KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA
TERHADAP INDONESIA:
PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI
LIBERAL (1996-2007) DAN PEMERINTAHAN KEVIN RUDD
DARI PARTAI BURUH (2007-2010)
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Jurusan Hubungan Internasional
Oleh:
Christa Mc Auliffe Suryo Puteri
NIM: 106083003625
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Juli 2011
ABSTRAK
Penelitian di dalam skripsi ini memaparkan tentang kebijakan luar negeri
Australia terhadap Indonesia dari dua pemerintahan Australia yang dipimpin oleh
dua Perdana Menteri dari dua partai besar yang berbeda di Australia, yakni
pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal (1996-2006) dan
pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh (2007-2010).
Konsep yang dipakai penulis untuk menjawab pertanyaan penelitian di
dalam skripsi ini adalah konsep kebijakan luar negeri model adaptif milik
Rosenau yang dikaitkan dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia. Model adaptif ini menggambarkan
bahwa kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal dan eksternal serta gaya kepemimpinan (leadership) Perdana
Menteri dari Partai Koalisi Liberal dan Partai Buruh.
Selanjutnya, skripsi ini merupakan penelitian kualitatif dengan
mengandalkan data-data primer dan skunder yang bertujuan untuk memaparkan
atau mendeskripsikan tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia
pada pemerintahan John Howard dan Kevin Rudd.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT atas segala
rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.
Terimakasih dan syukur penulis ucapkan atas segala dukungan dan
motivasi yang telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan
motivasi dari berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui
hambatan selama proses penyelesaian skripsi ini. Berbagai pihak yang membantu
di antaranya: kedua orang tua penulis, Papa dan Mama tersayang yang telah
memberikan yang terbaik untuk penulis, baik kasih sayang, doa, nasehat,
dukungan dan motivasi dalam segala hal dari awal hingga akhir, terimakasih Papa
dan Mamaku tersayang. Selain itu, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada kedua kakak penulis, Mas Agnesch dan Mas Ronald yang selalu
menemani, membantu, menjaga, menyayangi dan berbagi banyak hal kepada
penulis. Terimakasih banyak karena kalian telah memberikan dan menjadi yang
terbaik untukku.
Kemudian, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing sekaligus Ketua Jurusan Hubungan
Internasional, Ibu Dina Afrianty, Ph.D, yang telah membimbing penulis dalam
memahami permasalahan di dalam skripsi ini, meluangkan waktu untuk membaca
skripsi ini, mendengarkan penulis, memberi dukungan penulis, menyemangati di
saat suka maupun duka. Semua itu sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas arahan, ilmu, nasehat, dukungan serta
motivasi yang telah Ibu Dina berikan selama ini. Penulis sangat bersyukur sekali
dapat bertemu dan dibimbing oleh Ibu Dina. Sekali lagi terimakasih Ibu Dina atas
smuanya.
MA dan Bapak Adian Firnas, M.Si selaku dosen Hubungan Internasional, dan
juga seluruh staf Dosen di jurusan Hubungan Internasional yang telah
mengajarkan dan membagi ilmunya kepada penulis selama masa studi di UIN.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti selaku
peneliti LIPI, yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh penulis
dan menjelaskan secara detail kepada penulis mengenai hubungan
Australia-Indonesia. Terimakasih juga Prof. Ikrar untuk beberapa masukannya.
Terimakasih kepada seluruh keluarga besar penulis atas dukungan dan
doanya. Pakde, Bude, Oom, Tante, dan Sepupu-sepupu (Suryo Putero dan Suryo
Puteri) yang telah menghibur penulis di saat bosan, terimakasih.
Terimakasih juga kepada: Ali Fikri, Natiqoh, Qory , Izzun dan Anne, yang
turut serta membantu penulis dalam mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk
skripsi ini. Teman-teman penulis yang selalu ada untuk mendengarkan isi hati
penulis: Dian, Diah, Desty dan Astrid, terimakasih. Untuk sahabat kecil penulis
Septiani, makasih atas dukungannya selama ini. Serta untuk teman-teman HI
lainnya: Insan, Firman, Nanda, Ican, Alfi Perdana, Julian, dan lain-lain yang tidak
bisa penulis tuliskan satu persatu, namun tanpa mengurangi rasa terimakasih
kepada kalian, thank you so much and best luck for you mates.
Penulis juga sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kerja di
Toeic
Center Indonesia yang telah memberikan kesempatan serta pengalaman kepada
penulis. Terimakasih atas dispensasi waktu yang diberikan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tulus untuk Mustafid yang
selama ini telah setia menemani, mendengarkan dan memberikan kecerian serta
nasehat kepada penulis. Terimakasih untuk perhatian dan dukungan yang
diberikan. Semangat buat skripsinya Mustafid, Jeg Elsker Deg.
Terakhir, terlepas dari adanya kekurangan di dalam skripsi ini, penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Dan untuk semua pihak yang membantu dalam penyelasaian skripsi ini semoga
diberikan balasan kebaikan yang berlipat.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
………...
1
B.
Pertanyaan Penelitian
………...
6
C.
Kerangka Pemikiran
C.1 Konsep Kebijakan Luar Negeri...7
C.2 Konsep Kepentingan Nasional...12
D.
M
etode Penelitian………...
13
E.
Sistematika Penulisan
………...
14
BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN
LUAR NEGERI AUSTRALIA
A.
Faktor Internal
A.1 Faktor Sejarah dan Demografis...17
A.2 Faktor Geografis...22
A.3 Kepentingan Nasional...26
A.4 Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Australia...30
A.5 Kebijakan Pertahanan Australia...38
BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP
INDONESIA: PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DARI
PARTAI
KOALISI
LIBERAL
(1996-2007)
DAN
PEMERINTAHAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH
(2007-2010)
A. Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah
Pemerintahan John Howard dari Koalisi Liberal (1996-2007)...44
B. Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah
Pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh (2007-2010)...66
BAB IV ANALISA GAYA KEPEMIMPINAN JOHN HOWARD DARI
PARTAI KOALISI LIBERAL DAN KEVIN RUDD DARI
PARTAI BURUH
Analisa Gaya Kepemimpinan John Howard dari Partai Koalisi Liberal
dan Kevin Rudd dari Partai Buruh...78
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan………...
...87
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Australia dan Indonesia merupakan dua negara yang secara geografis dekat,
namun memiliki banyak perbedaan, baik dalam segi sejarah, politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Karena begitu banyaknya perbedaan yang ada di antara dua
negara ini sehingga sulit untuk menemukan dua negara bertetangga lain seperti
Australia dan Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Evans (1991: 1) bahwa
tidak ada dua negara tetangga di belahan dunia manapun yang berbeda sejarah,
budaya, penduduk, bahasa serta tradisi sosial dan politiknya seperti Australia dan
Indonesia.
Indonesia terletak di antara dua benua, yakni Asia dan Australia dan diapit
oleh dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Hal ini
menempatkan peran strategis Indonesia di mata internasional termasuk Australia.
Indonesia setidaknya memiliki tiga selat yang menjadi lintas perdagangan
internasional yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia,
yaitu Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok. Oleh karena hal inilah,
Indonesia bernilai strategis secara politik (Ibnudin, Pikiran Rakyat, 22 Maret
2010).
perhatian utama dalam kebijakan luar negeri Australia. Dengan demikian
membangun kemitraan yang sehat antara Australia-Indonesia merupakan suatu
tuntutan yang harus diciptakan oleh kedua negara (Sulistiyanto 2010).
Hubungan Australia dengan Indonesia diawali saat Indonesia berjuang
untuk mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Pada masa itu, Australia
bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Australia di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Joseph Benedict Chifley dari Partai Buruh,
menjadi negara yang sangat mendukung kemerdekaan Indonesia (Bhakti 1992:
143). Evans (1991: 186) juga menyatakan bahwa Australia mendukung Indonesia
dan sangat menentang kolonialisme Belanda. Dukungan Australia terhadap
Indonesia terlihat ketika pada tahun 1947, Australia resmi menjadi wakil dari
Indonesia dalam Komisi Jasa-Jasa Baik (United Good Offices Committe) serta
mendukung Indonesia bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1950.
Pergantian pemerintahan di Australia dari Partai Buruh kepada Partai koalisi
Liberal yang dipimpin oleh Perdana Menteri Menzies untuk periode 1949-1966,
mempengaruhi hubungan antara Australia dengan Indonesia pada kurun waktu
tersebut. Di samping itu, situasi Perang Dingin juga membuat kebijakan luar
negeri Australia di bawah pemerintahan koalisi Liberal harus mendukung politik
global Amerika Serikat pada masa tersebut, yakni membendung penyebaran
komunis (containment policy). Hal ini menyebabkan Australia di bawah
Pemerintahan koalisi Liberal lebih menginginkan kekuatan-kekuatan Barat ada di
Asia Pasifik. Akibatnya, pemerintah Australia saat itu mendukung Irian Barat
(Papua) dikuasai oleh Belanda. Permasalahan tentang Papua masih sering menjadi
masalah dalam hubungan Australia-Indonesia hingga saat ini (Bhakti, Wuryandari
dan Muna 1997; Hamid 1999; Tewes 2004-05; Firth 2005).
(lihat juga Critchley 1995; Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997; Thorton et. al
1997; Firth 2005).
Hubungan Australia-Indonesia antara tahun 1972-1988 sangat fluktuatif, di
mana antara tahun itu hubungan keduanya menghadapi beberapa masalah, seperti
masalah integrasi Timor Timur ke Indonesia dan masalah pemberitaan kekayaan
Presiden Soeharto oleh salah satu media cetak Australia
The Sydney Morning
Herald pada 10 April 1986. Namun, masalah utama yang mengganggu hubungan
kedua negara adalah masalah integrasi Timor Timur ke Indonesia yang bukan
dengan jalan damai hingga mengakibatkan terbunuhnya lima wartawan Australia
pada tahun 1975 (kasus Balibo) (Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997).
oleh pemerintahan Bob Hawke dari Partai Buruh (1983-1991) (Coldrey 1986
dalam Hamid 1999: 423; Chega, 2005).
Dari pemaparan di atas penulis melihat bahwa hubungan
Australia-Indonesia selalu mengalami pasang surut. Kebijakan masing-masing negara kerap
berubah seiring dengan perubahan pemerintahan di kedua negara. Selain itu
penulis juga melihat bahwa pergantian pemerintahan di Australia, dari Partai
Buruh ke Partai koalisi Liberal memiliki pengaruh yang cukup berarti bagi
hubungan bilateral Australia-Indonesia.
Naiknya Paul Keating dari Partai Buruh pada 1991 menggantikan Bob
Hawke telah memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi hubungan bilateral
Australia-Indonesia. Hubungan Australia-Indonesia pada masa pemerintahan
Keating mengalami peningkatan dan merupakan puncak hubungan Australia
dengan Indonesia. Bahkan, Keating menganggap Indonesia merupakan negara
tetangga terpenting
dan “
special
”
bagi Australia (Wuryandari 1996; Bhakti 2001).
Namun, puncak keharmonisan hubungan kedua negara kian menurun setelah Paul
Keating tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri.
Kemenangan Partai Buruh pada tahun 2007 mengantarkan Kevin Rudd
menggantikkan Howard yang telah berkuasa selama sebelas tahun. Pergantian
kepemimpinan dari Partai koalisi Liberal dengan Perdana Menteri John Howard
(1996-2007) kepada Partai Buruh di bawah pimpinan Kevin Rudd (2007-2010)
membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang kebijakan luar
negeri Australia terhadap Indonesia di bawah kepemimpinan John Howard dan
Kevin Rudd serta pengaruh gaya kepemimpinan perdana menteri dari dua partai
besar yang berbeda.
Skripsi ini membahas tentang bagaimana kebijakan luar negeri Australia
terhadap Indonesia di bawah pemerintahan Howard dari Partai Liberal dan
pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh. Di dalam skripsi ini penulis
memfokuskan analisa terhadap pengaruh gaya kepemimpinan perdana menteri
dari dua partai besar yang berbeda di Australia, yakni Partai Buruh dan Partai
koalisi Liberal dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan luar negerinya
terhadap Indonesia tanpa mengenyampingkan pengaruh faktor-faktor lainnya.
B.
Pertanyaan Penelitian
Di dalam skripsi ini penulis mencantumkan beberapa pertanyaan pokok
yang akan menjadi acuan dalam analisi skripsi ini. Adapun pertanyaan
pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
2.
Apa perbedaan kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia
pada masa John Howard dan Kevin Rudd?
3.
Bagaimana gaya kepemimpinan John Howard dari Partai koalisi
Liberal dan Kevin Rudd dari Partai Buruh mempengaruhi kebijakan
luar negeri Australia terhadap Indonesia?
C.
Kerangka Pemikiran
Di dalam meneliti sebuah masalah diperlukan adanya kerangka pemikiran,
untuk memudahkan penulis dalam mengambarkan dan menganalisa permasalahan
yang di bahas. Berikut konsep-konsep yang menjadi kerangka berpikir penulis:
C.1
Konsep Kebijakan Luar Negeri
Semua negara di dunia, termasuk Australia memiliki politik luar negeri
untuk menunjang kepentingannya dan juga untuk mempertahankan integritas
bangsa di dunia internasional (Bhakti 2008). Hudson (1988 dalam Mediansky dan
Palfreeman 1990) yang dikutip oleh Bhakti (2001: 21) mengatakan bahwa secara
sederhana politik luar negeri merupakan segala bentuk kebijakan suatu negara
terhadap lingkungan luarnya yang menjadi subyek dari kepentingan dan aktifitas
resmi negara itu.
Bhakti (2001: 22) mengatakan bahwa tujuan yang dimaksud tersebut meliputi
baik tujuan politik, keamanan dan ekonomi, sesuai dengan kepentingan
nasionalnya yang telah ditentukan oleh penentu kebijakan luar negeri sebagai
hasil dari proses politik.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Malhotra (2004: 185-186)
bahwa kebijakan luar negeri memiliki beberapa unsur yang berkaitan dan saling
mempengaruhi yakni, pertahanan, diplomasi dan ekonomi. Selanjutnya, ia
mengatakan bahwa kebijakan luar negeri dibuat atas nama negara, akan tetapi
pemerintahlah yang benar-benar merumuskan dan melaksanakannya. Pemerintah
tersebut merupakan perpaduan dari berbagai organisasi dan individu yang
memiliki kepentingan yang tidak sama.
Kebijakan luar negeri yang memiliki beberapa unsur penting yang saling
berkaitan dan dirumuskan oleh pemerintahan suatu negara ini tidak pernah
diselenggarakan dalam kevakuman, tetapi selalu dikondisikan dengan
lingkungannya baik domestik dan eksternal. Lingkungan domestik tersebut terdiri
dari partai politik, kelompok penekan, organisasi birokrasi yang saling bersaing,
media massa, opini publik, budaya politik dan lain-lain. Sedangkan, lingkungan
eksternalnya adalah aktor-aktor sub sistemik dari negara-negara tetangga dan juga
kawasan, negara
super power, organisasi internasional dan organisasi regional
(Malhotra 2004: 186).
politik (pemberi pengaruh, pembuat dan penentu kebijakan) terhadap sistem
internasional, serta kepentingan dan peran yang diinginkan oleh negara tersebut di
dalam
sistem
internasional.
Sedangkan
faktor-faktor
eksternal
yang
mempengaruhi kebijakan luar negri tersebut adalah perubahan konstelasi politik,
ekonomi dan keamanan internasional.
Malhotra (2004: 185-186) mengatakan bahwa kebijakan luar negeri dibuat
oleh beberapa orang dari pemerintahan suatu negara, yakni seorang kepala
pemerintahan (eksekutif) dan juga menteri luar negeri, penasehat serta
bawahan-bawahannya. Namun, dalam prakteknya kebijakan luar negeri sebagian besar
diaminkan oleh eksekutif.
Senada dengan Malhotra, Smith (1992: 22) menulis bahwa eksekutif atau
Perdana Menteri Australia memiliki hak prerogatif dan merupakan aktor utama
yang memainkan kebijakan luar negeri Australia. Secara konstitusional kepala
negara adalah Gubernur Jendral sebagai wakil dari Ratu Inggris, namun dalam
prakteknya istilah kekuatan eksekutif pemerintah mengacu pada Perdana Menteri
dan menteri-menteri lainnya. Lebih jauh lagi, Smith (1992: 23) menjelaskan
bahwa Perdana Menteri Australia merupakan aktor utama dalam pembuatan
kebijakan luar negeri, sebagai tokoh yang dominan ketika timbulnya konflik
antara menteri-menteri. Namun demikian, bentuk dan gaya kepemimpinan
(leadership) pada tiap perdana menteri yang memimpin berbeda-beda.
Menteri dapat mengajukan inisiatif dalam kebijakan ekonomi ataupun
mengeluarkan pernyataan tentang kebijakan luar negeri. Namun, perlu diketahui
bahwa perdana menteri Australia bukanlah seorang Presiden yang terpilih dengan
hak mereka sendiri. Perdana Menteri (dan para pemimpin partai oposisi atau
prime minister shadow) adalah para pemimpin partai yang dipilih oleh
anggota-anggota parlemen dari partainya. Oleh sebab itu, mereka juga dapat digantikan
dengan orang lain seperti pada kasus Kevin Rudd di tahun 2010 yang lalu. Hal ini
menunjukkan bahwa masih ada unsur ketergantungan di sini antara Perdana
Menteri dengan partai politik yang mengusungnya. Senada dengan pernyataan
tersebut Hamid (1999: 391) mengatakan bahwa dalam melihat politik luar negeri
Australia harus juga dipertimbangkan gaya kepemimpinan di antara partai-partai
besar yang berkuasa, yakni Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal-Nasional.
pemerintahan Partai Buruh lebih memilih kedekatan geografis, yakni mencari
keamanan di dalam Asia dan mengutamakan kerjasama untuk mencapai kemajuan
bersama.
Dari penjelasan dari berbagai peneliti di atas, dapat dikatakan bahwa
kebijakan luar negeri memiliki unsur politik, pertahanan dan ekonomi yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut dan dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor eksternal serta gaya kepemimpinan dari kepala
pemerintahan (eksekutif) dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan luar
negeri negara tersebut.
Untuk kepentingan analisa pada Bab IV skripsi ini, yakni mengenai
pengaruh gaya kepemimpinan dari John Howard dari Partai koalisi Liberal dan
Kevin Rudd dari Partai Buruh penulis menggunakan model adaptif kebijakan luar
negeri milik Rosenau. Rosenau menilai bahwa pada hakekatnya kebijakan luar
negeri merupakan suatu mekanisme untuk suatu negara beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan di lingkungannya baik internal maupun eksternal yang
didasarkan kepada persepsi para pembuat keputusan mengenai kondisi lingkungan
tersebut dalam upayanya untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan nasionalnya
(lihat Rosenau 1974: 47 dan Rosenau 1981: 42-50).
Bagian selanjutnya memaparkan tentang konsep kepentingan nasional.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara termasuk
Australia bertujuan untuk melindungi serta meningkatkan kepentingan
nasionalnya. Oleh sebab itu, konsep kebijakan luar negeri melekat dan saling
berkaitan dengan konsep kepentingan nasional.
C.2
Konsep Kepentingan Nasional
Evans (1991: 33) mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan
starting point
atau titik awal dari kebijakan luar negeri. Senada dengan Evans,
Frankel (1979) dalam Malhotra (2004: 79) memandang bahwa kepentingan
nasional adalah konsep yang paling penting dalam hubungan internasional dan
merupakan kunci dalam kebijakan luar negeri karena kepentingan nasional adalah
materi dasar bagi para pembuat kebijakan luar negeri. Di dalam merumuskan
kebijakan luar negeri tersebut, para pembuat kebijakan dipandu oleh perspektif
kepentingan nasional mereka yang bertujuan untuk mencapai dan melindungi
kepentingan nasional tersebut.
kedua, dari sisi ekonomi, ialah “
in trying to secure a free and liberal international
trading regime
” (berupaya melindungi perdagangan bebas internasional) hal ini
bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan bangsa; ketiga,
“
being seen to be a good international citizen
” (menjadi warga internasional yang
baik), yakni ikut serta mengatasi isu-isu global, penjaga perdamaian, kontrol
senjata, penegakan HAM dan lain-lain.
D.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
memaparkan tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia pada
pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal (1996-2007) dan
pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh (2007-2010). Menurut Cresswell
(1998) pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia.
Indonesia (LIPI), Prof. Ikrar Nusa Bhakti, kemudian juga dari internat, surat
kabar dan penerbit-penerbit lainnya.
E.
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Tujuan Penelitian
D.
Kerangka Pemikiran
D.1
Kebijakan Luar Negeri
D.2
Kepentingan Nasional
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA
A.
Faktor Internal
A.1
Faktor Sejarah dan Demografis
A.2
Faktor Geografis
A.3
Kepentingan Nasional
B.
Faktor Eksternal
B.1
Perkembangan Konstelasi Politik, Ekonomi, dan
Keamanan Regional dan Internasional
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP
INDONESIA: JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI LIBERAL
dan PEMERINTAHAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH
A.
Kebijakan Luar negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah
Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal
B.
Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah
Pemerintahan kevin Rudd dari Partai Buruh
BAB IV
ANALISA GAYA KEPEMIMPINAN JOHN HOWARD
DARI PARTAI KOALISI LIBERAL DAN KEVIN RUDD DARI
PARTAI BURUH DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA
TERHADAP INDONESIA
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA
Bab ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
luar negeri Australia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
Australia sangat ditentukan oleh berbagai faktor internal dan juga eksternal. Oleh
karena itu, pembahasan ini dibagi menjadi dua sub bab, yakni: pertama,
faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia; kedua,
faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia. Pembahasan
mengenai faktor-faktor ini penting karena dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat
perbedaan pendekatan dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia terhadap
Indonesia pada Pemerintahan Buruh dan Pemerintahan koalisi Liberal-Nasional.
penentu kebijakan) terhadap sistem internasional, serta kepentingan dan peran
yang diinginkan oleh negara tersebut di dalam sistem internasional. Sedangkan,
faktor-faktor eksternalnya antara lain ialah lingkungan regional dan internasional,
dalam hal ini perkembangan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan
internasional, serta kebijakan negara atau sekelompok negara lain terhadap negara
tersebut.
A. Faktor-faktor Internal Yang Mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri
Australia
Pemaparan mengenai faktor-faktor internal dalam pembentukan kebijakan
luar negeri Australia di bawah ini didasarkan pada pendapat Bhakti (2001: 22-39),
yaitu:
A.1
Faktor Sejarah dan Demografis
sebagai tempat penampungan para narapidana Inggris berakhir sejak tahun 1796.
Perkembangan yang terjadi di Australia sebagai daerah peternakan membuat
Australia tidak lagi hanya dihuni oleh para narapidana namun, juga ditempati oleh
para imigran Inggris yang lebih bervariasi seperti para petani, peternak, dan
lain-lain. Dengan semakin berkembangnya Australia baik dari segi masyarakat,
perekonomian dan politik. Pemerintah Inggris menyetujui pembentukan
pemerintah koloni Australia, yang berproses secara bertahap sampai akhirnya
pada pembentukan negara federal Australia pada 1 Januari 1901. Walaupun,
Australia telah menjadi negara federal, menurut Bhakti (2001: 24) Australia tetap
merupakan bagian dari Inggris yang kebijakan luar negerinya dirumuskan serta
diimplementasikan di Inggris. Barulah pada tahun 1935 Federasi Australia
membentuk kantor kecil urusan luar negeri dan setelah tahun 1940 Australia
membuka kedutaan besar di luar negeri (lihat juga Evans 1991: 19; Siboro 1996:
178; Firth 2005: 5).
pendidikan Inggris yang juga sebagai model sistem pendidikan Australia; serta
kebudayaan Inggris yang mengakar di masyarakat Australia, sehingga membentuk
identitas ke-Inggris-an yang tidak dapat dihilangkan.
Namun, sebelum terjadinya Perang Dunia II, Australia mulai menyadari
bahwa Inggris tidak lagi mampu melindungi Australia. Bagi Australia saat itu
Inggris lebih mementingkan keamanan wilayahnya. Keyakinan Australia semakin
kuat ketika pada 15 Februari 1942, Jepang berhasil menyerang Singapura yang
menyebabkan Australia menurunkan pasukan untuk ikut berperang. Pada saat
yang sama Australia mulai mengalihkan perlindungannya dari Inggris kepada
Amerika Serikat (Firth 2005: 30).
keikutsertaan Australia dalam politik pembendungan komunisme AS
(containment
policy) di Asia Pasifik seperti dalam Perang Korea dan Perang
Vietnam.
Penyerangan yang dilakukan Jepang pada saat Perang Dunia II, selain
membuat Australia berpaling dari kekuatan Inggris juga memaksa Australia untuk
lebih mandiri dalam hal keamanan dan kebijakan luar negerinya, terutama jika
Pemerintahan Buruh berkuasa. Namun, pada kenyataannya pengaruh AS tidak
dapat dihilangkan begitu saja. Seperti pada kasus pemerintahan Whitlam yang
menginginkan Australia mandiri dan lepas dari pengaruh AS bahkan terkesan anti
AS, hal ini menyebabkan Perdana Menteri Whitlam dari Partai Buruh dipecat
pada tahun 1975 dan digantikan oleh Fraser dari Partai koalisi Liberal. Sejak saat
itulah penerus-penerus Whitlam dari Partai Buruh seperti Hawke lebih
berhati-hati dengan AS dan tetap membiarkan pengaruh AS ada dalam kebijakan luar
negeri Australia (Bhakti 2001 dan Firth 2005).
Australia merupakan deputi serif AS di kawasan Asia Pasifik (lihat Crithley 1995:
66; Siboro 1996: 179; Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 22; Wuryandari 2001:
62; Bhakti 2001: 25; Tawes 2005: 10-12 dalam situs resmi Parliment of
Australia).
Kebijakan luar negeri Australia pada masa pemerintahan Howard yang
sangat bergantung dan dipengaruhi oleh AS tidak terlepas dari adanya berbagai
masalah baik di kawasan regional maupun internasional seperti, krisis ekonomi
yang terjadi di negara-negara ASEAN pada tahun 1997 yang menyebabkan
perekonomian beberapa negara di Asia termasuk Indonesia mengalami
keterpurukan, kasus terorisme yang melanda AS pada tahun 2001 yang ikut
merubah agenda politik luar negeri AS menjadi perang melawan terorisme, kasus
peledakan Bom di Bali tahun 2002 yang banyak menewaskan warga Australia,
kasus peledakan Bom di depan Kedutaan Besar Australia di Indonesia pada tahun
2004 serta berbagai masalah lainnya, yang mengakibatkan Australia di bawah
pemerintahan Howard semakin berlindung di bawah payung keamanan AS
(Chauvel 2004
dalam Mar’iyah
2005).
A.2
Faktor Geografis
Selain faktor sejarah yang telah penulis jelaskan, faktor lain yang penting
dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Australia ialah faktor geografis. Hamid
(1999: 387-388) menjelaskan bahwa secara geografis Australia menempati lokasi
yang strategis di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, serta dikelilingi oleh
dua samudera besar, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bagian Barat
Australia diapit oleh Samudera Hindia yang merupakan jalur transportasi yang
menghubungkan Australia dengan benua Afrika, anak benua India dan kawasan
Asia Tenggara; sementara di bagian Timur Australia dikelilingi oleh Samudera
Pasifik yang menghubungkan dengan bagian utara dan selatan benua Amerika.
Pada bagian utara Australia dipagari oleh pulau-pulau Pasifik Selatan, dengan
Indonesia dan Papua New Guinea sebagai penyangga utamanya. Oleh karena itu,
kepentingan Australia terhadap pulau-pulau di utaranya bermakna strategis dalam
sistem pertahanan Australia, yakni sebagai benteng pertahanan dan invasi musuh
dan juga merupakan titik kelemahan utamanya. Hal ini pula yang menyebabkan
Indonesia memiliki posisi strategis dan penting bagi Australia (Hamid 1999:
387-388).
Sedangkan Bhakti (2001: 26) menjelaskan bahwa kedekatan geografis
dengan negara-negara Asia di mana negara-negara tersebut memiliki perbedaan
dalam banyak segi ditambah lagi dengan letak Australia yang terlalu jauh dengan
AS dan Inggris membuat Australia sampai dengan pertengahan 1983, memandang
bahwa kedekatannya dengan Asia bukan sebuah hikmah, melainkan sebuah hal
yang menakutkan. Hal ini juga terkait dengan ancaman langsung yang dirasakan
Australia ketika Jepang menyerang Asia Tenggara dan Pasifik Selatan pada
Perang Dunia II yang membuat Australia semakin bergantung terhadap kekuatan
dari negara besar, yakni AS untuk menjamin keamanannya. Ketakutan Australia
terhadap bangsa Asia semakin terlihat ketika Partai Komunis Cina berhasil
mengahalau Partai Nasionalis Cina dari daratan Cina ke Taiwan, akibatnya
muncul persepsi Australia akan bahaya merah atau “
Red Peril
”. Ketakutan
Australia pada bangsa-bangsa Asia ini menimbulkan kebijakan keamanannya
yang “Mencari Keamanan dari Asia”.
dalam Asia”
. Perubahan kebijakan ini dilakukan oleh Pemerintahan Bob Hawke
dari Partai Buruh dan terus bertahan hingga saat ini (Bhakti 2001: 26; Bhakti
2006: 12).
Sedangkan Firth (2005: 45) menilai bahwa perubahan pandangan Australia
ini sebenarnya sudah dimulai sejak Pemerintahan Whitlam dari Partai Buruh,
karena pada masa pemerintahan Whitlam ini Australia mulai terbuka terhadap
imigran dari kawasan Asia karena kebijakan ini perasaan takut dari masyarakat
Australia terhadap negara-negara Asia semakin berkurang. Kebijakan Whitlam ini
kemudian diteruskan oleh para penggantinya seperti, Fraser, Hawke dan juga Paul
Keating.
Adanya perubahan kebijakan terhadap Asia yang telah dilakukan Australia
di bawah pemerintahan Hawke dari Partai Buruh berdampak terhadap semakin
membaiknya hubungan Australia dengan Indonesia pada saat itu. Hal tersebut
juga dikatakan oleh Ryan (1995) bahwa hubungan Australia-Indonesia terjalin
lebih erat lagi terutama pada masa Pemerintahan Paul Keating. Bahkan, secara
tegas Paul Keating mengatakan dalam acara
Austral
ian Today Indonesia ’94
Promotion di Sydney pada 16 Maret 1994, seperti yang dikutip oleh Ryan (1995:
201):
“
No other country is more important to australia than Indonesia. If
we fail to get this relationship right, and nurture and develope it, the
whole web of our foreign relation is incomplete
”.
Konsepsi Paul Keating yang tertuang dalam pernyataan di atas
merupakan perwujudan bahwa jika Australia ingin membangun hubungan yang
lebih baik dengan negara-negara Asia, khususnya Jepang, Cina dan Korea
Selatan, maka Australia harus mampu membangun hubungan yang baik dengan
negara tetangga Asia terdekatnya, yakni Indonesia (Bhakti 2001: 26; Keating
1994 dalam Bhakti 2006: 12).
Pembahasan di atas mengenai pentingnya pengaruh faktor geografis
dalam kebijakan luar negeri Australia menggambarkan bahwa saat ini Australia
tidak lagi hanya melihat dan tergantung dengan AS dan Inggris, tapi juga
bergantung terhadap negara-negara Asia termasuk Indonesia. Hal ini juga
berpengaruh terhadap hubungan Australia dengan negara-negara Asia khususnya
Indonesia.
A.3
Kepentingan Nasional
Faktor tetap lain yang menjadi pertimbangan dan memiliki pengaruh
penting bagi kebijakan luar negeri Australia selain faktor sejarah dan geografis
menurut Bhakti (2008) ialah kepentingan nasional. Hal ini juga terkait dengan
penjelasan penulis pada bab sebelumnya bahwa kepentingan nasional merupakan
starting point atau titik awal dari kebijakan luar negeri (Evans 1991: 33). Senada
dengan Evans, Frankel mengatakan bahwa kepentingan nasional adalah kunci
kebijakan luar negeri. Oleh sebab itu, kepentingan nasional suatu negara
merupakan pedoman bagi para pembuat kebijakan yang bertujuan untuk
melindungi kepentingan nasional itu sendiri (Frankel 1979 dalam Burchill 2005:
3). Menguatkan pernyataan dari Evans dan Frankel sebelumnya, Bhakti (2001:
31) berpendapat bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu negara dari kebijakan
luar negerinya adalah kepentingan nasional negara tersebut.
Selanjutnya, Bhakti (2001: 31) berargumen bahwa politik luar negeri
Australia bukan hanya perwujudan dari kepentingan domestik Australia yang
harus dicapai dalam hubungan internasionalnya, namun juga bagaimana membuat
Australia menjadi warga negara internasional yang baik. Bhakti memandang
bahwa politik luar negeri Australia memiliki
political objectives,
security
objectives, dan economic objectives.
yang lebih sejahtera; keempat, dunia yang lebih baik. Dari empat hal pokok
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
political objectives dari kebijakan luar
negeri Australia memiliki makna politik, strategis dan ekonomi (Bhakti 2001: 31;
Palfreeman 1988 dalam Bhakti 2008: 20).
Kemudian, dari sisi
security objectives, kebijakan luar negeri Australia
bermakna untuk menjaga keamanan Australia baik secara individual
(Self-reliance), dalam kerangka aliansi militer di bawah payung AS seperti SEATO
(South East Asia Treaty Organization) tahun 1954 dan ANZUS (Australia, New
Zealand and The United State) tahun 1951 , serta di bawah payung Inggris (Five
Power Defence Arrangement-FPDA) tahun 1971. Bukan hanya dengan AS dan
Inggris, Australia juga ikut dalam kerangka kerjasama regional, yakni
membangun jaring-jaring kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN
dan Pasifik Selatan, di antaranya melakukan Persetujuan Keamanan Antara
Republik Indonesia-Australia (Agreement on Maintaining Security--AMS) pada
tahun 1995, dan juga menandatangani Perjanjian Kerjasama Keamanan antara
Republik Indonesia dan Australia (Framework Agreement on Security
Cooperation Between The Republic Indonesia and Australia) pada tahun 2006
(Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 61; Bhakti 2001: 31; Bhakti 2006: 5).
Tariffs and Trade) atau WTO (World Trade Organization),
World Bank, IMF
(International Monetery Fund) dan lain-lain; mampu membuat Australia
melakukan tukar-menukar kebijakan investasi asing; dan mampu meningkatkan
hubungan ekonominya dengan negara-negara ASEAN, Jepang, Cina, Korea
Selatan AS, Pasifik Selatan dan lain-lain (Bhakti 2001: 32). Hal ini dilakukan
karena pada dasarnya Australia memang sangat bergantung pada perdagangan luar
negerinya. Oleh karena itu, Australia memiliki kepentingan mengamankan
jalur-jalur distribusinya (lihat Hamid 1999: 387). Dari penjelasan yang telah dipaparkan
di atas, penulis menilai bahwa
political objectives, security objectives
dan
economic objectives merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam
kebijakan luar negeri Australia.
serta negara-negara lain di wilayah Asia Tenggara.
Kedua, kepentingan ekonomi
dan perdagangan, hal ini terkait dengan upaya Australia untuk melindungi seluruh
sumber kekayaan alam yang dimilikinya, dalam meningkatkan perdagangan
internasional yang bertujuan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
bangsa. Meningkatkan nilai ekspor Australia, dan pada saat yang sama
melindungi nilai dan kualitas kehidupan bangsa Australia.
Ketiga, kepentingan
nasional Australia adalah bagaimana Australia berusaha untuk menjadi warga
internasional yang baik. Hal ini berhubungan dengan kepedulian Australia
terhadap masalah-masalah regional dan internasional yang seringkali
membutuhkan pendekatan-pendekatan non-militer. Oleh karena itu, Australia
harus memainkan perannya di bidang ini, seperti menangani isu-isu global,
pejagaan perdamaian, kontrol senjata dan lain-lain.
Terkait dengan penjelasan di atas, dari wawancara penulis dengan Bhakti
di Jakarta, tanggal 28 Maret 2011, diketahui bahwa pada dasarnya tidak banyak
perbedaan antara kepentingan nasional Australia pada saat Pemerintahan Buruh
berkuasa maupun Pemerintahan koalisi Liberal. Hanya saja di dalam mencapai
kepentingan nasional tersebut, meski substansinya sama, terdapat perbedaan
pendekatan di dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia antara Perdana
Menteri dari Partai Buruh dengan Perdana Menteri Partai koalisi Liberal.
Pemaparan di atas menggambarkan bahwa Indonesia memiliki posisi
strategis bagi kepentingan nasional Australia. Seperti yang telah diuraikan di atas,
bahwa pertama, dari kepentingan geopolitik dan strategis, Australia memiliki
kepentingan untuk memastikan Indonesia sebagai negara tetangga terdekatnya
untuk tetap dalam kondisi damai, stabil dan tidak bermusuhan atau setidaknya
tetap netral terhadap Australia; kedua, dari kepentingan ekonomi, posisi Indonesia
menempati posisi strategis bagi jalur perdagangan luar negeri Australia selain itu
sebagai negara yang memiliki penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia
merupakan pangsa pasar kedelapan terbesar bagi Australia. Walaupun tidak
sebesar Jepang, Cina dan Korea Selatan, namun perdagangan luar negeri dengan
Indonesia tetap menguntungkan bagi Australia.
A.4.
Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Australia
kontrol dari politik luar negeri berada di tangan eksekutif. Penjelasan dari Bhakti
tersebut sejalan dengan Smith (1992: 22) bahwa di Australia peran utama dalam
kebijakan luar negeri dimainkan oleh eksekutif yang memiliki hak prerogatif.
Di dalam membuat kebijakan luar negeri ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan, antara lain: sensitifitas negara-negara lain, kecanggihan
diplomasi, serta mengobservasi tuntutan-tuntutan intelejen militer. Selain itu,
pembuatan kebijakan luar negeri memerlukan informasi yang banyak dan juga
akurat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karenanya, Pemerintah
melalui organisasi-organisasi birokratisnya mengumpulkan, menganalisa dan
menelaah data yang datang terus menerus itu yang bertujuan untuk memberikan
gambaran yang komperhensif atas semua pristiwa yang terjadi (Bhakti 2001 dan
Firth 2005).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa peran birokrasi amatlah
penting. Birokrasi yang dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri
Australia ialah Depertemen Luar Negeri dan Perdagangan serta Departemen
Pertahanan. Dalam skala yang lebih rendah, kedua departemen tersebut dapat
membuat keputusan mengenai kebijakan luar negeri tanpa harus melalui proses
yang panjang (lihat Bhakti 2001; Firth 2005: 77-78).
terkait kasus terpidana mati
Bali Nine beberapa waktu setelah menjabat sebagai
Perdana Menteri. Tindakan-tindakan yang dibuat dilakukan dalam waktu yang
sempit, maka tidak mungkin untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan kabinet,
parlemen ataupun partai-partai politik (Bhakti 2001: 34; Chega 2005: 28; ).
Hal lain yang penting untuk diingat dalam politik luar negeri adalah
ketidak jelasan batasan antara isu politik, militer dan ekonomi karena isu-isu ini
merupakan unsur dari kebijakan luar negeri yang saling berkaitan satu sama lain
dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, para pembuat kebijakan luar negeri
harus mampu mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan internasional baik
dari segi politik, militer dan ekonomi. Hal ini terkait dengan penjelasan
sebelumnya bahwa pemeran utama dari proses pembuatan kebijakan luar negeri
semua negara termasuk Australia adalah eksekutif, namun institusi-institusi lain
seperti partai politik, parlemen, kelompok kepentingan, publik dan media pun ikut
mempengaruhi pembuat keputusan (Malhotra 2004: 186).
Menlu, Menteri Pertahanan dan Bendahara Negara menjadi anggotanya. Namun,
hal ini amat bergantung pada Perdana Menteri dalam memainkan perannya serta
hubungan antara Perdana Menteri dengan Menlunya misalnya, Perdana Menteri
Whitlam yang memang sangat dominan dalam menjalankan kebijakan luar
negerinya karena saat ia memerintah ia sangat jarang memanggil rapat anggota
Komite Luar Negeri dan Pertahanan. Kemudian, Perdana Menteri Fraser juga
mendominasi kebijakan luar negeri, sedangkan Perdana Menteri Hawke
cenderung kurang dominan bila dibandingkan dengan Whitlam dan Fraser. Pada
masa Paul keating, kebijakan luar negeri Australia khususnya terhadap Indonesia
sangat dipengaruhi oleh peran dari Keating. Begitupula pada masa pemerintahan
John Howard dan Kevin Rudd dimana kedua Perdana Menteri tersebut dinilai
sangat dominan dalam merumuskan dan melaksankan kebijakan luar negeri
Australia (Bhakti 2001: 36; Kelly 2006; Gyngell 2008).
Kedua, parlemen. Menurut Bhakti (2001: 37) dan Firth (2005: 86) meski
parlemen kalah dominan dibandingkan dengan eksekutif dalam proses
pembentukkan kebijakan luar negeri, namun para anggota parlemen dapat
mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut melalui “
Joint
Committee on
Foreign Affairs and Defence
”. Hal ini juga bisa dilakukan secara individual, yakni
jika para anggota parlemen yang memiliki keinginan di bidang luar negeri dan
pertahanan juga dapat mempengaruhinya dengan bantuan para staf ahlinya serta
ditunjang dengan informasi yang ada di Perpusatakaan Parlemen Australia.
disebut-sebut di dalam konstitusi. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam hal
penerimaan anggota, perumusan kebijakan dan pemilihan calon-calon parlemen
adalah urusan partai itu sendiri dan tidak dapat diajukan ke pengadilan seperti
yang diberlakukan bagi lembaga-lembaga swasta lainnya. Walaupun demikian,
partai-partai tersebut merupakan inti dari demokrasi parlementer yang
mendominasi sistem politik Australia (Sawer 1987 dalam Hamid 1999: 180).
Lebih jelas lagi, Hamid (1999: 182) mengatakan bahwa Australia memakai
sistem “dua
-
partai”. Hal ini didasari
pada Partai Liberal dan Partai Nasional
(dahulu Partai Country) selalu membentuk koalisi, baik ketika memerintah
maupun ketika menjadi oposisi, untuk menghadapi Partai Buruh. Selain, Partai
koalisi Liberal dan Partai Buruh masih ada beberapa partai kecil lainnya yang
ambil bagian dalam proses politik seperti Green Party. Namun, dalam prakteknya
hanya dua Partai yang dominan dalam proses politik di Australia yakni Partai
koalisi Liberal dan Partai Buruh. Oleh sebab itu, pada pembahasan mengenai
pengaruh partai politik dalam kebijakan luar negeri Australia, penulis hanya
membahas mengenai dua partai tersebut.
Partai koalisi Liberal-Nasional atau juga sering disebut Partai Liberal
merupakan salah satu partai terbesar di Australia, yang dibentuk pada tahun 1944
untuk menentang keberadaan Partai Buruh
(Liberal History dalam situs resmi
Partai Liberal). Partai ini cukup lama berkuasa di Australia, bahkan Partai koalisi
ini pernah memerintah selama dua puluh tiga tahun (1949-1972) dan yang terakhir
selama sebelas tahun (1996-2007). Partai Liberal dibentuk oleh anggota-anggota
parlemen yang berasal dari kelompok kapitalis kelas menengah, sebagai
penentangan mereka terhadap keterwakilan gerakan buruh, yang masuk melalui
Partai Buruh di dalam Parlemen Federal. Berbeda dengan Partai Buruh yang
memiliki ideologi partai yang lebih jelas, Partai Liberal tidak memiliki itu. Partai
Liberal memiliki dua faksi besar, yaitu faksi konservatif dan faksi liberal. dalam
perkembangannya, faksi konservatif lebih mendominasi partai, sehingga Partai
liberal lebih sering disebut partai konservatif. Ketidakjelasan ideologi dari Partai
Koalisi Liberal ini menyebabkan anggota-anggota Partai Liberal tidak terlalu
terikat pada prinsip-prinsip ideologi partai. Hal ini berdampak pada penerapan
kebijakan partai, seorang anggota partai misalnya, dalam posisi apapun termasuk
perdana menteri dapat bebas menafsirkan sesuai dengan kenyataan dan keadaan
yang berkembang, seperti dalam Pemerintahan Partai Liberal seorang perdana
menteri dapat memutuskan sendiri siapa yang akan menempati kursi kabinetnya.
Hal inilah yang membedakan antara Partai Buruh dengan Partai Liberal (Hamid
1999: 232).
cara: pertama, melalui pernyataan media massa untuk mempengaruhi opini
publik; kedua, demonstrasi; ketiga, melakukan lobi dengan para menteri atau
Perdana Menteri. Sebagai contoh, terkait masalah Papua antara
Australia-Indonesia menurut (Bhakti dalam wawancara, 28 Maret 2011) ada
kelompok-kelompok kepentingan di Australia yang menginginkan Papua merdeka, hal ini
juga menjadi salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah Papua dan
menjadi dilema bagi pemerintah Australia untuk bersikap terhadap Indonesia.
Contoh konkritnya adalah kasus pemberian visa sementara bagi 42 warga Papua
oleh pemerintah Australia pada tahun 2006 yang membuat pemerintah Indonesia
menyampaikan protes karena salah satu dari pencari suaka tersebut merupakan
anggota dari gerakan Papua merdeka yang merupakan incaran polisi Indonesia.
Menurut Bhakti, kuatnya lobi dari kelompok kepentingan yang menginginkan
Papua merdeka membuat ke 42 warga Papua ini bisa mendapat suaka politik dari
pemerintah Australia.
dengan Indonesia. Kebebasan pers semacam ini sudah berlangsung di Australia
sejak tahun 1824 pada saat pemerintah mengakhiri kontrolnya atas dunia pers
(Profil Australia dalam situs resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia).
Menurut Bhakti (1997: 23-25) penyerangan Indonesia ke Timor Timur
pada tahun 1975 yang menyebabkan kematian lima wartawan Australia
merupakan salah satu alasan mengapa media massa dan radio Australia sering
bersikap kritis terhadap pemerintah Indonesia mengenai kasus Timor Timur dan
juga kasus-kasus lainnya seperti kasus David Jenkins pada tahun 1986.
A.5
Kebijakan Pertahanan Australia
Selain faktor-faktor yang telah penulis paparkan sebelumnya, faktor lain
yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan luar negeri Australia menurut Bhakti
(2001) ialah kebijakan pertahanan yang juga didominasi oleh eksekutif. Lebih
lengkap, Bhakti menjelaskan bahwa dalam pembuatan kebijakan pertahanan,
terdapat kaukus kabinet mengenai politik luar negeri dan pertahanan yang
beranggotakan Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan
Perdagangan, Menteri Pertahanan, Jaksa Agung, dan Bendahara Negara (Menteri
Keuangan). Tanggungjawab dalam menentukan kebijakan pertahanan Australia
berada pada Departemen Pertahanan Australia yang terdiri dari kelompok sipil
dan militer.
Dalam kaitan dengan Indonesia, siapapun yang berkuasa di Australia akan
tetap memandang Indonesia penting bagi pertahanan Australia. Hal ini
dikarenakan posisi Indonesia yang merupakan tameng sekaligus ancaman bagi
Australia. Oleh sebab itu, Indonesia selalu dicantumkan dan dianggap penting di
dalam Buku Putih Pertahanan Australia (Bhakti dalam Tempo, 21 September
1996; lihat juga Buku Putih Pertahanan Australia 1987; Buku Putih Pertahanan
Australia 1997; Buku Putih Pertahanan Australia 2000; Buku Putih Pertahanan
Australia 2003; Buku Putih Pertahanan Australia 2005; Buku Putih Pertahanan
Australia 2009).
B. Faktor Eksternal
Selain faktor-faktor internal yang menentukan kebijakan luar negeri
Australia ada pula faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi seperti yang
sudah penulis jelaskan. Pemaparan mengenai faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia di bawah ini juga berpijak pada
pendapat dari Bhakti di dalam laporan penelitian LIPI tahun 2001, yakni:
B.1. Perubahan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan regional dan
internasional
bahwa sebelum dan pada Perang Dunia I, politik luar negeri Australia dimainkan
oleh Inggris. Namun, pasca Perang Dunia I menjelang Perang Dunia II Australia
melihat Inggris tidak lagi dapat mengamankan daerah jajahannya di kawasan Asia
Pasifik yang menyebabkan Australia mulai mengalihkan pandangannya ke AS.
Kemudian Perang Pasifik yang mengakibatkan jatuhnya Singapura ke tangan
Jepang akhirnya membuat Australia benar-benar mengalihkan perlindungannya ke
AS yang mengakibatkan kebijakan Australia dipengaruhi oleh AS.
Pasca Perang Dunia II dan dimulainya Perang Dingin membuat Australia
ikut dalam kebijakan AS dengan melaksanakan pembendungan komunisme di
kawasan Asia Pasifik. Selain itu, Australia juga masuk dalam kerangaka
keamanan AS yakni, ANZUS dan SEATO dalam rangka pencegahan komunisme
di kawasan Asia Pasifik (lihat Evans 19991; Firth 2005).
kepada AS dan mulai menjauhi Asia termasuk Indonesia (lihat Bhakti 2001;
Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005
).
Sedangkan menurut Pudjiastuti (2006) krisis tahun 1997 membuat
perekonomian Indonesia terpuruk dan kekacauan stabilitas dalam negeri
Indonesia, hal ini membuat Australia yang memiliki tingkat kemakmuran yang
lebih maju dari Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya menjadi salah satu
negara yang menjadi tujuan utama para imigran asal Indonesia maupun para
imigran lain dari negara Asia Selatan dan Timur Tengah seperti Afghanistan dan
Irak yang memanfaatkan Indonesia sebagai negara transit sebelum menuju
Australia serta berbagai kegiatan lintas batas lainnya
(smuggling dan trafficking).
Sejak saat itulah isu-isu perbatasan antara Australia dan Indonesia semakin
menonjol dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah Australia karena Isu
imigran gelap dan pelintas batas ini bukan hanya mengancam keamanan Australia
tapi juga perekonomian Australia.
Hal ini juga terkait dengan pemaparan penulis pada bab sebelumnya
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan strategis baik itu
perubahan kebijakan AS dan Inggris maupun perubahan ancaman ikut
mempengaruhi kebijakan luar negeri dan pertahanan Australia (Bhakti dan Alami
2005: 32).
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA:
JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI LIBERAL (1996-2007)
DAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH (2007-2010)
Bab ini membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap
Indonesia pada Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal dan Kevin Rudd
dari Partai Buruh. Bab ini terdiri dari dua sub bab yakni, sub bab pertama
membahas tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah
Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal; sub bab kedua membahas tentang
kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia di bawah Pemerintahan Kevin
Rudd dari Partai Buruh. Dari kedua pembahasan tersebut akan terlihat bagaimana
karakter serta perbedaan kebijakan luar negeri dari kedua pemerintahan dengan
Perdana Menteri yang berbeda partai tersebut.
A.1
Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah
Pemerintahan John Howard Dari Partai Liberal
Menurut Kelly (2006) Howard merupakan seorang Perdana menteri yang
telah diragukan untuk membuat kontribusi dalam menentukan kebijakan luar
negeri dan keamanan nasional Australia. Hal ini dikarenakan, sebelum ia
menjabat sebagai Perdana Menteri, selama dua puluh dua tahun ia berkarir di
parlemen Australia terkenal sangat fokus dan perhatian kepada isu-isu domestik
dan memiliki perhatian terbatas pada dunia luas. Lebih jauh lagi, Kelly
mengutarakan bahwa Howard berkuasa sebagai pemula dalam kebijakan luar
negeri, namun naluri yang ia miliki terhadap kebijakan luar negeri cukup dalam.
Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa pada awal pemerintahannya
Howard merupakan seorang yang amatir dalam kebijakan luar negeri. Menurut
Howard dalam Kelly (2006) kebijakan luar negeri merupakan latihan dari sebuah
praktek politik yang didasarkan pada kepentingan nasional dan nilai-nilai
Australia. Dia menolak jika pembuatan kebijakan luar negeri merupakan bentuk
seni eksotis dari diplomasi. Howard merasa bahwa kebijakan luar negeri
dijalankan dengan akal sehat. Selama sepuluh tahun lebih ia memerintah, ia tidak
pernah merubah rumus dasar dari kebijakan luar negerinya, yang hanya
didasarkan pada sikapnya yang juga dipengaruhi oleh Partai Koalisi Liberal yang
konservatif dalam membuat kebijakan terutama pada awal pemerintahannya di
tahun 1996. Hanya saja seiring berjalannya waktu pengalamannya meningkat
sehingga memperhalus kebijakan luar negerinya.
mengatakan bahwa pemerintahan koalisi Liberal akan melanjutkan kebijakan
pemerintahan Buruh sebelumnya yang dipimpin oleh Paul Keating, yakni
memiliki hubungan yang kuat dengan Asia. Namun, pernyataan tersebut berhenti
hanya sebagai retorika saja. Howard dinilai tidak memberikan perhatian secara
khusus kepada kebijakan luar negeri Australia. Stagnasi kebijakan luar negeri
pada pemerintahan Howard menyebabkan banyaknya kritikan yang ditujukan
kepadanya. Hal ini disebabkan oleh salah satu fungsi kebijakan luar negeri ialah
mempromosikan berbagai kepentingan nasional Australia. Salah satu kritikan
tajam terhadap pemerintahan Howard datang dari surat kabar di Australia “
The
Age
” menjelang akhir 1996, yang menulis “
Australian needs the federal
Government to Determine a clear set of priorities in foreign, defence and trade
policy
” (Australia membutuhkan pemerintahan federal untuk mene
ntukan
seperangkat prioritas yang jelas dalam kebijakan luar negeri, pertahanan dan
perdagangan) (terjemahan penulis).
Keating dan Evans dari pemerintahan Buruh, Perdana menteri Howard dan
Menteri Luar Negerinya Downer kurang memiliki antusiasme dalam politik luar
negeri serta cenderung
“inward looking
” dengan memberikan skala prioritas
utama pada berbagai persoalan domestik. Oleh sebab itu, di awal
pemerintahannya, politik luar negeri Australia mengalami sejumlah kemunduran
terutama dengan Asia yang semakin lama semakin menjauh. Hubungan dengan
Cina mengalami penurunan ketika pemerintahan Howard memberikan dukungan
publik untuk Presiden Clinton pada Maret 1996, untuk penyebaran Angkatan Laut
di Selat Taiwan. Tidak berhenti di situ, pemerintah Howard juga melakukan
pencabutan skema perdagangan bantuan DIFF (Development Import Financial
Facilities) dengan negara-negara Asia, menghapus program siaran Asia dari
Australian Television International, memotong program siaran berbahasa Asia
dari radio Australia.
Policy yang dikeluarkan pada Agustus 1997 dan
Australia Strategic Policy pada
Desember 1997 (lihat Muna 2000; Wuryandari 2001; Kelly 2006).
Dari kedua dokumen yang dikeluarkan ini, pemerintahan Howard
mencoba untuk meredefinisi kepentingan masa depan Australia di bidang politik
luar negeri, pertahanan dan keamanan serta perdagangan, yakni dengan
melakukan penyesuaian diri dari perkembangan regional dan internasional. Di
dalam dokumen tersebut, pemerintahan Howard menetapkan prioritas dari
kebijakan luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasionalnya, yakni sebagai
berikut :
Pertama
, “
Australia’s commitment to the region as its highest foreign
policy priority
” (komitmen Australia kepada region sebagai prioritas tertinggi
kebijakan luar negerinya);
kedua
, “
Working to enhance Australia’s
security
”
(melakukan peningkatan keamanan Australia); ketiga
, “
Strengthening Australia’s
broader global links”(menguatkan perluasan ikatan-ikatan global Australia);
keempat
, “
Australia’s human and principled foreign policy
” (
prinsip kemanusiaan
pada kebijakan luar negeri Australia ) (terjemahan penulis) (Downer, 5 Maret
1998 dalam situs resmi Departement of Foreign Affairs and Trade).
Kebijakan luar negeri pemerintahan Howard yang menjauhkan diri dari
Asia, berdampak terhadap penolakan negara-negara ASEAN terhadap keinginan
Australia untuk bergabung dengan ASEM
(the Asia-Europe Summit Meetings)
dalam KTT I Asia-Eropa yang berlangsung di Bangkok pada 1997. Akibatnya,
Australia pada masa pemerintahan Howard tidak dapat membangun hubungan
yang efektif dengan Asia termasuk Indonesia. Hal ini juga dikatakan oleh Kevin
Rudd (dalam Asialink, The University of Melbourne, 17 Oktober 2000) bahwa
kebijakan luar
negeri pemerintahan Howard ialah “
disengagement from Asia”
(menjauhkan diri dari Asia).
Khusus terhadap Indonesia, Howard tetap menilai Indonesia adalah negara
yang penting bagi Australia. Terbukti bahwa di dalam buku putih tahun 1997
yang dikeluarkan peme
rintahan Howard tertulis jika “hubungan Australia
-Indonesia akan selalu penting”.
Hal ini dikarenakan posisi strategis Indonesia
yang merupakan rute utama perdagangan Australia, dengan populasi dan
posisinya di Asia tenggara dan pembangunan serta diversifikasi kemitraan
bilateralnya merupakan hal-hal yang patut diperhitungkan. Selain itu, perlu juga
diingat bahwa Indonesia merupakan negara tetangga terdekat yang dari dan di
mana ancaman bagi Australia berasal (lihat
In The National Interest 1997: 61
dalam Chauvel 2004
dalam Mar’iyah 2005
; Hamid 1999).
pada tahun 1995. Namun, Howard pada kunjungan pertamanya ke luar negeri
yakni ke Indonesia pada 1996, menegaskan bahwa Australia tidak bisa menjadi
Asia dan ia menginginkan Indonesia yang pada saat itu di pimpin oleh Presiden
Soeharto untuk tidak menolak sejarah Australia.
Pemaparan di atas terkait dengan penjelasan Kelly (2006) bahwa
kebijakan luar negeri Australia di bawah pemerintahan Keating dinilai Howard
berusaha menjadikan Australia sebagai Asia dan menganggap Indonesia sebagai
negara terpenting bagi Australia. Pemerintahan Howard memang tetap
menganggap penting Indonesia namun, ia tidak menginginkan Indonesia
memonopoli perhatian Australia. Sedangkan Bhakti mengungkapkan kepada
penulis di Jakarta dalam wawancara pada 28 Maret 2011 bahwa Howard kurang
setuju dengan pendekatan “
inter personal
” yang dilakukan Keating terhadap
Indonesia. Lebih lanjut, Bhakti menjelaskan bahwa Howard ingin hubungan
Australia-Indonesia terjalin baik, akan tetapi tidak menyetujui Australia
mengidentikkan diri dengan Asia. Menurut Chauvel (2004
dalam Mar’iyah 2005
)
kebijakan luar negeri Australia di bawah pemerintahan Howard memang pada
awalnya belum menunjukkan adanya perubahan dari kebijakan luar negeri
Keating. Namun, pasca krisis moneter tahun 1997, Indonesia mengalami
perubahan image. Hal ini berdampak pada melemahnya posisi Indonesia di dunia
internasional, yang pada akhirnya berpengaruh pada hubungan
Australia-Indonesia.
diri dengan perubahan tersebut terutama pada negara-negara ASEAN, dan
khususnya pada negara tetangga terdekatnya Indonesia. Namun, di sisi lain
karakter pemerintahan John Howard yang menjauhkan diri dari Asia dalam hal ini
termasuk juga Indonesia serta mendekatkan diri pada aliansinya yakni AS.
Bahkan, Howard mengklaim bahwa Australia merupakan
“
Deputy Sheriff
” AS di
kawasan Asia (Chauvel 2005 dalam Mar
’
iyah 2005: xvii). Sedangkan Downer
(1997: 5 dalam Wuryandari 2001: 60) menjelaskan bahwa situasi strategis di Asia
Pasifik yang semakin kompleks, terutama pasca krisis pada pertengahan 1997
menyebabkan Australia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap AS.
Lebih lanjut, Downer mengatakan bahwa Australia mempercayai bahwa
kehadiran AS merupakan faktor kunci bagi terwujudnya stabilitas kawasan
keamanan di Asia Pasifik yang pada saat itu sedang mengahadapi banyak masalah
dan tantangan terkait krisis yang terjadi pada tahun 1997.
ikut menyelesaikan masalah tersebut. Jika, pada masa kepemimpinan Whitlam,
Fraser, Hawke dan Keating permasalahan Timor Timur dapat diselesaikan dengan
jalan kerjasama antara Australia-Indonesia, tapi tidak untuk pemerintahan
Howard. Beralihnya kebijakan Australia mengenai Timor Timur ini sangat
dipengaruhi oleh survei yang dilakukan Australia pada bulan Juli-Agustus tahun
1998 kepada rakyat Timor Timur mengenai status quo. Hasil survei tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Timor Timur tidak sepakat dengan
status quo dan menginginkan otonomi baik secara referendum maupun
pengambilan keputusan. Kemudian Australia membagikan hasil survei tersebut
kepada Indonesia (lihat juga Bhakti dalam Kontan, 20 September 1999).
Perubahan kebijakan Australia terhadap Indonesia terkait masalah Timor
Timur semakin membuat hubungan Australia-Indonesia pada masa Pemerintahan
Howard mengalami penurunan yang sangat tajam mengakibatkan Presiden
Habibie membatalkan secara sepihak perjanjian AMS pada tahun 1999. Lebih
lanjut, menurut Effendy (2001: 5) yang dikutip oleh Wuryandari (2001: 60-61)
pilihan yang dilakukan pemerint