• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN

A.4 Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Australia

B. Faktor Eksternal

B.1 Perkembangan Konstelasi Politik, Ekonomi, dan

Keamanan Regional dan Internasional

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP

INDONESIA: JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI LIBERAL

dan PEMERINTAHAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH

A. Kebijakan Luar negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal

B. Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan kevin Rudd dari Partai Buruh

BAB IV ANALISA GAYA KEPEMIMPINAN JOHN HOWARD

DARI PARTAI KOALISI LIBERAL DAN KEVIN RUDD DARI

PARTAI BURUH DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

TERHADAP INDONESIA

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

Bab ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan

luar negeri Australia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri

Australia sangat ditentukan oleh berbagai faktor internal dan juga eksternal. Oleh

karena itu, pembahasan ini dibagi menjadi dua sub bab, yakni: pertama,

faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia; kedua,

faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia. Pembahasan

mengenai faktor-faktor ini penting karena dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat

perbedaan pendekatan dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia terhadap

Indonesia pada Pemerintahan Buruh dan Pemerintahan koalisi Liberal-Nasional.

Terkait dengan penjelasan penulis pada Bab I bahwa kebijakan luar negeri

suatu negara, tidak terkecuali Australia tidak pernah diselenggarakan dalam

kevakuman. Namun, selalu dikondisikan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor

internal dan eksternal negara tersebut (Malhotra 2004: 185-186). Di dalam

menjelaskan faktor internal dan eksternal tersebut penulis mengutip hasil

pemikiran dari Ikrar Nusa Bhakti yang tercantum di dalam laporan penelitian LIPI

tahun 2001. Menurut Bhakti (2001: 22-39) secara umum, faktor-faktor internal

tersebut ialah faktor sejarah dan demografis, geografis, kepentingan nasional,

sistem politik, cara pandang aktor-aktor politik (pemberi pengaruh, pembuat dan

penentu kebijakan) terhadap sistem internasional, serta kepentingan dan peran

yang diinginkan oleh negara tersebut di dalam sistem internasional. Sedangkan,

faktor-faktor eksternalnya antara lain ialah lingkungan regional dan internasional,

dalam hal ini perkembangan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan

internasional, serta kebijakan negara atau sekelompok negara lain terhadap negara

tersebut.

A. Faktor-faktor Internal Yang Mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri

Australia

Pemaparan mengenai faktor-faktor internal dalam pembentukan kebijakan

luar negeri Australia di bawah ini didasarkan pada pendapat Bhakti (2001: 22-39),

yaitu:

A.1 Faktor Sejarah dan Demografis

Jika dilihat dari faktor sejarah dan demografis Australia, kebijakan luar

negeri Australia sangat dipengaruhi oleh dua negara, yakni Inggris dan Amerika

Serikat. Pada tahun 1787, Australia ditemukan dan diklaim sebagai bagian dari

Inggris oleh Kapten James Cook utusan pertama Pemerintah Inggris. Setelah

Amerika merdeka, Inggris mulai mengalami kesulitan untuk mengirim para

narapidananya. Oleh karena itu, pada 26 Januari 1788, setahun setelah Australia

ditemukan, Inggris mengirimkan koloni pertamanya yang terdiri dari para

narapinadanya ke Australia dan sejak tahun 1788 itulah Australia resmi berfungsi

sebagai tempat dikirimkannya narapidana Inggris (Bhakti 2001: 24). Melengkapi

sebagai tempat penampungan para narapidana Inggris berakhir sejak tahun 1796.

Perkembangan yang terjadi di Australia sebagai daerah peternakan membuat

Australia tidak lagi hanya dihuni oleh para narapidana namun, juga ditempati oleh

para imigran Inggris yang lebih bervariasi seperti para petani, peternak, dan

lain-lain. Dengan semakin berkembangnya Australia baik dari segi masyarakat,

perekonomian dan politik. Pemerintah Inggris menyetujui pembentukan

pemerintah koloni Australia, yang berproses secara bertahap sampai akhirnya

pada pembentukan negara federal Australia pada 1 Januari 1901. Walaupun,

Australia telah menjadi negara federal, menurut Bhakti (2001: 24) Australia tetap

merupakan bagian dari Inggris yang kebijakan luar negerinya dirumuskan serta

diimplementasikan di Inggris. Barulah pada tahun 1935 Federasi Australia

membentuk kantor kecil urusan luar negeri dan setelah tahun 1940 Australia

membuka kedutaan besar di luar negeri (lihat juga Evans 1991: 19; Siboro 1996:

178; Firth 2005: 5).

Menurut Siboro (1996: 152) imigran asal Inggris sangat dominan di

Australia. Aspek yang paling bermakna dari imigran asal Inggris tersebut adalah

memelihara nilai-nilai dari negara asalnya. Senada dengan pernyataan tersebut

Evans (1991: 20) dan Hamid (1999: 390-391) menilai bahwa faktor kesejarahan

Australia yang mengidentikan diri dengan Inggris ini menguasai

pemikiran-pemikiran dari masyarakat Australia. Hal ini tidak terlepas dari sikap awal Inggris

kepada Australia, yakni menjamin keamanan Australia; melakukan perdagangan

luar negeri dengan Australia; hubungan luar negeri Australia selama lebih dari

dua puluh tahun sejak terbentuk federasi dilakukan oleh Inggris; sistem

pendidikan Inggris yang juga sebagai model sistem pendidikan Australia; serta

kebudayaan Inggris yang mengakar di masyarakat Australia, sehingga membentuk

identitas ke-Inggris-an yang tidak dapat dihilangkan.

Namun, sebelum terjadinya Perang Dunia II, Australia mulai menyadari

bahwa Inggris tidak lagi mampu melindungi Australia. Bagi Australia saat itu

Inggris lebih mementingkan keamanan wilayahnya. Keyakinan Australia semakin

kuat ketika pada 15 Februari 1942, Jepang berhasil menyerang Singapura yang

menyebabkan Australia menurunkan pasukan untuk ikut berperang. Pada saat

yang sama Australia mulai mengalihkan perlindungannya dari Inggris kepada

Amerika Serikat (Firth 2005: 30).

Senada dengan pendapat Firth, Bhakti dan Alami (2005: 30) mengatakan

bahwa sekitar tahun 1788 sampai dengan 1941 kekuatan besar pelindung

Australia adalah Inggris. Perang Dunia II mengharuskan Inggris untuk lebih

mempertahankan keamanan wilayahnya di Eropa dari pada melindungi

daerah-daerah jajahannya di Asia Tenggara. Serangan Jepang ke Asia Tenggara

merupakan ancaman langsung bagi Australia, namun dengan bantuan Angkatan

Laut serta Angkatan Udara AS, wilayah Australia bisa terhindar dari serbuan

Jepang. Atas dasar alasan tersebut Australia berpaling dari Inggris ke Amerika

Serikat. Akibatnya, Australia harus mengikuti kebijakan luar negeri AS untuk

tetap mendapatkan jaminan keamanan dari AS, sebagai contoh ketika masa

Perang Dingin fokus perhatian AS adalah mencegah perluasan komunisme di Asia

Pasifik yang berdampak terhadap kebijakan Australia untuk mengembangkan

Forward Defence Strategy” yang diwujudkan salah satunya melalui

keikutsertaan Australia dalam politik pembendungan komunisme AS

(containment policy) di Asia Pasifik seperti dalam Perang Korea dan Perang

Vietnam.

Penyerangan yang dilakukan Jepang pada saat Perang Dunia II, selain

membuat Australia berpaling dari kekuatan Inggris juga memaksa Australia untuk

lebih mandiri dalam hal keamanan dan kebijakan luar negerinya, terutama jika

Pemerintahan Buruh berkuasa. Namun, pada kenyataannya pengaruh AS tidak

dapat dihilangkan begitu saja. Seperti pada kasus pemerintahan Whitlam yang

menginginkan Australia mandiri dan lepas dari pengaruh AS bahkan terkesan anti

AS, hal ini menyebabkan Perdana Menteri Whitlam dari Partai Buruh dipecat

pada tahun 1975 dan digantikan oleh Fraser dari Partai koalisi Liberal. Sejak saat

itulah penerus-penerus Whitlam dari Partai Buruh seperti Hawke lebih

berhati-hati dengan AS dan tetap membiarkan pengaruh AS ada dalam kebijakan luar

negeri Australia (Bhakti 2001 dan Firth 2005).

Pengaruh kebijakan AS terhadap Australia juga terlihat dari perubahan

sikap Australia dari menentang integrasi Papua ke Indonesia pada tahun 1950an

sampai dengan pertengahan 1960an yang kemudian berubah mendukug Papua ke

Indonesia. Hal ini terkait dengan kebijakan AS dan Inggris yang memilih untuk

mendukung Indonesia karena alasan takut Indonesia jatuh ke pengaruh komunis.

Tidak hanya itu pengaruh kebijakan luar negeri Australia atas Timor Timur pada

tahun 1975-1999 juga sangat dipengaruhi kebijakan AS terhadap Timor Timur.

Pengaruh AS terhadap kebijakan luar negeri Australia juga sangat terlihat pada

pemerintahan Howard dari Partai Liberal di mana Howard mengklaim bahwa

Australia merupakan deputi serif AS di kawasan Asia Pasifik (lihat Crithley 1995:

66; Siboro 1996: 179; Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 22; Wuryandari 2001:

62; Bhakti 2001: 25; Tawes 2005: 10-12 dalam situs resmi Parliment of

Australia).

Kebijakan luar negeri Australia pada masa pemerintahan Howard yang

sangat bergantung dan dipengaruhi oleh AS tidak terlepas dari adanya berbagai

masalah baik di kawasan regional maupun internasional seperti, krisis ekonomi

yang terjadi di negara-negara ASEAN pada tahun 1997 yang menyebabkan

perekonomian beberapa negara di Asia termasuk Indonesia mengalami

keterpurukan, kasus terorisme yang melanda AS pada tahun 2001 yang ikut

merubah agenda politik luar negeri AS menjadi perang melawan terorisme, kasus

peledakan Bom di Bali tahun 2002 yang banyak menewaskan warga Australia,

kasus peledakan Bom di depan Kedutaan Besar Australia di Indonesia pada tahun

2004 serta berbagai masalah lainnya, yang mengakibatkan Australia di bawah

pemerintahan Howard semakin berlindung di bawah payung keamanan AS

(Chauvel 2004 dalam Mar’iyah 2005).

Dari penjelasan yang penulis paparkan di atas, terlihat bahwa sejarah dan

juga demografis dari negara Australia menjadi salah satu faktor yang memang

sangat berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Australia. Kedekatan bilateral

antara Australia dan Inggris maupun Australia dengan AS menjadi pertimbangan

Australia dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya terutama jika

pemerintahan koalisi Liberal berkuasa.

A.2 Faktor Geografis

Selain faktor sejarah yang telah penulis jelaskan, faktor lain yang penting

dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Australia ialah faktor geografis. Hamid

(1999: 387-388) menjelaskan bahwa secara geografis Australia menempati lokasi

yang strategis di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, serta dikelilingi oleh

dua samudera besar, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bagian Barat

Australia diapit oleh Samudera Hindia yang merupakan jalur transportasi yang

menghubungkan Australia dengan benua Afrika, anak benua India dan kawasan

Asia Tenggara; sementara di bagian Timur Australia dikelilingi oleh Samudera

Pasifik yang menghubungkan dengan bagian utara dan selatan benua Amerika.

Pada bagian utara Australia dipagari oleh pulau-pulau Pasifik Selatan, dengan

Indonesia dan Papua New Guinea sebagai penyangga utamanya. Oleh karena itu,

kepentingan Australia terhadap pulau-pulau di utaranya bermakna strategis dalam

sistem pertahanan Australia, yakni sebagai benteng pertahanan dan invasi musuh

dan juga merupakan titik kelemahan utamanya. Hal ini pula yang menyebabkan

Indonesia memiliki posisi strategis dan penting bagi Australia (Hamid 1999:

387-388).

Pentingnya faktor geografis dalam kebijakan-kebijakan luar negeri

Australia pertama kali diakui oleh Menteri Luar Negeri Percy Spender pada tahun

1950 ketika menentang integrasi Papua ke Indonesia karena penentangan itu

dikhawatirkan akan mengancam keamanan Australia (Spender 1950: 12 dalam

Crithley 1995: 80; Adil 1993: 6 dalam Hamid 1999: 387).

Sedangkan Bhakti (2001: 26) menjelaskan bahwa kedekatan geografis

dengan negara-negara Asia di mana negara-negara tersebut memiliki perbedaan

dalam banyak segi ditambah lagi dengan letak Australia yang terlalu jauh dengan

AS dan Inggris membuat Australia sampai dengan pertengahan 1983, memandang

bahwa kedekatannya dengan Asia bukan sebuah hikmah, melainkan sebuah hal

yang menakutkan. Hal ini juga terkait dengan ancaman langsung yang dirasakan

Australia ketika Jepang menyerang Asia Tenggara dan Pasifik Selatan pada

Perang Dunia II yang membuat Australia semakin bergantung terhadap kekuatan

dari negara besar, yakni AS untuk menjamin keamanannya. Ketakutan Australia

terhadap bangsa Asia semakin terlihat ketika Partai Komunis Cina berhasil

mengahalau Partai Nasionalis Cina dari daratan Cina ke Taiwan, akibatnya

muncul persepsi Australia akan bahaya merah atau “Red Peril”. Ketakutan

Australia pada bangsa-bangsa Asia ini menimbulkan kebijakan keamanannya

yang “Mencari Keamanan dari Asia”.

Masuknya Inggris ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (sekarang Uni

Eropa) pada tahun 1972, menyebabkan ekspor Australia ke Inggris menjadi

berkurang (Hamid 1999: 387). Pada saat yang sama, Australia mulai menyadari

bahwa masa depan ekonominya sangat tergantung pada negara-negara Asia,

khususnya Jepang dan Cina. Munculnya “macan-macan Asia” di bidang ekonomi

serta adanya pandangan bahwa abad dua puluh satu merupakan abad Asia, pada

akhirnya bukan saja membuat Australia sadar akan masa depan ekonominya,

namun juga membuat Australia pada tahun 1983, mengubah kebijakan

keamanannya dari “Mencari Keamanan dari Asia” menjadi “Mencari Keamanan

dalam Asia”. Perubahan kebijakan ini dilakukan oleh Pemerintahan Bob Hawke

dari Partai Buruh dan terus bertahan hingga saat ini (Bhakti 2001: 26; Bhakti

2006: 12).

Sedangkan Firth (2005: 45) menilai bahwa perubahan pandangan Australia

ini sebenarnya sudah dimulai sejak Pemerintahan Whitlam dari Partai Buruh,

karena pada masa pemerintahan Whitlam ini Australia mulai terbuka terhadap

imigran dari kawasan Asia karena kebijakan ini perasaan takut dari masyarakat

Australia terhadap negara-negara Asia semakin berkurang. Kebijakan Whitlam ini

kemudian diteruskan oleh para penggantinya seperti, Fraser, Hawke dan juga Paul

Keating.

Adanya perubahan kebijakan terhadap Asia yang telah dilakukan Australia

di bawah pemerintahan Hawke dari Partai Buruh berdampak terhadap semakin

membaiknya hubungan Australia dengan Indonesia pada saat itu. Hal tersebut

juga dikatakan oleh Ryan (1995) bahwa hubungan Australia-Indonesia terjalin

lebih erat lagi terutama pada masa Pemerintahan Paul Keating. Bahkan, secara

tegas Paul Keating mengatakan dalam acara Australian Today Indonesia ’94

Promotion di Sydney pada 16 Maret 1994, seperti yang dikutip oleh Ryan (1995:

201):

No other country is more important to australia than Indonesia. If

we fail to get this relationship right, and nurture and develope it, the

whole web of our foreign relation is incomplete”.

(Tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia, kecuali

Indonesia. Jika kita tidak berhasil menjalin hubungan baik, memelihara

dan membangun hubungan tersebut, maka keseluruhan jaringan dalam

hubungan luar negeri Australia tidak lengkap).

Konsepsi Paul Keating yang tertuang dalam pernyataan di atas

merupakan perwujudan bahwa jika Australia ingin membangun hubungan yang

lebih baik dengan negara-negara Asia, khususnya Jepang, Cina dan Korea

Selatan, maka Australia harus mampu membangun hubungan yang baik dengan

negara tetangga Asia terdekatnya, yakni Indonesia (Bhakti 2001: 26; Keating

1994 dalam Bhakti 2006: 12).

Pembahasan di atas mengenai pentingnya pengaruh faktor geografis

dalam kebijakan luar negeri Australia menggambarkan bahwa saat ini Australia

tidak lagi hanya melihat dan tergantung dengan AS dan Inggris, tapi juga

bergantung terhadap negara-negara Asia termasuk Indonesia. Hal ini juga

berpengaruh terhadap hubungan Australia dengan negara-negara Asia khususnya

Indonesia.

Kedua faktor yang telah penulis jelaskan, yakni faktor sejarah dan

demografis serta faktor goegrafis merupakan faktor yang selalu dipertimbangkan

dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri Australia. Seperti

yang dikatakan Hamid (1999: 391) bahwa faktor geografi dan sejarah merupakan

faktor tetap yang dipertimbangkan oleh para pemimpin Australia. Namun, masih

ada beberapa faktor lainnya yang juga berpengaruh dalam kebijakan luar negeri

Australia dan penting untuk diketahui lebih lanjut. Penjelasan menganai

faktor-faktor lainnya penulis bahas pada sub bab-sub bab selanjutnya.

A.3 Kepentingan Nasional

Faktor tetap lain yang menjadi pertimbangan dan memiliki pengaruh

penting bagi kebijakan luar negeri Australia selain faktor sejarah dan geografis

menurut Bhakti (2008) ialah kepentingan nasional. Hal ini juga terkait dengan

penjelasan penulis pada bab sebelumnya bahwa kepentingan nasional merupakan

starting point atau titik awal dari kebijakan luar negeri (Evans 1991: 33). Senada

dengan Evans, Frankel mengatakan bahwa kepentingan nasional adalah kunci

kebijakan luar negeri. Oleh sebab itu, kepentingan nasional suatu negara

merupakan pedoman bagi para pembuat kebijakan yang bertujuan untuk

melindungi kepentingan nasional itu sendiri (Frankel 1979 dalam Burchill 2005:

3). Menguatkan pernyataan dari Evans dan Frankel sebelumnya, Bhakti (2001:

31) berpendapat bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu negara dari kebijakan

luar negerinya adalah kepentingan nasional negara tersebut.

Selanjutnya, Bhakti (2001: 31) berargumen bahwa politik luar negeri

Australia bukan hanya perwujudan dari kepentingan domestik Australia yang

harus dicapai dalam hubungan internasionalnya, namun juga bagaimana membuat

Australia menjadi warga negara internasional yang baik. Bhakti memandang

bahwa politik luar negeri Australia memiliki political objectives, security

objectives, dan economic objectives.

Political objectives dari kebijakan luar negeri Australia terdiri dari empat

hal pokok, yakni: pertama, Australia yang lebih aman, baik dari fisik atau

wilayah, ekonomi, budaya, dan politik dalam hal ini termasuk ideologi serta

national ethos; kedua, lingkungan internasional yang lebih aman; ketiga, dunia

yang lebih sejahtera; keempat, dunia yang lebih baik. Dari empat hal pokok

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa political objectives dari kebijakan luar

negeri Australia memiliki makna politik, strategis dan ekonomi (Bhakti 2001: 31;

Palfreeman 1988 dalam Bhakti 2008: 20).

Kemudian, dari sisi security objectives, kebijakan luar negeri Australia

bermakna untuk menjaga keamanan Australia baik secara individual

(Self-reliance), dalam kerangka aliansi militer di bawah payung AS seperti SEATO

(South East Asia Treaty Organization) tahun 1954 dan ANZUS (Australia, New

Zealand and The United State) tahun 1951 , serta di bawah payung Inggris (Five

Power Defence Arrangement-FPDA) tahun 1971. Bukan hanya dengan AS dan

Inggris, Australia juga ikut dalam kerangka kerjasama regional, yakni

membangun jaring-jaring kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN

dan Pasifik Selatan, di antaranya melakukan Persetujuan Keamanan Antara

Republik Indonesia-Australia (Agreement on Maintaining Security--AMS) pada

tahun 1995, dan juga menandatangani Perjanjian Kerjasama Keamanan antara

Republik Indonesia dan Australia (Framework Agreement on Security

Cooperation Between The Republic Indonesia and Australia) pada tahun 2006

(Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 61; Bhakti 2001: 31; Bhakti 2006: 5).

Selain kedua tujuan yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, kebijakan

luar negeri Australia juga mempunyai economic objectives. Artinya, Australia

harus mampu mengaitkan antara kebijakan luar negeri dengan perdagangan

komoditi Australia, bagaimana Australia mampu memainkan perannya dalam

diplomasi ekonomi multilateral seperti di dalam GATT (General Agreements on

Tariffs and Trade) atau WTO (World Trade Organization), World Bank, IMF

(International Monetery Fund) dan lain-lain; mampu membuat Australia

melakukan tukar-menukar kebijakan investasi asing; dan mampu meningkatkan

hubungan ekonominya dengan negara-negara ASEAN, Jepang, Cina, Korea

Selatan AS, Pasifik Selatan dan lain-lain (Bhakti 2001: 32). Hal ini dilakukan

karena pada dasarnya Australia memang sangat bergantung pada perdagangan luar

negerinya. Oleh karena itu, Australia memiliki kepentingan mengamankan

jalur-jalur distribusinya (lihat Hamid 1999: 387). Dari penjelasan yang telah dipaparkan

di atas, penulis menilai bahwa political objectives, security objectives dan

economic objectives merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam

kebijakan luar negeri Australia.

Tujuan-tujuan politik luar negeri itulah yang kemudian dijabarkan dalam

apa yang disebut “kepentingan nasional”. Terkait dengan penjelasan penulis pada

bab sebelumnya bahwa Evans (1991: 33) mengaktegorikan kepentingan nasional

Australia secara luas ke dalam tiga kategori, yakni: pertama,

kepentingan-kepentingan geopolitik dan strategis, yakni usaha untuk memepertahankan

kedaulatan dan kemerdekaan politik Australia. Di dalam hal ini, memiliki dua

dimensi, yakni dimensi global dan regional. Kepentingan langsung Australia

adalah memastikan negara-negara di sekitarnya agar tetap dalam kondisi damai,

stabil, tidak bermusuhan atau setidaknya tetap netral terhadap Australia. Di dalam

Defence White Paper 1987 yang termasuk dalam wilayah ini, yakni wilayah

teritori Australia dan wilayah-wilayah yang terdekat, seperti Indonesia, Papua

New Guinea, New Zealand dan negara-negara lain di wilayah barat daya pasifik

serta negara-negara lain di wilayah Asia Tenggara. Kedua, kepentingan ekonomi

dan perdagangan, hal ini terkait dengan upaya Australia untuk melindungi seluruh

sumber kekayaan alam yang dimilikinya, dalam meningkatkan perdagangan

internasional yang bertujuan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan

bangsa. Meningkatkan nilai ekspor Australia, dan pada saat yang sama

melindungi nilai dan kualitas kehidupan bangsa Australia. Ketiga, kepentingan

nasional Australia adalah bagaimana Australia berusaha untuk menjadi warga

internasional yang baik. Hal ini berhubungan dengan kepedulian Australia

terhadap masalah-masalah regional dan internasional yang seringkali

membutuhkan pendekatan-pendekatan non-militer. Oleh karena itu, Australia

harus memainkan perannya di bidang ini, seperti menangani isu-isu global,

pejagaan perdamaian, kontrol senjata dan lain-lain.

Khusus terhadap Indonesia, menurut Bhakti (Tempo, 21 September 1996)

siapapun yang berkuasa di Australia akan tetap memandang Indonesia sebagai

negara yang penting bagi Australia. Karena dilihat dari segi geostrategis Indonesia

merupakan tameng sekaligus bisa menjadi ancaman bagi Australia. Oleh sebab

itu, Australia berkepentingan untuk menjadikan Indonesia kuat, namun tidak

terlalu kuat untuk menjadi ancaman bagi Australia. Sedangkan, dari segi ekonomi,

Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar baik di bidang produk barang

konsumsi ataupun jasa. Hal ini membuat Australia tetap mempertahankan

forum-forum tahunan tingkat menteri (Ministrial Forum) sejak tahun 1992 dan juga

meningkatkan promosinya di Indonesia yang bertujuan meningkatkan investasi

dan bisnisnya.

Terkait dengan penjelasan di atas, dari wawancara penulis dengan Bhakti

di Jakarta, tanggal 28 Maret 2011, diketahui bahwa pada dasarnya tidak banyak

perbedaan antara kepentingan nasional Australia pada saat Pemerintahan Buruh

berkuasa maupun Pemerintahan koalisi Liberal. Hanya saja di dalam mencapai

kepentingan nasional tersebut, meski substansinya sama, terdapat perbedaan

pendekatan di dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia antara Perdana

Menteri dari Partai Buruh dengan Perdana Menteri Partai koalisi Liberal.

Pemaparan di atas menggambarkan bahwa Indonesia memiliki posisi

strategis bagi kepentingan nasional Australia. Seperti yang telah diuraikan di atas,

bahwa pertama, dari kepentingan geopolitik dan strategis, Australia memiliki

kepentingan untuk memastikan Indonesia sebagai negara tetangga terdekatnya

untuk tetap dalam kondisi damai, stabil dan tidak bermusuhan atau setidaknya

tetap netral terhadap Australia; kedua, dari kepentingan ekonomi, posisi Indonesia

Dokumen terkait