• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Kebijakan Wisata Bahar

Dalam suatu kawasan pariwisata di wilayah pesisir pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan bekerja yang berbeda, sebagai nelayan, petani, pendamping wisatawan, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Di lain pihak sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja sekelompok orang yang telah secara mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.

Kawasan wisata di pesisir umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Setiap pengguna sumberdaya pesisir, dalam hal ini industri pariwisata, biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya wajar jika pencemaran, over-exploited sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan pesisir. Aspek sosial ini sangat berkaitan dengan aspek ekonomi.

Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan, khususnya dalam konteks pengembangan wisata bahari aspek sosial perlu mendapat perhatian khusus mengingat kegiatan wisata perlu adanya keterlibatan masyarakat, yang merupakan wadah kehidupan bersama. Adanya kegiatan wisata di suatu wilayah pesisir dan lautan tentunya menimbulkan interaksi sosial pada subsistem kehidupan fisik. Bahwa untuk membangun masyarakat di wilayah pesisir dan laut diperlukan pemahaman sosiologi masyarakat pesisir. Sosiologi masyarakat pesisir berbeda dengan sosiologi pertanian yang basisnya pada kegiatan pertanian di darat, sosiologi masyarakat pesisir ini direkonstruksi dari

basis sumberdaya. (Satria et al. 2002).

Pariwisata memiliki efek stimulasi terhadap ekonomi regional. Dalam hal

ini, ada dua fase pengembangan pariwisata : pertama adalah fase pembangunan,

dimana investasi pada konstruksi meningkatkan permintaan barang dan jasa pada

kawasan secara temporer. Kedua, selama fase operasional dari pariwisata,

efek stimulasi yang lebih permanen. Perusahaan pariwisata menyediakan pekerjaan ekonomi regional dan konsekwensinya mereka membayar upah. Sektor

pariwisata adalah industri yang relatif labour intensive. Artinya adalah bahwa

dengan stok modal yang relatif rendah menyediakan sejumlah pekerjaan yang pasti. Selanjutnya permintaan akan pekerja berfluktuasi tergantung dari musim turis, sehingga pekerjaan yang ada adalah seringkali pekerjaan paruh waktu yang dicirikan dengan status dan gaji yang rendah. Efek dari pariwisata ini tidak hanya terbatas pada efek langsung.

Aktifitas ekonomi regional yang menyediakan industri turisme dihadapkan pada permintaan yang meningkat. Lebih lanjut, permintaan konsumen akan berkembang sebagai konsekwensi dari pendapatan regional yang meningkat. Akhirnya pemerintah nasional maupun regional akan mendapatkan manfaat ketika revenue dari berbagai bentuk pajak ( seperti turis, pendapatan dan added value dari pajak), meningkat. Disamping itu, tingkat pengangguran akan berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah pekerjaan. Fenomena dimana ekspenditur turis tidak terbatas ke perusahaan dimana uang disimpan, disebut sebagai efek

multiplier dari tourist expenditure. Efek multiplier ini adalah rantai dari efek yang

mengikuti perubahan dari tourist expenditure. Efek dari industri turis regional itu

sendiri disebut sebagai efek langsung, sedangkan efek pada perusahaan regional yang diakibatkan sektor turisme dan berbagai konsekwensi perubahan dalam

permintaan intermediate adalah efek tidak langsung. Efek induksi adalah efek

dari peningkatan permintaan untuk barang-barang konsumsi sebagai konsekwensi dari peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah ini.

Dilain pihak, permasalahan di suatu kawasan yang masih belum banyak di perhatikan adalah yang berkaitan dengan issue pemanfaatan sumberdayanya yang

bersifat multi guna (multiple use). Konflik multi-user pada sumberdaya

perikanan non tropis misalnya adalah disebabkan oleh adanya alokasi yang tidak efisien diantara aktivitas pemanfaatan sumberdaya tersebut (Huat 1980 diacu dalam Fauzi & Anna 2003). Lebih lanjut Hardin (1968) juga menyatakan bahwa

pemanfaatan sumberdaya common property secara bersama-sama merupakan

konflik yang sulit dipecahkan. Dalam kondisi seperti ini, individu akan mengabaikan biaya yang timbul akibat aktivitas mereka terhadap orang lain,

sehingga sumberdaya menjadi overexploited. Jika dikelola dengan baik,

sebenarnyaaktivitas secara kolektif (multiple user) dapat merupakan pemanfaatan

sumberdaya yang efisien (Anderis 2000 diacu dalam Fauzi & Anna 2003).

Wisata adalah perpindahan sementara dari orang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu ke tempat tujuan wisata yang terletak di luar tempat mereka biasa tinggal atau bekerja, kegiatan wisatanya dilakukan selama mereka tinggal di tempat tersebut, dan fasilitasnya dipersiapkan untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan wisatawan ini (Gunn 1993). Waktu perjalanan wisata dapat kurang dari satu hari tetapi juga dapat lebih dari satu bulan dengan jarak tempuh yang juga beragam. Adapun motivasi pendorong terjadinya aktivitas wisata ini ada yang bersifat rekreatif seperti tamasya dan rekreasi; dan non- rekreati seperti budaya, olah raga, konvensi, spriritual, kesehatan dan lain-lain.

Pariwisata merupakan ekspresi yang digunakan untuk mendefinisikan semua hubungan dan fenomena yang menyertai orang-orang yang melakukan

perjalanan. Menurut Michaud (1983) diacu dalam Lourenco dan Jorge (2003),

pariwisata mengelompokkan seluruh aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi, yang melandasi perjalanan berkelanjutan tertentu, yang menyiratkan kegiatan menginap sekurang-kurangnya satu malam jauh dari daerah berpenduduk untuk tujuan kesenangan, bisnis, keseharian, atau partisipasi dalam

perkumpulan profesional, olah raga, atau keagamaan.

Salah satu tujuan penting bagi wisatawan adalah kawasan pesisir dimana banyak terdapat potensi wisata yang dapat dikunjungi. Terdapat dua alasan

mengapa kawasan pesisir berpotensi untuk pengembangan wisata. Pertama, di

wilayah pesisir terdapat beragam ekosistem yang memiliki nilai atraksi yang tinggi seperti ekosistem terumbu karang, pantai pasir putih, hutan mangrove dan

sebagainya. Kedua, permintaan (demand) akan pariwisata pesisir semakin

meningkat, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.

Salah satu bentuk wisata yang saat ini mulai dikembangkan di Indonesia adalah wisata bahari yaitu satu bentuk wisata yang berorientasi terhadap lingkungan bahari. Jenis wisata ini memanfaatkan lautan dan pesisir sebagai sumberdaya pariwisata, baik secara langsung (berperahu, berenang, diving dan lainnya) maupun tidak langsung (kegiatan wisata yang dilakukan di bagian daratnya seperti olah raga pantai, piknik untuk melihat atmosfer lautan dan

lainnya). Berdasarkan data Euro Asia Management, 1998 produk dan daya tarik

yang dapat dikembangkan pada pariwisata bahari di Indonesia diantaranya adalah wisata bisnis, wisata pesiar, wisata alam, dan wisata olah raga.

Menurut Dahuri (2000), secara definisi wisata bahari adalah jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas

permukaan laut (marine) maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan

laut (sub marine). Wisata bahari oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat

Jenderal Pariwisata, dimasukkan kedalam wisata minat khusus. Wisata minat khusus didefinisikan sebagai: suatu bentuk perjalanan wisata, dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat kerena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai sesuatu jenis obyek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut.

Pada dasarnya suatu industri pariwisata merupakan suatu sistem yang ditunjang oleh beberapa subsistem untuk dapat berkembang dan berkelanjutan. Demikian pula dengan industri pariwisata pesisir, dimana industri ini terdiri dari dua sistem yang komplek, yaitu (1) sistem pariwisata yang erat kaitannya dengan sosial masyarakat, dan (2) sistem wilayah pesisir yang terkait dengan sistem lingkungan. Interaksi diantara kedua sistem ini dapat menjadi peluang pengembangan kawasan wisata apabila berjalan sinergis seperti di Bali. Tetapi apabila kedua sistem itu sudah tidak dapat berjalan sinergis, maka dapat menghancurkan kawasan wisata itu sendiri.

Selanjutnya Dahuri (2000) juga menyebutkan bahwa besarnya potensi dan keindahan taman laut Indonesia diakui juga oleh sejumlah pecinta wisata bahari internasional. Hal ini dibuktikan dari sebuah ekspedisi laut selama dua bulan lebih

(Januari-Maret 2000). Tim ekspedisi yang bernama The Marine Parks Of

Lee bersama TNI AL. Ketua tim ekspedisi, Francis Lee mengatakan, harus diakui bahwa Indonesia memiliki potensi wisata laut yang indah. Selama ini potensi tersebut belum banyak digarap dan diketahui masyarakat internasional.

Gunn (1993) menjelaskan bahwa suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai kawasan wisata yang berhasil bila secara optimal dapat mempertemukan empat aspek yaitu (1) Mempertahankan kelestarian lingkungannya; (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut; (3) Menjamin kepuasan

pengunjung, dan (4) Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan

masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.

Salah satu cara untuk menjaga kelestarian Lingkungan dan sumberdaya pesisir dari aktivitas wisata bahari yang tidak berkelanjutan adalah dengan menghitung besarnya daya dukung lingkungan terhadap aktivitas wisata. World Tourism Organization (1981) memberikan standar pembangunan resort-resort di tepi pantai sebagaimana pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Standar kebutuhan ruang fasilitas Pariwisata Pantai (WTO,1981)

1. Kapasitas pantai m2 / orang Jumlah orang optimum per setiap 20-50 m pantai Kelas rendah 10 2,0-5,0

Kelas menengah 15 1,5-3,5 Kelas mewah 20 1,0-3,0 Kelas istimewa 30 0,7-1,5

2. Fasilitas pantai Fasilitas kebersihan yang setara

dengan 5 buah WC, 2 buah bak mandi, dan 4 pancuran air untuk setiap 500 orang.

3. Kepadatan penginapan 60 - 100 tempat tidur / ha.

4. Fasilitas marina

Ukuran 150 - 200 perahu/kapal wisata.

Kapasitas pelabuhan 75 - 150 perahu / ha.

Lahan 100 perahu/ha, digunakan untuk

Dokumen terkait