• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Prinsip dan Batasan dalam Persp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsumsi Prinsip dan Batasan dalam Persp"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN: Selayang Pandang Konsumsi

Allah SWT telah melimpahkan untuk manusia karunia kenikmatan yang melimpah di bumi. Bersama itu pula amanah juga dibebankan kepada manusia untuk mengelolanya. Karunia dan amanah atas sumber daya tersebut pada intinya memunculkan tiga masalah utama dalam kehidupan sosioekonomi masyarakat, yaitu apa dan berapa banya barang/jasa yang diperlukan (what), bagaimana cara menghasilkannya (how) dan bagaimana cara mendistribusikan kepada masyarakat secara adil (for whom), sehingga tercipta suatu keadilan dan kesejahteraan yang luas. Keinginan manusia agar terpenuhi kebutuhannya telah melahirkan konsep teori konsumsi. Perilaku konsumsi manusia biasa bersumber pada dualitas yaitu economic rasionalism dan utilitarianism yang menekankan keduanya lebih kepada kepentingan individu (self interest) dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Konsep self interest rationality menurut Edgeworth yang dikutip oleh Arif Pujiono (2006), meskipun secara ekonomi terkesan baik, tetap mengandung konsekuensi terhadap perilaku konsumsi yang lebih longgar karena ukuran rasional adalah memenuhi self interest tersebut. Sedangkan utilitarisme yang menekankan bagaimana manfaat terbesar dapat diperoleh meski harus mengorbankan kepentingan/hak orang lain.

(2)

2 kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan diperoleh setelah kematian manusia. Perilaku manusia di dunia diyakini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan di akhirat yang abadi. Informasi mengenai kesejahteraan ini hanya dapat diperoleh dari Tuhan, yaitu melalui ajaran yang diwahyukan dalam Alquran dan Sunnah.(Munrokhim Misanam dkk, 2008: 1-2)

Dalam upaya mencapai fala, manusia menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan ini sangat kompleks dan sering kali saling terkait antara satu faktor dengan faktor lainnya. Adanya berbagai keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang ada pada manusia serta kemungkinan adanya interpendensi berbagai aspek kehidupan sering kali menjadi permasalahan besar dalam upaya mewujudkan fala. Permasalahan lain adalah kurangnya sumber daya (resources) yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan atau keinginan manusia dalam rangka mencapai fala. Kekurangan sumber daya inilah yang sering disebut oleh ekonomi pada umumnya dengan istilah „kelangkaan‟.

Peran ilmu ekonomi sesungguhnya adalah mengatasi masalah „kelangkaan‟ ini sehingga dapat mencapai fala, yang diukur dengan malaah. Kelangkaan bukanlah terjadi dengan sendirinya namun bisa juga disebabkan oleh perilaku manusia. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam mencakup tiga aspek dasar yaitu, produksi, distribusi, dan konsumsi. Konsumsi yaitu komoditas apa yang dibutuhkan dalam mewujudkan malaah. Masyarakat harus memutuskan komoditas apa yang diperlukan, dalam jumlah berapa dan kapan diperlukan sehingga malaah dapat terwujud. Pada dasarnya sumber daya dapat digunakan untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan manusia, jadi terdapat pilihan-pilihan alternatif pemanfaatan sumber daya untuk berbagai komoditas yang benar-benar dibutuhkan untuk mencapai fala. (Arief Hoetoro, 2007: 304)

(3)

3 kebutuhan manusia saat ini dijumpai di hampir semua wilayah, karena masalah ketersediaan jenis kebutuhan dan tingkat kebutuhan yang tidak selalu terpenuhi di satu wilayah.

Pola hubungan dan ketergantungan seperti di atas serta keterbukaan dari berbagai aspek kehidupan lainnya inilah yang lazim disebut serbagai globalisasi. Hal ini menjadi tidak terhindarkan karena bertambahnya variasi kebutuhan maupun karena bertambahnya populasi manusia itu sendiri. Dengan segala bentuk keuntungan maupun kerugiannya, globalisasi semakin memberikan banyak macam pilihan yang dapat ditemukan konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Banyaknya macam dan ragam pilihan pemenuhan kebutuhan hidup akan sangat menguntungkan konsumen. Konsumen lebih leluasa memilih sesuai dengan kebutuhan sesuai keinginan. Barang dari luar negeri banyak ditemukan dengan berbagai macam variasi. Model baru yang sebelumnya belum diproduksi di dalam negeripun akan dengan mudah ditemukan. Konsumen juga memperoleh lebih banyak pilihan harga dengan segala macam produk yang ada. Bisa memilih dari harga yang paling murah sampai harga yang paling mahal. Tergantung pada anggaran (budget) dan keinginan konsumen. (Sri Wigati, 2011: 23)

Dengan lahirnya berbagai segmen tersebut, produsen hanya akan mampu memasarkan hasil dengan optimal kepada konsumen apabila telah memahami dan menguasai berbagai segmen pasar. Di sini peneliti menyatakan bahwa distribusi dan produksi akan menjadi lancar apabila telah mengetahui pola perilaku konsumen di suatu wilayah. Dengan begitu kegiatan dalam menyalurkan produk barang ataupun jasa dari produsen ke konsumen dengan berbagai teknik dan cara yang efisien dan efektif.

(4)

4 Setiap hari manusia membuat sejumlah keputusan mengenai bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Misalnya, kita harus memilih penggunaan waktu untuk bangun tidur terlambat atau makan pagi, untuk baca koran atau menonton televisi. Kita juga harus memilih pengunaan uang kita untuk membeli barang atau jasa yang kita butuhkan. Dalam menentukan pilihan, kita harus menyeimbangkan antara kebutuhan, preferensi dan ketersediaan sumber daya. Keputusan seseorang untuk memilih alokasi sumber daya inilah yang melahirkan fungsi permintaan. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness), membantu (helpfulness) atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai rasa „tertolong‟ dari suatu kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seseorang konsumen dalam mengonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas. (Misanam dkk, 2008: 145)

(5)

5 Dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen hendaknya mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Di sisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang/jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam atau sesuai dengan prinsip konsumsi dalam Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang/jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negatif. (Hakim, 2011: 2)

Islam sebagai rahmatan lil „alamin menjamin agar sumberdaya dapat terdistribusi secara adil. Salah satu upaya untuk menjamin keadilan disribusi sumberdaya adalah mengatur bagaimana perilaku konsumsi sesuai dengan syari‟ah Islamiyah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur‟an dan Hadits. Konsep keberhasilan dan kesuksesan seorang muslim bukan diukur berdasarkan seberapa besar kekayaan yang diperoleh dan dimiliki oleh seseorang. Kesuksesan seorang muslim diukur berdasarkan seberapa besar ketakwaan seseorang akan membawa konsekuensi terhadap berapapun besar dan banyaknya harta yang dapat diperoleh dan bagaimana menggunakannya. Manusia akan selalu bersyukur meskipun harta yang dimilikinya secara kuantitas sedikit. Apalagi jika yang diperoleh lebih banyak, akan semakin memperbesar rasa syukur dan semakin besar bagian yang akan diberikan kepada yang tidak mampu. Demikian pula saat kekurangan harta, manusia akan tetap bersabar atas ujian yang telah menimpanya dan tidak mengambil jalan pintas untuk mendapatkannya apalagi sampai melanggar ketentuan syari‟at Islam. (Pujiono, 2006: 2)

(6)

6 namun manusia diperintahkan untuk mengonsumsi barang/jasa yang halal dan baik saja secara wajar, tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan tetap diperbolehkan selama hal itu mampu menambah malaah atau tidak mendatangkan mu arat. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:





































Artinya: “Makanlah di antara rezki yang baik yang Telah kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang

menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia.” (QS.Thāha: 81(

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah telah menganuhgerahkan rizki yang baik kepada manusia untuk dinikmati dan disyukuri dan kita dilarang untuk melampaui batas dengan mengingkari nikmat-Nya, karena bila manusia melampaui batas maka pasti Allah akan menimpakan kemurkaan dan bagi manusia yang ditimpa kemurkaan maka pasti manusia akan terjatuh ke dalam api neraka (Jalaluddin bin Muhammadi Al-Mahalli, 2011: 459-460).

(7)

7 jika hanya prinsip saja yang dilaksanakan, misalnya pemenuhan kebutuhan maka akan menghasilkan manfaat duniawi semata. Keberkahan akan muncul ketika dalam kegiatan ekonomi, konsumsi misalnya disertai dengan niat dan perbuatan yang baik.

Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang

ber-maṣlahah maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi atau konsumen. Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan bahwa setiap amal perbuuatan (kebaikan maupun keburukan) akan dibalas dengan imbalan (pahala maupun siksa) yang setimpal meskipun amal perbuatan itu sangatlah kecil bahkan sebesar biji sawi. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa maṣlahah yang diterima akan merupakan operkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung frekuensi konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa halal dan thoyyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima. (Misanam dkk, 2008: 135)

Namun faktanya, konsumsi yang dilakukan oleh konsumen muslim dewasa ini pada umumnya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam tentang prinsip mengonsumsi. Hal ini dapat kita lihat dari kasat mata dari media televisi atau juga dari kalangan masyarakat. Tidak hanya dari golongan menengah ke atas saja tetapi juga banyak dari golongan menengah ke bawah yang tidak menjalankan prinsip konsumsi Islami padahal mereka notabene nya adalah seorang muslim.

(8)

8 BAB II

KONSUMSI: Konvensional vs Islam

A. Definisi Konsumsi

Secara etimologi, konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consumption yang berarti menghabiskan atau mengurangi atau kegiatan yang ditujukan untuk menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu barang atau jasa yang dilakukan sekaligus atau bertahap untuk memenuhi kebutuhan. (Pujiono, 2006: 2). Hal serupa juga dikatakan Wikipedia (dalam Pujiono) tentang konsumsi bahwa kata konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia. (DEPDIKNAS, 2001). Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Yasyin, 1997: 298), konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia.

Dan dalam Kamus Besar Ekonomi, kata konsumsi berarti tindakan manusia baik secara langsung atau tidak langsung untuk menghabiskan serta mengurangi kegunaan (utility) pada pemuasan terakhir dari kebutuhannya. (Sigit dan Sujana, 2007: 115)

Sedangkan secara terminologi, konsumsi diartikan oleh beberapa pendapat sebagai berikut:

(9)

9 b. Konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun menurutnya, konsumsi akan dilakukan oleh manusia jika manusia yang bersangkutan memiliki uang (harta). Dan dalam Islam harta merupakan bagian fitrah untuk mencintainya. (Arif Pujiono, 2006)

c. Menurut Chaney (dalam Rivai Veithzal, 2009) konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga dapat dipakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Sedangkan Menurut Samuelson (dalam Sulistiawati, 2005), konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama.

d. Don Slater (dalam Sri Wigati, 2011) mengatakan konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (material, simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan manusia.

e. Menurut Featherstone (2001) dari Raymond Williams yang dikutip Heri Sudarsono (2007), konsumsi adalah merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).

f. Max weber dalam Economy And Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu. (Damsar et al, 2013)

g. Konsumsi menurut IDKF Bogor adalah suatu kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa.

(10)

10 Dari beberapa redaksi terkait dengan definisi konsumsi, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumsi adalah suatu aktifitas memakai atau menggunakan suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh para produsen atau konsumsi juga berarti segala tindakan menghabiskan atau mengurangi nilai guna barang dan jasa.

B. Konsumsi Intertemporal Konvensional

Teori perilaku konsumen yang dikembangkan di konvensional sering dikenal dengan raionalisme ekonomi dan utilitarisme. Rasionalisme ekonomi menggambarkan manusia sebagai sosok yang sangat perhitungan dalam setiap aktivitas ekonominya, di mana kategori kesuksesan dihitung dari besaran materi yang berhasil dikumpulkan. Sehingga berdasarkan teori ini, maksimalisasi kepuasan adalah tujuan utama dari seorang konsumen. Manusia dianggap sebagai sosok homo economicus yaitu sosok manusia yang distimulus dalam aktivitasnya dengan materi. (M.Nur Rianto Al-Arif dan Euis Amalia, 2010: 133)

Kemudian apakah yang dimaksud dengan konsumsi intertemporal? Konsumsi intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa sekarang (periode pertama) dan akan datang (kedua). Dalam ekonomi konvensional, pendapatan adalah suatu penjumlahan konsumsi dan tabungan yang secara matematis dinotasikan:

Y = C + S

Di mana: Y = pendapatan; C = konsumsi; S = tabungan.

Misalkan pendapaan, konsumsi dan tabungan pada periode pertama adalah Y1, C1,

S1 dan pendapatan, konsumsi, dan tabungan pada periode kedua adalah Y2, C2, S2, maka persamaan di atas dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:

Pendapatan pada periode pertama adalah:

Y1 = C1 + S1

(11)

11 Y2 = C2 + S2

Apabila konsumsi di periode pertama lebih kecil daripada pendapatan, maka tabungan dan konsumsi di periode kedua akan lebih besar.

Y1 = C1 + S1, dan C1 < Y1

Y2 = C2 + S2

= (C2 + S1) + S2

Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat konsumsi yang akan dilakukan di masa datang sangat tergantung dari tingkat konsumsi yang dilakukan saat ini. Apabila pada saat ini konsumsi yang dilakukan lebih kecil daripada pendapatan, maka akan ada tabungan di masa datang akan lebih besar dikarenakan masih adanya sisa pendapatan yang tidak dibelanjakan pada periode sebelumnya.

Dalam keadaan terjadinya selisih antara pendapatan dan jumlah uang yang dibelanjakan untuk konsumsi, perilaku konsumen dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Lender, ketika jumlah konsumsi lebih kecil daripada pendapatan.

2. Borroer, ketika jumlah konsumsi lebih besar daripada pendapatan.

3. Polonius point, ketika jumlah konsumsi sama dengan jumlah pendapatan.

Dalam sistem perbankan yang menerapkan sistem bunga, tabungan yang disimpan pada periode pertama akan memberikan nilai lebih sebesar bunga, sehingga persamaan konsumsi pada periode kedua menjadi:

C2 = Y2 + S1 + r (S1)

= Y2 + (Y1-C1) + r (Y1-C1)

= Y2 + (1 + r) (Y1-C1)

(12)

12 Sebelum membahas lebih lanjut tentang konsumsi konsumen muslim, maka perlu disusun suatu asumsi dasar yang mendasarinya.

1. Sistem perekonomian yang ada telah mengaplikasikan aturan syariat Islam, dan sebagian besar masyarakatnya meyakini dan menjadikan syariat Islam sebagai bagian tntegral dalam setiap aktivitas kehidupannya.

2. Institusi zakat telah menjadi bagian dalam suatu sistem perekonomian dan hukumnya wajib untuk dilaksanakan bagi setiap individu yang mampu.

3. Pelarangan riba dalam setiap aktivitas ekonomi.

4. Prinsip mudarabah dan kerja sama diaplikasikan dalam perekonomian.

5. Tersedianya instrumen moneter Islam dalam perekonomian.

6. Konsumen mempunyai perilaku untuk memaksimalkan kepuasannya.

Dalam konsep Islam konsumsi intertemporal dimaknai bahwasanya pendapatan yang dimiliki tidak hanya dibelanjakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif namun ada pendapatan yang dibelanjakan untuk perjuangan di jalan Allah atau yang lebih dikenal dengan infak.

Sehingga persamaannya dapat ditulis sebagai berikut:

Y = (C + infak) + S

Namun untuk mempermudah dalam melakukan analisis grafis maka persamaan di atas disederhanakan menjadi:

Y = (C + Infak) + S

Y = FS + S

(13)

13 Penyederhanaan ini memungkinkan untuk menggunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yaitu memaksimalkan fungsi utilitas (kepuasan) dengan garis anggaran (budget line) tertentu atau memaksimalkan garis anggaran dengan fungsi utilitas tertentu. Sebab bila hal tersebut tidak disederhanakan, maka analisis harus dilakukan secara tiga dimensi, yang akan mempersulit dalam pemahaman mengenai teori ini.

Dalam pola konsumsi satu periode, sumbu X dan Y menunjukkan jumlah barang X dan barang Y, sedangkan dalam pola konsumsi intertemporal (dua periode), sumbu X menunjukkan jumlah pendapatan, konsumsi, dan tabungan pada periode pertama yang secara matematis dinotasikan Yt, Ct, dan St. Karena konsumsi dalam konsumsi Islam yang dikenal adalah (C + infak), maka simbol yang digunakan adalah FSt. Sumbu Y menunjukkan jumlah tabungan periode kedua (Ct+1), atau dengan kata lain St = Ct+1. Dalam konsep Islam, simbol yang digunakan adalah FSt+1, atau persamaannya menjadi St = FSt+1.

D. Tujuan Konsumsi Islami

Secara umum, tujuan manusia mengkonsumsi sesuatu yaitu:

1) Untuk memenuhi kebutuhan hidup

2) Mempertahankan status sosial

3) Mempertahankan status keturunan

4) Mendapatkan kesimbangan hidup

5) memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial)

6) Menjaga keamanan dan kesehatan

7) Keindahan dan seni

(14)

14 9) Demonstration effect (keinginan untuk meniru)

Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. (Sitta: 2014)

Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi. Dimana Al-Qur 'an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam firman-Nya :

ك

أ ح ج ج ح ص

ع

آ

خ َ

ً

ع أ ك ك ك ع

Artinya:“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka” (QS: Muhammad : 12)

Etika Konsumsi Islami

(15)

15 Al-Qur‟an karim memberikan kepada kita peunjuk-petunjuk yang sangat jelas dalam hal konsumsi, ia mendorong pengguna barang-barang yang halal lagi baik, dan bermanfaat, juga melarang orang muslim untuk makan dan berpakaian kecuali hanya yang baik. Pada dasarnya Al-Qur‟an tidak menyebutkan satu -persatu barang yang boleh dikonsumsi, tetapi hanya diberi batasan bahwa yang dikonsumsi hauslah barang-barang yang halal, hal tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan dalam melakukan konsumsi.

ج إ

ف

ع ً

ج

أ

ع

ئ

ع ح

ط ح

ع

ف ع

ع ع

ع ص

ع

آ

ف ع ك

اغأ

ص

ح ك ع

Artinya: “ (Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574] . Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A‟raf: 157(

2. Tidak melanggar batas-batas kewajaran dalam proses konsumsi

Batas-batas kewajaran dan kepantasan dalam Islam merujuk kebiasaan, budaya dan adat istiadat setempat.

ع ع

آ ا ً َ ف ا َ آ

ف

ع

(16)

16 Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq:7)

Dengan demikian kegiatan konsumsi dalam Islam harus sesuai batas-batas kesanggupan dan kemampuan finansial serta tidak berlebih-lebihan, boros, dan bermewah-mewahan. Berlebih-lebihan yang dimaksud disini adalah pemakaian yang melanggar batas-batas kewajaran dan kepantasan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan dan juga pemborosan dalam hal-hal yang tidak ada manfaat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

))

، ً ش ك ش ا ع ض ف : ً ا

ً ا ض َ

، ك َ ا حص ،

ا ًع ج َ ح ص ع

-

ً ا

-

،

ع ض ،

ك

Artinya: "Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga perkara dan benci untuk kalian tiga perkara: (1). Allah ridha untuk kalian agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. (2). Agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah. (3). Hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang-orang yang mengurusi urusan kalian (yakni penguasa kaum muslimin). -Dan Allah benci untuk kalian tiga perkara- : (1). Qiila wa Qaal (dikatakan dan katanya), (2). banyak meminta dan bertanya, dan (3). menyia -nyiakan harta." (HR. Muslim)

(17)

17 Bermewah-mewahan yang dimaksud disini adalah pemakaian sutu barang atau jasa diluar kebutuhan dan keperluan. Ekonomi Islam menilai bermewah-mewahan sebagai suatau cara yang tercela dalam konsumsi. Bermewah-bermewah-mewahan akan menjadi sebab turunnya azab kemunduran, dan kehancuran suatu umat.

ك

ً

ف

ع حف ف

ف ف

ً

Artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” ( QS. Al-Isra : 16)

E. Pengaruh Riba dan Zakat

Menurut M. Nur Rianto Al-Arif dan Euis Amalia dalam bukunya “Teori Mikro Ekonomi”, zakat mempengaruhi orang yang akan melaksanakan maupun bagi penerimanya. Adapun pengaruh zakat bagi yang melaksanakan adalah:

Pembayaran zakat akan memicu individu untuk meningkatkan rasio tabungannya. Karena zakat dikenakan pada kekayaan dan bukan hanya pendapatan semata, sehingga ia akan meningkatkan rasio tabungannya untuk mencegah penurunan nilai kekayaan yang dimiliki. Pengaruh zakat terhadap tingkat tabungan positif karena mampu meningkatkan rasio tabungan pendapatan, pengaruh ini dikenal sebagai pengaruh tabungan.

F. Definisi Perilaku Konsumen

(18)

18 ini yang sering disebut denganteori Hull dalam (Crider, 1983; Hergenhagen, (1976) yang juga disebut dengan reduction theory bertolak dari pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan atau drive tertentu. Dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan yang mendorong organisme untuk berperilaku; 3) teori intensif ( intensive theory); berpendapat bahwa perilaku organisme disebabkan karena adanya intensif. Intensif disebut sebagai reinforcement. Reinforcement terdiri dari reinforcement positif yang berkaitan dengan hadiah dan reinforcement negatif yang berkaitan dengan hukuman; 4) teori atribusi. teori ini bertolak dari sebab-sebab perilaku seseorang. Apakah perilaku ini disebabkan disposisi internal (motif, sikap, dsb) atau eksternal; 5) teori Kognitif. Teori ini berdasarkan alternatif pemilihan perilaku yang akan membawa manfaat yang besar baginya. Dengan kemampuan memilih ini tersebut berarti faktor berpikir berperan dalam menentukan pilihannya; 6) teori kepribadian. teori ini berdasarkan kombinasi yang komplek dari sifat fisik dan material, nilai, sikap dan kepercayaan, selera, ambisi, minat dan kebiasaan dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu sosok yang unik. (Wigati, 2011: 28)

Dari enam teori perilaku itu dapat dipakai untuk memahami perilaku konsumen. Sehingga antar teori yang satu dengan teori yang lain masih dapat dipergunakan sesuai dengan perilaku konsumen yang berbeda antara konsumen satu dengan konsumen yang lain.

Secara etimologi, konsumen berasal dari bahasa Inggris yakni kata consumer adalah orang atau seseorang yang membutuhkan, menggunakan dan memanfaatkan barang atau jasa.

Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi mengenai konsumen dan perilaku konsumen sebagai berikut:

(19)

19 b. Menurut Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen )PK(, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sedangkan perilaku konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

c. Perilaku konsumen adalah proses dan aktivitas ketika seseorang berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Untuk barang berharga jual rendah (low-involvement) proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mudah, sedangkan untuk barang berharga jual tinggi (high-involvement) proses pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan yang matang. (Pujiono, 2006)

d. Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1990) dalam Nurul Huda (2006), perilaku konsumen diartikan “…. Those actions directly involved in obtaining, consuming, and disposing of products and services, including the decision processes that precede and follow this action” atau diartikan sebagai tindakanطtindakan yang terlibat secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang suatu produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ط tindakan tersebut.

e. Menurut Mowen )1995(, “ Consumer behavior is defined as the study of the buying units and the exchange processes involved in acquiring, consume, disposing of goods, services, experiences, and ide” yang artinya aktivitas seseorang saat mendapatkan, mengkonsumsi, dan membuang barang atau jasa (dalam Blackwell, Miniard, & Engel, 2001) yang dikutip oleh Nurul Huda (2006).

(20)

20 pengaruh dan kesadaran, perilaku, dan lingkungan dimana manusia melakukan pertukaran aspek hidupnya.

g. Dalam kata lain perilaku konsumen mengikutkan pikiran dan perasaan yang dialami manusia dan aksi yang dilakukan saat proses konsumsi (Peter & Olson dalam Rangkuti, 2002).

h. Perilaku konsumen menitikberatkan pada aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi dari individu. Perilaku konsumen berhubungan dengan alasan dan tekanan yang mempengaruhi pemilihan, pembelian, penggunaan, dan pembuangan barang dan jasa yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pribadi (Hanna & Wozniak, 2001). i. Katona (dalam Munandar, 2001) memandang perilaku konsumen sebagai

cabang ilmu dari perilaku ekonomika (behavioral economics).

j. Menurut Dieben )dalam Munandar, 2001( perilaku konsumen adalah “The decision process and physical activity individuals engange in when evaluating, acquiring, using or disposing of goods and services” mencakup perolehan, penggunaan disposisi produk, jasa, waktu, dan gagasan. Dalam perilaku konsumen terdapat consumer dan customer. k. Menurut Engel (dalam Mangkunegara, 2002) mengemukakan bahwa

perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut.

(21)

21 m. Gerald Zaltman dan Melanie Wallendorf (dalam Nurul Huda, 2006) menjelaskan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan proses dan hubungan sosial yang dilakukan oleh individu, kelompok dan oraganisasi dalam mendapatkan, menggunakan sesuatu produk sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan dan sumber-sumber lainnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan atau aktivitas manusia dalam memperoleh dan menggunakan barang ataupun jasa.

Individu atau keluarga tidak hanya menghadapi pilihan pada situasi misalnya seorang kepala keluarga ingin menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Biayanya mencapai sekitar Rp. 80 juta. Pada saat yang bersamaan anaknya diterima di Fakultas Kedokteran Gajah Mada dan dia harus membayar Rp. 75 juta untuk kuliah anaknya tersebut. Karena sang bapak tidak memiliki tabungan lain, maka ia menghadapi situasi harus membuat pilihan, antara ibadah haji atau membayar sekolah anaknya di FK. UGM. Atau bisa juga dalam situasi di mana seseorang membeli sesuatu barang yang sesungguhnya belum dia butuhkan tetapi karena tergiur oleh diskon yang ditawarkan akhirnya seseorang tersebut membeli barang itu. Perilaku-perilaku tersebut merupakan segelintir contoh dari perilaku konsumen. Perilaku demikian belum akan menjadi masalah serius bila masih tertutup oleh penghasilan. Namun manakala perilaku ini tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin seseorang akan belanja melebihi dari pendapatannya.

(22)

22 individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan yang kuat untuk melakukannya.

Oleh pengikutnya John Stuart Mill dalam bukunya On Liberty yang terbit pada tahun 1859, paham ini dipertajam dengan mengungkapkan konsep “freedom

of action” sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia. Menurut Mill, campur tangan Negara di dalam masyarakat mana pun harus diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan manusia merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan karena itu harus dihentikan.

Lebih jauh Mill (dalam Sri Wigati, 2011) berpendapat bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus bebas untuk mengejar kepentigannya dengan cara yang dipilihnya sendiri, namun kebebasan seseorang untuk bertindak itu dibatasi oleh kebebasan orang lain; artinya kebebasan untuk bertindak itu tidak boleh mendatangkan kerugian bagi orang lain.

Dasar filosofis tersebut melatarbelakangi analisis mengenai perilaku konsumen dalam teori ekonomi konvensional. Beberapa prinsip dasar dalam analisis perilaku konsumen adalah: (Nurul Huda, 2006: 3)

1. Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan. Adanya kelangkaan dan terbatasnya pendapatan memaksa orang menentukan pilihan. Agar pengeluaran senantiasa berada di anggaran yang sudah ditentukan, meningkatkan konsumsi atau jasa harus disertai dengan pengurangan konsumsi pada barang atau jasa yang lain

2. Konsumen mampu membandingkan biaya dengan manfaat. Jika dua barang memberi manfaat yang sama, konsumen akan memilih yang biayanya lebih kecil. Di sisi lain, bila untuk memperoleh dua jenis barang dibutuhkan biaya yang sama, maka konsumen akan memilih barang yang memberi manfaat lebih besar.

(23)

23 kopi tubruk di warung kopi yang Rp. 3.000,- per gelasnya. Pengalaman tersebut akan menjadi informasi bagi konsumen yang akan mempengaruhi keputusan konsumsinya mengenai kopi di masa yang akan datang.

4. Setiap barang dapat disubstitusi dengan barang lain. Dengan demikian konsumen dapat memperoleh kepuasan dengan berbagai cara.

5. Konsumen tunduk kepada berkurangnya tambahan kepuasan (The Law of Diminishing Marginal Utility). Semakin banyak jumlah barang yang dikonsumsi, semakin kecil tambahan kepuasan yang dihasilkan. Jika untuk setiap tambahan barang diperlukan biaya sebesar harga (P), maka konsumen akan berhenti membeli barang tersebut manakala tambahan manfaat yang diperolehnya (MU) sama besar dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Maka jumlah konsumsi yang optimal adalah jumlah di mana MU=P.

Fungsi utility dalam ilmu ekonomi konvensional dijelaskan sebagai berikut:

 Dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang.

 Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva indiferen (indifference curve). Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen.

Tujuan aktifitas konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan (utility) dari mengkonsumsi sekumpulan barang/jasa yang disebut ’consumption bundle’

dengan memanfaatkan seluruh anggaran/ pendapatan yang dimiliki.

(24)

24 mengintegrasikan keyakinan kepada kebenaran yang „melampaui‟ rasionalitas manusia yang sangat terbatas ini. bekerjanya „invisible hand‟ yang didasari oleh asumsi rasionalitas yang bebas nilai ط tidak memadai untuk mencapai tujuan ekonomi Islam yakni terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang dalam suatu masyarakat.

Islam memberikan konsep adanya an-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Di sinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain yang dalam bahasa Al-Qur‟an dikatakan “ al-iitsar”.

Berbeda dengan konsumen konvensional. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya memiliki sisi penting yaitu untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.

Oleh karena itu, menurut Muhammad (2005) perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.

(25)

25 kebutuhannya sangat sederhana. Tetapi peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kebutuhan ini.

Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa kata konsumsi dan konsumen sangatlah berbeda. Konsumsi merupakan objek dari konsumen sedangkan konsumen sendiri merupakan subjek dari kegiatan konsumsi. Dan literatur lain mengenai konsumen adalah perilaku konsumen. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomi yang selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. Dalam perilaku konsumen ada banyak faktor yang mempengaruhi seperti, faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi dari pembeli. Dan perilaku konsumen konvensional dengan perilaku konsumen muslim sangatlah berbeda.

G. Landasan Al-Qur’an tentang Konsumsi

Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang Khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang Pencipta.

Adapun dasar atau landasan Al-Qur‟an tentang konsumsi diantaranya sebagai berikut:

1. Konsumen Muslim diperintahkan untuk memakan makanan yang halal dan baik sebagaimana firman Allah SWT:

(26)

26









































...



Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya. Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal

bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka...” (QS. Al-Maidah: 4-5)

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk memakan makanan yang baik lagi halal dalam memperolehnya dan ketika menyembelihnya menyebut nama Allah SWT. Artinya binatang yang disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah maka haram untuk di konsumsi.

2. Konsumen Muslim diperintahkan untuk tidak memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang sebagaimana firman Allah SWT:

Selain ayat di atas terdapat juga ayat tentang konsumsi yaitu surat Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:

























































(27)

27 Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173)

Penjelasan ayat di atas menurut Quraish Shihab (2006: 385), yang dimaksud bangkai adalah binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih dan (yang disembelih untuk berhala). Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air (ikan dan sebagainya) dan belalang.

Binatang yang mati karena faktor ketaatan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun, sehingga bila dikonsumsi manusia, sangat mungkin mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul, darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membahayakan manusia.

Darah, yakni darah yang mengalir bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpa dan hati. Daging babi, yakni seluruh tubuh babi, termasuk tulang, lemak dan kulitnya.

Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, artinya bahwa binatang semacam itu baru haram dimakan bila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah. Adapun bila tidak disebut nama-Nya, maka binatang halal yang disembelih demikian, masih dapat ditoleransi untuk dimakan.

Keadaan terpaksa adalah keadaan yang diduga dapat mengakibatkan kematian, sedang tidak menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yang dapat dia makan, tidak pula memakannya memenuhi keinginan seleranya. Sedang yang dimaksud dengan tidak melampaui batas adalah tidak memakannya dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

(28)

28

































Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‟rāf: 31(

Maksud ayat di atas bahwa Manusia diperintahkan untuk memakai pakaian yang indah, bagus namun menutup aurat dan tidak berlebihan di setiap melaksanakan shalat dan thawaf. Manusia juga tidak dilarang untuk makan dan minum sesuka hatinya asalkan tidak berlebih-lebihan, karena Allah tidaklah menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Al-Mahalli, 2011: 599).

Selanjutnya ada juga hadits Nabi yang mengatur tentang konsumsi diantaranya sebagai berikut:

1) Abu Said Al-Chodry r.a berkata :

”Ketika kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak datang

seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah

mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi SAW : “Siapa

yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal

harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.” kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari

kebutuhan hajatnya.” (HR. Muslim).

(29)

29 Selain makan makanan yang halal, makanan yang dikonsumsi seorang muslim hendaklah dari hasil jerih payah manusia tersebut sendiri, karena dalam hadist di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan jelas Nabi menyatakan bahwa makanan yang manusia makan bukan dari meminta belas kasihan orang lain.

3) ”Sesungguhnya Allah baik dan tidak mengabulkan (menerima) kecuali yang baik-baik. Allah menyuruh orang mukmin sebagaimana Dia menyuruh kepada para rasul, seperti firman-Nya dalam surat Al-Mukminun ayat 52:

”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan-makanan yang baik-baik dan

kerjakanlah amal yang shaleh.” Allah juga berfirman dalam surat Al

-Baqarah ayat 172: ”Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rezeki yang baik-baik.” kemudian Rasulullah menyebut orang yang melakukan perjanalan jauh, rambutnya kusut dan wajahnya kotor penuh

debu menadahkan tangannya ke langit seraya berseru: ”Ya Rabb ku, ya Rabb ku,” sedangkan makanannya haram, minumnya haram, pakaiannya haram

dan dia diberi makan dari yang haram pula. Jika begitu baga imana Allah

akan mengabulkan do‟anya?” (HR. Muslim)

Allah SWT sangat membenci manusia yang makan makanan yang sudah diharamkan oleh Allah. Sehingga orang yang memakan makanan yang haram kemudian dia berdo‟a kepada Allah, maka do‟anya tidak akan pernah dikabulkan.

Konsumsi memiliki peran yang sangat besar dalam setiap perekonomian; karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penagakkan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.

(30)

30 Pertama, bahwa Umar bin Khatab ra. sangat antusias dalam memenuhi tingkat konsumsi yang layak bagi setiap individu rakyatnya. Contoh untuk itu banyak jumlahnya. Diantaranya, bahwa ketika Umar bin Khatab ra. pergi ke Syam, dan beliau mengetahui kondisi sebagian orang miskin yang tidak memiliki kebutuhan dasarnya yang mencukupi, maka beliau memerintahkan untuk ditetapkannya kadar makanan yang mencukupi, yang diberikan kepada setiap orang di antara mereka setiap bulan.

Di antara bukti lain yang juga menunjukkan perhatian Umar bin Khatab ra. tentang konsumsi, bahwa upaya-upaya beliau dalam pengembangan ekonomi difokuskan dalam memerangi masalah kemiskinan dan memenuhi kebutuhan yang mendasar bagi umat.

Kedua, Umar bin Khatab ra. berpendapat bahwa seorang muslim bertanggung jawab dalam memenuhi tingkat konsumsi yang layak bagi keluarganya, dan mengingkari orang-orang yang mengabaikan hal tersebut. Di antara bukti hal itu, beliau melihat anak perempuan yang jatuh bangun karena pingsan, maka beliau berkata, “Betapa nelangsanya anak ini! Apakah dia tidak memiliki keluarga?” Ketika beliau diberitahu bahwa anak perempuan tersebut putrinya Adullah bin Umar, maka beliau berkata kepada Abdullah, “Berjalanlah di muka bumi untuk mencukupi keluargamu, dan carilah untuk putrimu apa yang dicari oleh orang-orang untuk putrid mereka!”

Ketiga, bahwa beberapa hamba sahaya Hathib bin Abi Balta‟ah mencuri onta milik seseorang dari kabilah Muzainah dan mereka sembelih untuk dimakan, maka Umar bin Khatab ra. ingin menegakkan hukum had pencurian kepada mereka. Tetapi, ketika beliau mengetahui bahwa Hathib tidak memberi mereka makan yang semestinya, maka beliau menganulir hukum had tersebut dari mereka, dan melipatkan harga onta terhadap Hathib sebagai sanksi atasa pengabaiannya dalam hal tersebut.

(31)

31 di sisi Umar bin Khatab. Ketika makanan dibawakan kepadanya, seseorang dari kaum menjauhkan diri, maka Umar berkata, “Mengapa dia?” Mereka menjawab, “Dia berpuasa”. “Umar berkata: “Puasa apa?” Mereka menjawab, “Sungguh dia sedang berpuasa.”Umar berkata: “Puasa apa?” Mereka menjawab, “Puasa sepanjang tahun )dahr(.” Maka Umar mengetok kepala orang tersebut dengan tongkat yang dibawanya seraya berkata, “Makanlah, wahai Dahr! Makanlah, wahai Dahr!”

Sebab, puasa seperti itu mendatangkan mudharat terhadap diri, karena menghalangi haknya dalam konsumsi dalam sepanjang tahun. Di mana tentang mudharat ini telah diisyaratkan dalam hadist Nabi SAW dengan sabdanya, “Jika kamu melakukan demikian itu, maka akan cekung matamu, dan lemah dirimu.”

Di antara fenomena lain tentang perhatian Umar bin Khatab ra. terhadap masalah konsumsi adalah pengawasan beliau secara langsung kepadanya, pembuatan ketentuan-ketentuan untuk ketepatannya, melakukan terapi terhadap penyelewengan konsumsi yang benar, dan hal-hal lain yang akan nampak jelas dalam sub kajian setelah ini.

Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen adalah raja.” Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktivitas perekonomian untuk memenuhi keinginan mereka sesuai kadar relafitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengonsumsi apa yang diinginkan. Di mana Al-Qur‟an telah mengungkapkan hakikat tersebut dalam firman Allah SWT:

(32)

32 Artinya: “dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan mereka.”

Sungguh demikian itu adalah kehidupan binatang, yang menilai semua kehidupan sebagai meja makan dan kesempatan bersenang-senang dengan tanpa tujuan setelah itu melainkan menuruti selera nafsu, dan tidak menghindari apa saja yang dibolehkan dan apa yang dilarang.

Sedangkan dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah SWT dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada Allah SWT. sebagaimana disebutkan dalam fiman-Nya















Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Karena itu tidak aneh, bila Islam mewajibkan manusia mengonsumsi apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah SWT kepadanya.

(33)

33 dengan tujuan mencari ridha Allah SWT, melainkan kamu mendapatkan pahal

padanya, hingga sesuatu yang kamu berikan di mulut istrimu.”

Sesungguhnya keyakinan seorang muslim bahwa konsumsi hanya sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam menaati Allah ini memiliki indikasi-indikasi positif dalam kehidupannya, yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Seorang muslim tidak akan memberikan perhatian kepada sarana tersebut (konsumsi) lebih besar daripada yang seharusnya, dan tidak akan memberikan kesempatan melampaui batas yang membuatnya sibuk dengan menikmatinya daripada melaksanakan tugasnya dalam kehidupan ini, sehingga dia rugi di dunia dan akhirat.

2. Keyakinan ini akan memangkas ketamakan konsumen muslim dan menjadikannya lebih disiplin dalam bidang konsumsi, sehingga dia tidak boros dan tidak kikir, dan menjadikannya ingat kepada Allah SWT dengan mensyukuri nikmat-nikmat Nya dan melaksanakan syariat-Nya; tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang haram, dan tidak memasukkan ke dalam mulutnya sesuatu yang haram.

3. Pengetahuan seorang muslim tentang hakikat konsumsi akan mendorongnya mementingkan orang lain dan menjauhkannya dari sikap egois, sehingga dia selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memberikan infak kepada kerabat dekat, fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan lain-lain, untuk membantu mereka dalam menaati Allah; dan tidak menolong dengan hartanya kepada siapa pun dalam maksiat kepada-Nya. Hal itu sebagai aplikasi pengarahan Nabi SAW dalam sabdanya; “Janganlah kamu berteman melainkan orang yang beriman, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa.” Sebab orang yang bertakwa akan mengarahkan kekuatan makanan ke dalam ibadah kepada Allah SWT.

(34)
(35)

35 BAB III

PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM

Menurut M.A. Mannan (2012), ada lima prinsip dalam melakukan kegiatan konsumsi sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan

Syariat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

























































Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqarah: 173)

2. Prinsip Kebersihan

(36)

36 3. Prinsip Kesederhanaan

Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebihan. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

ح ا َ ع ا َ ح

ح ا

ء

ع

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa -apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.”

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.

4. Prinsip Kemurahan Hati

Dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya. Hal tersebut tertuang dalam firman Allah SWT berikut:

ص ع ح

ًع ع ح ص ح

ً ح

شح

َ

Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang

dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada

(37)

37 5. Prinsip Moralitas

Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia. Sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam firman-Nya:

ك

عف ك

ف

ع ك

ع

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi.

Katakanlah, ”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”

Yusuf Qardhawi (2003) juga mengatakan ada lima prinsip dalam mengonsumsi sebagai berikut:

1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.

Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.

2. Tidak melakukan kemubadziran.

(38)

38 3. Menjauhi berutang.

Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya.

4. Menjaga asset yang mapan dan pokok.

Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual aset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual aset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli aset lain agar berkahnya tetap terjaga.

5. Tidak hidup mewah dan boros.

Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.

6. Kesederhanaan.

Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.

(39)

39 dengan Allah (ḥablu minallah) dan manusia (ḥablu minannas). Selain itu islam memandang harta bukan sebagai tujuan, tapi juga sebagai alat untuk memupuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat).

Dari paparan di atas mengenai prinsip-prinsip konsumsi dalam Islam pada dasarnya apa yang dikemukakan oleh MA. Manan maupun Yusuf Qardhawi sebenarnya sama, hanya saja redaksi kalimat yang digunakan keduanya yang membedakan. Bila dipahami lebih dalam maksud dari prinsip pertama yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi merupakan cakupan dari prinsip keempat yang dikemukakan oleh MA. Manan. Selanjutnya prinsip kedua yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi juga senada dengan prinsip kedua yang disampaikan oleh MA. Manan yakni prinsip kebersihan bahwa manusia tidak mengonsumsi makanan maupun barang yang kotor dan juga tidak membiarkannya menjadi mubazir artinya harus ada manfaat untuk manusia tersebut. Selanjutnya prinsip ketiga yang disampaikan oleh Yusuf Qardhawi merupakan cakupan dari prinsip moralitas yang dikatakan oleh MA. Manan dan prinsip menjaga aset yang mapan dan pokok merupakan cerminan prinsip keadilan yang disampaikan oleh MA. Manan. Dan terakhir prinsip hidup mewah dan boros merupakan komponen penting yang tertuang dalam prinsip kesederhanaan yang dikemukakan oleh MA. Manan.

(40)

40 Selain itu ada juga pendapat dari al-Haritsi dalam Arif Pujiono (2006, 196-201) tentang prinsip-prinsip dalam mengonsumsi barang dan jasa yakni sebagai berikut:

1. Prinsip Syari‟ah, yaitu menyangkut dasar syari‟at yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi yang terdiri dari:

a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.

b. Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.

c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.

2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syari‟at Islam, yakni:

a. Sederhana, yaitu mengonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir dan hemat.

b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.

c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan.

(41)

41 a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dan agamanya serta keluarganya, seperti makanan pokok.

b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, seperti konsumsi madu, susu, dan lain-lain. c. Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih

membutuhkan.

4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong

sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.

b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.

c. Tidak membahayakan orang lain, yaitu tidak merugikan dan memberikan mudharat ke orang lain.

5. Prinsip lingkungan, yaitu dalam mengonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan.

(42)

42 BAB IV

MASHLAHAH DALAM KONSUMSI

Secara etimologis, malaah atau al-malaah, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah kebaikan. Kemudian Abdul Karim Zaidan mengatakan bahwa malaah ialah meraih manfaat dan menolak kemudharatan atau kerusakan. Selanjutnya al-Ghazali menyatakan bahwa malaah adalah memelihara maksud atau tujuan syara‟ dalam pengertian mencari kemaslahatan dan menghindari kerusakan. al-Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amir, bahwa malaah itu adalah memelihara maksud syara‟ dengan cara menghindari kerusakan bagi manusia. (Romli SA, 2010: 77-78). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa malaah yaitu sesuatu yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk memperoleh kebaikan maupun menolak kemudharatan.

Syari‟ah Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Menurut al-Ghazali, kesejahteraan (malaah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs), keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (māl), dan intelek atau akal („aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (malaat al-din wat al-dunya). (Adiwarman A. Karim, 2008: 318)

Hal serupa juga dikatakan oleh Imam al-Syatibi, beliau menggunakan istilah maṣlaḥah yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. malaah merupakan tujuan hukum

syara‟ yang paling utama. Menurutnya, malaah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs), keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (māl), dan intelek atau akal („aql).

(43)

43 1. Malaah bersifat subjektif dalam arti bahwa setiap individu manjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu malaah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria malaah telah ditetapkan oleh syari‟ah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi malaah bagi diri dan usahanya, namun syari‟ah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.

2. Malaah orang per orang akan konsisten dengan malaah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

3. Konsep malaah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam distribusi.

(44)

44 Malaah yang diperoleh konsumen ketika membeli barang dapat berbentuk sati di antara hal berikut:

1) Manfaat material, yaitu berupa diperolehnya tambahan harta bagi konsumen akibat pembelian suatu barang/jasa. Manfaat material ini bisa berbentuk murahnya harga, discount, murahnya biaya transportasi dan searching dan semacamnya. Larisnya pakaian dan sepatu obral menunjukkan dominannya manfaat material yang diharapkan oleh konsumen.

Kebutuhan Materi

Kebutuhan Sosial

Kebutuhan Fisik-Psikis

Kebutuhan Intelektual

Kebutuhan generasi yang akan datang

Kehalalan produk

Niat ibadah/kebaikan

Pemenuhan kebutuhan

Manfaat (duniawi) Berkah

Mashlahah

Mudharat Pemenuhan Keinginan

Hal yang sia-sia

(45)

45 2) Manfaat fisik dan psikis, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan fisik atau psikis manusia, seperti rasa lapar, haus, kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, harga diri, dan sebagainya. Mulai berkembangnya permintaan rokok kadar rendah nikotin, kopi kadar rendah kafein menunjukkan adanya manfaat fisik-kesehatan- pada rokok dan kopi. 3) Manfaat intelektual, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan akal manusia

ketika ia membeli suatu barang/jasa, seperti kebutuhan tentang informasi, pengetahuan, keterampilan,

Gambar

Gambar 1. Contoh Indifferent Curve

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk kepada idea dan fikiran secara lisan yang disampaikan oleh seseorang kepada seseorang yang lain dalam proses Komunikasi_. Merujuk kepada idea, fikiran dan perasaan secara

Pada tahap perencanaan ini, terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan informasi mengenai metode dan kemampuan siswa di sekolah. Setelah ditemukan

Dari tiga tahap esterifikasi yang dilakukan diperoleh kondisi-kondisi yang menghasilkan produk optimum yaitu pada penambahan 0,75 mL asam sulfat pekat, lama

Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pedagang kaki lima juga menimbulkan dampak positif yaitu mengurangi pengangguran di kota kota besar dan yang kedua adalah sebagai

terjadinya kemiskinan, karena dengan tidak adanya pekerjaan tentunya hal yang mustahil masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi untuk memenuhi

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka ditetapkan diagnosa keperawatan gangguan pemenuhan istirahat tidur pada pasien dengan anemia. Dan tindakan-tindakan

Hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika siswa kelas VIII-A SMPN 1 Montong Gading tahun pelajaran 2017/2018 mengalami peningkatan pada setiap siklus dengan