama, “Australia’s commitment to the region as its highest foreign

policy priority” (komitmen Australia kepada region sebagai prioritas tertinggi

kebijakan luar negerinya); kedua, “Working to enhance Australia’s security

(melakukan peningkatan keamanan Australia); ketiga, “Strengthening Australia’s

broader global links”(menguatkan perluasan ikatan-ikatan global Australia);

keempat, “Australia’s human and principled foreign policy” (prinsip kemanusiaan

pada kebijakan luar negeri Australia ) (terjemahan penulis) (Downer, 5 Maret

1998 dalam situs resmi Departement of Foreign Affairs and Trade).

Dari agenda-agenda kebijakan luar negeri dari pemerintahan Howard

terlihat bahwa kawasan Asia Pasifik menduduki posisi tertinggi, namun

sayangnya komitmen tersebut terhenti pada tahap retorika saja, sedangkan banyak

kebijakan pemerintah Howard yang kontraproduktif bagi hubungan Australia

dengan negara-negara Asia, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya.

Kebijakan luar negeri pemerintahan Howard yang menjauhkan diri dari

Asia, berdampak terhadap penolakan negara-negara ASEAN terhadap keinginan

Australia untuk bergabung dengan ASEM (the Asia-Europe Summit Meetings)

dalam KTT I Asia-Eropa yang berlangsung di Bangkok pada 1997. Akibatnya,

Australia pada masa pemerintahan Howard tidak dapat membangun hubungan

yang efektif dengan Asia termasuk Indonesia. Hal ini juga dikatakan oleh Kevin

Rudd (dalam Asialink, The University of Melbourne, 17 Oktober 2000) bahwa

kebijakan luar negeri pemerintahan Howard ialah “disengagement from Asia”

(menjauhkan diri dari Asia).

Khusus terhadap Indonesia, Howard tetap menilai Indonesia adalah negara

yang penting bagi Australia. Terbukti bahwa di dalam buku putih tahun 1997

yang dikeluarkan pemerintahan Howard tertulis jika “hubungan Australia

-Indonesia akan selalu penting”. Hal ini dikarenakan posisi strategis Indonesia

yang merupakan rute utama perdagangan Australia, dengan populasi dan

posisinya di Asia tenggara dan pembangunan serta diversifikasi kemitraan

bilateralnya merupakan hal-hal yang patut diperhitungkan. Selain itu, perlu juga

diingat bahwa Indonesia merupakan negara tetangga terdekat yang dari dan di

mana ancaman bagi Australia berasal (lihat In The National Interest 1997: 61

dalam Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005; Hamid 1999).

Senada dengan penjelasan di atas, Kelly (2006) mengungkapkan bahwa

pada dasarnya kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah

pemerintahan Howard tidak berbeda dengan pemerintahan Keating sebelumnya,

sebagai contoh ia tetap mendukung perjanjian pertahanan Australia-Indonesia

pada tahun 1995. Namun, Howard pada kunjungan pertamanya ke luar negeri

yakni ke Indonesia pada 1996, menegaskan bahwa Australia tidak bisa menjadi

Asia dan ia menginginkan Indonesia yang pada saat itu di pimpin oleh Presiden

Soeharto untuk tidak menolak sejarah Australia.

Pemaparan di atas terkait dengan penjelasan Kelly (2006) bahwa

kebijakan luar negeri Australia di bawah pemerintahan Keating dinilai Howard

berusaha menjadikan Australia sebagai Asia dan menganggap Indonesia sebagai

negara terpenting bagi Australia. Pemerintahan Howard memang tetap

menganggap penting Indonesia namun, ia tidak menginginkan Indonesia

memonopoli perhatian Australia. Sedangkan Bhakti mengungkapkan kepada

penulis di Jakarta dalam wawancara pada 28 Maret 2011 bahwa Howard kurang

setuju dengan pendekatan “inter personal” yang dilakukan Keating terhadap

Indonesia. Lebih lanjut, Bhakti menjelaskan bahwa Howard ingin hubungan

Australia-Indonesia terjalin baik, akan tetapi tidak menyetujui Australia

mengidentikkan diri dengan Asia. Menurut Chauvel (2004 dalam Mar’iyah 2005)

kebijakan luar negeri Australia di bawah pemerintahan Howard memang pada

awalnya belum menunjukkan adanya perubahan dari kebijakan luar negeri

Keating. Namun, pasca krisis moneter tahun 1997, Indonesia mengalami

perubahan image. Hal ini berdampak pada melemahnya posisi Indonesia di dunia

internasional, yang pada akhirnya berpengaruh pada hubungan

Australia-Indonesia.

Perubahan situasi yang terjadi di kawasan Asia akibat adanya krisis pada

1997, membuat kebijakan luar negeri Australia di satu sisi harus menyesuaikan

diri dengan perubahan tersebut terutama pada negara-negara ASEAN, dan

khususnya pada negara tetangga terdekatnya Indonesia. Namun, di sisi lain

karakter pemerintahan John Howard yang menjauhkan diri dari Asia dalam hal ini

termasuk juga Indonesia serta mendekatkan diri pada aliansinya yakni AS.

Bahkan, Howard mengklaim bahwa Australia merupakan “Deputy Sheriff” AS di

kawasan Asia (Chauvel 2005 dalam Mar’iyah 2005: xvii). Sedangkan Downer

(1997: 5 dalam Wuryandari 2001: 60) menjelaskan bahwa situasi strategis di Asia

Pasifik yang semakin kompleks, terutama pasca krisis pada pertengahan 1997

menyebabkan Australia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap AS.

Lebih lanjut, Downer mengatakan bahwa Australia mempercayai bahwa

kehadiran AS merupakan faktor kunci bagi terwujudnya stabilitas kawasan

keamanan di Asia Pasifik yang pada saat itu sedang mengahadapi banyak masalah

dan tantangan terkait krisis yang terjadi pada tahun 1997.

Kemunduran hubungan antara Australia-Indonesia semakin terjadi pasca

krisis tahun 1997, Indonesia mengalami kekacauan politik dalam negeri yang

membuat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998 dan digantikan oleh

Presiden Habibie. Dalam laporan Chega (2005: 33) berakhirnya pemerintahan

Presiden Soeharto diakui pemerintah Australia di bawah Howard sebagai

kesempatan untuk melanjutkan penyelesaian masalah Timor Timur dalam

kerangka kedaulatan Indonesia. Masalah Timor Timur merupakan kerikil yang

mewarnai perjalanan hubungan antara Australia-Indonesia. Australia merasa

bahwa Timor Timur, Papua New Gueinea dan Indonesia merupakan halaman

depan Australia. Karena alasan tersebut Australia merasa berkepentingan untuk

ikut menyelesaikan masalah tersebut. Jika, pada masa kepemimpinan Whitlam,

Fraser, Hawke dan Keating permasalahan Timor Timur dapat diselesaikan dengan

jalan kerjasama antara Australia-Indonesia, tapi tidak untuk pemerintahan

Howard. Beralihnya kebijakan Australia mengenai Timor Timur ini sangat

dipengaruhi oleh survei yang dilakukan Australia pada bulan Juli-Agustus tahun

1998 kepada rakyat Timor Timur mengenai status quo. Hasil survei tersebut

menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Timor Timur tidak sepakat dengan

status quo dan menginginkan otonomi baik secara referendum maupun

pengambilan keputusan. Kemudian Australia membagikan hasil survei tersebut

kepada Indonesia (lihat juga Bhakti dalam Kontan, 20 September 1999).

Lebih jauh lagi, pada tanggal 19 Desember 1998 Perdana Menteri

Australia, John Howard menulis surat kepada Presiden Habibie untuk melakukan

pembicaraan langsung kepada rakyat Timor Timur secepatnya, yang bertujuan

untuk memperoleh dukungannya terhadap otonomi dalam wilayah Indonesia.

Howard meyarankan untuk pelaksanaan tindakan penentuan nasib sendiri setelah

periode otonomi yang cukup lama serupa dengan pendekatan yang disetujui di

Kaledonia Baru untuk kolonisasi Perancis. Saran yang diberikan Howard yang

tertulis dalam suratnya mengenai pendekatan yang serupa dengan kolonisasi

Perancis menyinggung perasaan Presiden Habibie yang merasa jika Indonesia

disamakan dengan penjajahan yang dilakukan Perancis. Hal ini memicu sikap

Presiden Habibie yang setuju dengan adanya jajak pendapat penentuan nasib

sendiri bagi Timor Timur, yang berakhir dengan lepasnya Timor Timur dari

Indonesia pada Agustus tahun 1999 (Laporan Chega 2005).

Perubahan kebijakan Australia terhadap Indonesia terkait masalah Timor

Timur semakin membuat hubungan Australia-Indonesia pada masa Pemerintahan

Howard mengalami penurunan yang sangat tajam mengakibatkan Presiden

Habibie membatalkan secara sepihak perjanjian AMS pada tahun 1999. Lebih

lanjut, menurut Effendy (2001: 5) yang dikutip oleh Wuryandari (2001: 60-61)

pilihan yang dilakukan pemerintahan Howard sangat dipengaruhi oleh ideologi

Howard yang sangat konservatif yang merupakan pemimpin Partai koalisi Liberal

yang memang memiliki pandangan konservatif. Howard merupakan seorang yang

menganut paham bahwa Australia adalah negara Eropa yang mempunyai tugas

menegakkan nilai-nilai “Barat”, seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya

bahwa saat kunjungan perdananya ke Indonesia, Howard menegaskan bahwa

Indonesia harus menerima sejarah Australia yang memang sejarah Australia

adalah keturuanan Inggris. Sejalan dengan pendapat Effendy, Kelly (2006)

menilai bahwa kebijakan luar negeri Howard merupakan sintesis dari pandangan

Partai Liberal dan prinsip tradisional Australia. Oleh karena itu, kebijakan luar

negeri Australia yang selama ini dinilai Howard “hanya Asia”, seperti yang

dilakukan oleh pemerintahan Buruh di bawah Keating telah berakhir. Hal ini

dibuktikan dengan keberanian Australia dalam menyelesaikan masalah Timor

Timur yang berkepanjangan dengan Indonesia.

Selain masalah Timor Timur yang menjadi batu sandungan antara

Australia-Indonesia. Permasalahan imigran juga mempengaruhi hubungan

Australia-Indonesia. Pasca krisis yang melanda Asia termasuk Indonesia,

Australia yang merupakan negara maju di kawasan Asia Pasifik membuat para

imigran baik dari Indonesia maupun dari negara lain terutama negara Asia Selatan

dan Timur Tengah yang akan menuju Australia membuat Australia memperketat

kebijakan terkait masalah imigran ini. Pemerintah Howard mengklaim bahwa

Dokumen terkait