• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik batin tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung Manyar karya Yb. Mangunwijaya dan implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA : suatu tinjauan psikologi sastra.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik batin tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung Manyar karya Yb. Mangunwijaya dan implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA : suatu tinjauan psikologi sastra."

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL

BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA

DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

SASTRA DI SMA

(SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Agustina Galuh Prabaningtyas NIM: 091224036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKLUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)

KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL

BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA

DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

SASTRA DI SMA

(SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Agustina Galuh Prabaningtyas NIM: 091224036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(6)

i

KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL

BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA

DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

SASTRA DI SMA

(SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Agustina Galuh Prabaningtyas NIM: 091224036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(7)
(8)
(9)

iv

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria

Bapak Ignatius Subagio dan Ibu MB. Rahayu

Kakakku Gregorius Galih Prabowo

Saudara, Sahabatku

(10)

v

Motto

“Pengetahuan diperoleh dengan belajar, kepercayaan dengan keraguan, keahlian dengan berlatih, dan cinta dengan mencintai”

(Thomas Szasz)

“Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan, tapi dengan ketekunan dan kegigihan”

(Samuel Jhonson)

“Kita hidup untuk saat ini, kita bermimpi untuk masa depan, dan belajar untuk kebenaran abadi”

(11)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,19 November 2013

Penulis

(12)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Agustina Galuh Prabaningtyas

NIM : 091224036

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KONFLIK BATIN TOKOH SETADEWA DALAM NOVEL

BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA DAN

IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA (SUATU TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA)

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolalanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberi royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakart, 19 November 2013 Yang Menyatakan

(13)

viii

ABSTRAK

Prabaningtyas, Agustina Galuh. Konflik Batin Tokoh Setadewa dalam Novel

Burung-burung Manyar Karya YB. Mangunwijaya dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra).

Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji Konfik Batin Tokoh Setadewa dalam novel

Burung-burung Manyar karya YB. Mangunwijaya dan implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra). Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan alur, latar, karakteristik tokoh dan konflik batin yang dialami tokoh Setadewa, serta implementasi dalam pembelajaran sastra di SMA.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Dengan mengguakan metode ini, peneliti membagi tiga tahap. Pertama, peneliti menganalisis alur, latar, dan karakteristik tokoh Setadewa dalam novel

Burung-burung Manyar. Kedua, peneliti menggunakan hasil analisis pertama

untuk menggali konflik batin yang dialami oleh tokoh Setadewa. Ketiga, implementasi novel Burng-burung Manyar untuk pembelajaran sastra di SMA.

Analisis struktur novel Burung-burung Manyar meliputi alur, latar dan karakteristik tokoh utama. Watak dari Setadewa sebagai tokoh utama dalam novel

Burung-burung Manyar yaitu jujur, setia, liar, pemberontak, dan berani. Latar

tempat yang membuat terbentuknya konflik batin yang dialami tokoh Setadewa adalah Dalem, Tanah Abang (Jakarta), Magelang, Istana Soekarno. Latar waktu yang mempengaruhi konflik batin tokoh Setadewa adalah tahun 1944 ayahnya ditangkap oleh Jepang; tahun 1945 wanita yang Setadewa sayangi, yaitu Atik berpihak kepada Republik; tahun 1968—1978. Latar sosial dalam novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Tema novel ini adalah perjuangan hidup seorang pria untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Dari hasil analisis psikologi sastra dapat disimpulkan bahwa kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri tidak terpenuhi dari Setadewa. Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut menimbulkan rasa takut, tidak percaya diri, emosional, dan frustasi.

(14)

ix

XII semester I. implementasi pembelajaran sastra di SMA yaitu Menanggapi

pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan,

(15)

x

ABSTRACT

Prabaningtyas, Agustina Galuh. Setadewa’s Inner Conflicts in the Novel

Burung-Burung Manyar Written by YB. Mangunwijaya and the Implementation in Literature Learning in Senior High Schools (A Psychological Literature Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP, Sanata Dharma University.

This research examined Setadewa’s Inner Conflicts in the Novel Burung -Burung Manyar Written by YB. Mangunwijaya and the Implementation in Literature Learning in Senior High Schools (A Psychological Literature Review). The approach used in this research was psychological literature approach. This

research was aimed to describe the plots, settings, character’s characteristics, and

inner conflicts experienced by Setadewa, and the implementation in literature learning in Senior High Schools.

The method used in this research was descriptive analysis method. Using this method, the researcher divided it into three steps. First, the researcher

analyzed the plots, settings, and Setadewa’s characteristics in the novel Burung-Burung Manyar. Second, the researcher usedthe results of the first analysis to dig

up the inner conflicts experienced by Setadewa. Third, the implementation of the novel Burung-Burung Manyar was for literature learning in Senior High Schools.

The structural analysis of the novel Burung-Burung Manyar included the

plots, settings, and main character’s characteristics. Setadewa, the main character

in the novel Burung-Burung Manyar was honest, faithful, wild, rebellious, and brave. The places that created Setadewa’s inner conflicts were Dalem, Tanah

Abang (Jakarta), Magelang, Istana Soekarno. The time settings that influenced

Setadewa’s inner conflicts were the year of 1944, his father was caught by Japan;

in 1945, Atik, someone whom Setadewa loved, took side with the Republic; from 1968 until 1978. The social settings in this novel described the life of society occupied by The Netherlands and Japan.The theme of this novel was a man’s life

struggle for his proper life.

Based on the results of psychological literature analysis, it could be

concluded that Setadewa’s physiological needs, needs for feeling secure, needs for

possessing and love, needs for appreciation, and needs for self-actualization were not fulfilled. Consequently, it made him afraid, unconfident, emotional, and frustrated.

(16)

xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya, maka skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Peneliti menyadari bahwa proses menyususn penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia; Rohandi, Ph.D., selaku Dekan FKIP yang telah memberikan kesempatan dan berbagai kemudahan berkaitan dengan penyususnan skripsi ini.

2. Setya Tri Nugraha, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal hingga penulisan skripsi ini selesai.

3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang selalu memberi masuk penulis dalam menyusus skripsi dari awal hingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membekali ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Univeritas Sanata Dharma.

5. Karyawan sekretariat PBSI, FKIP yang dengan ramah telah mempelancar urusan akademik dan administrasi perkuliahan yang diperlukan penulis.

6. Bapak Ignatius Subagio dan Ibu Maria Bernadheta Rahayu yang telah mendukung penulis baik secara material dan spiritual kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

(17)

xii

memberi dukungan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak memberi dukungan dan perhatian sampai terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, berbagai saran, masukan dan kritik yang membangun demi sempurnanya skripsi ini agar lebih baik dan bermanfaat sangat penulis harapkan. Semoga berkat dan rahmat Tuhan selalu menyertai setiap langkah kita. Amin

Penulis

(18)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv

MOTTO……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. vi

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI………. vii

ABSTRAK……… viii

ABSTRACT……….. x

KATA PENGANTAR………. xi

DAFTAR ISI……… xiii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1Latar Belakang………. 1

1.2Rumusan Masalah………... 5

1.3Tujuan Penelitian……… 5

1.4 Manfaat Penelitian………... 6

1.5Batasan Istilah………. 6

1.6Sistematika Penyajian………. 7

BAB II LANDASAN TEORI………... 9

2.1 Penelitian Relevan……….. 9

(19)

xiv

2.2.1 Tokoh………. 11

2.2.2 Perwatakan………. 12

2.2.3 Alur………. 20

2.2.4 Latar……… 23

2.3 Teori Psikologi………... 24

2.4 Pembelajaran Sastra di SMA………... 33

KTSP……… 35

2.4.1 Silabus……… 36

2.4.2 RPP………. 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 45

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian……… 45

3.2 Metode Penelitian………... 45

3.3 Sumber Data……… 46

3.4 Teknik Pengumpulan Data………... 47

3.5 Teknik Analisis Data……….. 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ANALISIS NOVEL BURUNG-BURUNG MANYAR………. 48

4.1Alur……… 48

4.1.1 Paparan……… ……... 50

4.1.2 Rangsangan………. 51

4.1.3 Gawatan……….. 52

4.1.4 Tikaian………. 53

4.1.5 Rumitan……… 54

4.1.6 Klimaks……… 60

4.1.7 Leraian………. 61

4.1.8 Selesaian………... 62

(20)

xv

4.2.1 LatarTempat………... 64

4.2.2 Latar Waktu………. 71

4.2.3 Latar Sosial……….. 76

4.3Keterkaitan Antarunsur Latar………. 82

4.4Analisis Karakteristik Tokoh Setadewa………. 89

4.4.1 Metode Langsung……… 90

4.4.2 Metode Tidak Langsung………. 96

4.5Analisis Psikologi Tokoh Setadewa……….. 105

4.5.1 Analisis konflik batin terkait dengan latar……… 105

4.5.2 Analisis konflik batin terkait dengan alur……… 107

4.6 Analisis konflik batin menggunakan teori AbrahamMaslow……… 111

4.6.1Kebutuhan Akan Fisiologis……… 112

4.6.2Kebutuhan Akan Keamanan……… 113

4.6.3Kebutuhan Akan Cinta dan Memiliki………... 116

4.6.4Kebutuhan Akan Penghargaan………. 119

4.6.5Kebutuhan Akan Aktualisasi diri………. 122

4.7 Akibat Tidak Terpenuhi Kebutuhan Dasar……… 125

4.7.1 Rasa Takut (Kebutuhan akan keamanan dan cinta)……… 126

4.7.2 Tidak Percaya Diri (Kebutuhan akan cinta ) ………. 127

4.7.3 Emosional (Kebutuhan akan penghargaan)……….. ……… 128

4.7.4 Frustasi (Kebutuhan akan fisiologis, keamanan, cinta, penghargaan dan aktualisasi diri)………. 128

BAB V PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA……… 130

(21)

xvi

5.1.2 RPP……….. 141

BAB VI PENUTUP………... 184

6.1 Kesimpulan……….. 184

6.2 Implikas………... 185

6.3 Saran………. 186

DAFTAR PUSTAKA………. 187

LAMPIRAN………

(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan

seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapnya (Sudjiman,

1990:71). Karya sastra dibangun oleh pengarangnya sebagai hasil rekaman kreatifnya

berdasarkan perenungan, penafsiran, penghayatan hidup terhadap realitas sosial dan

lingkungan masyarakat di mana pengarang itu hidup dan berkembang (Sumardjo,

1984:15).

Menurut KBBI (2007:1002) sastrawan adalah ahli sastra, pujangga; pengarang

prosa dan puisi; (orang) pandai-pandai; cerdik cendekia disebut sastrawan. Salah satu

sastrawan Indonesia yang karya sastranya memberi pengaruh terhadap perkembangan

sastra di Indonesia yaitu YB. Mangunwijaya yang juga sebagai rohaniwan, arsitek,

budayawan, sastrawan dan aktivis. Karya sastra khususnya novel yang telah

dihasilkan oleh YB Mangunwijaya yaitu Burung-Burung Manyar (1981), Romo

Rahadi (1981), Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Balada Becak (1985), Durga

Umayi (1985), Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, dimuat

1982-1987, Burung-Burung Rantau (1992), Balada dara-dara Mendut (1993). Beliau juga

(23)

1996. Mangunwijaya mampu menggambarkan situasi yang sedang terjadi melalui

karya sastranya. Beliau termasuk sastrawan angkatan tahun 1980-an yang di mana

karya-karyanya berlatar belakang sejarah Indonesia.

Karya sastra YB Mangunwijya ini sudah banyak diteliti dengan berbagai

pendekatan. Macam-macam pendekatan dalam karya sastra yaitu pendekatan

struktural, pendekatan semiotik, pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis,

pendekatan feminisme, pendekatan postkolonialisme,dll. Karya sastra YB

Mangunwijaya khususnya novel yang telah diteliti dengan berbagai pendekatan yaitu

novel Durga Umayi dengan judul “Gaya dan Fungsinya dalam Novel Durga Umayi

Karya YB. Mangunwijaya (suatu Kajian Stilistika) oleh Alfian Rokhmansyah 2009.

Selanjutnya Novel Burung-burung Rantau dengan judul “Multikuturalisme dalam

Novel Burung-burung Rantau dengan Analisis Semiotik Karya YB. Mangunwijaya”

oleh Ali Imron-Ma’ruf, 2011, dan novel Trilogi dengan judul “Pemberontakan

Perempuan dalam novel (Analisis Wacana Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk duku,

dan Lusi Lindri Karya YB. Mangunwijaya” oleh Rohmadtika Dita 2012.

Tjahjono (1988:159) mengatakan, sastra dibagi tiga genre yaitu drama, puisi,

dan prosa. Prosa yang merupakan salah satu gener sastra dibagi menjadi dua, yaitu

prosa fiksi dan prosa non fiksi. Novel termasuk salah satu dalam prosa fiksi. Novel

adalah cerita yang mengisahkan bagian penting dari episode kehidupan manusia dan

(24)

panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa

dan latar secara tersusun.

Memahami karya sastra dapat dilakukan dengan menganalisis unsur intrinsik

dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu unsur yang membangun sebuah karya

sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik yaitu unsur yang

membangun sebuah karya dari luar karya sastra tersebut.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesaia di SMA materi mengenai sastra juga

terdapat di dalam kurikulum yang wajib diajarkan oleh guru. Salah satu karya sastra

yang wajib diajarkan oleh guru yaitu novel. Karya sastra seperti novel ini banyak

pesan moral yang terkandung dalam ceritanya. Dengan demikian, siswa diharapkan

dapat mengambil pesan-pesan dalam novel tersebut dan dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari.

Peneliti memilih novel yang berjudul Burung-burung Manyar karya Y.B

Mangunwijaya karena dapat diterapkan di dalam pembelajaran sastra dan isi dari

novel ini menceritakan zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Cerita ini dikemas

sedemikian sehingga dapat menarik pembaca dan menambah wawasan mengenai

sejarah dilihat dari sudut pandang sastra. Tidak hanya itu novel ini juga menceritakan

kisah cinta Setadewa atau kerap dipanggil Teto dan Atik yang tidak pernah menyatu.

Dalam novel ini juga menceritakan kebiasaan yang dilakukan burung manyar

jantan setelah dewasa akan merakit sarang dan manyar betina hanya memilih yang

mereka sukai. Bagi sarang manyar jantan yang tidak terpilih akan kecewa dan

(25)

tidak terpilih. Kesedihan dan kegagalan yang dialami oleh manyar jantan juga

dialami oleh Seta ketika mengetahui bahwa Atik yang selama ini diidamkannya telah

menjadi milik orang lain. Namun Seta lekas bangkit dan berusaha menerima Atik

sebagai adik angkatnya.

Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk menganalisis konflik

batin tokoh utama yang ditinjau dari segi psikologis dalam menghadapi kenyataan

hidupnya. Fokus penelitian ini pada aspek karakterisasi tokoh Setadewa dalam novel

Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya. Selain karakterisasi, pembahasan

akan diarahkan pada konflik batin tokoh utama dalam novel ini. Setelah mengetahui

tentang karakterisasi dan konflik batin, dalam penelitian ini juga dipaparkan

implementasi hasil untuk pembelajaran. Hasil dari analisis konflik batin ini akan

digunakan sebagai materi pembelajaran sastra SMA untuk kelas XII.

Kajian yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan pendekatan

psikologis ditinjau dari sisi perspektif kepribadian humanistik Abraham Maslow.

Pendekatan ini dipilih karena berkaitan dengan psikologi tokoh utama yaitu

Setadewa. Pendekatan ini akan membahas mengenai lima tahapan yang berakhir apa

aktualisasi diri. Tahapan yang pertama fisiologi, keamaman, cinta dan keberadaan,

penghargaan, dan aktualisasi diri. Dalam penelitian ini, khususnya tokoh Setadewa

harus berupaya memenuhi dan mengekspresikan dirinya yang kerap kali terhambat

oleh dirinya dan lingkungan. Selanjutnya hasil analisis ini akan diimplementasikan di

(26)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diteliti pada penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana alur dan latar dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B

Mangunwijaya?

2. Bagaimanakah karakteristik tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung

Manyar karya Y.B Mangunwijaya?

3. Bagaimanakah konfik batin tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung

Manyar karya Y.B Mangunwijaya?

4. Bagaimanakah implementasi hasil analisis dengan pendekatan psikologi

sastra tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B

Mangunwijaya dalam pembelajaran sastra di SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti mendeskripsikan empat tujuan,

yaitu:

1. Mendeskripsikan alur dan latar dalam novel Burung-burung Manyar karya

Y.B Mangunwijaya

2. Mendeskripsikan karakteristik tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung

(27)

3. Mendeskripsikan konfik batin tokoh setadewa dalam novel Burung-burung

Manyar karya Y.B Mangunwijaya

4. Mendeskripsikan implementasi hasil analisis dengan pendekatan psikologis

tokoh Setadewa dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B

Mangunwijaya dalam pembelajaran sastra di SMA

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan

untuk:

1. Menambah kajian kritik sastra dengan pendekatan psikologis sastra.

2. Memberikan sumbangan bagi pembelajaran di SMA khususnya yang

berkaitan dengan sastra.

1.5 Batasan Istilah

Dalam penelitian ini terdapat batasan istilah yang bertujuan menghindari salah

tafsir. Batasan istilah tersebut adalah :

1. Pedekatan psikologi merupakan penelaahaan sastra yang menekankan pada

segi-segi psikologi yang terdapat dalam suatu kraya sastra yang dapat

diarahkan kepada pengarang, pembaca, dan teks sendiri (karya). Selain itu

psikologi juga mempelajari proses-proses kejiwaan maka psikologi dapat

diikutsertakan dalam studi sastra. Hal ini disebabkan jiwa manusia

(28)

2. Karakteristik adalah karakterisasi atau dalam bahasa Inggris

characterization, berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode karakterisasi

dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang

terdapat dalam suatu karya fiksi. (Minderop, 2005:2).

3. Konfik batin adalah keadaan pertentangan antara dorongan-dorongan yang

berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang

(Heerdjan,1987:31)

4. Novel adalah Prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh

dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Istilah

lain: Roman.(Sudjiman, 1990:55).

5. Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya

mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu

kegiatan yang terencana untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 200:70).

1.6 Sistematika Penyajian

Dalam penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I yaitu pendahuluan yang bersisi

tentang latar belakang masalah yang akan diteliti mengenai psikologi tokoh Setadewa

dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya (suatu tinjauan

psikologis sastra) dan implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Selain

itu, penelitian ini juga memaparkan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

(29)

yang terdiri dari penelitian relevan dan kerangka teori. Bab ini menjelaskan teori yang

akan digunakan sebagai dasar penelitian. Bab III yaitu metodelogi penelitian yaitu

berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian yang akan dilakukan, metode

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sumber data.

Bab IV berisi mengenai alur dan latar belakang dalam novel, karekteristik tokoh

Setadewa, konflik batin tokoh Setadewa dengan pendekatan psikologi sastra dalam

novel Burung-burung Manyar. Selanjutnya bab V membahasa tentang implementasi

novel Burung-burung Manyar dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam bab ini

akan dipaparkan silabus dan RPP yang sesuai dengan pembelajaran sastra. Bab VI

atau bab penutup berisi kesimpulan tentang penelitian yang dilakukan, implikasi dari

(30)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Relevan

Ada tiga penelitian yang relevan dengan topik ini yaitu penelitian Irsasri (2011)

dengan judul “Novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya (Tinjauan

Sosiologi Sastra, Perspektif Historis, dan Nilai Pendidikan)”, penelitian Sunarjo

(1986) dengan judul “Suatu Pendekatan tentang Pertautan Sintaksis dalam Roman

Burung-burung Manyar”, dan penelitian Santoso (1987) dengan judul “Roman

Burung-burung Manyar Sebagai Karya sastra dan Nilai Pendidikannya bagi

Pembinaan Watak Siswa SMTA Sebuah Pendekatan Struktural”

Penelitian Irsasri dengan judul “Novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B.

Mangunwijaya (Tinjauan Sosiologi Sastra, Perspektif Historis, dan Nilai

Pendidikan)”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan metode

kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis. Hasil penelitian meliputi: (1) hasil

analisis sosiologi pengarang yang mewarnai cerita dalam novel mencakup: (a)

riwayat hidup pengarang (b) pengarang sebagai rohaniwan, (c) filosofi yang

mendasari cerita novel. (2) latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel

Burung-Burung Manyar adalah (a) pendidikan, (b) pekerjaan, (c) bahasa, (d) tempat

(31)

beberapa periode yaitu (a) periode 1934-1944 masa revolusi perjuangan Republik

Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, (b) periode 1945-1950 masa Republik

Indonesia mempertahankan kedaulatan negara yang harus berjibaku dengan berbagai

tindak konfrontatif Belanda, (c) periode 1968-1978 atau masa orde baru yang

menumbuhkan masa pembangunan yang masih terjadi ketimpangan dan ketidak

jujuran diberbagai bidang. (4) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel

Burung-burung Manyar adalah (a) nilai hedonisme, nilai kesenangan dan kenikmatan

atas dasar penangkapan inderawi, (b) nilai vital kehidupan, yang mendukung

kehidupan dan peradaban menyangkut pengalaman yang lebih mendalam, (c) nilai

kerohanian, nilai esteti menyangkut rasa keindahan nilai epistemologis dan (d) nilai

kesucian, tataran tingkat tertinggi pencapaian rasa dan keheningan batin manusia

dalam kehidupan di dunia.

Penelitian Sunarjo (1986) dengan judul “Suatu Pendekatan tentang Pertautan

Sintaksis dalam Roman Burung-burung Manyar”. Penelitian ini menggunakan

metode pengamatan atau observasi. Hasil dari penelitian ini, meliputi: 1.

Bentuk-bentuk sintaksis dalam roman BBM kiranya dapat dikatakan sungguh terjalin dalam

sistem bahasa Indonesai, 2. Berdasarkan kriteria mana pun, apresiasi terhadap roman

BBM menumbuhkan pemahaman pikiran yang manis dan penuh guna, 3.

Prawayangan dan roman Burung-burung Manyar ternyata menunjukan adanya

kesejajaran, baik dalam alur, penokohan, latar, tema, teknik penceritaan, maupun

(32)

petunjuk bahwa Y.B. Mangunwijaya adalah pengarang yang senantiasa dan selalu

mengusahakan meningkatkan kualitas, termasuk dalam menulis.

PenelitianSantoso (1987) dengan judul “Roman Burung-burung Manyar Sebagai

Karya sastra dan Nilai Pendidikannya bagi Pembinaan Watak Siswa SMTA Sebuah

Pendekatan Struktural”. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural. Hasil dari

penelitian ini: 1. Roman Burung-burung Manyar pada dasarnya memang roman

serius. Hal ini terlihat dari permasalahan yang dikemukakan roman yaitu masalah

revolusi fisik di Indonesia, 2. Roman Burung-burung Manyar adalah sebuah karya

sastra yang memiliki kelengkapan unsur fiksi. Unsur tersebut saling berkaitan untuk

membentuk kebulatan (totalitas), 3. BBM adalah roman yang serius yang kaya akan

nilai-nilai yang berfungsi sebagai cerminan kualitas hidup, 4. BBM adalah roman

yang coba mengungkapkan revolusi Indonesia secara objektif.

2.2 Unsur Intrinsik 2.2.1 Tokoh

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di

dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1990:79). Menurut

Nurgiyantoro (2010: 176-177) tokoh berdasarkan segi peranan atau tingkat

pentingnya tokoh dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh

(33)

novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang

hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun

mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

Nurgiyantoro (2010: 178) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh

dibedakan menjadi dua yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

(Altenbernd & Lewis, 1966:59 dalam Nurgiyantoro) tokoh protagonis adalah

tokoh yang kita kagumi—yang salah satu jenisnya secara popular disebut

hero—tokoh yang merupakan pengejawantahan normal-normal, nilai-nilai,

yang ideal bagi kita. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh dalam karya

sastra yang merupakan penentang utama dari tokoh utama (Sudjiman,

1990:7).

Nurgiantoro (2010: 181-183) berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita

dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau bulat.

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya

memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja.

Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya

mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki

dan diungakap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan

jati dirinya.

2.2.2 Perwatakan

Egri (1946:33 dalam Sukada) perwatakan seorang tokoh memiliki tiga

(34)

Pada umumnya jenis perwatakan dalam sebuah novel ada dua macam, yaitu

perwatakan datar dan perwatakan bulat. Perwatakan datar adalah

masing-masing tokoh dilukiskan hanya dengan satu sudut, selamanya baik-baik saja,

atau sebaliknya, selama buruk-buruk saja. Perwatakan bulat adalah

melukiskan seseorang tokoh secara kompleks dari berbagai dimensi

(Montague dan Henshaw, 1966:14; Froster, 1970:75-85; Abrams, 1981:20

dalam Sukada).

Selanjutnya perwatakan dikategorikan dalam dua macam perkembangan

yaitu perwatakan dinamis dan perwatakan statis. Perwatakan dinamis yaitu

perwatakan yang mengalami perkembangan, sedangkan perwatakan statis

tidak mengalami perubahan (Montague dan Henshaw, 1966:14 dalam

Sukada). Scholes dan Kollog (1966:169 dalam Sukada) membedakan dua

macam dinamik atau perkembangan perwatakan tersebut, masing-masing

basis yang berhubungan dengan etnik dan basis yang berhubungan temporal

kronologis. Yang pertama berubah karena faktor etnis sebagai dasar,

sedangkan yang kedua berubah karena dasar perkembangan waktu.

Berhasilnya suatu perwatakan bisa menimbulkan kepercayaan terhadap

cerita: pembaca harus merasakan bahwa tokoh-tokoh tersebut berlaku seperti

dalam kehidupan sebenarnya Hardy (1996:304-5) (dalam Sukada,1987: 63).

Uraian mengenai cara menggambarkan karakterisasi ini terperinci

diberikan oleh M. Saleh Saad, yang dapat diuraikan pokok-pokonya di sini,

(35)

a) Cara Analitik: pengarang dengan kisahnya dapat menjelaskan

karakteristik seorang tokoh

b) Cara Dramatik: menggambarkan apa dan siapanya tokoh itu tidak secara

langsung, tetapi melalui hal lain, seperti

1. Menggambarkan tempat atau lingkungan sang tokoh

2. Cakapan (percakapan) antara tokoh dengan tokoh lain, atau

percakapan tokoh-tokoh lain tentang dia

3. Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain atau dia

4. Perbuatan sang tokoh

c) Cara Analitik yang panjang ditutup dengan dua-tiga kalimat cara

dramatic, dan cara dramatic yang panjang ditutup dengan dua-tiga kalimat

cara analitik (Lukman Ali,ed, 1967:123-4) (dalam Sukada,1987:64-65).

Selanjutnya, karakterisasi tokoh diperdalam lagi oleh Mindrop dalam

bukunya yang berjudul Metode Karakterisasi Telaah Fiksi (Minderop, 2005:

8-49), dijelaskan secara detail tentang telling dan showing. Metode langsung

(telling) pemaparan dilakukan secara langsung oleh si pengarang.

A. Metode langsung ini mencakup: Melalui Penggunaan Nama Tokoh,

Melalui Penampilan Tokoh, dan Karakterisasi Melalui Tuturan Pengarang.

1. Karakterisasi Menggunakan Nama Tokoh

Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk

memberikan ide atau menumbuhkan gagasan, memperjelas serta

(36)

melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh

lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh.

Misalnya, tokoh Edward Murdstone dalam David Copperfield karya

Charles Dickens; (stone sama dengan batu—keras) berarti si tokoh

memiliki watak yang keras.

Penggunaan nama dapat pula mengandung kiasan (allusion) susastra

atau historis dalam bentuk asosiasi. Nama Ethan Brand dalam Ethan

Brand karya Nathaniel Hawthorne, mengacu pada tokoh pembakar kapur

yang gemar bertualang. Nama ini mengandung kiasan dengan tanda

(brand) terhadap Cain, pewaris dosa sehingga Brand dibuang

sebagaimana ajaran yang terdapat dalam kitab Injil. Pembaca perlu pula

mencermati penggunaan nama secara ironis yang dikarakterisasikan

melalui inversion (kebalikannya). Demikianlah, melalui penamaan

tersebut tidak saja watak si tokoh yang tampak, bahkan tema suatu novel,

ceritera pendek atau drama dapat terungkap melalui cerminan karakter

para tokoh (Minderop, 2005: 8-10).

2. Karakterisasi Melalui Penampilan Tokoh

Dalam suatu karya sastra, faktor penampilan para tokoh memegang

peran penting sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh

dimaksud misalnya, pakaian apa yang dikenakannya atau bagaimana

(37)

tentang usia, kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan si tokoh.

Dari pelukisan ini tampak apakah tokoh merupakan sosok yang kuat,

terkadang lemah, relatif bahagia, tenang atau kadang kala kasar.

Sesungguhnya perwatakan tokoh melalui penampilan tidak dapat

disangkal terkait pula kondisi psikologis tokoh dalam cerita rekaan.

Misalnya, seorang tokoh dengan kondisi fisik tinggi dan langsing

biasanya diasosiasikan dengan watak intelektual atau tipe tokoh astetis

agak tertutup dan introspektif.

Metode perwatakan yang menggunakan penampilan tokoh

memberikan kebebasan kepada pengarang untuk mengekspresikan

persepsi dan sudut pandangnya. Secara subjektif pengarang bebas

menampilkan appearance para tokoh, yang sacara implicit memberikan

gambaran watak tokoh. Namun demikian, terdapat hal-hal yang sifatnya

universal, misalnya untuk menggambarkan seorang tokoh dengan positif

(bijaksana, elegan, cerdas), biasanya pengarang menampilkan tokoh yang

berpenampilan rapih dengan sosok yang proporsional (Minderop, 2005:

10-15).

3. Karakteristik Melalui Tuturan Pengarang

Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada

pengarang atau narator dalam menentukan kisahannya. Pengarang

(38)

ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Dengan

demikian, pengarang terus-menerus mengawasi karakterisasi tokoh.

Pengarang tidak sekedar menggiring perhatian pembaca terhadap

komentarnya tentang watak tokoh tetapi juga mencoba membentuk

persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya (Minderop, 2005:

15-16).

Metode Tidak Langsung (Showing)

Metode lainnya adalah metode tidak langsung dengan metode dramatic

yang mengabaikan kehadiran pengarang, sehingga para tokoh dalam

karya sastra dapat menampilakan diri sacara langsung melalui tingkah

laku mereka. Dalam hal ini para pembaca dapat menganalisis sendiri

karakter para tokoh.

Karakterisasi melalui dialog terbagai atas: Apa yang dikatakan Penutur,

Jatidiri Penutur, Lokasi dan Situasi Percakapan, Jatidiri Tokoh yang

Dituju oleh Penutur, Kualitas Mental Para Tokoh, Nada Suara,

Penekanan, Dialek, dan Kosa Kata Para Tokoh.

a. Apa yang Dikatakan Penutur

Pertama-tama pembaca harus memperhatikan subtansi dari suatu dialog.

(39)

mengembangkan peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya.

Bila si penutur selalu berbicara tentang dirinya sendiri tersembul kesan

ia seorang yang berpusat pada diri sendiri dan agak membosankan. Jika

si penutur selalu membicarakan tokoh lain ia terkesan tokoh yang

senang bergosip dan suka mencampuri orang lain.

b. Jatidiri Penutur

Jatidiri penutur di sini adalah ucapan yang disampaikan oleh seorang

protagonis (tokoh sentral) yang seyogyanya dianggap lebih penting

daripada apa yang diucapkan oleh tokoh bawahan (tokoh minor),

walaupun percakapan tokoh bawahan kerapkali memberikan informasi

krusial yang tersembunyi mengenai watak tokoh lainnya.

c. Lokasi dan Situasi Percakapan

1. Lokasi Percakapan

Percakapan antara para pembantu pada keluarga Mannon yang

terjadi di bagian luar rumah yang memiliki dua pintu masuk dari

arah jalan. Pengarang menggambarkan adanya warna-warna

kontradiktif yang menghiasi bangunan depan rumah—hitam, putih,

abu-abu, dan hijau. Terdapat sebuah bangunan taman yang

terlingdung hingga tidak terlihat dari depan rumah. Bagian atas

bangunan (portico) yang ditopang pilar seperti topeng putih yang

tidak selaras menempel di rumah tersebut seakan-akan

(40)

watak para tokoh penghuni rumah ini. Pelukisan lokasi di atas

dapat memberikan inspirasi kepada pembaca betapa penghuni yang

meninggali rumah tersebut menyimpan suatu misteri dan keburukan

yang disembunyikan.

2. Situasi Percakapan

Percakapan antara Seth, Ames, Louisa, dan Minnie terjadi dalam

situasi pesta yang diadakan di rumah keluarga Mannon. Situasi

percakapan riang–gembira diiringi aluan musik dan penyanyi serta

diselingi dengan acara minum-minum. Pada acara ini para tokoh di

atas mulai berguning tentang majikan mereka—jendral Manno—

yang tidak hadir karena sedang bertugas membela Negara. Situasi

percakapan ini sangat mendukung watak para tokoh yang gemar

bergunjing (Minderop, 2005: 28-30).

d. Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh Penutur

Penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam

ceritera; maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang

(41)

e. Kualitas Mental para Tokoh

Pickering dan Hooper (dalam Minderop, 2005:33). Kualitas mental

para tokoh dapat dikenali melalui alunan dan aliran tuturan ketika

para tokoh bercakap-cakap. Misalnya, para tokoh yang terlibat

dalam suatu diskusi yang hidup menandakan bahwa mereka

memiliki sikap mental yang open-minded. Ada pula tokoh yang

gemar memberikan opini, atau bersikap tertutup (close-minded) atau

tokoh yang penuh rahasia dan menyembunyikan sesuatu.

2.2.3 Alur/Plot

Jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.

Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh

hubungan kausal (sebab-akibat). Alur yaitu rangkaian peristiwa yang direka

dan dijalin dengan seksama, yang menggerakan jalan cerita melalui rumitan

ke arah klimaks dan selesaian (Sudjiman, 1990:4).

Sementara itu, Sudjiman (1992:30-36) mengatakan struktur alur

meliputi paparan (exposition), rangsangan (inceting moment), gawatan

(rising action), tikaian (conflict), rumitan (complication), klimaks (climax),

leraian (falling action) dan selesaian (denovement).

(42)

Paparan adalah penyampaian informasi kepada pembaca. Paparan

biasanya terletak pada awal cerita. Dalam tahapan ini pengarang

memperkenalkan para tokoh menjelaskan temapt peristiwa yang akan

terjadi. Paparan ini berfungsi untuk mengatarkan pembaca ke dalam

persoalan utama yang menjadi isi cerita darma itu.

2. Rangsangan

Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan.

Rangsangan sering ditimbulkan oleh hal lain, misalnya oleh datangnya

berita yang merusak keadaan yang semula terasa laras. Tak ada patokan

tentang panjang paparan, kapan disusul oleh rangsangan, dan berapa lama

sesudah itu samapi pada gawatan.

3. Gawatan/ Tegangan

Gawatan adalah peristiwa yang ditimbulkan oleh munculnya keinginan,

pikiran, prakarsa dari seorang tokoh cerita untuk mencapai tujuan

tertentu. Akan tetapi, hasil dari prakarsa itu tidak pasti sehingga

menimbulkan kegawatan.

4. Tikaian

Tikaian adalah munculnya perselisihan yang diakibatkan oleh adanya dua

kekuatan yang dipertentangkan; satu diantaranya diwakili oleh manusia

atau pribadi yang biasanya menjadi protagonist dalam cerita.

(43)

Rumitan adalah perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju klimaks

cerita, klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya.

Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari

klimaks.

6. Klimaks

Klimaks adalah bagian alur yang menunjukan adanya pihak-pihak yang

berlawanan atau bertentangan, perhadapan untuk melakukan perhitungan

terakhir yang menentukan. Klimaks merupakan tahapan ketika

pertentangan yang terjadi mencapai titik optimalnya. Bagian ini terutama

dipandang dari segi tanggapan emosional dari pembaca atau penonton

menimbulkan puncak ketegangan.

7. Leraian

Leraian adalah bagian struktur alur yang sudah tercapai klimaks dan

kritis, merupakan peristiwa yang menunjukan perkembangan lakuan

kearah selesaian, dalam hal ini pertentangan mereka. Ketegangan

emosional menyusut, suasanan panas mulai mendingin, menuju kembali

kekeadaan semula seperti sebelum terjadinya pertentangan.

8. Selesaian

Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian boleh jadi

mengandung penyelesian masalah yang melegakan ; boleh juga

mengandung penyelesian masalah yang menyedikan, mislnya si tokoh

(44)

menggantung tanpa pemecahan, tanpa ada penyelesian masalah dalam

keadaan yang penuh dengan ketidakpastian, ketidakjelasan, ataupun

ketidak pahaman.

2.2.4 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,menyaran

pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam

Nurgiyantoro, 2010:216).

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,

waktu, dan social. Kegita unsur itu walau masing-masing menawarkan

permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada

kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengarui satu dengan yang

lain.

1. Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi.

2. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa

-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

3. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam

(45)

Menurut Stanton (2007:35) latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah

peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa

yang sedang berlangsung.

Latar berfungsi untuk mengekspresikan perwatakan dan kemauan, memiliki

hubungan erat dengan alam dan manusia (Wellek dan Werren dalam Sukada,

1987:61).

2.3 Teori Psikologi Abraham Maslow

Teori dari Abraham Maslow mempunyai beberapa sebutan, seperti teori

humanistik, teori transpersonal, kekuatan ketiga dalam psikologis, kekuatan keempat

dalam kepribadian, teori kebutuhan dan teori aktualisasi diri. Akan tetapi, Abraham

Maslow menyebutnya sebagai teori holistik-dinamis karena teori ini menganggap

bahwa keseluruhan dari seseorang terus-menerus termotivasi oleh satu atau lebih

kebutuhan dan bahwa orang yang mempunyai potensi untuk menuju kesehatan

psikologis, yaitu aktualisasi diri (Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:325).

Untuk meraih aktualisasi diri, orang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan

dilevel yang lebih rendah, seperti kebutuhan akan lapar, keamanan, cinta, dan harga

diri. Hanya setelah orang merasa cukup puas pada masing-masing dari

kebutuhan-kebutuhan ini, maka mereka bisa mencapai aktualisasi diri (Maslow dalam Jess, Feist,

(46)

Teori kepribadian Maslow dibuat berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai

motivasi (maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:330-331). Pertama,

Maslow mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi (holistic

approach to motivation), yaitu keseluruhan dari seseorang, bukan hanya satu bagian

atau fungsi, termotivasi. Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari

beberapa hal (motivation is usually complex), yang berarti bahwa tingkah laku

seseorang dapat muncul dari beberapa motivasi yang terpisah. Contohnya, keinginan

untuk berhungangan seksual dapat termotivasi tidak hanya oleh adanya kebutuhan

yang berkaitan dengan alat kelamin, tetapi juga oleh kebutuhan akan dominasi,

kebersamaan, cinta dan harga diri. Selain itu, motivasi untuk melakukan sebuah

tingkah laku dapat disadari maupun tidak disadari oleh orang yang melakukan.

Contohnya, motivasi seorang mahasiswa untuk mendapatkan nilai tinggi dapat

menutupi motivasi sesungguhnya yang adalah kebutuhan untuk mendominasi atau

memperoleh kekuasaan.

Asumsi ketiga adalah bahwa orang-orang berulang kali termotivasi oleh

kebutuhan-kebutuhan (people are continually motivated by one need or another).

Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan

untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain. Contonya, selama

kebutuhan akan makan/rasa lapar belum terpenuhi, orang akan selalu berusaha

(47)

mereka beralih ke kebutuhan-kebutuhan lain seperti keamanan, pertemanan, dan

penghargaan diri.

Keempat, semua orang di manapun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama

(all people everywhere are motivated by the same basic needs). Bagaimana cara

orang-orang di kultur yang berbeda-beda memperoleh makanan, membangun tempat

tinggal, mengekspresiakan pertemanan, dan seterusnya bisa bervariasi, tetapi

kebutuhan dasar untuk makanan, keamanan, dan pertemanan merupakan kebutuhan

yang berlaku umum untuk semua spesies.

Asumsi terakhir mengenai motivasi adalah kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk

menjadi sebuah hierarki (need can be arranged on a hierarchy).

Menurut Maslow tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan

individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan si individu lebih berbahagia dan

sekaligus memuaskan. Masalah yang terpenting, menurut Maslow ialah seorang harus

terlebih dahulu mencapai kebutuhan yang paling mendasar sebelum mempu mencapai

kebutuhan di atasnya. Maslow menyampaikan teorinya tentang kebutuhan bertingkat

yang tersusun sebagai berikut, kebutuhan: fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki,

harga diri ,dan aktualisasi diri (Minderop, 2010:48).

Kebutuhan manusia tersusun menurut tingkatan, yaitu

(48)

Kebutuhan paling mendasar dari setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis,

termasuk di dalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu

tubuh,dll. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang mempunyai

kekuatan/pengaruh paling besar dari semua kebutuhan. Orang-orang yang

terus-menerus merasa lapar akan termotivasi untuk makan—tidak termotivasi untuk

mencari teman atau memperoleh harga diri. Mereka tidak melihat lebih jauh dari

makanan, dan selama kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka motivasi utama

mereka adalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan.

Kebutuhan fisiologis berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan lainya,

setidaknya ada dua hal yang penting. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah

satu-satunya kebutuhan yang dapat terpenuhi atau bahkan selalu terpenuhi.

Orang-orang bisa cukup makan sehingga makanan akan kehilangan kekuatan untuk

memotivasi. Bagi orang yang baru saja selesai makan dalam porsi besar, pikiran

tentang makanan bahkan dapat menyebabkan perasaan mual.

Karakteristik berbeda yang kedua dari kebutuhan fisiologis adalah

kemampuan untuk muncul kembali (recurring nature). Setelah orang selesai

makan, mereka lama-kelamaan menjadi lapar lagi; mereka terus-menerus

mengisi ulang pasokan makanan dan air; dan satu tarikan nafas harus dilanjutkan

oleh tarikan nafas berikutnya. Akan tetapi, kebutuhan-kebutuhan di level lainnya

tidak muncul kembali secara terus-menerus. Contohnya, orang yang paling tidak

(49)

merasa percaya diri bahwa mereka dapat terus memenuhi kebutuhan mereka

akan cinta dan harga diri (Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist,

2010:332-333).

2. Kebutuhan akan Keamanan

Ketika orang telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka menjadi

termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan (safety need), yang termasuk di

dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan

kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mencekam, seperti perang, teroris,

penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam.

Kebutuhan akan hukum, ketentraman, dan keteraturan juga merupakan bagian

dari kebutuhan akan keamanan.

Pada masyarakat yang tidak sedang mengalami perang, sebagian besar

orang-orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan akan keamanan

mereka setiap waktu sehingga,menjadikan kebutuhan ini cenderung tidak

penting. Akan tetapi, anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan

rasa aman karena mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang

asing, hukumana dari orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa

cenderung tidak aman karena ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa

hingga masa dewasa dan menyebabkan mereka bertindak seolah mereka takut

akan hukuman dari orang tua. Mereka menghabiskan lebih banyak energi

(50)

akan rasa aman dan ketika mereka tidak berhasil memenuhi kebutuhan rasa aman

tersebut, mereka akan mengalami apa yang disebut dengan kecemasan dasar

(basic anxiety) (Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:333-334).

3. Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan

Setelah orang memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan, mereka

menjadi termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love and

belongingness needs), seperti keinginan untuk berteman; keinginan untuk

mempunyai pasangan dan anak; kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah

keluarga, sebuah perkumpulan, lingkungan masyarakat, atau negara. Cinta dan

keberadaan juga mencakup beberapa aspek dari seksualitas dan hubungan dengan

manusia lain dan juga kebutuhan untuk memberi dan mendapatkan cinta

(Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:334).

Orang yang kebutuhan akan cinta dan keberadaan cukup terpenuhi sejak dari

masa kecil tidak manjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang yang seperi ini

mempunyai kepercayaan dari bahwa mereka akan diterima oleh orang-orang

yang penting bagi mereka, jadi ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak

merasa hancur.

Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak

pernah merasakan cinta dan keberadaan, dan oleh karena itu, mereka menjadi

tidak mampu memberikan cinta. Mereka jarang atau bahkan tidak pernah dipeluk

(51)

Maslow percaya bahwa orang semacam ini lama-kelamaan akan belajar untuk

tidak mengutamakan cinta dan terbiasa dengan ketidakhadiran cinta.

Kategori ketiga adalah orang-orang yang menerima cinta dan keberadaan

hanya dalam jumlah yang sedikit. Oleh karena hanya menerima sedikit cinta dan

keberadaan, maka mereka akan sangat termotivasi untuk mencarinya. Dengan

kata lain, orang yang menerima sedikit cinta mempunyai kebutuhan akan kasih

sayang dan penerimaan yang lebih besar daripada orang yang menerima cinta

dalam jumlah cukup atau yang tidak menerima cinta sama sekali (Maslow dalam

Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:334-335).

4. Kebutuhan akan Penghargaan

Setelah orang-orang memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan,

mereka bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yang

mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahuan

yang orang lain hargai tinggi. Maslow (1970) mengidentifikasi dua tingkatan

kebutuhan akan penghargaan—reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi

akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari

sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi

seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri

didasari oleh lebih dari reputasi maupun gengsi. Harga diri menggambarkan

sebuah “keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan,

(52)

serta kemandirian dan kebebasan”. Dengan kata lain, harga diri didasari oleh

kemampuan nyata dan bukan hanya didasari oleh opini orang lain. (Maslow

dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:335).

5. Kebutuhan akan Aktualisasi diri

Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling

penting dalam teori Maslow tentang motivasi pada manusia. Kebutuhan akan

aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan potensi diri, dan keinginan

untuk menjadi sekreatif mungkin (Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist,

2010:336).

Maslow (dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:338) memperkirakan

bahwa rata-rata orang membuat kebutuhan masing-masing terpenuhi samapai

kurang lebih sebanyak ini: fisiologis 85%; keamanan 70%, cinta dan keberadaan

50%, penghargaan 40%, dan aktualisasi diri 10%. Semakin besar kebutuhan di

level rendah terpenuhi, maka akan semakin besar kemunculan kebutuhan di level

selanjutnya. Contohnya, jika kebutuhan akan cinta hanya terpenuhi sebesar 10%,

maka kebutuhan penghargaan mungkin tidak akan muncul sama sekali. Akan

tetapi, jika kebutuhan akan cinta terpenuhi sebanyak 25%, maka bisa jadi

kebutuhan penghargaan dapat muncul sebanyak 5%. Jika kebutuhan akan cinta

sebesar 75%, maka kebutuhan akan penghargaan dapat muncul sampai 50%, dan

(53)

Oleh sebab itu, kebutuhan-kebutuhan muncul secara bertahap, dan seseorang

dapat termotivasi secara bersama oleh kebutuhan-kebutuhan dari dua atau lebih

level. Sebagai contoh, orang yang mengaktualisasi diri diundang sebagai tamu

kehormatan di sebuah acara makan malam bersama yang diadakan teman-teman

dekatnya di sebuah restoran. Tingkah laku makan memenuhi kebutuhan

fisiologis; tetapi pada saat yang bersamaan, sang tamu kehormatan bisa juga

memenuhi kebutuhan-kebutuhan keamanan, cinta, penghargaan, dan aktualisasi

dirinya.

Maslow (dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, 2010:339-340) tidak

terpenuhinya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan mendasar dapat mengarah

pada beberapa macam penyakit. Kebutuhan fisiologis yang tidak terpenuhi

berakibat pada malnutrisi, kelelahan, hilang energi, obsesi terhadap seks, dan lain

sebagainya. Ancaman terhadap keamanan seseorang akan mengarah pada

perasaan bahwa bahaya sedang mengancam, perasaan tidak aman, dan perasaan

takut yang sangat besar. Ketika kebutuhan cinta tidak terpenuhi, seseorang

menjadi defensif, terlalu agresif, atau canggung di lingkungan sosial. Kurangnya

penghargaan pada munculnya keraguan diri, tidak menghargai diri, dan

kurangnya rasa percaya diri. Tidak terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri juga

mengarah pada penyakit atau patologi, atau lebih tepatnya metapatologi. Maslow

mendefinisikan metapatologi sebagai ketiadaan nilai-nilai, ketiadaan

(54)

Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga diri

mereka bahkan ketika dimaki, ditolak, dan diremehkan oleh orang lain. Dengan

kata lain orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak bergantung pada

pemenuhan kebutuhan cinta maupun kebutuhan akan penghargaan. Mereka

menjadi mandiri sejak kebutuhan level rendah yang memberi mereka kehidupan.

Maslow (1970) membuat daftar lima belas karakteristik sementara yang

merupakan ciri-ciri orang-orang yang mengaktualisasi diri sampai batasan

tertentu. Kelima belas cirri itu:Persepsi yang Lebih Efisien akan Kenyataan;

Penerimaan akan Diri, Orang lain, dan Hal-hal alamiah;

Spontanitas,Kesederhanaan, dan Kealamian; Berpusat pada Masalah; Kebutuhan

akan Privasi; Kemandirian; Penghargaan yang Selalu Baru; Pengalaman puncak;

Gemeinschaftsgefuhl; Hubungan Interpersonal yang Kuat; Struktur Karakter

Demokratis; Diskriminasi antara Cara dan Tujuan; Rasa Jenaka/Humor yang

Filosofis; Kreativitas; Tidak Mengikuti kulturasi.

2.4 Pembelajaran Sastra di SMA

Pada haketatnya, pelajaran sastra bukanlah pembelajaran tentang sastra,

melainkan proses belajar mengajar yang memberikan kemampuan dan

keterampilan mengapresiasikan sastra melalui proses interaksi dan transaksi antar

siswa dengan cipta sastra yang dipelajarinya. Oleh sebab itu pembelajaran sastra

harus direncanakan untuk melibatkan siswa dalam proses menampilkan

(55)

tentang makna karya sastra, melaikan diajar untuk memperoleh secara mandiri

(Gani, 1988:125).

Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila

cakupannya meliputi 4 manfaat:

1. Membantu keterampilan berbahasa

2. Meningkatkan pengetahuan budaya

3. Mengembangkan cipta dan rasa

4. Menunjukan pembentukan watak

Dalam kaitannya pembelajaran sastra di SMA, siswa tidak hanya dituntut

untuk memahami karya sastra, tetapi juga mengapresiasikan karya sastra.

Tahapan pembelajaran sastra di SMA memuat empat komponen yaitu,

mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis (Depsiknas, 2006:232).

Komponen mendengarkan meliputi kemampuan mendengar, memahami dan

mengapresiasikan ragam karya sastra seperti, cerpen, puisi, drama dan novel.

Komponen berbicara meliputi kemampuan membahasa, menaggapi dan

mendiskusi ragam karya sastra sesuai isinya. Komponen membaca meliputi

kemampuan membaca serta memahami berbagai jenis karya sastra dan dapat

mengapresiasikannya. Komponen menulis meliputi kemampuan

mengapresiasikan karya sastra ke dalam bentuk tulisan kesastraan berdasarkan

(56)

2.4.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP pasal 1, Ayat 15), dijelaskan

bahawa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum

operasional yang disusun dan dilakasanakan oleh masing-masing satuan

pendidikan. Penyususnan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan

memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang

dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Sanjaya,

2008:128).

Dalam KTSP, pembelajaran sastra khususnya novel diajarkan untuk: (1)

kelas XI semester 1 dengan standar kompetensi membaca yaitu dengan

memahai berbagai hikayat, novel Indonesia/terjemahan. Kompetensi dasarnya

adalah menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Indonesia/terjemahan. (2) kelas XII semester 1 dengan standar kompetensi

mendengarkan yaitu dengan memahai pembacaan novel. Kompetensi dasarnya

adalah menaggapi pembacaan penggalan novel dari vokal, intonasi,dan

penghayatan serta menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan

novel. Penelitian ini, memilih kurikulum kelas XII semester 1 yaitu memahai

pembacaan novel. Setelah siswa mendapatkan pengetahuan tentang cara

menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang didapat pada saat

mereka kelas XI semester 1 maka, untuk kelas XII semester 1 diharapkan siswa

(57)

dari segi vocal, intonasi, dan intonasi,dan penghayatan serta menjelaskan unsur

intrinsik dari pembacaan penggalan novel.

2.4.2 Silabus

Silabus merupakan penjabaran dari standar kompetensi dan kompetensi

dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian

kompetensi untuk penilaian (Depdiknas, 2006:7).

Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri

atau kelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, kelompok

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada Pusat Kegiatan Guru (PKG),

dan Dinas Pendidikan (BNSP,2006:14)

Berikut ini uraian prinsip pengembangan silabus yang terdapat pada

Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.

1. Ilmiah: keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus

harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmuan.

2. Relevansi: cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran,dan urutan penyajian

materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual,

sosial, emosional, dan spiritual peserta didik.

3. Sistematis: komponen-komponen silabus saling berhubungan secara

fungsional dan mencapai kompetensi.

4. Konsisten : adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat, asas) antara

kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber

(58)

5. Memadai: cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber

belajar dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi

dasar.

6. Actual dan kontekstual: cakupan indikator, materi pokok, pengalaman

belajar, sumber belajar dan sistem penilaian harus memperhatian

perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyatan

dan peristiwa yang terjadi.

7. Fleksibe keseluruhan kompnen silabus dapat mengakomodasi keragaman

perseta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah

dan tuntutan masyarakat.

8. Menyeluruh: komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi

(kognitif, afektif, dan psikomotorik)

Komponen-komponen yang ada di dalam silabus antara lain yaitu

identifikasi, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman

belajar, indikator, penilaian, alokasi waktu, sumber/bahan/alat. Berdasarkan

kompenen tersebut terdapat langkah-langkah penting yang terdapat dalam

silabus pembelajaran.

1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran seperi

(59)

a. Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu atau tingkat kesulitan

materi

b. Berkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam suatu

materi pelajaran

c. Keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata

pelajaran

2. Mengidentifikasi Materi Pokok

Mengidentifikasi materi pokok yang menunjang pencapaian standar

kompetensi dan kompetensi dasar dengan mempertimbangkan hal-hal

berikut:

a. Potensi peserta didik

b. Relevansi dengan karakteristik daerah

c. Tingkat perkembangan fiksi, intelektual, emosional, sosial, dan

spiritual peserta didik

d. Struktur keilmuan

e. Aktualisasi, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran

f. Relevansi dengan kebutuhan peresta didik dan tutuntan lingkungan,

serta

(60)

3. Mengembangkan Pengalaman Belajar

Pengalaman belajar adalah kegitan mental dan fisik yang dilakukan

peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber belajar melalui pendekatan

pembelajaran yang bervariasi dan mengaktifkan perserta didik. Hal-hal yang

perlu diaktifkan dalam mengembangkan kegiatan pelajaran adalah sebagi

berikut:

a. Kegitan pembelajaran disusun untuk memberiakan bantuan kepada

para pendidik, khususnya guru agar dapat melaksanakan proses

pembelajarn secara professional

b. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus

dilakukan oleh peresta didik secara berurutan untuk mencapai

kompetensi dasar

c. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan hierarki

konsep materi pembelajaran

d. Rumusan pernyataan dalam kegiatan minimal mengandung dua unsur

penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa,

yaitu siswa dan materi

4. Merumuskan Indikator Keberhasilan Belajar

Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menujukan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian model I adalah: (a) ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap ROE dan BOPO sedangkan ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap ROA dengan nilai signifikansi

Berdasarkan hasil analisis R/C tersebut, komoditi wortel, bayam hijau, dan selada cos cukup menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembuatan Kepala Kepala Madrasah termasuk dalam kategori sangat baik

Namun ada yang menarik dari peubah laten KEG_EKSL ini, karena nilai koefisien jalur KEG_EKSL mengalami ganti tanda, dari model awal yang memiliki nilai positif

[r]

Memperoleh Gelar Ahli Madya Bidang Komunikasi Terapan. Disusun

Tema penelitian yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk-bentuk pemanfaatan perpustakaan sebagai sumber belajar mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Thus, consensus sequences, specific localization of GgVLG mRNA in the germ cells, amino acid sequence similarity and phylogenic analysis all suggest that GgVLG is the giant