KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL
BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA
DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
(SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSIDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Agustina Galuh Prabaningtyas NIM: 091224036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKLUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL
BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA
DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
(SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSIDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Agustina Galuh Prabaningtyas NIM: 091224036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL
BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA
DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
(SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSIDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Agustina Galuh Prabaningtyas NIM: 091224036
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus dan Bunda Maria
Bapak Ignatius Subagio dan Ibu MB. Rahayu
Kakakku Gregorius Galih Prabowo
Saudara, Sahabatku
v
Motto
“Pengetahuan diperoleh dengan belajar, kepercayaan dengan keraguan, keahlian dengan berlatih, dan cinta dengan mencintai”
(Thomas Szasz)
“Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan, tapi dengan ketekunan dan kegigihan”
(Samuel Jhonson)
“Kita hidup untuk saat ini, kita bermimpi untuk masa depan, dan belajar untuk kebenaran abadi”
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,19 November 2013
Penulis
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Agustina Galuh Prabaningtyas
NIM : 091224036
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL
BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA (SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolalanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberi royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakart, 19 November 2013 Yang Menyatakan
viii
ABSTRAK
Prabaningtyas, Agustina Galuh. Konflik Batin Tokoh Setadewa dalam Novel
Burung-burung Manyar Karya YB. Mangunwijaya dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra).
Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji Konfik Batin Tokoh Setadewa dalam novel
Burung-burung Manyar karya YB. Mangunwijaya dan implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra). Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan alur, latar, karakteristik tokoh dan konflik batin yang dialami tokoh Setadewa, serta implementasi dalam pembelajaran sastra di SMA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Dengan mengguakan metode ini, peneliti membagi tiga tahap. Pertama, peneliti menganalisis alur, latar, dan karakteristik tokoh Setadewa dalam novel
Burung-burung Manyar. Kedua, peneliti menggunakan hasil analisis pertama
untuk menggali konflik batin yang dialami oleh tokoh Setadewa. Ketiga, implementasi novel Burng-burung Manyar untuk pembelajaran sastra di SMA.
Analisis struktur novel Burung-burung Manyar meliputi alur, latar dan karakteristik tokoh utama. Watak dari Setadewa sebagai tokoh utama dalam novel
Burung-burung Manyar yaitu jujur, setia, liar, pemberontak, dan berani. Latar
tempat yang membuat terbentuknya konflik batin yang dialami tokoh Setadewa adalah Dalem, Tanah Abang (Jakarta), Magelang, Istana Soekarno. Latar waktu yang mempengaruhi konflik batin tokoh Setadewa adalah tahun 1944 ayahnya ditangkap oleh Jepang; tahun 1945 wanita yang Setadewa sayangi, yaitu Atik berpihak kepada Republik; tahun 1968—1978. Latar sosial dalam novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Tema novel ini adalah perjuangan hidup seorang pria untuk memperoleh kehidupan yang layak.
Dari hasil analisis psikologi sastra dapat disimpulkan bahwa kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri tidak terpenuhi dari Setadewa. Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut menimbulkan rasa takut, tidak percaya diri, emosional, dan frustasi.
ix
XII semester I. implementasi pembelajaran sastra di SMA yaitu Menanggapi
pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan,
x
ABSTRACT
Prabaningtyas, Agustina Galuh. Setadewa’s Inner Conflicts in the Novel
Burung-Burung Manyar Written by YB. Mangunwijaya and the Implementation in Literature Learning in Senior High Schools (A Psychological Literature Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Sanata Dharma University.
This research examined Setadewa’s Inner Conflicts in the Novel Burung -Burung Manyar Written by YB. Mangunwijaya and the Implementation in Literature Learning in Senior High Schools (A Psychological Literature Review). The approach used in this research was psychological literature approach. This
research was aimed to describe the plots, settings, character’s characteristics, and
inner conflicts experienced by Setadewa, and the implementation in literature learning in Senior High Schools.
The method used in this research was descriptive analysis method. Using this method, the researcher divided it into three steps. First, the researcher
analyzed the plots, settings, and Setadewa’s characteristics in the novel Burung-Burung Manyar. Second, the researcher usedthe results of the first analysis to dig
up the inner conflicts experienced by Setadewa. Third, the implementation of the novel Burung-Burung Manyar was for literature learning in Senior High Schools.
The structural analysis of the novel Burung-Burung Manyar included the
plots, settings, and main character’s characteristics. Setadewa, the main character
in the novel Burung-Burung Manyar was honest, faithful, wild, rebellious, and brave. The places that created Setadewa’s inner conflicts were Dalem, Tanah
Abang (Jakarta), Magelang, Istana Soekarno. The time settings that influenced
Setadewa’s inner conflicts were the year of 1944, his father was caught by Japan;
in 1945, Atik, someone whom Setadewa loved, took side with the Republic; from 1968 until 1978. The social settings in this novel described the life of society occupied by The Netherlands and Japan.The theme of this novel was a man’s life
struggle for his proper life.
Based on the results of psychological literature analysis, it could be
concluded that Setadewa’s physiological needs, needs for feeling secure, needs for
possessing and love, needs for appreciation, and needs for self-actualization were not fulfilled. Consequently, it made him afraid, unconfident, emotional, and frustrated.
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya, maka skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Peneliti menyadari bahwa proses menyususn penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia; Rohandi, Ph.D., selaku Dekan FKIP yang telah memberikan kesempatan dan berbagai kemudahan berkaitan dengan penyususnan skripsi ini.
2. Setya Tri Nugraha, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal hingga penulisan skripsi ini selesai.
3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang selalu memberi masuk penulis dalam menyusus skripsi dari awal hingga penulisan skripsi ini selesai.
4. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membekali ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Univeritas Sanata Dharma.
5. Karyawan sekretariat PBSI, FKIP yang dengan ramah telah mempelancar urusan akademik dan administrasi perkuliahan yang diperlukan penulis.
6. Bapak Ignatius Subagio dan Ibu Maria Bernadheta Rahayu yang telah mendukung penulis baik secara material dan spiritual kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
xii
memberi dukungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak memberi dukungan dan perhatian sampai terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, berbagai saran, masukan dan kritik yang membangun demi sempurnanya skripsi ini agar lebih baik dan bermanfaat sangat penulis harapkan. Semoga berkat dan rahmat Tuhan selalu menyertai setiap langkah kita. Amin
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv
MOTTO……… v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. vi
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI………. vii
ABSTRAK……… viii
ABSTRACT……….. x
KATA PENGANTAR………. xi
DAFTAR ISI……… xiii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1.1Latar Belakang………. 1
1.2Rumusan Masalah………... 5
1.3Tujuan Penelitian……… 5
1.4 Manfaat Penelitian………... 6
1.5Batasan Istilah………. 6
1.6Sistematika Penyajian………. 7
BAB II LANDASAN TEORI………... 9
2.1 Penelitian Relevan……….. 9
xiv
2.2.1 Tokoh………. 11
2.2.2 Perwatakan………. 12
2.2.3 Alur………. 20
2.2.4 Latar……… 23
2.3 Teori Psikologi………... 24
2.4 Pembelajaran Sastra di SMA………... 33
KTSP……… 35
2.4.1 Silabus……… 36
2.4.2 RPP………. 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 45
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian……… 45
3.2 Metode Penelitian………... 45
3.3 Sumber Data……… 46
3.4 Teknik Pengumpulan Data………... 47
3.5 Teknik Analisis Data……….. 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ANALISIS NOVEL BURUNG-BURUNG MANYAR………. 48
4.1Alur……… 48
4.1.1 Paparan……… ……... 50
4.1.2 Rangsangan………. 51
4.1.3 Gawatan……….. 52
4.1.4 Tikaian………. 53
4.1.5 Rumitan……… 54
4.1.6 Klimaks……… 60
4.1.7 Leraian………. 61
4.1.8 Selesaian………... 62
xv
4.2.1 LatarTempat………... 64
4.2.2 Latar Waktu………. 71
4.2.3 Latar Sosial……….. 76
4.3Keterkaitan Antarunsur Latar………. 82
4.4Analisis Karakteristik Tokoh Setadewa………. 89
4.4.1 Metode Langsung……… 90
4.4.2 Metode Tidak Langsung………. 96
4.5Analisis Psikologi Tokoh Setadewa……….. 105
4.5.1 Analisis konflik batin terkait dengan latar……… 105
4.5.2 Analisis konflik batin terkait dengan alur……… 107
4.6 Analisis konflik batin menggunakan teori AbrahamMaslow……… 111
4.6.1Kebutuhan Akan Fisiologis……… 112
4.6.2Kebutuhan Akan Keamanan……… 113
4.6.3Kebutuhan Akan Cinta dan Memiliki………... 116
4.6.4Kebutuhan Akan Penghargaan………. 119
4.6.5Kebutuhan Akan Aktualisasi diri………. 122
4.7 Akibat Tidak Terpenuhi Kebutuhan Dasar……… 125
4.7.1 Rasa Takut (Kebutuhan akan keamanan dan cinta)……… 126
4.7.2 Tidak Percaya Diri (Kebutuhan akan cinta ) ………. 127
4.7.3 Emosional (Kebutuhan akan penghargaan)……….. ……… 128
4.7.4 Frustasi (Kebutuhan akan fisiologis, keamanan, cinta, penghargaan dan aktualisasi diri)………. 128
BAB V PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA……… 130
xvi
5.1.2 RPP……….. 141
BAB VI PENUTUP………... 184
6.1 Kesimpulan……….. 184
6.2 Implikas………... 185
6.3 Saran………. 186
DAFTAR PUSTAKA………. 187
LAMPIRAN………
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan
seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapnya (Sudjiman,
1990:71). Karya sastra dibangun oleh pengarangnya sebagai hasil rekaman kreatifnya
berdasarkan perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas sosial dan
lingkungan masyarakat di mana pengarang itu hidup dan berkembang (Sumardjo,
1984:15).
Menurut KBBI (2007:1002) sastrawan adalah ahli sastra, pujangga; pengarang
prosa dan puisi; (orang) pandai-pandai; cerdik cendekia disebut sastrawan. Salah satu
sastrawan Indonesia yang karya sastranya memberi pengaruh terhadap perkembangan
sastra di Indonesia yaitu YB. Mangunwijaya yang juga sebagai rohaniwan, arsitek,
budayawan, sastrawan dan aktivis. Karya sastra khususnya novel yang telah
dihasilkan oleh YB Mangunwijaya yaitu Burung-Burung Manyar (1981), Romo
Rahadi (1981), Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Balada Becak (1985), Durga
Umayi (1985), Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, dimuat
1982-1987, Burung-Burung Rantau (1992), Balada dara-dara Mendut (1993). Beliau juga
1996. Mangunwijaya mampu menggambarkan situasi yang sedang terjadi melalui
karya sastranya. Beliau termasuk sastrawan angkatan tahun 1980-an yang di mana
karya-karyanya berlatar belakang sejarah Indonesia.
Karya sastra YB Mangunwijya ini sudah banyak diteliti dengan berbagai
pendekatan. Macam-macam pendekatan dalam karya sastra yaitu pendekatan
struktural, pendekatan semiotik, pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis,
pendekatan feminisme, pendekatan postkolonialisme,dll. Karya sastra YB
Mangunwijaya khususnya novel yang telah diteliti dengan berbagai pendekatan yaitu
novel Durga Umayi dengan judul “Gaya dan Fungsinya dalam Novel Durga Umayi
Karya YB. Mangunwijaya (suatu Kajian Stilistika) oleh Alfian Rokhmansyah 2009.
Selanjutnya Novel Burung-burung Rantau dengan judul “Multikuturalisme dalam
Novel Burung-burung Rantau dengan Analisis Semiotik Karya YB. Mangunwijaya”
oleh Ali Imron-Ma’ruf, 2011, dan novel Trilogi dengan judul “Pemberontakan
Perempuan dalam novel (Analisis Wacana Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk duku,
dan Lusi Lindri Karya YB. Mangunwijaya” oleh Rohmadtika Dita 2012.
Tjahjono (1988:159) mengatakan, sastra dibagi tiga genre yaitu drama, puisi,
dan prosa. Prosa yang merupakan salah satu gener sastra dibagi menjadi dua, yaitu
prosa fiksi dan prosa non fiksi. Novel termasuk salah satu dalam prosa fiksi. Novel
adalah cerita yang mengisahkan bagian penting dari episode kehidupan manusia dan
panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa
dan latar secara tersusun.
Memahami karya sastra dapat dilakukan dengan menganalisis unsur intrinsik
dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu unsur yang membangun sebuah karya
sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik yaitu unsur yang
membangun sebuah karya dari luar karya sastra tersebut.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesaia di SMA materi mengenai sastra juga
terdapat di dalam kurikulum yang wajib diajarkan oleh guru. Salah satu karya sastra
yang wajib diajarkan oleh guru yaitu novel. Karya sastra seperti novel ini banyak
pesan moral yang terkandung dalam ceritanya. Dengan demikian, siswa diharapkan
dapat mengambil pesan-pesan dalam novel tersebut dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Peneliti memilih novel yang berjudul Burung-burung Manyar karya Y.B
Mangunwijaya karena dapat diterapkan di dalam pembelajaran sastra dan isi dari
novel ini menceritakan zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Cerita ini dikemas
sedemikian sehingga dapat menarik pembaca dan menambah wawasan mengenai
sejarah dilihat dari sudut pandang sastra. Tidak hanya itu novel ini juga menceritakan
kisah cinta Setadewa atau kerap dipanggil Teto dan Atik yang tidak pernah menyatu.
Dalam novel ini juga menceritakan kebiasaan yang dilakukan burung manyar
jantan setelah dewasa akan merakit sarang dan manyar betina hanya memilih yang
mereka sukai. Bagi sarang manyar jantan yang tidak terpilih akan kecewa dan
tidak terpilih. Kesedihan dan kegagalan yang dialami oleh manyar jantan juga
dialami oleh Seta ketika mengetahui bahwa Atik yang selama ini diidamkannya telah
menjadi milik orang lain. Namun Seta lekas bangkit dan berusaha menerima Atik
sebagai adik angkatnya.
Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk menganalisis konflik
batin tokoh utama yang ditinjau dari segi psikologis dalam menghadapi kenyataan
hidupnya. Fokus penelitian ini pada aspek karakterisasi tokoh Setadewa dalam novel
Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya. Selain karakterisasi, pembahasan
akan diarahkan pada konflik batin tokoh utama dalam novel ini. Setelah mengetahui
tentang karakterisasi dan konflik batin, dalam penelitian ini juga dipaparkan
implementasi hasil untuk pembelajaran. Hasil dari analisis konflik batin ini akan
digunakan sebagai materi pembelajaran sastra SMA untuk kelas XII.
Kajian yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan pendekatan
psikologis ditinjau dari sisi perspektif kepribadian humanistik Abraham Maslow.
Pendekatan ini dipilih karena berkaitan dengan psikologi tokoh utama yaitu
Setadewa. Pendekatan ini akan membahas mengenai lima tahapan yang berakhir apa
aktualisasi diri. Tahapan yang pertama fisiologi, keamaman, cinta dan keberadaan,
penghargaan, dan aktualisasi diri. Dalam penelitian ini, khususnya tokoh Setadewa
harus berupaya memenuhi dan mengekspresikan dirinya yang kerap kali terhambat
oleh dirinya dan lingkungan. Selanjutnya hasil analisis ini akan diimplementasikan di
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diteliti pada penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana alur dan latar dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B
Mangunwijaya?
2. Bagaimanakah karakteristik tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung
Manyar karya Y.B Mangunwijaya?
3. Bagaimanakah konfik batin tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung
Manyar karya Y.B Mangunwijaya?
4. Bagaimanakah implementasi hasil analisis dengan pendekatan psikologi
sastra tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B
Mangunwijaya dalam pembelajaran sastra di SMA?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti mendeskripsikan empat tujuan,
yaitu:
1. Mendeskripsikan alur dan latar dalam novel Burung-burung Manyar karya
Y.B Mangunwijaya
2. Mendeskripsikan karakteristik tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung
3. Mendeskripsikan konfik batin tokoh setadewa dalam novel Burung-burung
Manyar karya Y.B Mangunwijaya
4. Mendeskripsikan implementasi hasil analisis dengan pendekatan psikologis
tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B
Mangunwijaya dalam pembelajaran sastra di SMA
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan
untuk:
1. Menambah kajian kritik sastra dengan pendekatan psikologis sastra.
2. Memberikan sumbangan bagi pembelajaran di SMA khususnya yang
berkaitan dengan sastra.
1.5 Batasan Istilah
Dalam penelitian ini terdapat batasan istilah yang bertujuan menghindari salah
tafsir. Batasan istilah tersebut adalah :
1. Pedekatan psikologi merupakan penelaahaan sastra yang menekankan pada
segi-segi psikologi yang terdapat dalam suatu kraya sastra yang dapat
diarahkan kepada pengarang, pembaca, dan teks sendiri (karya). Selain itu
psikologi juga mempelajari proses-proses kejiwaan maka psikologi dapat
diikutsertakan dalam studi sastra. Hal ini disebabkan jiwa manusia
2. Karakteristik adalah karakterisasi atau dalam bahasa Inggris
characterization, berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode karakterisasi
dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang
terdapat dalam suatu karya fiksi. (Minderop, 2005:2).
3. Konfik batin adalah keadaan pertentangan antara dorongan-dorongan yang
berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang
(Heerdjan,1987:31)
4. Novel adalah Prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh
dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Istilah
lain: Roman.(Sudjiman, 1990:55).
5. Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu
kegiatan yang terencana untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 200:70).
1.6 Sistematika Penyajian
Dalam penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I yaitu pendahuluan yang bersisi
tentang latar belakang masalah yang akan diteliti mengenai psikologi tokoh Setadewa
dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya (suatu tinjauan
psikologis sastra) dan implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Selain
itu, penelitian ini juga memaparkan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
yang terdiri dari penelitian relevan dan kerangka teori. Bab ini menjelaskan teori yang
akan digunakan sebagai dasar penelitian. Bab III yaitu metodelogi penelitian yaitu
berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian yang akan dilakukan, metode
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sumber data.
Bab IV berisi mengenai alur dan latar belakang dalam novel, karekteristik tokoh
Setadewa, konflik batin tokoh Setadewa dengan pendekatan psikologi sastra dalam
novel Burung-burung Manyar. Selanjutnya bab V membahasa tentang implementasi
novel Burung-burung Manyar dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam bab ini
akan dipaparkan silabus dan RPP yang sesuai dengan pembelajaran sastra. Bab VI
atau bab penutup berisi kesimpulan tentang penelitian yang dilakukan, implikasi dari
9 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Relevan
Ada tiga penelitian yang relevan dengan topik ini yaitu penelitian Irsasri (2011)
dengan judul “Novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya (Tinjauan
Sosiologi Sastra, Perspektif Historis, dan Nilai Pendidikan)”, penelitian Sunarjo
(1986) dengan judul “Suatu Pendekatan tentang Pertautan Sintaksis dalam Roman
Burung-burung Manyar”, dan penelitian Santoso (1987) dengan judul “Roman
Burung-burung Manyar Sebagai Karya sastra dan Nilai Pendidikannya bagi
Pembinaan Watak Siswa SMTA Sebuah Pendekatan Struktural”
Penelitian Irsasri dengan judul “Novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B.
Mangunwijaya (Tinjauan Sosiologi Sastra, Perspektif Historis, dan Nilai
Pendidikan)”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan metode
kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis. Hasil penelitian meliputi: (1) hasil
analisis sosiologi pengarang yang mewarnai cerita dalam novel mencakup: (a)
riwayat hidup pengarang (b) pengarang sebagai rohaniwan, (c) filosofi yang
mendasari cerita novel. (2) latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel
Burung-Burung Manyar adalah (a) pendidikan, (b) pekerjaan, (c) bahasa, (d) tempat
beberapa periode yaitu (a) periode 1934-1944 masa revolusi perjuangan Republik
Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, (b) periode 1945-1950 masa Republik
Indonesia mempertahankan kedaulatan negara yang harus berjibaku dengan berbagai
tindak konfrontatif Belanda, (c) periode 1968-1978 atau masa orde baru yang
menumbuhkan masa pembangunan yang masih terjadi ketimpangan dan ketidak
jujuran diberbagai bidang. (4) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel
Burung-burung Manyar adalah (a) nilai hedonisme, nilai kesenangan dan kenikmatan
atas dasar penangkapan inderawi, (b) nilai vital kehidupan, yang mendukung
kehidupan dan peradaban menyangkut pengalaman yang lebih mendalam, (c) nilai
kerohanian, nilai esteti menyangkut rasa keindahan nilai epistemologis dan (d) nilai
kesucian, tataran tingkat tertinggi pencapaian rasa dan keheningan batin manusia
dalam kehidupan di dunia.
Penelitian Sunarjo (1986) dengan judul “Suatu Pendekatan tentang Pertautan
Sintaksis dalam Roman Burung-burung Manyar”. Penelitian ini menggunakan
metode pengamatan atau observasi. Hasil dari penelitian ini, meliputi: 1.
Bentuk-bentuk sintaksis dalam roman BBM kiranya dapat dikatakan sungguh terjalin dalam
sistem bahasa Indonesai, 2. Berdasarkan kriteria mana pun, apresiasi terhadap roman
BBM menumbuhkan pemahaman pikiran yang manis dan penuh guna, 3.
Prawayangan dan roman Burung-burung Manyar ternyata menunjukan adanya
kesejajaran, baik dalam alur, penokohan, latar, tema, teknik penceritaan, maupun
petunjuk bahwa Y.B. Mangunwijaya adalah pengarang yang senantiasa dan selalu
mengusahakan meningkatkan kualitas, termasuk dalam menulis.
PenelitianSantoso (1987) dengan judul “Roman Burung-burung Manyar Sebagai
Karya sastra dan Nilai Pendidikannya bagi Pembinaan Watak Siswa SMTA Sebuah
Pendekatan Struktural”. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural. Hasil dari
penelitian ini: 1. Roman Burung-burung Manyar pada dasarnya memang roman
serius. Hal ini terlihat dari permasalahan yang dikemukakan roman yaitu masalah
revolusi fisik di Indonesia, 2. Roman Burung-burung Manyar adalah sebuah karya
sastra yang memiliki kelengkapan unsur fiksi. Unsur tersebut saling berkaitan untuk
membentuk kebulatan (totalitas), 3. BBM adalah roman yang serius yang kaya akan
nilai-nilai yang berfungsi sebagai cerminan kualitas hidup, 4. BBM adalah roman
yang coba mengungkapkan revolusi Indonesia secara objektif.
2.2 Unsur Intrinsik 2.2.1 Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di
dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1990:79). Menurut
Nurgiyantoro (2010: 176-177) tokoh berdasarkan segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh
novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang
hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun
mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
Nurgiyantoro (2010: 178) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh
dibedakan menjadi dua yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
(Altenbernd & Lewis, 1966:59 dalam Nurgiyantoro) tokoh protagonis adalah
tokoh yang kita kagumi—yang salah satu jenisnya secara popular disebut
hero—tokoh yang merupakan pengejawantahan normal-normal, nilai-nilai,
yang ideal bagi kita. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh dalam karya
sastra yang merupakan penentang utama dari tokoh utama (Sudjiman,
1990:7).
Nurgiantoro (2010: 181-183) berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita
dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau bulat.
Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja.
Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya
mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki
dan diungakap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan
jati dirinya.
2.2.2 Perwatakan
Egri (1946:33 dalam Sukada) perwatakan seorang tokoh memiliki tiga
Pada umumnya jenis perwatakan dalam sebuah novel ada dua macam, yaitu
perwatakan datar dan perwatakan bulat. Perwatakan datar adalah
masing-masing tokoh dilukiskan hanya dengan satu sudut, selamanya baik-baik saja,
atau sebaliknya, selama buruk-buruk saja. Perwatakan bulat adalah
melukiskan seseorang tokoh secara kompleks dari berbagai dimensi
(Montague dan Henshaw, 1966:14; Froster, 1970:75-85; Abrams, 1981:20
dalam Sukada).
Selanjutnya perwatakan dikategorikan dalam dua macam perkembangan
yaitu perwatakan dinamis dan perwatakan statis. Perwatakan dinamis yaitu
perwatakan yang mengalami perkembangan, sedangkan perwatakan statis
tidak mengalami perubahan (Montague dan Henshaw, 1966:14 dalam
Sukada). Scholes dan Kollog (1966:169 dalam Sukada) membedakan dua
macam dinamik atau perkembangan perwatakan tersebut, masing-masing
basis yang berhubungan dengan etnik dan basis yang berhubungan temporal
kronologis. Yang pertama berubah karena faktor etnis sebagai dasar,
sedangkan yang kedua berubah karena dasar perkembangan waktu.
Berhasilnya suatu perwatakan bisa menimbulkan kepercayaan terhadap
cerita: pembaca harus merasakan bahwa tokoh-tokoh tersebut berlaku seperti
dalam kehidupan sebenarnya Hardy (1996:304-5) (dalam Sukada,1987: 63).
Uraian mengenai cara menggambarkan karakterisasi ini terperinci
diberikan oleh M. Saleh Saad, yang dapat diuraikan pokok-pokonya di sini,
a) Cara Analitik: pengarang dengan kisahnya dapat menjelaskan
karakteristik seorang tokoh
b) Cara Dramatik: menggambarkan apa dan siapanya tokoh itu tidak secara
langsung, tetapi melalui hal lain, seperti
1. Menggambarkan tempat atau lingkungan sang tokoh
2. Cakapan (percakapan) antara tokoh dengan tokoh lain, atau
percakapan tokoh-tokoh lain tentang dia
3. Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain atau dia
4. Perbuatan sang tokoh
c) Cara Analitik yang panjang ditutup dengan dua-tiga kalimat cara
dramatic, dan cara dramatic yang panjang ditutup dengan dua-tiga kalimat
cara analitik (Lukman Ali,ed, 1967:123-4) (dalam Sukada,1987:64-65).
Selanjutnya, karakterisasi tokoh diperdalam lagi oleh Mindrop dalam
bukunya yang berjudul Metode Karakterisasi Telaah Fiksi (Minderop, 2005:
8-49), dijelaskan secara detail tentang telling dan showing. Metode langsung
(telling) pemaparan dilakukan secara langsung oleh si pengarang.
A. Metode langsung ini mencakup: Melalui Penggunaan Nama Tokoh,
Melalui Penampilan Tokoh, dan Karakterisasi Melalui Tuturan Pengarang.
1. Karakterisasi Menggunakan Nama Tokoh
Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk
memberikan ide atau menumbuhkan gagasan, memperjelas serta
melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh
lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh.
Misalnya, tokoh Edward Murdstone dalam David Copperfield karya
Charles Dickens; (stone sama dengan batu—keras) berarti si tokoh
memiliki watak yang keras.
Penggunaan nama dapat pula mengandung kiasan (allusion) susastra
atau historis dalam bentuk asosiasi. Nama Ethan Brand dalam Ethan
Brand karya Nathaniel Hawthorne, mengacu pada tokoh pembakar kapur
yang gemar bertualang. Nama ini mengandung kiasan dengan tanda
(brand) terhadap Cain, pewaris dosa sehingga Brand dibuang
sebagaimana ajaran yang terdapat dalam kitab Injil. Pembaca perlu pula
mencermati penggunaan nama secara ironis yang dikarakterisasikan
melalui inversion (kebalikannya). Demikianlah, melalui penamaan
tersebut tidak saja watak si tokoh yang tampak, bahkan tema suatu novel,
ceritera pendek atau drama dapat terungkap melalui cerminan karakter
para tokoh (Minderop, 2005: 8-10).
2. Karakterisasi Melalui Penampilan Tokoh
Dalam suatu karya sastra, faktor penampilan para tokoh memegang
peran penting sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh
dimaksud misalnya, pakaian apa yang dikenakannya atau bagaimana
tentang usia, kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan si tokoh.
Dari pelukisan ini tampak apakah tokoh merupakan sosok yang kuat,
terkadang lemah, relatif bahagia, tenang atau kadang kala kasar.
Sesungguhnya perwatakan tokoh melalui penampilan tidak dapat
disangkal terkait pula kondisi psikologis tokoh dalam cerita rekaan.
Misalnya, seorang tokoh dengan kondisi fisik tinggi dan langsing
biasanya diasosiasikan dengan watak intelektual atau tipe tokoh astetis
agak tertutup dan introspektif.
Metode perwatakan yang menggunakan penampilan tokoh
memberikan kebebasan kepada pengarang untuk mengekspresikan
persepsi dan sudut pandangnya. Secara subjektif pengarang bebas
menampilkan appearance para tokoh, yang sacara implicit memberikan
gambaran watak tokoh. Namun demikian, terdapat hal-hal yang sifatnya
universal, misalnya untuk menggambarkan seorang tokoh dengan positif
(bijaksana, elegan, cerdas), biasanya pengarang menampilkan tokoh yang
berpenampilan rapih dengan sosok yang proporsional (Minderop, 2005:
10-15).
3. Karakteristik Melalui Tuturan Pengarang
Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada
pengarang atau narator dalam menentukan kisahannya. Pengarang
ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Dengan
demikian, pengarang terus-menerus mengawasi karakterisasi tokoh.
Pengarang tidak sekedar menggiring perhatian pembaca terhadap
komentarnya tentang watak tokoh tetapi juga mencoba membentuk
persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya (Minderop, 2005:
15-16).
Metode Tidak Langsung (Showing)
Metode lainnya adalah metode tidak langsung dengan metode dramatic
yang mengabaikan kehadiran pengarang, sehingga para tokoh dalam
karya sastra dapat menampilakan diri sacara langsung melalui tingkah
laku mereka. Dalam hal ini para pembaca dapat menganalisis sendiri
karakter para tokoh.
Karakterisasi melalui dialog terbagai atas: Apa yang dikatakan Penutur,
Jatidiri Penutur, Lokasi dan Situasi Percakapan, Jatidiri Tokoh yang
Dituju oleh Penutur, Kualitas Mental Para Tokoh, Nada Suara,
Penekanan, Dialek, dan Kosa Kata Para Tokoh.
a. Apa yang Dikatakan Penutur
Pertama-tama pembaca harus memperhatikan subtansi dari suatu dialog.
mengembangkan peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya.
Bila si penutur selalu berbicara tentang dirinya sendiri tersembul kesan
ia seorang yang berpusat pada diri sendiri dan agak membosankan. Jika
si penutur selalu membicarakan tokoh lain ia terkesan tokoh yang
senang bergosip dan suka mencampuri orang lain.
b. Jatidiri Penutur
Jatidiri penutur di sini adalah ucapan yang disampaikan oleh seorang
protagonis (tokoh sentral) yang seyogyanya dianggap lebih penting
daripada apa yang diucapkan oleh tokoh bawahan (tokoh minor),
walaupun percakapan tokoh bawahan kerapkali memberikan informasi
krusial yang tersembunyi mengenai watak tokoh lainnya.
c. Lokasi dan Situasi Percakapan
1. Lokasi Percakapan
Percakapan antara para pembantu pada keluarga Mannon yang
terjadi di bagian luar rumah yang memiliki dua pintu masuk dari
arah jalan. Pengarang menggambarkan adanya warna-warna
kontradiktif yang menghiasi bangunan depan rumah—hitam, putih,
abu-abu, dan hijau. Terdapat sebuah bangunan taman yang
terlingdung hingga tidak terlihat dari depan rumah. Bagian atas
bangunan (portico) yang ditopang pilar seperti topeng putih yang
tidak selaras menempel di rumah tersebut seakan-akan
watak para tokoh penghuni rumah ini. Pelukisan lokasi di atas
dapat memberikan inspirasi kepada pembaca betapa penghuni yang
meninggali rumah tersebut menyimpan suatu misteri dan keburukan
yang disembunyikan.
2. Situasi Percakapan
Percakapan antara Seth, Ames, Louisa, dan Minnie terjadi dalam
situasi pesta yang diadakan di rumah keluarga Mannon. Situasi
percakapan riang–gembira diiringi aluan musik dan penyanyi serta
diselingi dengan acara minum-minum. Pada acara ini para tokoh di
atas mulai berguning tentang majikan mereka—jendral Manno—
yang tidak hadir karena sedang bertugas membela Negara. Situasi
percakapan ini sangat mendukung watak para tokoh yang gemar
bergunjing (Minderop, 2005: 28-30).
d. Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh Penutur
Penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam
ceritera; maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang
e. Kualitas Mental para Tokoh
Pickering dan Hooper (dalam Minderop, 2005:33). Kualitas mental
para tokoh dapat dikenali melalui alunan dan aliran tuturan ketika
para tokoh bercakap-cakap. Misalnya, para tokoh yang terlibat
dalam suatu diskusi yang hidup menandakan bahwa mereka
memiliki sikap mental yang open-minded. Ada pula tokoh yang
gemar memberikan opini, atau bersikap tertutup (close-minded) atau
tokoh yang penuh rahasia dan menyembunyikan sesuatu.
2.2.3 Alur/Plot
Jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.
Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh
hubungan kausal (sebab-akibat). Alur yaitu rangkaian peristiwa yang direka
dan dijalin dengan seksama, yang menggerakan jalan cerita melalui rumitan
ke arah klimaks dan selesaian (Sudjiman, 1990:4).
Sementara itu, Sudjiman (1992:30-36) mengatakan struktur alur
meliputi paparan (exposition), rangsangan (inceting moment), gawatan
(rising action), tikaian (conflict), rumitan (complication), klimaks (climax),
leraian (falling action) dan selesaian (denovement).
Paparan adalah penyampaian informasi kepada pembaca. Paparan
biasanya terletak pada awal cerita. Dalam tahapan ini pengarang
memperkenalkan para tokoh menjelaskan temapt peristiwa yang akan
terjadi. Paparan ini berfungsi untuk mengatarkan pembaca ke dalam
persoalan utama yang menjadi isi cerita darma itu.
2. Rangsangan
Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan.
Rangsangan sering ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya
berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras. Tak ada patokan
tentang panjang paparan, kapan disusul oleh rangsangan, dan berapa lama
sesudah itu samapi pada gawatan.
3. Gawatan/ Tegangan
Gawatan adalah peristiwa yang ditimbulkan oleh munculnya keinginan,
pikiran, prakarsa dari seorang tokoh cerita untuk mencapai tujuan
tertentu. Akan tetapi, hasil dari prakarsa itu tidak pasti sehingga
menimbulkan kegawatan.
4. Tikaian
Tikaian adalah munculnya perselisihan yang diakibatkan oleh adanya dua
kekuatan yang dipertentangkan; satu diantaranya diwakili oleh manusia
atau pribadi yang biasanya menjadi protagonist dalam cerita.
Rumitan adalah perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju klimaks
cerita, klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya.
Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari
klimaks.
6. Klimaks
Klimaks adalah bagian alur yang menunjukan adanya pihak-pihak yang
berlawanan atau bertentangan, perhadapan untuk melakukan perhitungan
terakhir yang menentukan. Klimaks merupakan tahapan ketika
pertentangan yang terjadi mencapai titik optimalnya. Bagian ini terutama
dipandang dari segi tanggapan emosional dari pembaca atau penonton
menimbulkan puncak ketegangan.
7. Leraian
Leraian adalah bagian struktur alur yang sudah tercapai klimaks dan
kritis, merupakan peristiwa yang menunjukan perkembangan lakuan
kearah selesaian, dalam hal ini pertentangan mereka. Ketegangan
emosional menyusut, suasanan panas mulai mendingin, menuju kembali
kekeadaan semula seperti sebelum terjadinya pertentangan.
8. Selesaian
Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh jadi
mengandung penyelesian masalah yang melegakan ; boleh juga
mengandung penyelesian masalah yang menyedikan, mislnya si tokoh
menggantung tanpa pemecahan, tanpa ada penyelesian masalah dalam
keadaan yang penuh dengan ketidakpastian, ketidakjelasan, ataupun
ketidak pahaman.
2.2.4 Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2010:216).
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan social. Kegita unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengarui satu dengan yang
lain.
1. Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi.
2. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa
-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
3. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
Menurut Stanton (2007:35) latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung.
Latar berfungsi untuk mengekspresikan perwatakan dan kemauan, memiliki
hubungan erat dengan alam dan manusia (Wellek dan Werren dalam Sukada,
1987:61).
2.3 Teori Psikologi Abraham Maslow
Teori dari Abraham Maslow mempunyai beberapa sebutan, seperti teori
humanistik, teori transpersonal, kekuatan ketiga dalam psikologis, kekuatan keempat
dalam kepribadian, teori kebutuhan dan teori aktualisasi diri. Akan tetapi, Abraham
Maslow menyebutnya sebagai teori holistik-dinamis karena teori ini menganggap
bahwa keseluruhan dari seseorang terus-menerus termotivasi oleh satu atau lebih
kebutuhan dan bahwa orang yang mempunyai potensi untuk menuju kesehatan
psikologis, yaitu aktualisasi diri (Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:325).
Untuk meraih aktualisasi diri, orang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dilevel yang lebih rendah, seperti kebutuhan akan lapar, keamanan, cinta, dan harga
diri. Hanya setelah orang merasa cukup puas pada masing-masing dari
kebutuhan-kebutuhan ini, maka mereka bisa mencapai aktualisasi diri (Maslow dalam Jess, Feist,
Teori kepribadian Maslow dibuat berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai
motivasi (maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:330-331). Pertama,
Maslow mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi (holistic
approach to motivation), yaitu keseluruhan dari seseorang, bukan hanya satu bagian
atau fungsi, termotivasi. Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari
beberapa hal (motivation is usually complex), yang berarti bahwa tingkah laku
seseorang dapat muncul dari beberapa motivasi yang terpisah. Contohnya, keinginan
untuk berhungangan seksual dapat termotivasi tidak hanya oleh adanya kebutuhan
yang berkaitan dengan alat kelamin, tetapi juga oleh kebutuhan akan dominasi,
kebersamaan, cinta dan harga diri. Selain itu, motivasi untuk melakukan sebuah
tingkah laku dapat disadari maupun tidak disadari oleh orang yang melakukan.
Contohnya, motivasi seorang mahasiswa untuk mendapatkan nilai tinggi dapat
menutupi motivasi sesungguhnya yang adalah kebutuhan untuk mendominasi atau
memperoleh kekuasaan.
Asumsi ketiga adalah bahwa orang-orang berulang kali termotivasi oleh
kebutuhan-kebutuhan (people are continually motivated by one need or another).
Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan
untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain. Contonya, selama
kebutuhan akan makan/rasa lapar belum terpenuhi, orang akan selalu berusaha
mereka beralih ke kebutuhan-kebutuhan lain seperti keamanan, pertemanan, dan
penghargaan diri.
Keempat, semua orang di manapun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama
(all people everywhere are motivated by the same basic needs). Bagaimana cara
orang-orang di kultur yang berbeda-beda memperoleh makanan, membangun tempat
tinggal, mengekspresiakan pertemanan, dan seterusnya bisa bervariasi, tetapi
kebutuhan dasar untuk makanan, keamanan, dan pertemanan merupakan kebutuhan
yang berlaku umum untuk semua spesies.
Asumsi terakhir mengenai motivasi adalah kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk
menjadi sebuah hierarki (need can be arranged on a hierarchy).
Menurut Maslow tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan
individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan si individu lebih berbahagia dan
sekaligus memuaskan. Masalah yang terpenting, menurut Maslow ialah seorang harus
terlebih dahulu mencapai kebutuhan yang paling mendasar sebelum mempu mencapai
kebutuhan di atasnya. Maslow menyampaikan teorinya tentang kebutuhan bertingkat
yang tersusun sebagai berikut, kebutuhan: fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki,
harga diri ,dan aktualisasi diri (Minderop, 2010:48).
Kebutuhan manusia tersusun menurut tingkatan, yaitu
Kebutuhan paling mendasar dari setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis,
termasuk di dalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu
tubuh,dll. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang mempunyai
kekuatan/pengaruh paling besar dari semua kebutuhan. Orang-orang yang
terus-menerus merasa lapar akan termotivasi untuk makan—tidak termotivasi untuk
mencari teman atau memperoleh harga diri. Mereka tidak melihat lebih jauh dari
makanan, dan selama kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka motivasi utama
mereka adalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan.
Kebutuhan fisiologis berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan lainya,
setidaknya ada dua hal yang penting. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah
satu-satunya kebutuhan yang dapat terpenuhi atau bahkan selalu terpenuhi.
Orang-orang bisa cukup makan sehingga makanan akan kehilangan kekuatan untuk
memotivasi. Bagi orang yang baru saja selesai makan dalam porsi besar, pikiran
tentang makanan bahkan dapat menyebabkan perasaan mual.
Karakteristik berbeda yang kedua dari kebutuhan fisiologis adalah
kemampuan untuk muncul kembali (recurring nature). Setelah orang selesai
makan, mereka lama-kelamaan menjadi lapar lagi; mereka terus-menerus
mengisi ulang pasokan makanan dan air; dan satu tarikan nafas harus dilanjutkan
oleh tarikan nafas berikutnya. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan di level lainnya
tidak muncul kembali secara terus-menerus. Contohnya, orang yang paling tidak
merasa percaya diri bahwa mereka dapat terus memenuhi kebutuhan mereka
akan cinta dan harga diri (Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist,
2010:332-333).
2. Kebutuhan akan Keamanan
Ketika orang telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka menjadi
termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan (safety need), yang termasuk di
dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan
kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mencekam, seperti perang, teroris,
penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam.
Kebutuhan akan hukum, ketentraman, dan keteraturan juga merupakan bagian
dari kebutuhan akan keamanan.
Pada masyarakat yang tidak sedang mengalami perang, sebagian besar
orang-orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan akan keamanan
mereka setiap waktu sehingga,menjadikan kebutuhan ini cenderung tidak
penting. Akan tetapi, anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan
rasa aman karena mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang
asing, hukumana dari orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa
cenderung tidak aman karena ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa
hingga masa dewasa dan menyebabkan mereka bertindak seolah mereka takut
akan hukuman dari orang tua. Mereka menghabiskan lebih banyak energi
akan rasa aman dan ketika mereka tidak berhasil memenuhi kebutuhan rasa aman
tersebut, mereka akan mengalami apa yang disebut dengan kecemasan dasar
(basic anxiety) (Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:333-334).
3. Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan
Setelah orang memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan, mereka
menjadi termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love and
belongingness needs), seperti keinginan untuk berteman; keinginan untuk
mempunyai pasangan dan anak; kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah
keluarga, sebuah perkumpulan, lingkungan masyarakat, atau negara. Cinta dan
keberadaan juga mencakup beberapa aspek dari seksualitas dan hubungan dengan
manusia lain dan juga kebutuhan untuk memberi dan mendapatkan cinta
(Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:334).
Orang yang kebutuhan akan cinta dan keberadaan cukup terpenuhi sejak dari
masa kecil tidak manjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang yang seperi ini
mempunyai kepercayaan dari bahwa mereka akan diterima oleh orang-orang
yang penting bagi mereka, jadi ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak
merasa hancur.
Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak
pernah merasakan cinta dan keberadaan, dan oleh karena itu, mereka menjadi
tidak mampu memberikan cinta. Mereka jarang atau bahkan tidak pernah dipeluk
Maslow percaya bahwa orang semacam ini lama-kelamaan akan belajar untuk
tidak mengutamakan cinta dan terbiasa dengan ketidakhadiran cinta.
Kategori ketiga adalah orang-orang yang menerima cinta dan keberadaan
hanya dalam jumlah yang sedikit. Oleh karena hanya menerima sedikit cinta dan
keberadaan, maka mereka akan sangat termotivasi untuk mencarinya. Dengan
kata lain, orang yang menerima sedikit cinta mempunyai kebutuhan akan kasih
sayang dan penerimaan yang lebih besar daripada orang yang menerima cinta
dalam jumlah cukup atau yang tidak menerima cinta sama sekali (Maslow dalam
Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:334-335).
4. Kebutuhan akan Penghargaan
Setelah orang-orang memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan,
mereka bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yang
mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahuan
yang orang lain hargai tinggi. Maslow (1970) mengidentifikasi dua tingkatan
kebutuhan akan penghargaan—reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi
akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari
sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi
seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri
didasari oleh lebih dari reputasi maupun gengsi. Harga diri menggambarkan
sebuah “keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan,
serta kemandirian dan kebebasan”. Dengan kata lain, harga diri didasari oleh
kemampuan nyata dan bukan hanya didasari oleh opini orang lain. (Maslow
dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:335).
5. Kebutuhan akan Aktualisasi diri
Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling
penting dalam teori Maslow tentang motivasi pada manusia. Kebutuhan akan
aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan potensi diri, dan keinginan
untuk menjadi sekreatif mungkin (Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist,
2010:336).
Maslow (dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:338) memperkirakan
bahwa rata-rata orang membuat kebutuhan masing-masing terpenuhi samapai
kurang lebih sebanyak ini: fisiologis 85%; keamanan 70%, cinta dan keberadaan
50%, penghargaan 40%, dan aktualisasi diri 10%. Semakin besar kebutuhan di
level rendah terpenuhi, maka akan semakin besar kemunculan kebutuhan di level
selanjutnya. Contohnya, jika kebutuhan akan cinta hanya terpenuhi sebesar 10%,
maka kebutuhan penghargaan mungkin tidak akan muncul sama sekali. Akan
tetapi, jika kebutuhan akan cinta terpenuhi sebanyak 25%, maka bisa jadi
kebutuhan penghargaan dapat muncul sebanyak 5%. Jika kebutuhan akan cinta
sebesar 75%, maka kebutuhan akan penghargaan dapat muncul sampai 50%, dan
Oleh sebab itu, kebutuhan-kebutuhan muncul secara bertahap, dan seseorang
dapat termotivasi secara bersama oleh kebutuhan-kebutuhan dari dua atau lebih
level. Sebagai contoh, orang yang mengaktualisasi diri diundang sebagai tamu
kehormatan di sebuah acara makan malam bersama yang diadakan teman-teman
dekatnya di sebuah restoran. Tingkah laku makan memenuhi kebutuhan
fisiologis; tetapi pada saat yang bersamaan, sang tamu kehormatan bisa juga
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keamanan, cinta, penghargaan, dan aktualisasi
dirinya.
Maslow (dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:339-340) tidak
terpenuhinya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan mendasar dapat mengarah
pada beberapa macam penyakit. Kebutuhan fisiologis yang tidak terpenuhi
berakibat pada malnutrisi, kelelahan, hilang energi, obsesi terhadap seks, dan lain
sebagainya. Ancaman terhadap keamanan seseorang akan mengarah pada
perasaan bahwa bahaya sedang mengancam, perasaan tidak aman, dan perasaan
takut yang sangat besar. Ketika kebutuhan cinta tidak terpenuhi, seseorang
menjadi defensif, terlalu agresif, atau canggung di lingkungan sosial. Kurangnya
penghargaan pada munculnya keraguan diri, tidak menghargai diri, dan
kurangnya rasa percaya diri. Tidak terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri juga
mengarah pada penyakit atau patologi, atau lebih tepatnya metapatologi. Maslow
mendefinisikan metapatologi sebagai ketiadaan nilai-nilai, ketiadaan
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga diri
mereka bahkan ketika dimaki, ditolak, dan diremehkan oleh orang lain. Dengan
kata lain orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak bergantung pada
pemenuhan kebutuhan cinta maupun kebutuhan akan penghargaan. Mereka
menjadi mandiri sejak kebutuhan level rendah yang memberi mereka kehidupan.
Maslow (1970) membuat daftar lima belas karakteristik sementara yang
merupakan ciri-ciri orang-orang yang mengaktualisasi diri sampai batasan
tertentu. Kelima belas cirri itu:Persepsi yang Lebih Efisien akan Kenyataan;
Penerimaan akan Diri, Orang lain, dan Hal-hal alamiah;
Spontanitas,Kesederhanaan, dan Kealamian; Berpusat pada Masalah; Kebutuhan
akan Privasi; Kemandirian; Penghargaan yang Selalu Baru; Pengalaman puncak;
Gemeinschaftsgefuhl; Hubungan Interpersonal yang Kuat; Struktur Karakter
Demokratis; Diskriminasi antara Cara dan Tujuan; Rasa Jenaka/Humor yang
Filosofis; Kreativitas; Tidak Mengikuti kulturasi.
2.4 Pembelajaran Sastra di SMA
Pada haketatnya, pelajaran sastra bukanlah pembelajaran tentang sastra,
melainkan proses belajar mengajar yang memberikan kemampuan dan
keterampilan mengapresiasikan sastra melalui proses interaksi dan transaksi antar
siswa dengan cipta sastra yang dipelajarinya. Oleh sebab itu pembelajaran sastra
harus direncanakan untuk melibatkan siswa dalam proses menampilkan
tentang makna karya sastra, melaikan diajar untuk memperoleh secara mandiri
(Gani, 1988:125).
Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi 4 manfaat:
1. Membantu keterampilan berbahasa
2. Meningkatkan pengetahuan budaya
3. Mengembangkan cipta dan rasa
4. Menunjukan pembentukan watak
Dalam kaitannya pembelajaran sastra di SMA, siswa tidak hanya dituntut
untuk memahami karya sastra, tetapi juga mengapresiasikan karya sastra.
Tahapan pembelajaran sastra di SMA memuat empat komponen yaitu,
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis (Depsiknas, 2006:232).
Komponen mendengarkan meliputi kemampuan mendengar, memahami dan
mengapresiasikan ragam karya sastra seperti, cerpen, puisi, drama dan novel.
Komponen berbicara meliputi kemampuan membahasa, menaggapi dan
mendiskusi ragam karya sastra sesuai isinya. Komponen membaca meliputi
kemampuan membaca serta memahami berbagai jenis karya sastra dan dapat
mengapresiasikannya. Komponen menulis meliputi kemampuan
mengapresiasikan karya sastra ke dalam bentuk tulisan kesastraan berdasarkan
2.4.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP pasal 1, Ayat 15), dijelaskan
bahawa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilakasanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan. Penyususnan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan
memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang
dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Sanjaya,
2008:128).
Dalam KTSP, pembelajaran sastra khususnya novel diajarkan untuk: (1)
kelas XI semester 1 dengan standar kompetensi membaca yaitu dengan
memahai berbagai hikayat, novel Indonesia/terjemahan. Kompetensi dasarnya
adalah menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia/terjemahan. (2) kelas XII semester 1 dengan standar kompetensi
mendengarkan yaitu dengan memahai pembacaan novel. Kompetensi dasarnya
adalah menaggapi pembacaan penggalan novel dari vokal, intonasi,dan
penghayatan serta menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan
novel. Penelitian ini, memilih kurikulum kelas XII semester 1 yaitu memahai
pembacaan novel. Setelah siswa mendapatkan pengetahuan tentang cara
menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang didapat pada saat
mereka kelas XI semester 1 maka, untuk kelas XII semester 1 diharapkan siswa
dari segi vocal, intonasi, dan intonasi,dan penghayatan serta menjelaskan unsur
intrinsik dari pembacaan penggalan novel.
2.4.2 Silabus
Silabus merupakan penjabaran dari standar kompetensi dan kompetensi
dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian (Depdiknas, 2006:7).
Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri
atau kelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, kelompok
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada Pusat Kegiatan Guru (PKG),
dan Dinas Pendidikan (BNSP,2006:14)
Berikut ini uraian prinsip pengembangan silabus yang terdapat pada
Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
1. Ilmiah: keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus
harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmuan.
2. Relevansi: cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran,dan urutan penyajian
materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual,
sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.
3. Sistematis: komponen-komponen silabus saling berhubungan secara
fungsional dan mencapai kompetensi.
4. Konsisten : adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat, asas) antara
kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber
5. Memadai: cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber
belajar dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi
dasar.
6. Actual dan kontekstual: cakupan indikator, materi pokok, pengalaman
belajar, sumber belajar dan sistem penilaian harus memperhatian
perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyatan
dan peristiwa yang terjadi.
7. Fleksibe keseluruhan kompnen silabus dapat mengakomodasi keragaman
perseta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah
dan tuntutan masyarakat.
8. Menyeluruh: komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi
(kognitif, afektif, dan psikomotorik)
Komponen-komponen yang ada di dalam silabus antara lain yaitu
identifikasi, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman
belajar, indikator, penilaian, alokasi waktu, sumber/bahan/alat. Berdasarkan
kompenen tersebut terdapat langkah-langkah penting yang terdapat dalam
silabus pembelajaran.
1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran seperi
a. Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu atau tingkat kesulitan
materi
b. Berkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam suatu
materi pelajaran
c. Keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata
pelajaran
2. Mengidentifikasi Materi Pokok
Mengidentifikasi materi pokok yang menunjang pencapaian standar
kompetensi dan kompetensi dasar dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut:
a. Potensi peserta didik
b. Relevansi dengan karakteristik daerah
c. Tingkat perkembangan fiksi, intelektual, emosional, sosial, dan
spiritual peserta didik
d. Struktur keilmuan
e. Aktualisasi, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran
f. Relevansi dengan kebutuhan peresta didik dan tutuntan lingkungan,
serta
3. Mengembangkan Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar adalah kegitan mental dan fisik yang dilakukan
peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber belajar melalui pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan mengaktifkan perserta didik. Hal-hal yang
perlu diaktifkan dalam mengembangkan kegiatan pelajaran adalah sebagi
berikut:
a. Kegitan pembelajaran disusun untuk memberiakan bantuan kepada
para pendidik, khususnya guru agar dapat melaksanakan proses
pembelajarn secara professional
b. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus
dilakukan oleh peresta didik secara berurutan untuk mencapai
kompetensi dasar
c. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki
konsep materi pembelajaran
d. Rumusan pernyataan dalam kegiatan minimal mengandung dua unsur
penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa,
yaitu siswa dan materi
4. Merumuskan Indikator Keberhasilan Belajar
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menujukan