• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa a Intensitas produksi Gula kelapa

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa a Intensitas produksi Gula kelapa

Pengrajin gula kelapa memiliki jadwal dalam memasak nira menjadi gula kelapa. Hal ini berkaitan dengan jumlah pohon yang disadap dan sistem

sewa antara pemilik pohon dan penyadap. Semakin banyak pohon yang disadap semakin banyak nira yang diperoleh. Waktu memasak nira tergantung pada sistem bagi hasilnya. Apabila hasil yang dibagi dalam bentuk nira maka pemilik pohon dan penyewa memasak secara bergantian sesuai dengan jadwal yang disepakati. Namun apabila yang dibagi dalam bentuk gula pemilik pohon menerima produk gula yang siap dikonsumsi dan memasak nira dilakukan setiap hari oleh penyewa. Periode memasak nira seperti yang telah disajikan pada Tabel 13 mempengaruhi penggunaan kayu bakar dalam mengolah nira menjadi gula.

Tabel 13 Periode produksi gula kelapa berdasarkan waktu pemasakan nira

No Periode produksi gula kelapa Jumlah responden (orang) Presentase (%)

1 Setiap hari 19 19

2 Dua hari sekali 59 59

3 Tiga hari sekali 22 22

Total 100 100

Tabel 13 menunjukkan bahwa pengrajin gula kelapa paling banyak memasak gula kelapa dua hari sekali yaitu sebanyak 59 pengrajin gula kelapa Pengrajin yang memasak setiap hari sebanyak 19 pengrajin gula. Terdapat 22 pengrajin yang memasak setiap tiga hari sekali. Pengrajin yang mengolah setiap hari biasanya memiliki pohon kelapa atau menyewa tahunan, sedangkan pengrajin yang mengolah tidak setiap hari biasanya karena sistem bagi hasil dari pohon yang mereka sadap atau karena jumlah nira yang dihasilkan relatif sedikit sehingga memasaknya dilakukan dua sampai tiga hari sekaligus.

b. Jenis Tungku yang Digunakan

Sampai saat ini pengrajin gula kelapa menggunakan tungku untuk mengolah nira menjadi gula kelapa. Mereka menggunakan jenis tungku yang berbeda-beda. Terdapat dua jenis tungku yang digunakan para pengrajin gula kelapa yaitu tungku tradisional dan tungku introduksi seperti yang terlihat pada Gambar 4.

a B

Gambar 4 Jenis-jenis tungku pengolahan gula kelapa (a) Tungku satu lubang, (b) Tungku introduksi

Tungku tradisional merupakan tungku satu lubang. Tungku ini biasanya dibuat oleh pengrajin gula kelapa. Ukuran tungku ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan pembuatnya. Bahan bakar yang digunakan yaitu kayu bakar dan serbuk gergajian. Bagian-bagian tungku satu lubang yaitu tempat meletakkan wajan dan lubang kayu bakar. Tempat untuk meletakan wajan berbentuk persegi dengan panjang sisi 55 cm dan lubang kayu bakar berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 20 cm. Pada bagian tempat meletakan wajan bagian bawahnya berisi serbuk gergajian yang dipadatkan. Lubang kayu bakar hanya mampu diisi dengan maksimal lima buah sortimen kayu bakar. Panas yang dihasilkan tungku jenis ini mengumpul dalam satu lubang sehingga dapat mempercepat proses pemasakan. Menurut Winarti (1998), pengolahan gula ditingkat petani masih sederhana. Pemasakan dilakukan menggunakan tungku tanah liat pada satu lubang (satu wajan) dengan bahan bakar kayu, sabut, dan batok kelapa.

Tungku introduksi merupakan tungku dua lubang. Para pengrajin gula kelapa untuk memperoleh tungku ini dengan membelinya di toko gerabah. Bagian-bagian tungku introduksi yaitu tempat wajan depan, tempat wajan belakang, serta lubang kayu bakar. Tempat wajan depan sebagai pemasak utama dan tempat wajan belakang digunakan untuk memasak air pada saat pengolahan gula. Tempat wajan depan berbentuk lingkaran dengan rata-rata

diameter 60 cm. Tempat wajan belakang berbentuk lingkaran dengan rata-rata diameter 20 cm. Dan lubang kayu bakar berbentuk persegi panjang dengan panjang 25 cm dan tinggi 18 cm. Panas api tungku introduksi menyebar dan dapat keluar dari lubang belakang.

c. Kebutuhan kayu bakar

Kebutuhan kayu bakar dalam pemasakan gula kelapa dipengaruhi oleh jenis kayu bakar dan jenis tungku. Jenis kayu bakar yang digunakan terdiri dari bermacam-macam jenis kayu. Pengrajin gula kelapa biasanya menjemur kayu bakar yang akan mereka gunakan, namun apabila persediaan yang mereka miliki hanya cukup digunakan untuk satu kali produksi maka hasil kayu bakar yang diperoleh langsung mereka gunakan sebagai bahan bakar tanpa dijemur terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan kayu bakar yang digunakan semakin banyak. Penggunaan kayu bakar tanpa dijemur menyebabkan panas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan kayu kering, sehingga untuk mencapai tingkat panas yang sama diperlukan jumlah kayu lebih banyak (Dewi 1994). Hal ini menyebabkan pemborosan penggunaan kayu bakar. Penggunaan jenis tungku yang berbeda akan membutuhkan kayu bakar yang berbeda pula. Pada Tabel 14 disajikan kebutuhan kayu bakar dalam memproduksi gula kelapa dalam jumlah yang berbeda-beda menggunakan tungku tradisional dan tungku introduksi.

Tabel 14 Kebutuhan kayu bakar untuk memasak nira

No Jenis tungku Jumlah responden (pengrajin) Rata-rata produksi gula (kg/hari) Rata-rata periode mengolah gula (kali/bulan)

Rata-rata kebutuhan kayu bakar (m3) Per kg gula Per Hari Per bulan Per tahun 1 Tradisional 29 7,41 18 0,0028 0,021 0,385 3,85 2 Introduksi 71 6,46 16 0,0086 0,055 0,890 8,89

Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kayu bakar lebih banyak diperlukan apabila menggunakan tungku introduksi dengan kebutuhan kayu bakar 0,008 m3/kg. Tungku tradisional memerlukan kayu bakar 0,002 m3/kg, namun memerlukan bahan bakar tambahan berupa serbuk gergajian sehingga menambah biaya seharga Rp 3.000,00/karung ukuran 30 kg untuk satu kali pengolahan.

Hal ini berbeda dengan pengamatan lapangan dengan beberapa perlakuan yang dilakukan oleh Winarti et al. (1998) dalam perbaikan

pengolahan gula kelapa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Winarti et al. (1998), penggunaan tungku percontohan (tungku introduksi) memberikan kontribusi penggunaan bahan bakar yang lebih efisien yaitu rataannya 3,29-3,30 kg bahan bakar per kg gula kelapa, sedangkan dengan tungku tradisional (tungku satu lubang) mencapai 3,97-4,03 kg bahan bakar per kg gula dengan waktu yang lebih lama. Hal ini disebabkan panas yang diterima pada saat pemasakan nira lebih besar dengan menggunakan tungku percontohan dibanding tungku tradisional. Tungku introduksi memiliki dua buah lubang pemasakan atau menggunakan dua buah wajan, sedangkan tungku yang biasa digunakan oleh petani terdiri atas satu lubang untuk satu wajan. Jadi efisiensi panas yang digunakan cukup baik, dan waktu pemasakan dapat dipersingkat waktunya menjadi tiga jam.

Perbedaan ini terjadi karena di lokasi penelitian pengrajin gula kelapa yang menggunakan tungku introduksi hanya memanfaatkan satu lubang dalam proses memasak. Lubang bagian belakang dengan posisi yang lebih tinggi digunakan untuk memasak air. Lubang bahan bakar hanya diisi dengan kayu bakar sehingga kebutuhan kayu bakar lebih banyak. Lain halnya dengan tungku satu lubang, bagian lubang bahan bakarnya diisi dengan serbuk gergajian yang dipadatkan dan dibuat lubang bagian tengahnya. Lubang ini digunakan untuk menyalurkan panas. Kayu bakar pada tungku tradisional hanya untuk menghasilkan bara yang memanaskan serbuk gergajian. Oleh sebab itu, penggunaan kayu bakar pada tungku tradisional lebih efisien dibandingkan tungku introduksi.

Hasil perhitungan sampel digunakan untuk menduga kebutuhan kayu bakar populasi pengrajin gula kelapa di Kecamatan Wangon. Berdasarkan data yang diperoleh diasumsikan bahwa 29% pengrajin gula kelapa menggunakan tungku tradisional dan 71% pengrajin gula kelapa menggunakan tungku introduksi. Total kebutuhan kayu bakar yang digunakan oleh pengrajin gula kelapa di Kecamatan Wangon disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Total kebutuhan kayu bakar pada industri gula kelapa di Kecamatan Wangon No Jenis tungku Jumlah industri (unit) Rata-rata kebutuhan kayu bakar (m3/tahun)*

Total kebutuhan kayu bakar (m3/tahun)

1 Tradisional 425 3,85 1635,23

2 Introduksi 1040 8,90 9252,81

Total 1465 10.888,03

Sumber : *Dihitung kembali dari Tabel 15

Menurut Tabel 15 total kebutuhan kayu bakar di Kecamatan Wangon adalah 10.888,03 m3/tahun. Rata-rata kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan tungku tradisional adalah 3,85 m3/tahun dan rata-rata kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan tungku introduksi adalah 8,90 m3/tahun. Hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa kebutuhan kayu bakar yang diperlukan relatif banyak.

Dokumen terkait