• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

2.1.1 Kebijakan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

Menurut Carl J. Friedrich (Wahab, 2001:3), kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.

Parker (Wahab, 2001:31), kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungan suatu obyek atau suatu tanggapan atas suatu krisis.

Menurut Chandler dan Plano (Tangkilisan, 2003:1), kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

Dengan demikian dapat disimpulkan, Kebijakan publik itu berupa keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas publik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.

Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah.

Ada tiga alasan mempelajari kebijakan negara menurut Anderson dan Thomas R. Dye (Wahab,2001:12), yaitu:

1. Dilihat dari alasan ilmiah (scientific reason)

Kebijakan negara dipelajari dengan maksud memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakikat dan asal mula kebijakan negara, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat.

2. Dilihat dari alasan profesional (profesional reason)

Studi kebijakan negara dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan negara guna memecahkan masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan hal ini, terkandung sebuah pemikiran bahwa kebijakan negara tersebut agar tepat sasaran.

3. Dilihat dari alasan politis (political reason)

Kebijakan negara dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.

Dari uraian di atas maka pada dasarnya kebijakan publik memiliki implikasi yang menurut Islamy (2000:24), sebagai berikut:

1. Bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah. 2. Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk-bentuk teks

formal, namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan secara nyata.

3. Kebijakan publik harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu.

4. Pada akhirnya segala proses yang ada diatas adalah diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat.

Berkaitan dengan hal ini, dalam pembahasan ini peneliti membahas salah satu dari bentuk kebijakan publik yaitu Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Daerah di Bidang Perhubungan, termasuk didalamnya Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor.

Pengujian kendaraan bermotor meliputi kegiatan memeriksa, mencoba dan meneliti diarahkan kepada setiap kendaraan bermotor yang wajib uji secara keseluruhan pada bagian-begian kendaraan secara fungsional dalam sistem komponen serta dimensi teknis kendaraan bermotor baik berdasarkan ketentuan yang berlaku maupun berdasarkan ketentuan persyaratan teknis yang objektif. Kendaran bermotor yang wajib uji untuk memenuhi ambang batas laik jalan yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, pasal 127 meliputi:

a) Emisi gas buang kendaraan bermotor; b) Kebisingan suara kendaraan bermotor; c) Efisiensi sistem rem utama;

d) Efisiensi sistem rem parkir; e) Kincup roda depan;

f) Tingkat suara klakson;

g) Kemampuan pancar dan arah sinar lampu; h) Radius putar;

i) Alat petunjuk kecepatan;

j) Kekuatan untuk kerja dan ketahanan ban luar untuk masing-masing jenis ukuran dan lapisan;

Bagi kendaraan yang dinyatakan lulus uji mendapat perpanjangan buku uji berkala selama enam bulan dan dilengkapi dengan tanda samping, yaitu berat kosong kendaraan, jumlah berat yang diperbolehkan/diizinkan, daya angkut barang, masa berlaku surat/tanda uji dan kelas jalan terendah yang boleh dilalui. Sedangkan dan bagi kendaraan yang dinyatakan tidak lulus uji, maka petugas penguji wajib memberitahukan secara tertulis yaitu perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan, waktu dan tempat dilakukan pengujian ulang tanpa dipungut biaya lagi.

Sedangkan manfaat yang

diperoleh bagi kedaraan yang mengikuti pengujian kendaraan bermotor adalah sebgai berikut:

a) Manfaat secara teoritis yang didapatkan bagi kendaraan yang mengikuti pengujian kendaraan bermotor yaitu:

(1) Pengendalian kendaraan yang dioperasikan di Indonesia.

(2) Mempermudah penyidikan pelanggaran menyangkut kendaraan yang bersangkutan.

(3) Memenuhi kebutuhan data lainnya dalam rangka penrencanaan pembangunan nasional.

b) Manfaat secara praktis yang diharapkan bagi kendaraan yang mengikuti pengujian kendaraan bermotor untuk kelestarian lingkungan yang disebabkan oleh asap gas buang kendaraan bermotor dan keselamatan baik materi maupun jiwa, maka diharuskan mengikuti pengujian kendaraan bermotor untuk memperkecil kerusakan-kerusakan berat pada

waktu pemakaian dan akan mengurangi tingkat resiko kecelakaan yang diakibatkan oleh kendaraan tersebut.

Dalam pasal 1 Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2014 tentang Retribusi Daerah di bidang Perhubungan sebagai berikut, “Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor adalah pungutan retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan jasa pengujian kendaraan bermotor kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis laik jalan”. Pelayanan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor meliputi:

1. Pemeriksaan kondisi laik jalan; 2. Pembuatan nomor ijin;

3. Pembuatan, pemasangan dan pengecatan tanda sampling; 4. Penggantian Buku Uji;

5. Kendaraan yang melakukan uji di luar daerah atau mutasi uji.

Obyek dan subyek retribusi pengujian kendaraan bermotor dijelaskan dalam pasal 12 dan 13 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Daerah di Bidang Perhubungan sebagai berikut, “Obyek retribusi adalah pelayanan pengujian kendaraan bermotor yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di jalan”, dan “Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati jasa pelayanan pengujian kendaraan bermotor”.

Dalam Penetapan Struktur Dan Besaran Tarif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Menurut Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2014 pasal 17

tentang Struktur dan besarnya tarif pengujian kendaraan bermotor dan tidak bermotor ditetapkan sebagai berikut:

a. Pengujian:

1. Pengujian Pertama

a) Mobil barang, Bus, Tractor Head Rp 5.000,00- /kendaraan b) Kereta Gandengan, Tempelan, Mobil Penumpang Rp 3.000,00-

/kendaraan

c) Kendaraan bermotor roda 3 (tiga) Rp 3.000,00- /kendaraan 2. Pengujian Berkala

a) Mobil barang, Bus, Tractor Head Rp 6.500,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

b) Kereta Gandengan, Tempelan, Mobil Penumpang Rp 4.500,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

c) Kendaraan bermotor roda 3 (tiga) Rp 2.000,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

b. Penilaian Kondisi Teknis,

1. Mobil barang, Bus, Tractor Head Rp 30.000,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

2. Kereta Gandengan, Tempelan, Mobil Penumpang Rp 25.000,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

3. Kendaraan bermotor roda 3 (tiga) Rp 5.000,00- /kendaraan /6 (enam) bulan

c. Buku Uji Rp 10.000,00- /kendaraan d. Tanda Uji (Plat Uji) Rp 5.000,00- /pasang

e. Pengecatan tanda samping dan nomor uji Rp 7.500,00- /kendaraan f. Stiker tanda samping Rp 10.000,00- /kendaraan

g. Pergantian tanda uji (plat uji) yang rusak/hilang Rp 20.000,00- /pasang h. Pergantian buku uji yang rusak/hilang Rp 35.000,00- /kendaraan

i. Penilaian kondisi teknis untuk penghapusan atau pelelangan dan keperluan sejenisnya Rp 50.000,00- /kendaraan; dan

j. Perubahan bentuk dan atau status Rp 75.000,00- /kendaraan

2.1.2 Implementasi Kebijakan

Pada umumnya implementasi kebijakan merupakan kegiatan membentuk suatu hubungan yang dimungkinkan mencapai tujuan dari program atau kebijakan, yang direalisasikan sebagai aktivitas pemerintah. Proses implementasi dapat dimulai jika sasaran dan tujuan umum telah ditentukan dan dananya telah dialokasikan untuk mencapai sasaran tersebut. Kiranya inilah sebagai syarat dasar untuk implementasi suatu program. Suatu kebijakan yang diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan diharapkan oleh pemerintah atau kelompok sasaran dapat berjalan dengan baik. Sehingga kebijakan tersebut dapat berhasil meraih dampak atau mencapai tujuan yang diinginkan.

Sebelum lebih jauh memaparkan teori implementasi, perlu kiranya untuk diketahui lebih dahulu makna atau pengertian implementasi itu sendiri. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, maksudnya

implementasi merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bersama-sama untuk menjalankan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. (James P. Dan Josep Stewart dalam Winarno, 2002:101).

Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2002:102) mendefinisikan “implementasi kebijakan adalah sebagai tindakan-tindakan yang di lakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di tetapkan dalam keputusan sebelumnya”. Kegiatan implementasi ini baru dilakukan setelah kebijakan memperoleh pengesahan dari legislatif dan alokasi SDM dan dana juga telah di setujui. Dengan demikian berdasarkan pengertian diatas, implementasi kebijakan dalam pembuatannya melalui adanya suatu tahapan, tahapan tersebut dalam pelaksanaannya terdapat konsekuensi-konsekuensi yang dipengaruhinya.

Menurut Dunn (2002:80), Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan dari pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapai hasilnya. Perhatian pertama pada tahap undang-undang adalah pada pemilihan arah dan tindakan serta pengamatan bahwa hal tersebut diikuti sampai selesainya waktu pelaksanaan dan tidak ada pemahaman sifat masalah. Dalam pemilihan arah dan tindakan didasarkan pada tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dari suatu kebijakan. Tujuan-tujuan dan sasaran yang dioperasionalkan dalam bentuk tindakan menuntut kejelasan dan kosistensi atau keseragaman yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi sehingga para pejabat pelaksana melaksanakan tindakan sesuai dengan yang diharapkan.

Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka diperlukan langkah-langkah implementasi kebijakan yang tepat seperti yang dikemukakan olehWebster

(dalam Wahab, 2001:64) sebagai

berikut:“implementasikebijakanadalahsebagaitoimplement(mengimplementasikan) yang diartikan to provide the mean for carrying out(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) to give practice affect to(menimbulkan dampak atau akibat sesuatu)”.

Dari uraian teori-teori yang dikemukakan para ahli kebijakan negara diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr. (Agustino, 2006:139) dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart (dalam Agustino, 2006:140) istilah itu dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom

up approach). Masing-masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.

Sedangkan pendekatan top down, misalnya dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan, sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya mereka bertitik-tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam bentuk mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi.Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti dari pendekatan top down adalah sejauh mana tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

Terdapat banyak model-model Implementasi kebijakan baik yang beraliran

top down ataupun bottom up yang dapat dijadikan rujukan atau pedoman dalam mengadakan penelitian mengenai implementasi kebijakan, salah satunya yaitu Model George C. Edwards III.

Beberapa ilmuan penganut aliran top down salah satunya adalah George C. Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward III yang menamakan model implementasi kebijakan pubiknya dengan

direct and indirect impact on implementation (dalam Agustino, 2006:149) dimana terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu : (a) Komunikasi, (b) Sumberdaya, (c) Disposisi, (d) Struktur Birokrasi.

Gambaran Implementasi kebijakan menurut George C. Edward III merupakan salah satu model daripada implementasi kebijakan secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik Menurut George C. Edward

Sumber: Agustino, 2006:150

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya lebih lanjut, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain

Resources Communication

Bureaucratic

Implementation Disposition

itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:

1. Transmisi

Di mana penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut dikarenakan komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan gagal di tengah jalan.

2. Kejelasan

Dalam hal ini komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrat’s) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/bermakna ganda). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

3. Konsistensi

Apapun perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah

yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi

suatukebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan salah satu faktoryang menentukan keberhasilan suatu implementasi, menurut menurutGeorge C. Edward III(Agustino, 2006:151) sumber dayamerupakan sumber penggerak dan pelaksanadalammengimplementasikan kebijakan.Indikator sumber-sumber daya terdiri dari beberapa elemen meliputi manusia (staff), peralatan (facilities), Informasi (information) dan Kewenangan (Authority). Dimensi sumber daya manusia berarti efektivitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada aparatur yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Dimensi peralatn merupakan sarana yang digunakan untuk mengoperasionalisasi implementasi suatu kebijakan. Dimensi informa merupakan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan berdasarkan informasi yang relevan dan cukup. Kewenangan sangat diperlukan untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijaksanaan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik, bagi George C. Edwards III, adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias.

Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III(Agustino, 2006:152), adalah:

(a) Pengangkatan birokrat;

Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

(b) Insentif;

Merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif.

Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.

Variabel keempat, menurut Edward, yang mempengaruhi tingkat

keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan

untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

2.1.3 Struktur Birokrasi

Dalam organisasi pemerintahan, prosedur merupakan sesuatu rangkaian tindakan yang ditetapkan lebih dulu, yang harus dilalui untuk mengerjakan sesuatu tugas. Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2002:56) mengatakan bahwa struktur birokrasi juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan karakteristik-karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi di dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial atau nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijaksanaan.

Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins (1995:45) bahwa struktur birokrasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti.

Menurut Sondang P. Siagian (Indrawijaya, 2000:3), mengemukakan bahwa birokrasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja

bersama secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dimana terdapat seorang atau beberapa orang yang disebut atasan dan seorang atau beberapa orang yang disebut bawahan.

Berdasakan penjelasan di atas makastruktur birokrasiadalah suatu keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasakan situasi, kondisi dan kebutuhan. Karena sejatinya struktur birokrasi menggambarkan bagaimana birokrasi itu mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orangdan antar kelompok. Sebab struktur birokrasi ada kaitannya dengan tujuan dan cara yang dipakai untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapainya.

Menurut George C. Edward III (Winarno, 2002:150) terdapat dua indikator penting dari struktur birokrasi birokrasi yaitu:

a) Standar Operasinal Prosedur (SOP) b) Fragmentasi

Winarno (2002:150), dalam bukunya yang berjudul Teori dan Proses Kebijakan Publik menyatakan bahwa Standard Operational Procedure(SOPs)

merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran dasar atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Para pelaksana dengan menggunakan SOP dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibelitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan. Sedangkan fragmentasi dalam

organisasi merupakan penyebaran tanggung jawab pelaksanaan tugas sehingga tidak tumpang tindih dengan tetap mencakup pada pembagian tugas secara menyeluruh.

Khusus pada organisasi pemerintah pedoman pelaksanaan administrasi perkantoran yang dapat meningkatkan pelayanan dan kinerja birokrasi merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/21/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Peraturan ini mengamanatkan perlunya penyusunan Standar Operasi Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan sebagai pelaksanaan Reformasi Birokrasi di seluruh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang bertujuan secara umum untuk membangun/membentuk perilaku aparatur negara dengan integritas tinggi, produktivitas tinggi dan bertanggung jawab serta kemampuan memberikan pelayanan yang prima melalui pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaandan aspek sumber daya aparatur. Atau dapat dikatakan bahwa Penyusunan SOP merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dalam peningkatan pelayanan dan kinerja.

Untuk menentukan pencapaian implementasi kebijakan secara efektif harus ada struktur birokrasi yang menjelaskan tugas yang jelas (job discription), wewenang (authority), dan tanggung jawab (accountabillity) antar bidang dalam birokrasi dan hubungan antar personal yang dipercayainya akan menghubungkan

perilaku/individu dan kelompok dalam peningkatan mutu pelayanan, sehingga dengan demikian struktur birokrasi sangat berpengaruh terhadap efektifitas pelayanan. Oleh karena itu struktur birokrasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap implementasi kebijakan. Akan tetapi, apabila struktur birokrasi tidak disusun dengan baik maka akan dapat menghambat tercapainya tujuan implementasi kebijakan secara maksimal.

Selanjutnya menurut Jones (2001:49) dalam bukunya “Organizational Theory” dinyatakan bahwa istilah SOPs muncul dalam pembahasan mengenai “Balancing Standardization and Mutual Adjustment”, yaitu: “Written rules and standard operating procedures (SOPs) and unwritten values and norms help to control behavior in organization. The specify how an employee is to perform his or her organization role, and they set forth the tasks and responsibilities associated

Dokumen terkait