• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Dan Keinginan

Dalam dokumen Konsumsi Prinsip dan Batasan dalam Persp (Halaman 59-70)

PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM

A. Kebutuhan Dan Keinginan

Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan

60 sumber daya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut. (Misanam, 2008: 12(

Abraham Maslow menerangkan lima tingkatan kebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut :

1. Basic needs atau kebutuhan fisiologi, merupakan kebutuhan yang paling penting seperti kebutuhan akan makanan. Dominasi kebutuhan fisiologi ini relatif lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan lain dan dengan demikian muncul kebutuhan- kebutuhan lain.

2. Safety needs atau kebutuhan akan keselamatan, merupakan kebutuhan yang meliputi keamanan, kemantapan, ketergantungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas kekuatan pada diri, pelindung dan sebagainya.

3. Love needs atau kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, merupakan kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keselamatan telah terpenuhi. Artinya orang dalam kehidupannya akan membutuhkan rasa untuk disayang dan menyayangi antar sesama dan untuk berkumpul dengan orang lain. 4. Esteem needs atau kebutuhan akan harga diri. Semua orang dalam masyarakat

mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat yang biasanya bermutu tinggi akan rasa hormat diri atau harga diri dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini di bagi dalam dua peringkat : a. Keinginan akan kekuatan, akan prestasi, berkecukupan, unggul, dan kemampuan, percaya pada diri sendiri, kemerdekaan dan kebebasan. b. Hasrat akan nama baik atau gengsi dan harga diri, prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian dan martabat.

61 5. Self Actualitation needs atau kebutuhan akan perwujudan diri, yakni kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan kemampuannya (Maslow, 1988 : 39).

Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan (raghbah dan syahwat) dan kebutuhan (hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.

Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.

Anehnya, ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi buta dan menciptakan

62 ketidakseimbangan ekologi yang gawat. Maka tidak heran jika sekarang terjadi bermacam-macam bencana alam yang mengerikan disebabkan karena doktrin keinginan sama dengan kebutuhan.

Lebih jauh Imam al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Di sini tampak pula pandangan integral beliau tentang falsafah hidup seorang Muslim. Pandangan ini tentu sangat berbeda dari dimensi yang melekat pada konsep konsumsi konvensional. Pandangan konvensional yang materialis melihat bahwa konsumsi merupakan fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa mempedulikan pada dimensi spiritual karena hal itu dianggapnya berada di luar wilayah otoritas ilmu ekonomi. Tidak ada yang dapat menghalangi perilaku homo economicus kecuali kemampuan dananya. Tidak ada perasaan apakah konsumsi sekarang akan berpengaruh kepada masa depan dirinya sendiri (misalnya mengkonsumsi alkohol dan merokok), masa depan umat manusia ( misalnya, menguras minyak bumi, menebangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara dan air) apalagi masa depan kelak di akhirat.

Pembahasan tentang tingkatan-tingkatan pemenuhan kebutuhan manusia (hajaat) telah menarik perhatian para ulama di sepanjang zaman. Di antara mereka ada yang lebih menonjol dari yang lain dan secara khusus membahasanya dalam karya-karya ilmiahnya seperti Imam al-Juwaini (w. 478 H) dalam kitabnya al- Burhan fi Usul al-Fiqh, Imam al-Ghozali dalam al-Mustasfa dan Ihya, al-Izz bin Abdus Salam (w. 660 H) dalam Qowaid al-Ahkam fi Masolih al-Anam, Imam as- Syatibi (w. 790 H) dalam al-Muwafaqot dan Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam Muqoddimah. Penyusunan tingkatan konsumsi ini menjadi menarik karena Islam memberikan norma-norma dan batasan-batasan (constraints) pada individu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada gilirannya akan membentuk gaya hidup ( life style) dan pola perilaku konsumsi ( patterns of consumption behaviour) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari gaya hidup yang tidak diilhami oleh ruh ajaran Islami.

63 Dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumiddin Imam al-Ghazali membagi tiga tingkatan konsumsi yaitu sadd ar-Ramq dan ini disebut juga had ad- dhorurah, had al-hajah dan yang tertinggi adalah had at-tana‟um.

Yang dimaksud dengan had ar-ramq atau batasan darurat adalah tingkatan konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Imam al-Ghazali sendiri menolak gaya hidup seperti ini karena individu tidak akan mampu melaksanakan kewajiban agama dengan baik dan akan meruntuhkan sendi-sendi keduniaan yang pada gilirannya juga akan meruntuhkan agama karena dunia adalah ladang akhirat (ad-Dunya Mazro‟ah al-akhirah).

Tingkatan tana‟um digambarkan bahwa individu pada tahapan ini melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebutuhannya an sich, tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang dan bernikma-nikmat. Menurut Imam al-Ghazali gaya hidup bersenang-senang ini tidak cocok bagi seorang mukmin yang tujuan hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam ibadah dan ketaatan. Kendatipun begitu, gaya hidup demikian tidak seluruhnya haram. Sebagian dihalalkan, yaitu ketika individu menikmatinya dalam kerangka menghadapi nasib di akhirat, walaupun untuk itu, ia tetap akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Barangkali keadaan ini dapat lebih ditegaskan bahwa meninggalkan had tana‟um tidak diwajibkan secara keseluruhan begitu juga menikmatinya tidak dilarang semuanya.

Antara had ad-dhorurah dengan tana‟um terdapat area yang sangat luas disebut had al-hajah di mana keseluruhannya halal dan mubah. Menurut al- Ghazali area ini memiliki dua ujung batasan yang berbeda yaitu ujung yang berdekatan dengan perbatasan dharurah dan ini dinilainya tidak mungkin dipertahankan karena akan menimbulkan kelemahan dan kesengsaraan dan ujung yang lain berbatasan dengan tana‟um di mana individu yang berada di sini dianjurkan untuk ekstra waspada. Hal ini disebabkan karena ujung perbatasan ini dapat menjerumuskannya ke dalam hal-hal yang membuatnya terlena secara tidak

64 sadar dan akhirnya melalaikan tugasnya dalam beribadah kepada Allah. Beliau menasihati kita agar sedapat mungkin menetap di had al-hajah dengan sedekat mungkin mendekati had ad-dharurah dalam rangka meneladani para Nabi dan Wali.

Kajian al-Ghazali tentang tingkatan konsumsi ini banyak bersentuhan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Imam al-Juwaini dan itu adalah wajar karena Imam al-Haromain adalah salah satu gurunya dan al-Ghazali banyak belajar dan mengambil ilmu dari padanya. Di samping itu kategorisasinya juga banyak persamaannya dengan para ulama sesudahnya seperti al-Izz bin Abdus Salam, as-Syatibi dan Ibnu Khaldun. Umumnya mereka membagi tiga kategori pemenuhan kebutuhan, hanya ada sedikit perbedaan dalam penggunaan bahasa. Para ekonom Muslim lebih menyukai istilah dan kategorisasi yang dikembangkan oleh Imam as-Syatibi dalam al-Muwafaqot yaitu dhoruriyah, hajiyah dan tahsiniyah (kamaliyyah). Sekalipun demikian, belakangan Imam Suyuthi ( w.911 H ) dalam al-Asybah wan Nazhoir menulis lima tingkatan yaitu dhorurah, hajah,

manfa‟ah, ziinah, dan fudhul. B. Preferensi Konsumsi

Preferensi konsumsi dan pemenuhannya dapat di dipetakan/ mapping sebagai berikut:

1. Utamakan Akhirat dari pada dunia

Pada tataran dasar konsumsi dilakukan bersifat duniawi (CW) dan bersifat

Ibadah (Ci) Keduanya bukan subtitusi yang sempurna karena perbedaan

ekstrim. Ibadah lebih bernilai tinggi karena orientasinya pada meraih falah

yaitu pahala dari Allah SWT.

Dalam Al-Qur‟an & hadits konsumsi duniawi adalah untuk masa sekarang (present consumption) sedangkan untuk konsumsi ibadah untuk masa depan

65 (future consumption), semakin besar konsumsi akhirat / ibadah semakin besar menuju falah begitu juga sebaliknya .

F Terdapat hubungan positif antara pencapaian tujuan

Falah dengankebutuhan konsumsi ibadah.

Semakin tinggi ujuan falah semakin di tuntut tinggi Konsumsi kebutuhan ibadah.

C I

F

Terdapat hubungan negatif antara pencapaian Tujuan falah dengan kebutuhan konsumsi duniawi.

Semakin tinggi tujuan falah yg akan dicapai,

CW Semakin dituntut untuk kurangi konsumsi ke

Butuhan dunia.

Seorang muslim yang rasional yaitu yang beriman semestinya anggaran konsumsi ibadahnya harus lebih banyak dibandingkan anggaran konsumsi duniawinya. . Karena dengan maksimumkan falah adalah tujuannya.

Sebaliknya dengan semakin tidak rasional, maka semakin kufur sehingga semakin besar anggaran konsumsinya untuk duniawi, yang pada akhirnya menjauhkan dari menuju target falah.

66

C. Budget Line

Dari pilihan-pilihan yang ada, setiap pelaku ekonomi selalu harus mengambil keputusan dalam mengonsumsi sebuah barang/kegiatan. Keputusan yang diambil oleh konsumen tersebut selanjutnya membawa kita kepada konsep permintaan terhadap barang dan jasa. Konsep ini hanya memperhatikan konsumen yang memiliki preferensi dan daya beli sekaligus. Menurut Nasution (2007), Permintaan terhadap barang atau jasa didefinisikan sebagai kuantitas barang atau jasa yang orang bersedia untuk membelinya pada berbagai tingkat harga dalam suatu periode waktu tertentu. Secara umum diketahui bahwa semakin tinggi harga suatu barang, semakin kecil permintaan terhadap barang tersebut.

Pilihan untuk konsumsi sangat dipengaruhi oleh keterkaitan antara dua barang dan preferensi konsumen. Secara umum, keterkaitan ini bisa digolongkan menjadi tiga, yaitu saling menggantikan (substitusi), saling melengkapi (komplementer) atau tidak ada keterkaitan (independen).

Pada substitusi hubungan antara kedua barang adalah negatif yang terbagai atas 3 tingkatan juga yaitu Substitusi sempurna, substitusi dekat dan substitusi jauh. Dan dalam Islam ditegaskan tidak adanya substitusi antara barang haram dan barang halal kecuali dalam keadaan darurat.

Sedangkan pada hubungan yang bersifat komplemen, terdapat tingkatan/derajat yang berbeda-beda antara pasangan barang yang satu dengan pasangan barang yang lain. Hal ini terjadi karena sifat barang yang terkait dengan kegunaan barang yang bersangkutan. Seperti halnya substitusi, tingkatan dari komplementaritas ini ada 3 jenis, yaitu komplementaritas sempurna, dekat dan jauh. Komplementaritas sempurna, terjadi jika konsumsi dari suatu barang mengharuskan konsumen untuk mengonsumi barang yang lain sebagai penyerta dari barang pertama yang dikonsumsi, sedangkan yang jauh, keharusan untuk mengkonsumsinya menjadi kecil.

67 Dalam Islam, asumsi dan aksioma yang sama seperti disebutkan pada pendahuluan juga berlaku, akan tetapi titik tekannya terletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan A dan B maka seorang muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya secara fisik lebih disukai

Kemudian, konsumen Islam dalam menentukan pilihan konsumsi juga memperhatikan batasan seperti mengkonsumsi tidak dalam jumlah berlebih- lebihan (israf), memerhatikan kebutuhan orang lain dan menyesuaikan dengan kemampuan anggaran.

Dalam konsep Budget Line, Kendala Anggaran (Budget), merupakan kendala penting yang dihadapi konsumen dalam menentukan pilihan untuk mengonsumsi barang dan jasa. Seseorang tidak akan bisa membeli barang-barang yang mereka butuhkan jika anggaran yang ada tidak mencukupi.

Bagaimana memahami konsep budget line ini, perhatikan ilustrasi berikut:

(1) Persamaan dari Budget Line

Batas budget konsusmen untuk mengkonsumsi dua jenis barang digambarkan sebagai berikut :

I = PxX + PyY, dimana X untuk barang A, dan Y untuk barang B

Jika kita ubah persamaannya menjadi jumlah Y yang dapat dibeli sebagai fungsi dari berapa banyak X yang dibeli yang memberikan batas budget, akan menjadi sbb.

Y = _I_ - _Px_·X Py Py

Jika kita punya budget $40 yang dibelanjakan untuk Soda (harga $4 per 6- kotak) dan pizza (harga $2 per potong), maka dapat dihitung sebagai berikut :

68 Y = ($40/2$) - ($4/$2)·X

Y= 20 - 2·X

(2) Persamaan matematis Budget Line Slope

∆TE = Px∆X + Py∆Y, sepanjang Budget Line, ∆TE = 0, sehingga Py∆Y = Px∆X, maka

|-∆Y/∆X| = Px/Py.

Besaran slope Budget Line = harga X relatif terhadap Y.

(3) Logika dibalik Budget Line Slope

Px = berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli satu unit X.

Py = berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli satu unit Y.

Px/Py = total Y yang dikorbankan untuk mendapatkan uang membeli 1X

|-∆Y/∆X| (besaran slope dari budget line)

Alokasi budget seorang muslim bila dibandingkan dengan non muslim untuk konsumsi lebih kecil, kecuali jika pendapatan mereka memang terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja, karena jika memungkinkan

69 sebagian dari pendapatan harus dialokasikan untuk sedekah atau amal saleh serta investasi atau tabungan untuk hari esok. (Suheri, 2012: 7-9)

Hubungan keimanan dengan pola Budget Line

Ci

(a). Semakin rasional (beriman) seorang muslim maka budget line- nya

akan semakin condong vertikal (inelastis)

C w

Ci

(a). Semakin tidak rasional ( kufur) seorang muslim, maka budget line-nya akan semakin condong horizontal (elastis)

Cw

2. Konsisten dalam prioritas pemenuhannya

70 a. Daruriyyah, yaitu kebutuhan tingkat dasar atau kebutuhan primer b. Hajjiyah, yaitu kebutuhan pelengkap/ penunjang atau sekunder c. Tahsiniyyah, yaitu kebutuhan akan kemewahan atau kebutuhan tersier.

3. Memperhatikan etika dan norma

Islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam berkonsumsi. Diantaranya: kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiban, keseimbangan dan lain-lain.

Dalam dokumen Konsumsi Prinsip dan Batasan dalam Persp (Halaman 59-70)

Dokumen terkait