• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Hubungan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Hubungan Internasional"

Copied!
249
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

TERHADAP INDONESIA:

PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI

LIBERAL (1996-2007) DAN PEMERINTAHAN KEVIN RUDD

DARI PARTAI BURUH (2007-2010)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Jurusan Hubungan Internasional

Oleh:

Christa Mc Auliffe Suryo Puteri

NIM: 106083003625

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

(2)
(3)
(4)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Juli 2011

(5)

ii

ABSTRAK

Penelitian di dalam skripsi ini memaparkan tentang kebijakan luar negeri

Australia terhadap Indonesia dari dua pemerintahan Australia yang dipimpin oleh

dua Perdana Menteri dari dua partai besar yang berbeda di Australia, yakni

pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal (1996-2006) dan

pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh (2007-2010).

Konsep yang dipakai penulis untuk menjawab pertanyaan penelitian di

dalam skripsi ini adalah konsep kebijakan luar negeri model adaptif milik

Rosenau yang dikaitkan dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia. Model adaptif ini menggambarkan

bahwa kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia dipengaruhi oleh

faktor-faktor internal dan eksternal serta gaya kepemimpinan (leadership) Perdana

Menteri dari Partai Koalisi Liberal dan Partai Buruh.

Selanjutnya, skripsi ini merupakan penelitian kualitatif dengan

mengandalkan data-data primer dan skunder yang bertujuan untuk memaparkan

atau mendeskripsikan tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia

pada pemerintahan John Howard dan Kevin Rudd.

Dari penelitian ini diketahui bahwa terdapat faktor-faktor internal dan

eksternal serta gaya kepemimpinan dari Perdana Menteri John Howard dari Partai

koalisi Liberal dan Kevin Rudd dari Partai Buruh yang mempengaruhi kebijakan

luar negeri Australia terhadap Indonesia. Di antara faktor-faktor tersebut, faktor

gaya kepemimpinanlah yang menjadi fokus penulis dari penelitian ini.

(6)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT atas segala

rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai

syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.

Terimakasih dan syukur penulis ucapkan atas segala dukungan dan

motivasi yang telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan

motivasi dari berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui

hambatan selama proses penyelesaian skripsi ini. Berbagai pihak yang membantu

di antaranya: kedua orang tua penulis, Papa dan Mama tersayang yang telah

memberikan yang terbaik untuk penulis, baik kasih sayang, doa, nasehat,

dukungan dan motivasi dalam segala hal dari awal hingga akhir, terimakasih Papa

dan Mamaku tersayang. Selain itu, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih

kepada kedua kakak penulis, Mas Agnesch dan Mas Ronald yang selalu

menemani, membantu, menjaga, menyayangi dan berbagi banyak hal kepada

penulis. Terimakasih banyak karena kalian telah memberikan dan menjadi yang

terbaik untukku.

Kemudian, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing sekaligus Ketua Jurusan Hubungan

Internasional, Ibu Dina Afrianty, Ph.D, yang telah membimbing penulis dalam

memahami permasalahan di dalam skripsi ini, meluangkan waktu untuk membaca

skripsi ini, mendengarkan penulis, memberi dukungan penulis, menyemangati di

saat suka maupun duka. Semua itu sangat membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas arahan, ilmu, nasehat, dukungan serta

motivasi yang telah Ibu Dina berikan selama ini. Penulis sangat bersyukur sekali

dapat bertemu dan dibimbing oleh Ibu Dina. Sekali lagi terimakasih Ibu Dina atas

smuanya.

Selanjutnya, terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ali

Munhanif Ph.D. selaku Penasehat Akademik, Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si.

selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional, Bapak Nazaruddin Nasution,

(7)

iv

MA dan Bapak Adian Firnas, M.Si selaku dosen Hubungan Internasional, dan

juga seluruh staf Dosen di jurusan Hubungan Internasional yang telah

mengajarkan dan membagi ilmunya kepada penulis selama masa studi di UIN.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti selaku

peneliti LIPI, yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh penulis

dan menjelaskan secara detail kepada penulis mengenai hubungan

Australia-Indonesia. Terimakasih juga Prof. Ikrar untuk beberapa masukannya.

Terimakasih kepada seluruh keluarga besar penulis atas dukungan dan

doanya. Pakde, Bude, Oom, Tante, dan Sepupu-sepupu (Suryo Putero dan Suryo

Puteri) yang telah menghibur penulis di saat bosan, terimakasih.

Terimakasih juga kepada: Ali Fikri, Natiqoh, Qory , Izzun dan Anne, yang

turut serta membantu penulis dalam mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk

skripsi ini. Teman-teman penulis yang selalu ada untuk mendengarkan isi hati

penulis: Dian, Diah, Desty dan Astrid, terimakasih. Untuk sahabat kecil penulis

Septiani, makasih atas dukungannya selama ini. Serta untuk teman-teman HI

lainnya: Insan, Firman, Nanda, Ican, Alfi Perdana, Julian, dan lain-lain yang tidak

bisa penulis tuliskan satu persatu, namun tanpa mengurangi rasa terimakasih

kepada kalian, thank you so much and best luck for you mates.

Penulis juga sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan kerja di Toeic

Center Indonesia yang telah memberikan kesempatan serta pengalaman kepada

penulis. Terimakasih atas dispensasi waktu yang diberikan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tulus untuk Mustafid yang

selama ini telah setia menemani, mendengarkan dan memberikan kecerian serta

nasehat kepada penulis. Terimakasih untuk perhatian dan dukungan yang

diberikan. Semangat buat skripsinya Mustafid, Jeg Elsker Deg.

Terakhir, terlepas dari adanya kekurangan di dalam skripsi ini, penulis

berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Dan untuk semua pihak yang membantu dalam penyelasaian skripsi ini semoga

diberikan balasan kebaikan yang berlipat.

(8)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...1

B. Pertanyaan Penelitian………...6

C. Kerangka Pemikiran

C.1 Konsep Kebijakan Luar Negeri...7

C.2 Konsep Kepentingan Nasional...12

D. Metode Penelitian………...13

E. Sistematika Penulisan………...14

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN

LUAR NEGERI AUSTRALIA

A. Faktor Internal

A.1 Faktor Sejarah dan Demografis...17

A.2 Faktor Geografis...22

A.3 Kepentingan Nasional...26

A.4 Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Australia...30

A.5 Kebijakan Pertahanan Australia...38

B. Faktor Eksternal

B.1 Perkembangan Konstelasi Politik, Keamanan dan Ekonomi

Regional dan Internasional...40

(9)

vi

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP

INDONESIA: PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DARI

PARTAI

KOALISI

LIBERAL

(1996-2007)

DAN

PEMERINTAHAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH

(2007-2010)

A. Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan John Howard dari Koalisi Liberal (1996-2007)...44

B. Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh (2007-2010)...66

BAB IV ANALISA GAYA KEPEMIMPINAN JOHN HOWARD DARI

PARTAI KOALISI LIBERAL DAN KEVIN RUDD DARI

PARTAI BURUH

Analisa Gaya Kepemimpinan John Howard dari Partai Koalisi Liberal

dan Kevin Rudd dari Partai Buruh...78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...87

DAFTAR PUSTAKA

(10)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel III.1 Bantuan Australia untuk Kegiatan Anti-Teroris: 2002-2005...56

Tabel III.2 Barang Ekspor Utama Australia ke Indonesia: 2000-2004....……...59

Tabel III.3 Barang Impor Utama Australia dari Indonesia: 2000-2004...…….61

Tabel III.4 Grafik Perdagangan Indonesia-Australia: 2001-2006...62

(11)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Transkrip Wawancara

Lampiran 2: Defence White Paper 2009

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Australia dan Indonesia merupakan dua negara yang secara geografis dekat,

namun memiliki banyak perbedaan, baik dalam segi sejarah, politik, ekonomi,

sosial dan budaya. Karena begitu banyaknya perbedaan yang ada di antara dua

negara ini sehingga sulit untuk menemukan dua negara bertetangga lain seperti

Australia dan Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Evans (1991: 1) bahwa

tidak ada dua negara tetangga di belahan dunia manapun yang berbeda sejarah,

budaya, penduduk, bahasa serta tradisi sosial dan politiknya seperti Australia dan

Indonesia.

Indonesia terletak di antara dua benua, yakni Asia dan Australia dan diapit

oleh dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Hal ini

menempatkan peran strategis Indonesia di mata internasional termasuk Australia.

Indonesia setidaknya memiliki tiga selat yang menjadi lintas perdagangan

internasional yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia,

yaitu Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok. Oleh karena hal inilah,

Indonesia bernilai strategis secara politik (Ibnudin, Pikiran Rakyat, 22 Maret

2010).

Lebih jauh lagi, sebagai tetangga dekat, Indonesia menempati posisi penting

bagi Australia. Oleh sebab itu secara geopolitik Indonesia menjadi salah satu

(13)

2

perhatian utama dalam kebijakan luar negeri Australia. Dengan demikian

membangun kemitraan yang sehat antara Australia-Indonesia merupakan suatu

tuntutan yang harus diciptakan oleh kedua negara (Sulistiyanto 2010).

Hubungan Australia dengan Indonesia diawali saat Indonesia berjuang

untuk mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Pada masa itu, Australia

bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Australia di bawah

pemerintahan Perdana Menteri Joseph Benedict Chifley dari Partai Buruh,

menjadi negara yang sangat mendukung kemerdekaan Indonesia (Bhakti 1992:

143). Evans (1991: 186) juga menyatakan bahwa Australia mendukung Indonesia

dan sangat menentang kolonialisme Belanda. Dukungan Australia terhadap

Indonesia terlihat ketika pada tahun 1947, Australia resmi menjadi wakil dari

Indonesia dalam Komisi Jasa-Jasa Baik (United Good Offices Committe) serta

mendukung Indonesia bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada

tahun 1950.

Walaupun hubungan antara Australia-Indonesia awalnya berlangsung baik

dan harmonis, bukan berarti hubungan tersebut bersifat statis. Sejarah mencatat

hubungan kedua negara ini sering mengalami pasang surut. Adakalanya hubungan

diplomatik Australia-Indonesia berjalan baik tanpa kendala yang berarti, namun

tidak jarang hubungan keduanya memanas. Menurut Evans (1991: 186) hubungan

Australia dan Indonesia dapat diibaratkan sebagai “roller coaster", yang suatu

ketika mengalami peningkatan hubungan, namun juga selalu diikuti dengan

penurunan.

(14)

3

Pergantian pemerintahan di Australia dari Partai Buruh kepada Partai koalisi

Liberal yang dipimpin oleh Perdana Menteri Menzies untuk periode 1949-1966,

mempengaruhi hubungan antara Australia dengan Indonesia pada kurun waktu

tersebut. Di samping itu, situasi Perang Dingin juga membuat kebijakan luar

negeri Australia di bawah pemerintahan koalisi Liberal harus mendukung politik

global Amerika Serikat pada masa tersebut, yakni membendung penyebaran

komunis (containment policy). Hal ini menyebabkan Australia di bawah

Pemerintahan koalisi Liberal lebih menginginkan kekuatan-kekuatan Barat ada di

Asia Pasifik. Akibatnya, pemerintah Australia saat itu mendukung Irian Barat

(Papua) dikuasai oleh Belanda. Permasalahan tentang Papua masih sering menjadi

masalah dalam hubungan Australia-Indonesia hingga saat ini (Bhakti, Wuryandari

dan Muna 1997; Hamid 1999; Tewes 2004-05; Firth 2005).

Selain kebijakan pemerintah koalisi Liberal yang mendukung “containment

policy”, perubahan sikap Australia terhadap Indonesia juga disebabkan oleh posisi

Indonesia dan Papua New Guinea yang merupakan benteng pertahanan dan

sekaligus titik kelemahan Australia (Hamid 1999). Lebih jauh lagi, menurut

Suryadinata (1998: 115) konfrontasi Indonesia-Belanda mengenai pembebasan

Papua serta konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1965, membuat Australia

menaruh curiga kepada Indonesia. Sikap Australia tersebut disebabkan pada saat

itu, Partai Komunis mulai berpengaruh sehingga menyebabkan kekhawatiran

Australia akan penyebaran komunis di kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu,

antara tahun 1959-1965 hubungan Australia-Indonesia mengalami titik terendah

(15)

4

(lihat juga Critchley 1995; Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997; Thorton et. al

1997; Firth 2005).

Hubungan Australia-Indonesia antara tahun 1972-1988 sangat fluktuatif, di

mana antara tahun itu hubungan keduanya menghadapi beberapa masalah, seperti

masalah integrasi Timor Timur ke Indonesia dan masalah pemberitaan kekayaan

Presiden Soeharto oleh salah satu media cetak Australia The Sydney Morning

Herald pada 10 April 1986. Namun, masalah utama yang mengganggu hubungan

kedua negara adalah masalah integrasi Timor Timur ke Indonesia yang bukan

dengan jalan damai hingga mengakibatkan terbunuhnya lima wartawan Australia

pada tahun 1975 (kasus Balibo) (Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997).

Kebijakan luar negeri Australia mengenai permasalahan Timor Timur lebih

diwarnai oleh kebijakan dari Perdana Menteri Whitlam dari Partai Buruh

(1972-1975) yang mendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia. Keinginan Australia

untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia pada masa itu membuat Australia

tetap mendukung Indonesia. Walaupun setelah peristiwa Balibo media massa dan

publik Australia menjadi kritis terhadap Indonesia, namun Australia tidak

menginginkan adanya isu-isu yang mengganggu hubungan kedua negara. Hal ini

disebabkan pada masa itu, Indonesia memiliki pengaruh kuat serta peran penting

di kawasan Asia Tenggara. Indonesia saat itu dapat menjadi pintu pembuka bagi

hubungan Australia dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara bahkan

negara-negara Asia lainnya. Oleh sebab itu, kebijakan Whitlam ini dipertahankan

selama masa pemerintahan koalisi Liberal Malcolm Fraser (1975-1983) dan juga

(16)

5

oleh pemerintahan Bob Hawke dari Partai Buruh (1983-1991) (Coldrey 1986

dalam Hamid 1999: 423; Chega, 2005).

Dari pemaparan di atas penulis melihat bahwa hubungan

Australia-Indonesia selalu mengalami pasang surut. Kebijakan masing-masing negara kerap

berubah seiring dengan perubahan pemerintahan di kedua negara. Selain itu

penulis juga melihat bahwa pergantian pemerintahan di Australia, dari Partai

Buruh ke Partai koalisi Liberal memiliki pengaruh yang cukup berarti bagi

hubungan bilateral Australia-Indonesia.

Naiknya Paul Keating dari Partai Buruh pada 1991 menggantikan Bob

Hawke telah memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi hubungan bilateral

Australia-Indonesia. Hubungan Australia-Indonesia pada masa pemerintahan

Keating mengalami peningkatan dan merupakan puncak hubungan Australia

dengan Indonesia. Bahkan, Keating menganggap Indonesia merupakan negara

tetangga terpenting dan “special” bagi Australia (Wuryandari 1996; Bhakti 2001).

Namun, puncak keharmonisan hubungan kedua negara kian menurun setelah Paul

Keating tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri.

Pada tahun 1996, John Howard resmi menggantikkan Paul Keating setelah

partainya memenangkan pemilu. Pada masa pemerintahan Howard, hubungan

Australia-Indonesia mengalami dinamika yang cukup panjang. Berbagai masalah

yang terjadi seperti kasus Timor Timur dan pemberian visa bagi warga Papua, dan

perubahan penekanan dalam hubungan luar negeri Australia pada masa Howard

membuat ketegangan antara Australia-Indonesia (Bhakti 2001; Thayeb 2008).

(17)

6

Kemenangan Partai Buruh pada tahun 2007 mengantarkan Kevin Rudd

menggantikkan Howard yang telah berkuasa selama sebelas tahun. Pergantian

kepemimpinan dari Partai koalisi Liberal dengan Perdana Menteri John Howard

(1996-2007) kepada Partai Buruh di bawah pimpinan Kevin Rudd (2007-2010)

membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang kebijakan luar

negeri Australia terhadap Indonesia di bawah kepemimpinan John Howard dan

Kevin Rudd serta pengaruh gaya kepemimpinan perdana menteri dari dua partai

besar yang berbeda.

Skripsi ini membahas tentang bagaimana kebijakan luar negeri Australia

terhadap Indonesia di bawah pemerintahan Howard dari Partai Liberal dan

pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh. Di dalam skripsi ini penulis

memfokuskan analisa terhadap pengaruh gaya kepemimpinan perdana menteri

dari dua partai besar yang berbeda di Australia, yakni Partai Buruh dan Partai

koalisi Liberal dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan luar negerinya

terhadap Indonesia tanpa mengenyampingkan pengaruh faktor-faktor lainnya.

B. Pertanyaan Penelitian

Di dalam skripsi ini penulis mencantumkan beberapa pertanyaan pokok

yang akan menjadi acuan dalam analisi skripsi ini. Adapun pertanyaan

pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1.

Bagaimana kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia

periode John Howard dari Partai koalisi Liberal dan Kevin Rudd

Partai Buruh ?

(18)

7

2.

Apa perbedaan kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia

pada masa John Howard dan Kevin Rudd?

3.

Bagaimana gaya kepemimpinan John Howard dari Partai koalisi

Liberal dan Kevin Rudd dari Partai Buruh mempengaruhi kebijakan

luar negeri Australia terhadap Indonesia?

C. Kerangka Pemikiran

Di dalam meneliti sebuah masalah diperlukan adanya kerangka pemikiran,

untuk memudahkan penulis dalam mengambarkan dan menganalisa permasalahan

yang di bahas. Berikut konsep-konsep yang menjadi kerangka berpikir penulis:

C.1

Konsep Kebijakan Luar Negeri

Semua negara di dunia, termasuk Australia memiliki politik luar negeri

untuk menunjang kepentingannya dan juga untuk mempertahankan integritas

bangsa di dunia internasional (Bhakti 2008). Hudson (1988 dalam Mediansky dan

Palfreeman 1990) yang dikutip oleh Bhakti (2001: 21) mengatakan bahwa secara

sederhana politik luar negeri merupakan segala bentuk kebijakan suatu negara

terhadap lingkungan luarnya yang menjadi subyek dari kepentingan dan aktifitas

resmi negara itu.

Menurut Rosenau (1976: 27-32) kebijakan luar negeri merupakan

keseluruhan sikap dan aktivitas suatu negara dalam upayanya mengatasi dan

memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya yang bertujuan untuk

mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Menambahkan Rosenau,

(19)

8

Bhakti (2001: 22) mengatakan bahwa tujuan yang dimaksud tersebut meliputi

baik tujuan politik, keamanan dan ekonomi, sesuai dengan kepentingan

nasionalnya yang telah ditentukan oleh penentu kebijakan luar negeri sebagai

hasil dari proses politik.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Malhotra (2004: 185-186)

bahwa kebijakan luar negeri memiliki beberapa unsur yang berkaitan dan saling

mempengaruhi yakni, pertahanan, diplomasi dan ekonomi. Selanjutnya, ia

mengatakan bahwa kebijakan luar negeri dibuat atas nama negara, akan tetapi

pemerintahlah yang benar-benar merumuskan dan melaksanakannya. Pemerintah

tersebut merupakan perpaduan dari berbagai organisasi dan individu yang

memiliki kepentingan yang tidak sama.

Kebijakan luar negeri yang memiliki beberapa unsur penting yang saling

berkaitan dan dirumuskan oleh pemerintahan suatu negara ini tidak pernah

diselenggarakan dalam kevakuman, tetapi selalu dikondisikan dengan

lingkungannya baik domestik dan eksternal. Lingkungan domestik tersebut terdiri

dari partai politik, kelompok penekan, organisasi birokrasi yang saling bersaing,

media massa, opini publik, budaya politik dan lain-lain. Sedangkan, lingkungan

eksternalnya adalah aktor-aktor sub sistemik dari negara-negara tetangga dan juga

kawasan, negara super power, organisasi internasional dan organisasi regional

(Malhotra 2004: 186).

Sedangkan Bhakti (2001: 22) berpendapat bahwa faktor internal yang

mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia tersebut antara lain ialah faktor

sejarah dan demografis, geografis, kepentingan nasional, cara pandang aktor

(20)

9

politik (pemberi pengaruh, pembuat dan penentu kebijakan) terhadap sistem

internasional, serta kepentingan dan peran yang diinginkan oleh negara tersebut di

dalam

sistem

internasional.

Sedangkan

faktor-faktor

eksternal

yang

mempengaruhi kebijakan luar negri tersebut adalah perubahan konstelasi politik,

ekonomi dan keamanan internasional.

Malhotra (2004: 185-186) mengatakan bahwa kebijakan luar negeri dibuat

oleh beberapa orang dari pemerintahan suatu negara, yakni seorang kepala

pemerintahan (eksekutif) dan juga menteri luar negeri, penasehat serta

bawahan-bawahannya. Namun, dalam prakteknya kebijakan luar negeri sebagian besar

diaminkan oleh eksekutif.

Senada dengan Malhotra, Smith (1992: 22) menulis bahwa eksekutif atau

Perdana Menteri Australia memiliki hak prerogatif dan merupakan aktor utama

yang memainkan kebijakan luar negeri Australia. Secara konstitusional kepala

negara adalah Gubernur Jendral sebagai wakil dari Ratu Inggris, namun dalam

prakteknya istilah kekuatan eksekutif pemerintah mengacu pada Perdana Menteri

dan menteri-menteri lainnya. Lebih jauh lagi, Smith (1992: 23) menjelaskan

bahwa Perdana Menteri Australia merupakan aktor utama dalam pembuatan

kebijakan luar negeri, sebagai tokoh yang dominan ketika timbulnya konflik

antara menteri-menteri. Namun demikian, bentuk dan gaya kepemimpinan

(leadership) pada tiap perdana menteri yang memimpin berbeda-beda.

Menambahkan pendapat Smith di atas, Chauvel (1992: 9) menilai bahwa

Perdana Menteri biasanya adalah orang yang paling berpengaruh dan memiliki

kekuasaan yang lebih di antara anggota-anggota kabinet. Seorang Perdana

(21)

10

Menteri dapat mengajukan inisiatif dalam kebijakan ekonomi ataupun

mengeluarkan pernyataan tentang kebijakan luar negeri. Namun, perlu diketahui

bahwa perdana menteri Australia bukanlah seorang Presiden yang terpilih dengan

hak mereka sendiri. Perdana Menteri (dan para pemimpin partai oposisi atau

prime minister shadow) adalah para pemimpin partai yang dipilih oleh

anggota-anggota parlemen dari partainya. Oleh sebab itu, mereka juga dapat digantikan

dengan orang lain seperti pada kasus Kevin Rudd di tahun 2010 yang lalu. Hal ini

menunjukkan bahwa masih ada unsur ketergantungan di sini antara Perdana

Menteri dengan partai politik yang mengusungnya. Senada dengan pernyataan

tersebut Hamid (1999: 391) mengatakan bahwa dalam melihat politik luar negeri

Australia harus juga dipertimbangkan gaya kepemimpinan di antara partai-partai

besar yang berkuasa, yakni Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal-Nasional.

Menurut Bhakti (2008: 20) ada dua pandangan di kalangan pengamat

internasional di Australia mengenai sistem internasional, yakni pertama, mereka

yang memandang bahwa dunia ini penuh dengan konflik dan anarkis untuk

mencapai tujuan nasional suatu negara. Sedangkan pada pandangan kedua, dunia

diibaratkan sebagai “global village” (desa dunia) di mana anggotanya melakukan

kerjasama demi mencapai tujuan bersama yakni keamanan, kemakmuran dan

kemajuan bersama. Terkait dengan penjelasan itu, Bhakti (2008) menilai bahwa

terdapat perbedaan nuansa politik antara pemerintahan Partai koalis Liberal

Australia dan Pemerintahan Partai Buruh Australia. Pemerintah Liberal biasanya

lebih memilih kedekatan sosio-kultural atau sejarah, yakni kedekatannya dengan

Inggris dan Amerika Serikat serta memandang dunia anarkis. Sebaliknya,

(22)

11

pemerintahan Partai Buruh lebih memilih kedekatan geografis, yakni mencari

keamanan di dalam Asia dan mengutamakan kerjasama untuk mencapai kemajuan

bersama.

Dari penjelasan dari berbagai peneliti di atas, dapat dikatakan bahwa

kebijakan luar negeri memiliki unsur politik, pertahanan dan ekonomi yang

bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut dan dipengaruhi

oleh faktor internal dan faktor eksternal serta gaya kepemimpinan dari kepala

pemerintahan (eksekutif) dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan luar

negeri negara tersebut.

Untuk kepentingan analisa pada Bab IV skripsi ini, yakni mengenai

pengaruh gaya kepemimpinan dari John Howard dari Partai koalisi Liberal dan

Kevin Rudd dari Partai Buruh penulis menggunakan model adaptif kebijakan luar

negeri milik Rosenau. Rosenau menilai bahwa pada hakekatnya kebijakan luar

negeri merupakan suatu mekanisme untuk suatu negara beradaptasi terhadap

perubahan-perubahan di lingkungannya baik internal maupun eksternal yang

didasarkan kepada persepsi para pembuat keputusan mengenai kondisi lingkungan

tersebut dalam upayanya untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan nasionalnya

(lihat Rosenau 1974: 47 dan Rosenau 1981: 42-50).

Pada dasarnya, model adaptif tersebut sejalan dengan pemaparan dari

berbagai peneliti di atas yang telah penulis jelaskan bahwa kebijakan luar negeri

merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal,

lingkungan internal dan juga kepemimpinan (leadership).

(23)

12

Bagian selanjutnya memaparkan tentang konsep kepentingan nasional.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara termasuk

Australia bertujuan untuk melindungi serta meningkatkan kepentingan

nasionalnya. Oleh sebab itu, konsep kebijakan luar negeri melekat dan saling

berkaitan dengan konsep kepentingan nasional.

C.2

Konsep Kepentingan Nasional

Evans (1991: 33) mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan

starting point atau titik awal dari kebijakan luar negeri. Senada dengan Evans,

Frankel (1979) dalam Malhotra (2004: 79) memandang bahwa kepentingan

nasional adalah konsep yang paling penting dalam hubungan internasional dan

merupakan kunci dalam kebijakan luar negeri karena kepentingan nasional adalah

materi dasar bagi para pembuat kebijakan luar negeri. Di dalam merumuskan

kebijakan luar negeri tersebut, para pembuat kebijakan dipandu oleh perspektif

kepentingan nasional mereka yang bertujuan untuk mencapai dan melindungi

kepentingan nasional tersebut.

Untuk kepentingan analisa, penulis kembali mengutip pendapat Evans

tentang kepentingan nasional Australia. Menurut Evans (1991: 33) kepentingan

nasional Australia mencakup tiga kategori besar, yaitu: pertama, dari segi

kepentingan geopolitik dan strategis ialah “the defence of Australian sovereignty

and political independence” (mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan

politik Australia) salah satu tujuannya adalah untuk mengamankan Australia dari

imigran gelap yang dapat mengancam kedaulatan dan integritas wilayahnya;

(24)

13

kedua, dari sisi ekonomi, ialah “in trying to secure a free and liberal international

trading regime” (berupaya melindungi perdagangan bebas internasional) hal ini

bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan bangsa; ketiga,

“being seen to be a good international citizen” (menjadi warga internasional yang

baik), yakni ikut serta mengatasi isu-isu global, penjaga perdamaian, kontrol

senjata, penegakan HAM dan lain-lain.

D.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk

memaparkan tentang kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia pada

pemerintahan John Howard dari Partai Koalisi Liberal (1996-2007) dan

pemerintahan Kevin Rudd dari Partai Buruh (2007-2010). Menurut Cresswell

(1998) pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang

berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini, penulis mengandalkan

data-data primer dan sekunder sebagai acuan, yakni data-data yang didapat dalam

bentuk yang sudah jadi berupa publikasi dan sudah dikumpulkan oleh pihak atau

instansi lain. Data ini diperoleh melalui studi kepustakaan untuk dapat lebih

memahami kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia pada masa

pemerintahan John Howard dari Partai koalisi Liberal dan Kevin Rudd dari Partai

Buruh. Sumber-sumber data tersebut dapat berupa buku, jurnal, interview dari

sumber yang berkepentingan yakni peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan

(25)

14

Indonesia (LIPI), Prof. Ikrar Nusa Bhakti, kemudian juga dari internat, surat

kabar dan penerbit-penerbit lainnya.

E.

Sistematika Penulisan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B.

Pertanyaan Penelitian

C.

Tujuan Penelitian

D. Kerangka Pemikiran

D.1

Kebijakan Luar Negeri

D.2

Kepentingan Nasional

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan

BAB II

FAKTOR-FAKTOR

YANG

MEMPENGARUHI

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

A.

Faktor Internal

A.1

Faktor Sejarah dan Demografis

A.2

Faktor Geografis

A.3

Kepentingan Nasional

A.4

Pembuatan Kebijakan Luar Negeri

A.5

Kebijakan Pertahanan Australia

(26)

15

B.

Faktor Eksternal

B.1

Perkembangan Konstelasi Politik, Ekonomi, dan

Keamanan Regional dan Internasional

BAB III

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA TERHADAP

INDONESIA: JOHN HOWARD DARI PARTAI KOALISI LIBERAL

dan PEMERINTAHAN KEVIN RUDD DARI PARTAI BURUH

A.

Kebijakan Luar negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan John Howard dari Partai Liberal

B.

Kebijakan Luar Negeri Australia Terhadap Indonesia di Bawah

Pemerintahan kevin Rudd dari Partai Buruh

BAB IV

ANALISA GAYA KEPEMIMPINAN JOHN HOWARD

DARI PARTAI KOALISI LIBERAL DAN KEVIN RUDD DARI

PARTAI BURUH DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

TERHADAP INDONESIA

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(27)

16

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

Bab ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan

luar negeri Australia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri

Australia sangat ditentukan oleh berbagai faktor internal dan juga eksternal. Oleh

karena itu, pembahasan ini dibagi menjadi dua sub bab, yakni: pertama,

faktor internal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia; kedua,

faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia. Pembahasan

mengenai faktor-faktor ini penting karena dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat

perbedaan pendekatan dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia terhadap

Indonesia pada Pemerintahan Buruh dan Pemerintahan koalisi Liberal-Nasional.

Terkait dengan penjelasan penulis pada Bab I bahwa kebijakan luar negeri

suatu negara, tidak terkecuali Australia tidak pernah diselenggarakan dalam

kevakuman. Namun, selalu dikondisikan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor

internal dan eksternal negara tersebut (Malhotra 2004: 185-186). Di dalam

menjelaskan faktor internal dan eksternal tersebut penulis mengutip hasil

pemikiran dari Ikrar Nusa Bhakti yang tercantum di dalam laporan penelitian LIPI

tahun 2001. Menurut Bhakti (2001: 22-39) secara umum, faktor-faktor internal

tersebut ialah faktor sejarah dan demografis, geografis, kepentingan nasional,

sistem politik, cara pandang aktor-aktor politik (pemberi pengaruh, pembuat dan

(28)

17

penentu kebijakan) terhadap sistem internasional, serta kepentingan dan peran

yang diinginkan oleh negara tersebut di dalam sistem internasional. Sedangkan,

faktor-faktor eksternalnya antara lain ialah lingkungan regional dan internasional,

dalam hal ini perkembangan konstelasi politik, ekonomi dan keamanan

internasional, serta kebijakan negara atau sekelompok negara lain terhadap negara

tersebut.

A. Faktor-faktor Internal Yang Mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri

Australia

Pemaparan mengenai faktor-faktor internal dalam pembentukan kebijakan

luar negeri Australia di bawah ini didasarkan pada pendapat Bhakti (2001: 22-39),

yaitu:

A.1

Faktor Sejarah dan Demografis

Jika dilihat dari faktor sejarah dan demografis Australia, kebijakan luar

negeri Australia sangat dipengaruhi oleh dua negara, yakni Inggris dan Amerika

Serikat. Pada tahun 1787, Australia ditemukan dan diklaim sebagai bagian dari

Inggris oleh Kapten James Cook utusan pertama Pemerintah Inggris. Setelah

Amerika merdeka, Inggris mulai mengalami kesulitan untuk mengirim para

narapidananya. Oleh karena itu, pada 26 Januari 1788, setahun setelah Australia

ditemukan, Inggris mengirimkan koloni pertamanya yang terdiri dari para

narapinadanya ke Australia dan sejak tahun 1788 itulah Australia resmi berfungsi

sebagai tempat dikirimkannya narapidana Inggris (Bhakti 2001: 24). Melengkapi

pendapat dari Bhakti, Hamid (1999: 390) mengatakan bahwa fungsi Australia

(29)

18

sebagai tempat penampungan para narapidana Inggris berakhir sejak tahun 1796.

Perkembangan yang terjadi di Australia sebagai daerah peternakan membuat

Australia tidak lagi hanya dihuni oleh para narapidana namun, juga ditempati oleh

para imigran Inggris yang lebih bervariasi seperti para petani, peternak, dan

lain-lain. Dengan semakin berkembangnya Australia baik dari segi masyarakat,

perekonomian dan politik. Pemerintah Inggris menyetujui pembentukan

pemerintah koloni Australia, yang berproses secara bertahap sampai akhirnya

pada pembentukan negara federal Australia pada 1 Januari 1901. Walaupun,

Australia telah menjadi negara federal, menurut Bhakti (2001: 24) Australia tetap

merupakan bagian dari Inggris yang kebijakan luar negerinya dirumuskan serta

diimplementasikan di Inggris. Barulah pada tahun 1935 Federasi Australia

membentuk kantor kecil urusan luar negeri dan setelah tahun 1940 Australia

membuka kedutaan besar di luar negeri (lihat juga Evans 1991: 19; Siboro 1996:

178; Firth 2005: 5).

Menurut Siboro (1996: 152) imigran asal Inggris sangat dominan di

Australia. Aspek yang paling bermakna dari imigran asal Inggris tersebut adalah

memelihara nilai-nilai dari negara asalnya. Senada dengan pernyataan tersebut

Evans (1991: 20) dan Hamid (1999: 390-391) menilai bahwa faktor kesejarahan

Australia yang mengidentikan diri dengan Inggris ini menguasai

pemikiran-pemikiran dari masyarakat Australia. Hal ini tidak terlepas dari sikap awal Inggris

kepada Australia, yakni menjamin keamanan Australia; melakukan perdagangan

luar negeri dengan Australia; hubungan luar negeri Australia selama lebih dari

dua puluh tahun sejak terbentuk federasi dilakukan oleh Inggris; sistem

(30)

19

pendidikan Inggris yang juga sebagai model sistem pendidikan Australia; serta

kebudayaan Inggris yang mengakar di masyarakat Australia, sehingga membentuk

identitas ke-Inggris-an yang tidak dapat dihilangkan.

Namun, sebelum terjadinya Perang Dunia II, Australia mulai menyadari

bahwa Inggris tidak lagi mampu melindungi Australia. Bagi Australia saat itu

Inggris lebih mementingkan keamanan wilayahnya. Keyakinan Australia semakin

kuat ketika pada 15 Februari 1942, Jepang berhasil menyerang Singapura yang

menyebabkan Australia menurunkan pasukan untuk ikut berperang. Pada saat

yang sama Australia mulai mengalihkan perlindungannya dari Inggris kepada

Amerika Serikat (Firth 2005: 30).

Senada dengan pendapat Firth, Bhakti dan Alami (2005: 30) mengatakan

bahwa sekitar tahun 1788 sampai dengan 1941 kekuatan besar pelindung

Australia adalah Inggris. Perang Dunia II mengharuskan Inggris untuk lebih

mempertahankan keamanan wilayahnya di Eropa dari pada melindungi

daerah-daerah jajahannya di Asia Tenggara. Serangan Jepang ke Asia Tenggara

merupakan ancaman langsung bagi Australia, namun dengan bantuan Angkatan

Laut serta Angkatan Udara AS, wilayah Australia bisa terhindar dari serbuan

Jepang. Atas dasar alasan tersebut Australia berpaling dari Inggris ke Amerika

Serikat. Akibatnya, Australia harus mengikuti kebijakan luar negeri AS untuk

tetap mendapatkan jaminan keamanan dari AS, sebagai contoh ketika masa

Perang Dingin fokus perhatian AS adalah mencegah perluasan komunisme di Asia

Pasifik yang berdampak terhadap kebijakan Australia untuk mengembangkan

“Forward Defence Strategy” yang diwujudkan salah satunya melalui

(31)

20

keikutsertaan

Australia

dalam

politik

pembendungan

komunisme

AS

(containment policy) di Asia Pasifik seperti dalam Perang Korea dan Perang

Vietnam.

Penyerangan yang dilakukan Jepang pada saat Perang Dunia II, selain

membuat Australia berpaling dari kekuatan Inggris juga memaksa Australia untuk

lebih mandiri dalam hal keamanan dan kebijakan luar negerinya, terutama jika

Pemerintahan Buruh berkuasa. Namun, pada kenyataannya pengaruh AS tidak

dapat dihilangkan begitu saja. Seperti pada kasus pemerintahan Whitlam yang

menginginkan Australia mandiri dan lepas dari pengaruh AS bahkan terkesan anti

AS, hal ini menyebabkan Perdana Menteri Whitlam dari Partai Buruh dipecat

pada tahun 1975 dan digantikan oleh Fraser dari Partai koalisi Liberal. Sejak saat

itulah penerus-penerus Whitlam dari Partai Buruh seperti Hawke lebih

berhati-hati dengan AS dan tetap membiarkan pengaruh AS ada dalam kebijakan luar

negeri Australia (Bhakti 2001 dan Firth 2005).

Pengaruh kebijakan AS terhadap Australia juga terlihat dari perubahan

sikap Australia dari menentang integrasi Papua ke Indonesia pada tahun 1950an

sampai dengan pertengahan 1960an yang kemudian berubah mendukug Papua ke

Indonesia. Hal ini terkait dengan kebijakan AS dan Inggris yang memilih untuk

mendukung Indonesia karena alasan takut Indonesia jatuh ke pengaruh komunis.

Tidak hanya itu pengaruh kebijakan luar negeri Australia atas Timor Timur pada

tahun 1975-1999 juga sangat dipengaruhi kebijakan AS terhadap Timor Timur.

Pengaruh AS terhadap kebijakan luar negeri Australia juga sangat terlihat pada

pemerintahan Howard dari Partai Liberal di mana Howard mengklaim bahwa

(32)

21

Australia merupakan deputi serif AS di kawasan Asia Pasifik (lihat Crithley 1995:

66; Siboro 1996: 179; Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 22; Wuryandari 2001:

62; Bhakti 2001: 25; Tawes 2005: 10-12 dalam situs resmi Parliment of

Australia).

Kebijakan luar negeri Australia pada masa pemerintahan Howard yang

sangat bergantung dan dipengaruhi oleh AS tidak terlepas dari adanya berbagai

masalah baik di kawasan regional maupun internasional seperti, krisis ekonomi

yang terjadi di negara-negara ASEAN pada tahun 1997 yang menyebabkan

perekonomian beberapa negara di Asia termasuk Indonesia mengalami

keterpurukan, kasus terorisme yang melanda AS pada tahun 2001 yang ikut

merubah agenda politik luar negeri AS menjadi perang melawan terorisme, kasus

peledakan Bom di Bali tahun 2002 yang banyak menewaskan warga Australia,

kasus peledakan Bom di depan Kedutaan Besar Australia di Indonesia pada tahun

2004 serta berbagai masalah lainnya, yang mengakibatkan Australia di bawah

pemerintahan Howard semakin berlindung di bawah payung keamanan AS

(Chauvel 2004 dalam Mar‟iyah 2005).

Dari penjelasan yang penulis paparkan di atas, terlihat bahwa sejarah dan

juga demografis dari negara Australia menjadi salah satu faktor yang memang

sangat berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Australia. Kedekatan bilateral

antara Australia dan Inggris maupun Australia dengan AS menjadi pertimbangan

Australia dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya terutama jika

pemerintahan koalisi Liberal berkuasa.

(33)

22

A.2

Faktor Geografis

Selain faktor sejarah yang telah penulis jelaskan, faktor lain yang penting

dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Australia ialah faktor geografis. Hamid

(1999: 387-388) menjelaskan bahwa secara geografis Australia menempati lokasi

yang strategis di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, serta dikelilingi oleh

dua samudera besar, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bagian Barat

Australia diapit oleh Samudera Hindia yang merupakan jalur transportasi yang

menghubungkan Australia dengan benua Afrika, anak benua India dan kawasan

Asia Tenggara; sementara di bagian Timur Australia dikelilingi oleh Samudera

Pasifik yang menghubungkan dengan bagian utara dan selatan benua Amerika.

Pada bagian utara Australia dipagari oleh pulau-pulau Pasifik Selatan, dengan

Indonesia dan Papua New Guinea sebagai penyangga utamanya. Oleh karena itu,

kepentingan Australia terhadap pulau-pulau di utaranya bermakna strategis dalam

sistem pertahanan Australia, yakni sebagai benteng pertahanan dan invasi musuh

dan juga merupakan titik kelemahan utamanya. Hal ini pula yang menyebabkan

Indonesia memiliki posisi strategis dan penting bagi Australia (Hamid 1999:

387-388).

Pentingnya faktor geografis dalam kebijakan-kebijakan luar negeri

Australia pertama kali diakui oleh Menteri Luar Negeri Percy Spender pada tahun

1950 ketika menentang integrasi Papua ke Indonesia karena penentangan itu

dikhawatirkan akan mengancam keamanan Australia (Spender 1950: 12 dalam

Crithley 1995: 80; Adil 1993: 6 dalam Hamid 1999: 387).

(34)

23

Sedangkan Bhakti (2001: 26) menjelaskan bahwa kedekatan geografis

dengan negara-negara Asia di mana negara-negara tersebut memiliki perbedaan

dalam banyak segi ditambah lagi dengan letak Australia yang terlalu jauh dengan

AS dan Inggris membuat Australia sampai dengan pertengahan 1983, memandang

bahwa kedekatannya dengan Asia bukan sebuah hikmah, melainkan sebuah hal

yang menakutkan. Hal ini juga terkait dengan ancaman langsung yang dirasakan

Australia ketika Jepang menyerang Asia Tenggara dan Pasifik Selatan pada

Perang Dunia II yang membuat Australia semakin bergantung terhadap kekuatan

dari negara besar, yakni AS untuk menjamin keamanannya. Ketakutan Australia

terhadap bangsa Asia semakin terlihat ketika Partai Komunis Cina berhasil

mengahalau Partai Nasionalis Cina dari daratan Cina ke Taiwan, akibatnya

muncul persepsi Australia akan bahaya merah atau “Red Peril”. Ketakutan

Australia pada bangsa-bangsa Asia ini menimbulkan kebijakan keamanannya

yang “Mencari Keamanan dari Asia”.

Masuknya Inggris ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (sekarang Uni

Eropa) pada tahun 1972, menyebabkan ekspor Australia ke Inggris menjadi

berkurang (Hamid 1999: 387). Pada saat yang sama, Australia mulai menyadari

bahwa masa depan ekonominya sangat tergantung pada negara-negara Asia,

khususnya Jepang dan Cina. Munculnya “macan-macan Asia” di bidang ekonomi

serta adanya pandangan bahwa abad dua puluh satu merupakan abad Asia, pada

akhirnya bukan saja membuat Australia sadar akan masa depan ekonominya,

namun juga membuat Australia pada tahun 1983, mengubah kebijakan

keamanannya dari “Mencari Keamanan dari Asia” menjadi “Mencari Keamanan

(35)

24

dalam Asia”. Perubahan kebijakan ini dilakukan oleh Pemerintahan Bob Hawke

dari Partai Buruh dan terus bertahan hingga saat ini (Bhakti 2001: 26; Bhakti

2006: 12).

Sedangkan Firth (2005: 45) menilai bahwa perubahan pandangan Australia

ini sebenarnya sudah dimulai sejak Pemerintahan Whitlam dari Partai Buruh,

karena pada masa pemerintahan Whitlam ini Australia mulai terbuka terhadap

imigran dari kawasan Asia karena kebijakan ini perasaan takut dari masyarakat

Australia terhadap negara-negara Asia semakin berkurang. Kebijakan Whitlam ini

kemudian diteruskan oleh para penggantinya seperti, Fraser, Hawke dan juga Paul

Keating.

Adanya perubahan kebijakan terhadap Asia yang telah dilakukan Australia

di bawah pemerintahan Hawke dari Partai Buruh berdampak terhadap semakin

membaiknya hubungan Australia dengan Indonesia pada saat itu. Hal tersebut

juga dikatakan oleh Ryan (1995) bahwa hubungan Australia-Indonesia terjalin

lebih erat lagi terutama pada masa Pemerintahan Paul Keating. Bahkan, secara

tegas Paul Keating mengatakan dalam acara Australian Today Indonesia ’94

Promotion di Sydney pada 16 Maret 1994, seperti yang dikutip oleh Ryan (1995:

201):

“No other country is more important to australia than Indonesia. If

we fail to get this relationship right, and nurture and develope it, the

whole web of our foreign relation is incomplete”.

(Tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia, kecuali

Indonesia. Jika kita tidak berhasil menjalin hubungan baik, memelihara

dan membangun hubungan tersebut, maka keseluruhan jaringan dalam

hubungan luar negeri Australia tidak lengkap).

(36)

25

Konsepsi Paul Keating yang tertuang dalam pernyataan di atas

merupakan perwujudan bahwa jika Australia ingin membangun hubungan yang

lebih baik dengan negara-negara Asia, khususnya Jepang, Cina dan Korea

Selatan, maka Australia harus mampu membangun hubungan yang baik dengan

negara tetangga Asia terdekatnya, yakni Indonesia (Bhakti 2001: 26; Keating

1994 dalam Bhakti 2006: 12).

Pembahasan di atas mengenai pentingnya pengaruh faktor geografis

dalam kebijakan luar negeri Australia menggambarkan bahwa saat ini Australia

tidak lagi hanya melihat dan tergantung dengan AS dan Inggris, tapi juga

bergantung terhadap negara-negara Asia termasuk Indonesia. Hal ini juga

berpengaruh terhadap hubungan Australia dengan negara-negara Asia khususnya

Indonesia.

Kedua faktor yang telah penulis jelaskan, yakni faktor sejarah dan

demografis serta faktor goegrafis merupakan faktor yang selalu dipertimbangkan

dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri Australia. Seperti

yang dikatakan Hamid (1999: 391) bahwa faktor geografi dan sejarah merupakan

faktor tetap yang dipertimbangkan oleh para pemimpin Australia. Namun, masih

ada beberapa faktor lainnya yang juga berpengaruh dalam kebijakan luar negeri

Australia dan penting untuk diketahui lebih lanjut. Penjelasan menganai

faktor-faktor lainnya penulis bahas pada sub bab-sub bab selanjutnya.

(37)

26

A.3

Kepentingan Nasional

Faktor tetap lain yang menjadi pertimbangan dan memiliki pengaruh

penting bagi kebijakan luar negeri Australia selain faktor sejarah dan geografis

menurut Bhakti (2008) ialah kepentingan nasional. Hal ini juga terkait dengan

penjelasan penulis pada bab sebelumnya bahwa kepentingan nasional merupakan

starting point atau titik awal dari kebijakan luar negeri (Evans 1991: 33). Senada

dengan Evans, Frankel mengatakan bahwa kepentingan nasional adalah kunci

kebijakan luar negeri. Oleh sebab itu, kepentingan nasional suatu negara

merupakan pedoman bagi para pembuat kebijakan yang bertujuan untuk

melindungi kepentingan nasional itu sendiri (Frankel 1979 dalam Burchill 2005:

3). Menguatkan pernyataan dari Evans dan Frankel sebelumnya, Bhakti (2001:

31) berpendapat bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu negara dari kebijakan

luar negerinya adalah kepentingan nasional negara tersebut.

Selanjutnya, Bhakti (2001: 31) berargumen bahwa politik luar negeri

Australia bukan hanya perwujudan dari kepentingan domestik Australia yang

harus dicapai dalam hubungan internasionalnya, namun juga bagaimana membuat

Australia menjadi warga negara internasional yang baik. Bhakti memandang

bahwa politik luar negeri Australia memiliki political objectives, security

objectives, dan economic objectives.

Political objectives dari kebijakan luar negeri Australia terdiri dari empat

hal pokok, yakni: pertama, Australia yang lebih aman, baik dari fisik atau

wilayah, ekonomi, budaya, dan politik dalam hal ini termasuk ideologi serta

(38)

27

yang lebih sejahtera; keempat, dunia yang lebih baik. Dari empat hal pokok

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa political objectives dari kebijakan luar

negeri Australia memiliki makna politik, strategis dan ekonomi (Bhakti 2001: 31;

Palfreeman 1988 dalam Bhakti 2008: 20).

Kemudian, dari sisi security objectives, kebijakan luar negeri Australia

bermakna untuk menjaga keamanan Australia baik secara individual

(Self-reliance), dalam kerangka aliansi militer di bawah payung AS seperti SEATO

(South East Asia Treaty Organization) tahun 1954 dan ANZUS (Australia, New

Zealand and The United State) tahun 1951 , serta di bawah payung Inggris (Five

Power Defence Arrangement-FPDA) tahun 1971. Bukan hanya dengan AS dan

Inggris, Australia juga ikut dalam kerangka kerjasama regional, yakni

membangun jaring-jaring kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN

dan Pasifik Selatan, di antaranya melakukan Persetujuan Keamanan Antara

Republik Indonesia-Australia (Agreement on Maintaining Security--AMS) pada

tahun 1995, dan juga menandatangani Perjanjian Kerjasama Keamanan antara

Republik Indonesia dan Australia (Framework Agreement on Security

Cooperation Between The Republic Indonesia and Australia) pada tahun 2006

(Bhakti, Wuryandari dan Muna 1997: 61; Bhakti 2001: 31; Bhakti 2006: 5).

Selain kedua tujuan yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, kebijakan

luar negeri Australia juga mempunyai economic objectives. Artinya, Australia

harus mampu mengaitkan antara kebijakan luar negeri dengan perdagangan

komoditi Australia, bagaimana Australia mampu memainkan perannya dalam

diplomasi ekonomi multilateral seperti di dalam GATT (General Agreements on

(39)

28

Tariffs and Trade) atau WTO (World Trade Organization), World Bank, IMF

(International Monetery Fund) dan lain-lain; mampu membuat Australia

melakukan tukar-menukar kebijakan investasi asing; dan mampu meningkatkan

hubungan ekonominya dengan negara-negara ASEAN, Jepang, Cina, Korea

Selatan AS, Pasifik Selatan dan lain-lain (Bhakti 2001: 32). Hal ini dilakukan

karena pada dasarnya Australia memang sangat bergantung pada perdagangan luar

negerinya. Oleh karena itu, Australia memiliki kepentingan mengamankan

jalur-jalur distribusinya (lihat Hamid 1999: 387). Dari penjelasan yang telah dipaparkan

di atas, penulis menilai bahwa political objectives, security objectives dan

economic objectives merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam

kebijakan luar negeri Australia.

Tujuan-tujuan politik luar negeri itulah yang kemudian dijabarkan dalam

apa yang disebut “kepentingan nasional”. Terkait dengan penjelasan penulis pada

bab sebelumnya bahwa Evans (1991: 33) mengaktegorikan kepentingan nasional

Australia secara luas ke dalam tiga kategori, yakni: pertama,

kepentingan-kepentingan geopolitik dan strategis, yakni usaha untuk memepertahankan

kedaulatan dan kemerdekaan politik Australia. Di dalam hal ini, memiliki dua

dimensi, yakni dimensi global dan regional. Kepentingan langsung Australia

adalah memastikan negara-negara di sekitarnya agar tetap dalam kondisi damai,

stabil, tidak bermusuhan atau setidaknya tetap netral terhadap Australia. Di dalam

Defence White Paper 1987 yang termasuk dalam wilayah ini, yakni wilayah

teritori Australia dan wilayah-wilayah yang terdekat, seperti Indonesia, Papua

New Guinea, New Zealand dan negara-negara lain di wilayah barat daya pasifik

(40)

29

serta negara-negara lain di wilayah Asia Tenggara. Kedua, kepentingan ekonomi

dan perdagangan, hal ini terkait dengan upaya Australia untuk melindungi seluruh

sumber kekayaan alam yang dimilikinya, dalam meningkatkan perdagangan

internasional yang bertujuan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan

bangsa. Meningkatkan nilai ekspor Australia, dan pada saat yang sama

melindungi nilai dan kualitas kehidupan bangsa Australia. Ketiga, kepentingan

nasional Australia adalah bagaimana Australia berusaha untuk menjadi warga

internasional yang baik. Hal ini berhubungan dengan kepedulian Australia

terhadap

masalah-masalah

regional

dan

internasional

yang

seringkali

membutuhkan pendekatan-pendekatan non-militer. Oleh karena itu, Australia

harus memainkan perannya di bidang ini, seperti menangani isu-isu global,

pejagaan perdamaian, kontrol senjata dan lain-lain.

Khusus terhadap Indonesia, menurut Bhakti (Tempo, 21 September 1996)

siapapun yang berkuasa di Australia akan tetap memandang Indonesia sebagai

negara yang penting bagi Australia. Karena dilihat dari segi geostrategis Indonesia

merupakan tameng sekaligus bisa menjadi ancaman bagi Australia. Oleh sebab

itu, Australia berkepentingan untuk menjadikan Indonesia kuat, namun tidak

terlalu kuat untuk menjadi ancaman bagi Australia. Sedangkan, dari segi ekonomi,

Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar baik di bidang produk barang

konsumsi ataupun jasa. Hal ini membuat Australia tetap mempertahankan

forum-forum tahunan tingkat menteri (Ministrial Forum) sejak tahun 1992 dan juga

meningkatkan promosinya di Indonesia yang bertujuan meningkatkan investasi

dan bisnisnya.

(41)

30

Terkait dengan penjelasan di atas, dari wawancara penulis dengan Bhakti

di Jakarta, tanggal 28 Maret 2011, diketahui bahwa pada dasarnya tidak banyak

perbedaan antara kepentingan nasional Australia pada saat Pemerintahan Buruh

berkuasa maupun Pemerintahan koalisi Liberal. Hanya saja di dalam mencapai

kepentingan nasional tersebut, meski substansinya sama, terdapat perbedaan

pendekatan di dalam melakukan kebijakan luar negeri Australia antara Perdana

Menteri dari Partai Buruh dengan Perdana Menteri Partai koalisi Liberal.

Pemaparan di atas menggambarkan bahwa Indonesia memiliki posisi

strategis bagi kepentingan nasional Australia. Seperti yang telah diuraikan di atas,

bahwa pertama, dari kepentingan geopolitik dan strategis, Australia memiliki

kepentingan untuk memastikan Indonesia sebagai negara tetangga terdekatnya

untuk tetap dalam kondisi damai, stabil dan tidak bermusuhan atau setidaknya

tetap netral terhadap Australia; kedua, dari kepentingan ekonomi, posisi Indonesia

menempati posisi strategis bagi jalur perdagangan luar negeri Australia selain itu

sebagai negara yang memiliki penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia

merupakan pangsa pasar kedelapan terbesar bagi Australia. Walaupun tidak

sebesar Jepang, Cina dan Korea Selatan, namun perdagangan luar negeri dengan

Indonesia tetap menguntungkan bagi Australia.

A.4.

Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Australia

Menurut Bhakti (2001: 33) politik luar negeri memiliki tingkat

kerahasiaan tertentu dibandingkan masalah-masalah politik domestik. Karena

sifatnya yang rahasia serta berhubungan dengan pertahanan nasional, maka

(42)

31

kontrol dari politik luar negeri berada di tangan eksekutif. Penjelasan dari Bhakti

tersebut sejalan dengan Smith (1992: 22) bahwa di Australia peran utama dalam

kebijakan luar negeri dimainkan oleh eksekutif yang memiliki hak prerogatif.

Di dalam membuat kebijakan luar negeri ada beberapa hal yang harus

dipertimbangkan, antara lain: sensitifitas negara-negara lain, kecanggihan

diplomasi, serta mengobservasi tuntutan-tuntutan intelejen militer. Selain itu,

pembuatan kebijakan luar negeri memerlukan informasi yang banyak dan juga

akurat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karenanya, Pemerintah

melalui organisasi-organisasi birokratisnya mengumpulkan, menganalisa dan

menelaah data yang datang terus menerus itu yang bertujuan untuk memberikan

gambaran yang komperhensif atas semua pristiwa yang terjadi (Bhakti 2001 dan

Firth 2005).

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa peran birokrasi amatlah

penting. Birokrasi yang dominan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri

Australia ialah Depertemen Luar Negeri dan Perdagangan serta Departemen

Pertahanan. Dalam skala yang lebih rendah, kedua departemen tersebut dapat

membuat keputusan mengenai kebijakan luar negeri tanpa harus melalui proses

yang panjang (lihat Bhakti 2001; Firth 2005: 77-78).

Politik luar negeri juga cenderung menuntut tindakan yang cepat.

Sebagai contoh ialah, krisis dalam hubungan antara Australia dan Indonesia,

kebijakan Whitlam terhadap terhadap Timor Timur pada tahun 1974-1975,

penandatanganan Kerjasama Pemeliharaan Keamanan Australia-Indonesia tahun

1995, diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Kevin Rudd terhadap Indonesia

(43)

32

terkait kasus terpidana mati Bali Nine beberapa waktu setelah menjabat sebagai

Perdana Menteri. Tindakan-tindakan yang dibuat dilakukan dalam waktu yang

sempit, maka tidak mungkin untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan kabinet,

parlemen ataupun partai-partai politik (Bhakti 2001: 34; Chega 2005: 28; ).

Hal lain yang penting untuk diingat dalam politik luar negeri adalah

ketidak jelasan batasan antara isu politik, militer dan ekonomi karena isu-isu ini

merupakan unsur dari kebijakan luar negeri yang saling berkaitan satu sama lain

dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, para pembuat kebijakan luar negeri

harus mampu mempertimbangkan berbagai faktor domestik dan internasional baik

dari segi politik, militer dan ekonomi. Hal ini terkait dengan penjelasan

sebelumnya bahwa pemeran utama dari proses pembuatan kebijakan luar negeri

semua negara termasuk Australia adalah eksekutif, namun institusi-institusi lain

seperti partai politik, parlemen, kelompok kepentingan, publik dan media pun ikut

mempengaruhi pembuat keputusan (Malhotra 2004: 186).

Pertama, Eksekutif. Terkait dengan penjelasan di atas dan juga

penjelasan pada Bab I bahwa kebijakan luar negeri Australia sebagian besar

dimainkan oleh eksekutif. Dalam prakteknya istilah kekuatan eksekutif

pemerintah mengacu pada Perdana Menteri dan menteri-mentari lainnya. Namun

demikian, aktor utama yang memainkan kebijakan luar negeri adalah Perdana

Menteri, di mana bentuk dan gaya setiap Perdana Menteri berbeda-beda dalam

memimpin (Smith 1992: 22-23). Senada dengan pernyataan tersebut Bahkti

(2001) menilai bahwa setiap kabinet di Australia memiliki Komite yang

menangani masalah poltik luar negeri dan pertahanan, di mana Perdana meneteri,

(44)

33

Menlu, Menteri Pertahanan dan Bendahara Negara menjadi anggotanya. Namun,

hal ini amat bergantung pada Perdana Menteri dalam memainkan perannya serta

hubungan antara Perdana Menteri dengan Menlunya misalnya, Perdana Menteri

Whitlam yang memang sangat dominan dalam menjalankan kebijakan luar

negerinya karena saat ia memerintah ia sangat jarang memanggil rapat anggota

Komite Luar Negeri dan Pertahanan. Kemudian, Perdana Menteri Fraser juga

mendominasi kebijakan luar negeri, sedangkan Perdana Menteri Hawke

cenderung kurang dominan bila dibandingkan dengan Whitlam dan Fraser. Pada

masa Paul keating, kebijakan luar negeri Australia khususnya terhadap Indonesia

sangat dipengaruhi oleh peran dari Keating. Begitupula pada masa pemerintahan

John Howard dan Kevin Rudd dimana kedua Perdana Menteri tersebut dinilai

sangat dominan dalam merumuskan dan melaksankan kebijakan luar negeri

Australia (Bhakti 2001: 36; Kelly 2006; Gyngell 2008).

Kedua, parlemen. Menurut Bhakti (2001: 37) dan Firth (2005: 86) meski

parlemen kalah dominan dibandingkan dengan eksekutif dalam proses

pembentukkan kebijakan luar negeri, namun para anggota parlemen dapat

mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut melalui “Joint Committee on

Foreign Affairs and Defence”. Hal ini juga bisa dilakukan secara individual, yakni

jika para anggota parlemen yang memiliki keinginan di bidang luar negeri dan

pertahanan juga dapat mempengaruhinya dengan bantuan para staf ahlinya serta

ditunjang dengan informasi yang ada di Perpusatakaan Parlemen Australia.

Ketiga, Partai Politik. Partai-partai politik di Australia merupakan lembaga

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat pengaruh pengetahuan produk terhadap minat menabung pada BMT Yaummi Maziy ah Assa’adah, berdasarkan dengan nilai t hitung yang lebih besar dari t

Analisis Pengaruh Koneksi Politik, Karakteristik Dewan Komisaris, Karakteristik Komite Audit, Karakteristik Perusahaan dan Karakteristik Auditor Terhadap Audit Fee Eksternal

Berdasarkan fenomena dan penelitian yang dialami mengenai banyaknya konflik yang terjadi dalam perkawinan/ berkeluarga tidak hanya terjadi oleh pasangan suami istri, namun

Definisi agama (yuridis) dalam UU PNPS 1965 tidak memberikan pengertian yang memadai (kekosongan hukum), sampai beberapa waktu lalu masih dijadikan senjata ampuh

Naskah Apa Kabar Jogja Page 1 29/10/2010 Para pengelola dan anggota yang tergabung dalam PRSSNI  Persatuan Radio Siaran. Swasta Nasional Indonesia/kemarin jumat

“ Keefektifan Teknik Role-Play Untuk Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Interpersonal Remaja (Penelitian Kuasi Eksperimen Pada Siswa Kelas XI SMAN 1 Rembang Tahun

Based on the explanation above, the writer then states that when the reading comprehension appears, there is a connection between the reader and the reading material, because

Pe nelitian berjudul “ Kajian Bentuk dan Makna Verba Berprefiks ber- dalam Cerpen Karya Siswa di SMP Negeri 2 Purwokerto Tahun Pelajaran 2014-2015 ” bertujuan untuk