• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN KAYU BAKAR

MENURUT ASAL PADA INDUSTRI GULA KELAPA

DI KECAMATAN WANGON KABUPATEN BANYUMAS

JAWA TENGAH

AMELIA RESTANING MURDIYANSAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN KAYU BAKAR

MENURUT ASAL PADA INDUSTRI GULA KELAPA

DI KECAMATAN WANGON KABUPATEN BANYUMAS

JAWA TENGAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh

AMELIA RESTANING MURDIYANSAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

(4)

ABSTRAK

AMELIA RESTANING MURDIYANSAH. Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Dibimbing oleh HARDJANTO.

Kabupaten Banyumas merupakan sentra industri penghasil gula kelapa. Salah satu daerah yang menghasilkan produk gula kelapa terbesar yaitu Kecamatan Wangon. Permintaan gula kelapa sebagai bahan baku dalam konsumsi rumah tangga dan industri makanan semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan kayu bakar juga meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber kayu bakar yang digunakan, mengidentifikasi teknik memperoleh kayu bakar, menghitung kebutuhan kayu bakar yang digunakan dalam industri gula kelapa, dan menghitung potensi kayu bakar di Kecamatan Wangon. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung ke industri gula kelapa. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bahan bakar utama dalam mengolah gula kelapa berasal dari hutan rakyat dan tambahannya berasal dari hutan negara. Berdasarkan asal geografis kayu bakar diperoleh dari dalam desa dalam kecamatan sebanyak 92%, luar desa dalam kecamatan sebanyak 6% dan dari luar desa luar kecamatan sebanyak 2%. Industri yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas sebanyak 64 % dan yang memperoleh dengan cara membeli sebanyak 36%. Potensi kayu bakar yang tersedia di Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. Kebutuhan kayu bakar untuk industri gula kelapa di Kecamatan Wangon sebanyak 10.888,03 m3/tahun. Penelitian ini menunjukan bahwa potensi kayu bakar mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar selama 16,55 tahun dengan jumlah tegakan tidak mengalami perubahan.

(5)

ABSTRACT

AMELIA RESTANING M. Identification of The Needs of Firewood of Coconut Palm Sugar Industry Based on The Origin in Wangon Sub-District, Banyumas District, Central Java Province. Supervised by HARDJANTO.

Banyumas District is a central industry of coconut palm sugar. One region that produces the most coconut palm sugar product is Wangon Sub-District. The demand of coconut palm sugar as raw materials on the household consumption and food industry is increasing which also effects the needs of firewood. This research aims to identify the source of firewood that is used, to identify the technique to obtain firewood, to calculate the needs of firewoods that is used in the coconut palm sugar industry, and to calculate the firewood potential at Wangon Sub-District. This research was done by direct observation to the coconut palm sugar producers and the collected data was analyzed by descriptive method. The result of this research shows that the main fuel on the processing of coconut palm sugar was obtained from the society forest and the addition was obtained from the states forest. Based on the geographic origin, firewoods which were obtained from inside the village and inside the sub-district is as much as 92%, firewood obtained from outside the village and inside the sub-district is as much as 6% and firewood obtained from outside the village and outside the sub-district is as much as 2%. Producers which obtained firewoods by collecting and trimming is as much as 64%, while firewoods obtained by buying is as much as 36%. Firewood potential which is available at Wangon Sub-District is 180.195,05 m3. The needs of firewood for coconut palm sugar industry at Wangon Sub-District is 10.888,03 m3/year. This research shows that the firewood potential can fulfill the needs of firewood for 16.55 years with unchanged number of stands.

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi: Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas

Jawa Tengah

Nama : Amelia Restaning M NRP : E14080015

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof Dr Ir Hardjanto, MS

NIP. 19550606 198103 1 008

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr Ir Didik Suhardjito, MS

NIP 19630401 199403 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah yang dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi bagi penulis selama penulisan skripsi. Terima kasih juga kepada pemerintah daerah Kabupaten Banyumas yang telah membantu selama penelitian. Selain itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak, dan Kakak atas dukungan, kasih sayang, dan doanya serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

(8)

DAFTAR ISI

3.4 Metode Pengambilan Contoh 22

3.5 Metode Pengolahan Data 22

IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 24

4.1 Letak dan Posisi Geografis 24

4.2 Penggunaan Lahan di Kecamatan Wangon 25

4.3 Topografi dan Iklim 25

4.4 Kependudukan 26

4.5 Sarana dan Prasarana 26

V HASIL DAN PEMBAHASAN 28

5.1 Karakteristik Pengolah Gula Kelapa 28

5.2 Sumber Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa 31

5.3 Pola Memperoleh Kayu Bakar 33

5.4 Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa 37 5.5 Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon 42 5.6 Keterkaitan Antara Kebutuhan Kayu Bakar dengan Ketersedia Kayu

Bakar 43

VI KESIMPULAN DAN SARAN 44

(9)

6.2 Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 48

(10)

DAFTAR TABEL

1 Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon 25

2 Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis 26

kelamin pada akhir tahun 2010 26

3 Panjang jalan menurut jenis permukaan per desa tahun 2009 27

4 Sarana dan prasarana pendidikan 27

5 Karakteristik pengrajin gula kelapa berdasarkan usia dan masa kerja 28 6 Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa 29

7 Pendapatan pengrajin gula kelapa 30

8 Kepemilikan lahan pengrajin gula kelapa 30

9 Sumber kayu bakar berdasarkan asal geogragfis 32 10 Teknik dan intensitas memperoleh kayu bakar 33 11 Teknik pengangkutan kayu bakar berdasarkan moda angkutan

yang digunakan 36

12 Tempat penyimpanan kayu bakar 36

13 Periode produksi gula kelapa berdasarkan waktu pemasakan nira 38

14 Kebutuhan kayu bakar untuk memasak nira 40

15 Total kebutuhan kayu bakar pada industri gula kelapa di

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 21

2 Peta Kecamatan Wangon 24

3 Tempat penyimpanan kayu bakar 37

4 Jenis-jenis tungku pengolahan gula kelapa 39

5 Tumbukan kayu bundar rimba sortimen KBK yang mempunyai ukuran

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Teknik pengukuran kayu bakar 49

2 Kakarteristik pengrajin gula kelapa 51

3 Karakteristik industri gula kelapa 58

4 Pola penggunaan kayu bakar 59

5 Kebutuhan kayu bakar 65

6 Potensi kayu bakar 68

(13)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan dapat menyediakan barang dan jasa untuk keperluan manusia. Hasil hutan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat meliputi kayu untuk bangunan tempat tinggal, kayu bakar, arang kayu, bahan-bahan anyaman dan kayu-kayu spesial. Kayu bakar termasuk energi konvensional yang sifatnya dapat diperbaharui melalui cara pemudaan dan teknik budidaya. Berbeda dengan energi minyak bumi dan fosil, keduanya dapat habis tereksploitasi. Karakteristik energi kayu yang baik ini dapat menjamin kesinambungan produksi dan konsumsi energi asal kayu disamping manfaat lainnya yang terkait fungsi tanaman atau hutan (Nurhayati et al. 2002).

Kayu bakar sebagai sumber energi terbarukan memiliki peran yang penting bagi masyarakat pedesaan di Indonesia dalam menunjang kesinambungan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kayu bakar masih banyak digunakan sebagai sumber energi khususnya di rumah tangga dan industri rumah di pedesaan. Kayu bakar digunakan untuk memasak makanan, air dan pemanasan. Kayu bakar bagi masyarakat di pedesaan belum akan tergantikan secara total oleh jenis energi seperti minyak tanah dan gas karena kemampuan daya belinya yang rendah dan sulitnya memperoleh pekerjaan alternatif di luar usaha tani (Dwiprabowo 2010).

Kayu bakar merupakan energi yang lebih mudah diperoleh dan tersedia di pedesaan. Kayu bakar dapat diperoleh di kawasan hutan negara, hutan rakyat, pekarangan rumah, kebun talun, dan limbah pertanian (Hendra 2007 dalam Tampubolon 2008). Namun menurut Dwiprabowo (2010) terdapat tiga sumber kayu bakar atau limbah biomassa untuk energi rumah tangga yakni Perum Perhutani, perkebunan dan kebun atau hutan rakyat, serta industri penggergajian.

(14)

tersebut. Potensi kayu bakar yang tersedia mampu mencukupi kebutuhan penggunaan kayu bakar. Namun menurut Budiyanto (2009) potensi kayu bakar di lahan milik tidak mencukupi kebutuhan total kayu per kapita per tahun. Hal ini mengakibatkan masyarakat memenuhi kebutuhan kayu bakar dari hutan.

Kayu bakar sudah sejak lama digunakan sebagai bahan bakar industri. Menurut Mursaid et al. (1956) dalam Hamzah (1980) konsumen-konsumen yang menggunakan kayu bakar antara lain rumah tangga, karet rakyat, perusahaan-perusahaan makanan, perusahaan pembakaran (kapur, bata, genteng, keramik), perusahaan batik, penggarangan tembakau dan pabrik-pabrik gula.

Kabupaten Banyumas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki banyak industri rumah tangga. Industri tersebut antara lain, industri gula kelapa, industri tempe, industri tahu, industri bioetanol, industri genteng, industri getuk goreng, industri minyak atsiri, industri batu bata, kerajinan bambu, kerajinan gerabah, dan kerajinan keramik. Kabupaten Banyumas merupakan sentra industri penghasil gula kelapa. Salah satu daerah yang menghasilkan produk gula terbesar yaitu Kecamatan Wangon. Produk gula kelapa yang dihasilkan memiliki pasar yang sangat luas. Permintaan gula kelapa sebagai bahan baku dalam konsumsi rumah tangga dan industri makanan yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan kayu bakar juga meningkat. Keberadaan kayu bakar sangat penting diperhatikan untuk menjaga produksi gula. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi kebutuhan kayu bakar menurut asal.

1.2 Perumusan Masalah

(15)

Kecamatan Cilongok, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Wangon, Kecamatan Somagede, dan Kecamatan Lumbir.

Pasar utama industri gula kelapa asal Banyumas adalah industri makanan dan konsumsi rumah tangga. Selain itu, pemasaran gula kelapa juga merambah ke pasar luar negeri. Kebutuhan gula kelapa akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kecamatan Wangon merupakan salah satu kecamatan yang menghasilkan gula terbesar. Di Kecamatan Wangon terdapat 1.664 unit industri gula kelapa dengan volume produksi gula sebanyak 11.149,20 kg/hari. Jumlah pohon yang disadap sebanyak 30.970 pohon. Produk industri gula kelapa di Kecamatan Wangon digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar dan juga dikirim ke beberapa wilayah di Pulau Jawa.

Industri gula kelapa merupakan salah satu industri rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam proses pemasakan. Keberadaan kayu bakar sangat penting bagi industri gula kelapa. Mereka memperoleh kayu bakar dengan cara membeli atau mencari di hutan. Semakin banyak gula yang dimasak maka kayu bakar yang dibutuhkan semakin banyak, sehingga persediaan kayu bakar dapat berkurang. Oleh karena itu, mengetahui sumber dan potensi kayu bakar di suatu daerah sangat penting untuk menghindari kelangkaan kayu bakar.

Penelitian ini meliputi sumber-sumber pemenuhan kayu bakar dan pendugaan besarnya kebutuhan kayu bakar. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wangon dengan pertimbangan ragam industri rumah tangga, terdapat hutan negara dan kemudahan akses transportasi. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk mempertahankan kelestarian sumber kayu bakar dan kelanjutan industri gula.

1.3 Tujuan

(16)

2. Mengidentifikasi teknik memperoleh kayu bakar dalam industri gula kelapa

3. Menghitung kebutuhan kayu bakar yang digunakan dalam industri gula kelapa

(17)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kayu Bakar

Pengertian energi biomassa dapat didefinisikan sebagai energi terbarukan dalam bentuk energi padat yang berasal dari berbagai tumbuhan berlignoselulosa baik yang langsung digunakan atau diproses terlebih dahulu. Energi biomassa dalam hal ini mencakup kayu bakar, limbah pembalakan, limbah industri perkayuan, limbah perkebunan atau pertanian, briket kayu, arang, dan briket arang. Dalam sektor kehutanan energi biomassa difokuskan pada kayu bakar, limbah pembalakan, limbah industri perkayuan, arang dan briket arang (Tampubolon 2008).

Kayu merupakan sumber energi yang pertama dikenal dan digunakan manusia secara universal. Selain untuk memasak, kayu juga digunakan untuk pemanasan di daerah beriklim dingin. Sampai saat ini di banyak negara berkembang kayu bakar masih merupakan bahan utama energi untuk memasak bagi penduduk pedesaan. Peranan kayu bakar di Indonesia diperkirakan menggunakan limbah pertanian sebagai energi untuk memasak dalam jumlah besar, terutama untuk daerah pedesaan. Selain untuk memasak, kayu bakar juga digunakan oleh perusahaan pembuatan batu bata, genteng, industri makanan dan keramik (Coto 1980).

(18)

P.02/VI-BIKPHH/2008 tentang Angka Konversi Volume Tumpukan Stapel Meter (sm) ke dalam Volume Satuan Kubik (m³) Kayu Bulat Kecil (KBK).

Berdasarkan Hamzah (1980) pemakaian kayu bakar akan cenderung meningkat berkaitan dengan:

a. Kenaikan harga bahan bakar minyak b. Kenaikan jumlah penduduk

c. Kenaikan jumlah orang yang menganggur

d. Kenaikan kebutuhan rakyat yang tinggal di dekat hutan

e. Kenaikan kebutuhan kapur, bata dan genteng sebagai akibat peningkatan kemakmuran penduduk kota.

Menurut Goverment of Indonesia (GOI) dan Food Agriculture Organization (1990) terdapat beberapa sumber untuk bahan bakar kayu bakar, yaitu :

a. Hutan Produksi

Kira-kira 35 juta m3 kayu dalam bentuk log berasal dari hutan produksi di Indonesia setiap tahun dan diperkirakan 65-70% equivalent dari volume tersebut meninggalkan hutan sebagai residu.

b. Hutan Konversi

Pada konsensus klasifikasi TGHK terdapat 30 juta ha hutan dikonversi ke pemanfaatan pertanian dan pemukiman penduduk. Akan tetapi, ketika area-area tersebut dibersihkan untuk pemukiman, volume kayu yang terdapat di area tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung. Kebanyakan kayu-kayu tersebut akan digunakan untuk industri perkayuan, sisanya akan digunakan untuk energi atau hilang karena proses pembusukan.

c. Pekarangan rumah

(19)

merupakan program pemerintah yang sangat berhasil pada Pelita IV dan akan dilanjutkan tegas di Pelita V.

d. Agroforestry

Pada penebangan habis hutan dan dalam pembangunan perkebunan, petani mengkombinasikan praktek pertanian dan kehutanan untuk mengawetkan tanah, mengembangkan tanaman-tanaman pertanian dan peternakan serta mengembangkan suatu keseimbangan sumber kayu bakar untuk penggunaan rumah tangga.

Tipe-tipe sistem agroforestry adalah tumpangsari (penanaman tanaman pertanian semusim dalam rangka penghutanan kembali areal-areal bekas tebangan), tegal pekarangan (tipe agroforestry yang mengkombinasikan kehutanan dan pertanian pada kebun-kebun milik), hutan rakyat (pada umumnya didapatkan di Jawa, dimana lahan milik ditanami dengan Albizia falcataria, Maesopsis eminii dan lain-lain untuk suplai industri perkayuan atau kayu bakar), hutan energi (hutan campuran dari jenis-jenis kayu bakar seperti Caliandra callothyrsus)

e. Lahan Pertanian Rakyat

Walaupun bukan dari hutan tanaman, pekarangan rumah dan lahan-lahan pertanian, umumnya ditanami kayu untuk kebutuhan kayu bakar. Pada tahun 1989 terdapat 10,6 juta ha penanaman yang disediakan untuk tanaman pertanian, dimana terdapat sumber kayu potensial (karet, coklat, kelapa sawit, kopi, jambu mete, dan lain-lain). Tanah-tanah pertanian tersebut dan kebun pekarangan memproduksi antara 86 juta−91 juta m3 kayu per tahun, dimana kira-kira 64 juta m3 berasal dari kebun pekarangan saja.

Menurut Sylviani dan Asmanah (2001) jenis-jenis pohon yang digunakan sebagai kayu bakar dapat digolongkan ke dalam tiga ketegori yaitu: 1) Jenis pohon kayu pertukangan

2) Jenis pohon buah-buahan atau perkebunan 3) Jenis pohon kayu bakar atau energi

(20)

dari lingkungan yang ada disekitarnya. Masyarakat desa yang dekat dengan hutan cenderung mengambil rencekan dalam hutan dan masyarakat desa yang jauh dari hutan memanfaatkan tanaman yang ada di kebun sendiri.

Silvikultur jenis potensial kayu bakar atau arang antara lain: a. Acacia auriculiformis (Akor)

b. Acacia decurens Mim. (Akasia dekuren) c. Altingia exelsa Noronhae. (Rasamala) d. Calliandra callothyrus Meissn. (Kaliandra) e. Cassia siamea Lamk. (Johar)

f. Dalbergia latifolia Roxb. (Sonokeling) g. Eucalyptus deglupta Blume. (Leda) h. Gliricidae maculata (Gamal) i. Gmelia arborea Linn. (Jati putih)

j. Leucaena leucocephala syn Leucaena glauca (Lamtoro gung) k. Paraserianthes falcataria L. Nielsen (Sengon)

l. Rhizophora spp. (Bakau) m.Sesbania grandiflora (Turi)

Konsumsi energi untuk bahan bakar bagi keperluan rumah tangga di pedesaan sebagian besar masih dipenuhi dari energi kayu. Penggunaan kayu di pedesaan rata-rata mencapai 96,15% dari total yang digunakan untuk memasak. Cara memperoleh energi ini sebagian penduduk memperoleh dengan memungut sendiri baik berasal dari pekarangan atau halaman rumah, kebun, tegalan, wilayah perkebunan dan hutan. Bagian-bagian pohon yang diambil sebagian besar adalah berbentuk cabang dan ranting yang dilakukan dengan cara memangkas dan merencek (Mashar 1980).

2.2Gula Kelapa

(21)

tetapi seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang sampai ke pucuk dapat dimanfaatkan. Tanaman kelapa juga memberikan sumbangan besar bagi perekonomian rakyat dan negara. Kelapa suatu penghasil bahan makanan yang sangat penting dalam kehidupan rakyat Indonesia. Rata-rata 80% dari hasil buah kelapa di seluruh nusantara dipakai sebagai bumbu dapur dan hanya 20% yang dibuat minyak. Bagian-bagian kelapa yang bermanfaat yaitu bagian buah, akar, batang, daun, tapas, bunga kelapa, dan buah kelapa (Soedijanto dan Sianipar 1985).

Gula kelapa merupakan salah satu bahan makanan yang dibuat dari nira kelapa yang banyak diusahakan oleh masyarakat pedesaan (Azni 2001). Nira ini diambil dengan menyadap mayang (bunga) kelapa. Hasil nira per pohon per hari rata-rata 1,75 liter. Banyak sedikitnya nira yang dihasilkan dipengaruhi oleh keadaan iklim dan umur pohon kelapa. Nira yang dihasilkan oleh pohon kelapa muda lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh pohon kelapa yang sudah tua. Nira hasil sadapan dari bunga kelapa dapat digunakan untuk membuat gula dan tuak (Soedijanto dan Sianipar 1985).

Menurut Winarti et al. (1998) proses pembuatan gula kelapa pada prinsipnya adalah nira disadap dua kali sehari menggunakan wadah tabung bambu dan ditambahkan bahan pengawet nira yaitu rendaman kulit nangka dan kapur sirih. Nira hasil sadapan setelah disaring selanjutnya dimasak selama 5-6 jam sambil diaduk-aduk. Cara mencegah buih nira meluap keluar wajan ditambahkan parutan kelapa atau satu sendok makan minyak kelapa untuk 25 liter nira. Ketika nira sudah mengental nira diaduk dan api kayu bakar diturunkan sambil diaduk. Pengujian kekentalan dilakukan dengan cara meneteskan pekatan nira ke dalam air dingin, bila tetesan tersebut memadat berarti pemasakan sudah cukup dan siap untuk dicetak.

Industri gula kelapa dalam proses pemasakannya bisa menggunakan bahan bakar dari kayu bakar, sekam padi, kayu pagar, daun-daun kering dan minyak tanah. Sedikit sekali pembuat gula kelapa yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Pada umumnya mereka menggunakan kayu bakar.

(22)

apabila menggunakan 100% kayu bakar maka satu pikul dapat memasak 25 kg gula kelapa. Selain kayu bakar, biasanya digunakan sekam padi sebagai bahan bakar tambahan. Sekam padi biasanya digunakan dalam kemasan kantong/karung. Untuk satu karung sekam padi biasanya dapat memasak sekitar 20 kg gula kelapa. Apabila menggunakan sekam padi harus digunakan bersama dengan kayu bakar, karena sekam padi hampir tidak bisa menghasilkan panas yang diinginkan apabila tidak dikombinasikan dengan kayu bakar.

Menurut Rachmat (1989) sesuai dengan studi kasus yang dijumpai pada desa-desa yang menghasilkan gula kelapa di Jawa Barat dan Jawa Timur, pengusahaan kelapa menjadi gula dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Sistem bagi hasil merupakan sistem pengusahaan kelapa dimana pengrajin gula kelapa sebagai penyadap melakukan penyadapan pohon milik orang lain, sedangkan hasilnya dimiliki secara bergilir seminggu atau tiga hari antara pemilik pohon dan penyadapnya. Apabila sistem bagi hasil sistem gilir mingguan maka pada minggu pertama hasil sadapan dimiliki penyadap dan minggu kedua untuk pemilik pohon dan seterusnya.

b. Sistem sewa pohon merupakan sistem sewa dimana pohon kelapa yang akan disadap disewa oleh pengrajin gula kelapa. Sistem sewa ini ada dua jenis yaitu sistem sewa tahunan dan sistem sewa natura per hari. Sewa tahunan merupakan kegiatan penyewaan pohon kelapa dimana penyadap membayar pohon dengan nominal nilai sewa tertentu yang dibayar tahunan. Sistem sewa natura per hari yaitu pemilik pohon kelapa menerima satu ons gula kelapa per pohon per hari.

2.3Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah beberapa penelitian mengenai industri gula kelapa: 1. Pengolahan gula kelapa ditingkat petani masih sederhana. Pemasakan

(23)

atau tungku dua lubang yang digunakan dalam proses pengolahan nira yang dapat menghemat bahan bakar kayu yang digunakan. Tungku introduksi akan menghemat bahan bakar sampai 20% dibandingkan dengan tungku tradisional dengan satu lubang. Penggunaan tungku dengan dua lubang atau tungku introduksi akan meningkatkan volume nira yang bisa dimasak dan bisa digunakan untuk keperluan lain. Penggunaan tungku yang kurang baik akan menyebabkan pemborosan bahan bakar dan membutuhkan waktu lama sehingga nilai ekonomis gula berkurang (Winarti et al. 1998).

2. Survei konsumsi kayu bakar pada pemakai kayu bakar di rumah tangga untuk mengatasi permasalahan kekurangan kayu bakar. Survei ini dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan kayu bakar bagi pengrajin gula merah di tiga lokasi yaitu Jasinga Jawa Barat, Gombong Jawa tengah, dan Karangasem Bali. Hasil survei menunjukan bahwa ketiga lokasi tersebut merupakan daerah rawan terhadap kekurangan kayu bakar. Berdasarkan luas hutan rakyat yang tersedia di setiap lokasi maka kekurangan kayu bakar yang paling rawan adalah pengrajin gula merah di Gombong. Mengatasi defisit kayu bakar dilakukan dengan mengintensifikasikan penanaman pohon jenis kayu bakar yang memiliki produksi energinya tinggi dan daur empat tahunan seperti kaliandra, lamtoro, dan sengon. Dengan cara ini kayu bakar akan tersedia secara berkesinambungan. Pengrajin gula kelapa di Gombong disarankan agar mengalihkan penggunaan kayu bakar untuk memasak bahan baku niranya ke minyak tanah atau briket batu bara dengan mereduksi penghasilan sekitar 30% (Nurhayati et al. 2002).

(24)
(25)

III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Penelitian

Penelitian mengenai identifikasi kebutuhan kayu bakar menurut asal pada industri gula kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Propinsi Jawa Tengah dilaksanakan pada bulan Juni−Agustus 2012. Desa yang menjadi objek penelitian adalah Desa Rawaheng, Desa Randegan, Desa Pengadegan, Desa Wangon, Desa Jurangbahas, Desa Banteran, Desa Jambu, Cikakak, dan Desa Wlahar.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu bakar dan hutan rakyat. Kayu bakar yang diamati merupakan kayu bakar yang dikonsumsi oleh pengrajin gula kelapa. Pengamatan hutan rakyat bertujuan untuk menghitung potensi kayu bakar. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, komputer, kalkulator, kamera, meteran gulung, dan meteran jahit. Kuisioner digunakan untuk memperoleh data dari pengrajin gula kelapa. Meteran jahit digunakan untuk mengukur diameter pohon dan meteran gulung digunakan untuk mengukur jarak antar pohon.

3.3 Kerangka Pemikiran

(26)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Volume penggunaan kayu

bakar (m3)

Harga pembelian kayu bakar (m3) Industri gula

kelapa

Identifikas asal komposisi kayu bakar

Hutan negara & perkebunan

Hutan rakyat Asal hutan

berdasarkan status hukum

Dalam desa dalam kecamatan

Luar desa luar kecamatan Luar desa

dalam kecamatan

(27)

3.4 Metode Pengambilan Contoh

a. Data

1) Pengamatan dan wawancara kepada pengrajin gula kelapa dilakukan secara langsung di lapangan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan responden yang berkaitan dengan penggunaan kayu bakar.

2) Data-data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari literatur dan pemerintah daerah setempat.

b. Metode Pemilihan Responden

Metode pemilihan responden dilakukan dengan cara random sampling yaitu teknik sampling yang digunakan oleh peneliti apabila populasi diasumsikan homogen (mengandung satu ciri) sehingga sampel dapat diambil secara acak (Idrus 2009). Jumlah sampel yang diambil berdasarkan metode slovin (Simamora 2004 dalam Fesanti 2011), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

n = ukuran sampel N = jumlah popolasi

e = batas toleransi kesalahan (10%)

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus slovin dengan jumlah industri pengrajin gula kelapa sebanyak 1465 unit pengrajin dan batas toleransi kesalahan 10% maka diperoleh sampel 93 responden, namun dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 100 responden.

3.5 Metode Pengolahan Data

a. Analisis data

Analisis ini dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui karakteristik responden, sumber pemenuhan kayu bakar, pola konsumsi kayu bakar.

b. Volume kayu bakar yang digunakan

(28)

dalam satu kali produksi pada industri pengrajin gula kelapa dengan menggunakan metode stepel meter (Lampiran 1).

c. Perhitungan potensi kayu bakar di hutan rakyat

Hutan rakyat yang dijadikan sampel pengukuran potensi kayu bakar yaitu 9 desa. Desa-desa tersebut antara lain Jurangbahas, Cikakak, Jambu, Banteran, Wlahar, Wangon, Randegan, Pengadegan, dan Rawaheng. Potensi kayu bakar di hutan rakyat dihitung dengan cara:

a) Menentukan sampel hutan rakyat pada masing-masing desa seluas 1 ha. b) Menentukan jenis dan menghitung diameter pada masing-masing lokasi. c) Menghitung volume tegakan dengan menggunakan tabel tegakan. d) Menghitung potensi kayu bakar tiap-tiap jenis.

Potensi kayu bakar tiap jenis (m3/ ha) = volume tegakan (m3/ ha) x perkiraan produksi kayu bakar Potensi kayu bakar per desa (m3) = rata-rata potensi kayu bakar (m3/

ha) x luas hutan rakyat tiap desa (ha)

Potensi kayu bakar Kec. Wangon (m3) = rata-rata potensi kayu bakar (m3/ha) x luas hutan rakyat Kecamatan Wangon (ha)

(29)

IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak dan Posisi Geografis

Penelitian dilakukan di sembilan desa di Kecamatan Wangon. Desa-desa tersebut yaitu Wlahar, Cikakak, Jambu, Banteran, Wangon, Jurangbahas, Randegan, Rawaheng, dan Pengadegan. Secara administratif, Kecamatan Wangon termasuk wilayah Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan letak geografis Kecamatan Wangon terletak pada koordinat 108o59’49,01” BT−109o5’49,9” BT dan 7o59’26’29,26”LS−7o34’35,75” LS dengan luas Kecamatan Wangon yaitu 60,71 km2.

Batas-batas Kecamatan Wangon antara lain: a. Sebelah Utara : Kecamatan Ajibarang b. Sebelah Selatan: Kabupaten Cilacap

c. Sebelat Timur : Kecamatan Jatilawang dan Kecamatan Purwojati d. Sebelah Barat : Kecamatan Lumbir

Gambar 2. Peta Kecamatan Wangon

(30)

Hutan (KPH) Banyumas Timur terdapat di Desa Pengadegan. Hutan negara yang terdapat di Desa Randegan dan Desa Rawaheng termasuk dalam pengelolaan KPH Banyumas Barat.

4.2 Penggunaan Lahan di Kecamatan Wangon

Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon terbagi menjadi pekarangan atau bangunan, tanah kebun, perkebunan negara, hutan negara, dan lain-lain. Penggunaan lahan terbesar pada tanah kebun milik masyarakat. Lahan ini ditanami berbagai jenis kayu rakyat dan tanaman pangan.

Tabel 1 Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon

Desa

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)

Lain-lain : Fasilitas umum (lapangan, tempat ibadah, tempat pemakaman umum)

Klasifikasi penggunaan lahan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa vegetasi berada pada tanah kebun, perkebunan negara, dan hutan negara. Tanah kebun merupakan lahan yang paling luas ditanami pohon maupun palawija. Tanah kebun tersebut termasuk bentuk hutan rakyat di Kecamatan Wangon.

4.3 Topografi dan Iklim

(31)

sekitar 24,4 oC dan suhu maksimum 30,9 oC (Pemerintah Kabupaten Banyumas 2009)

4.4 Kependudukan

Jumlah penduduk di Kecamatan Wangon pada akhir tahun 2010 adalah 73.348 jiwa yang terdiri dari 36.698 orang laki-laki dan 36.650 orang perempuan dengan pertumbuhan penduduk kecamatan 0,3. Sebagian besar penduduk Kecamatan Wangon berada pada kisaran usia produktif (usia 14−64 tahun). Data penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis kelamin pada akhir tahun 2010

No Kelompok Umur Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa)

1 0−4 3.524 3.153 6.677

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011) 4.5 Sarana dan Prasarana

a) Perhubungan

(32)

Panjang jalan menurut jenis permukaan yang terdapat di Kecamatan Wangon disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Panjang jalan menurut jenis permukaan per desa tahun 2009

No Desa

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)

Jalan kelas II dan kelas III merupakan jalan raya propinsi yang dilalui oleh transpotasi umum. Jalan aspal desa dan bukan aspal digunakan untuk mempermudah transportasi masyarakat. Jalan ini lebih sering dilalui sepeda motor. Angkutan umum tidak melewati jalan ini.

b) Pendidikan

Fasilitas pendidikan di Kecamatan Wangon mendukung pembangunan pendidikan masyarakat. Sarana dan prasarana pendidikan wajib belajar sembilan tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan sudah tersedia. Sarana dan prasarana pendidikan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sarana dan prasarana pendidikan

No Sarana dan prasarana Sekolah (unit) Murid (siswa) Guru (orang)

1 TK 25 955 88

(33)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

Industri gula kelapa yang diamati dalam penelitian ini merupakan industri rumah tangga. Petani penyadap nira kelapa merangkap sebagai pengrajin pembuat gula kelapa. Industri gula kelapa merupakan salah satu industri yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Pohon kelapa yang disadap merupakan pohon milik atau pohon bagi hasil. Kegiatan penyadapan nira dilakukan oleh laki-laki baik kepala keluarga maupun anggota keluarga yang bisa memanjat. Kegiatan pengolahan gula kelapa dilakukan oleh perempuan dan dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Setelah melakukan kegiatan penyadapan, mereka memperoleh kayu bakar dengan cara memungut, memangkas atau membeli. Sumber kayu bakar yang digunakan berasal dari hutan rakyat di sekitar tempat tinggal mereka.

5.1Karakteristik Pengolah Gula Kelapa

Penelitian dilakukan pada petani penyadap nira di Kecamatan Wangon. Pengrajin gula kelapa memiliki berbagai karakteristik dari segi usia, pendidikan, alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa, pendapatan, dan kepemilikan lahan. Karakteristik responden secara lengkap disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik pengrajin gula kelapa berdasarkan usia dan masa kerja

Usia (tahun) Masa kerja (tahun) Total

(orang)

(34)

ekonomi. Pengrajin gula kelapa yang berusia produktif sebagian besar berusia antara 48-50 tahun. Hal ini menunjukan bahwa generasi muda semakin jarang yang tertarik menjadi pengrajin gula kelapa. Mereka bekerja sebagai pengrajin gula kelapa dengan masa kerja yang berbeda-beda. Menurut Tabel 5 terdapat 23 responden yang sudah memasak gula kelapa selama 26-28 tahun. Hal ini menunjukan bahwa mereka bekerja sebagai pengrajin gula kelapa relatif lama.

Semua responden berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Supomo (2007) bahwa pengrajin gula kelapa ternyata hanya diminati oleh kelompok masyarakat yang berpendidikan SD dan SMP saja. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kualitas sumber daya pengrajin gula kelapa umumnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya masyarakat pedesaan mengakibatkan mereka bekerja dalam bidang pertanian, misalnya dengan memanfaatkan hasil pertanian seperti memasak nira kelapa. Pengrajin gula kelapa merupakan pekerjaan utama bagi 99 responden dan pekerjaan sampingan bagi 1 responden. Hal ini berarti bekerja sebagai pengrajin gula kelapa merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat pedesaan. Tabel 6 menyajikan beberapa alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa.

Tabel 6 Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa

(35)

dengan hasil penelitian Prasojo (2001) bahwa pengrajin gula kelapa memiliki pengetahuan berwirausaha mulai dari keterampilan berproduksi, pengolahan, kualitas produksi, permodalan, pembentukan kelompok, pemasaran masih serba seadanya belum terkesan sebagai usaha dan lebih terkesan sebagai tradisi. Hal ini karena mereka memandang sebagai pekerjaan turun-temurun dari orang tua.

Selain karena budaya turun-temurun, pekerjaan sebagai pengrajin gula kelapa merupakan pendapatan utama. Pendapatan yang diterima masing-masing responden berbeda-beda. Tabel 7 menunjukkan bahwa pengrajin gula kelapa yang memperoleh pendapatan kurang dari Rp 800.000,00 sebanyak 35% sedangkan yang memperoleh pendapatan di atas Upah Minimum Regional (UMR) sebanyak 65%. Pendapatan ini diperoleh dengan harga rata-rata yang berlaku pada Agustus 2012 sebesar Rp 10.000,00/kg. Besar kecilnya pendapatan dipengaruhi oleh tingkat produksi dan intensitas memasak nira. Tingkat produksi dan intensitas memasak nira dipengaruhi oleh jumlah pohon yang disadap dan sistem bagi hasil antara penyadap dan pemilik pohon.

Tabel 7 Pendapatan pengrajin gula kelapa

No Pendapatan (Rp/bulan) Jumlah responden (orang) Persentase (%)

1 ≤ 800.000 35 35 Tabel 8 Kepemilikan lahan pengrajin gula kelapa.

No Luas lahan (ha) Jumlah responden (orang) Persentase (%)

1 ≤ 0,1 6 6

2 0,1−0,25 12 12

3 ≥ 0,25 7 7

4 Tidak mempunyai lahan 75 75

(36)

Lahan tersebut ditanami berbagai jenis kayu antara lain jati, sengon, mahoni, karet, dan tanaman buah-buahan. Kayu tersebut dipanen sesuai dengan kebutuhan mereka. Bagi pengrajin gula kelapa yang memiliki lahan, lahan tersebut dimanfaatkan sebagai sumber kayu bakar. Mereka memanfaatkan kayu bakar dari memungut dan memangkas atau dipanen terlebih dahulu. Namun, bagi pengrajin gula kelapa yang tidak memiliki lahan mereka mencari kayu bakar di lahan-lahan milik masyarakat sekitar tempat tinggal mereka. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (1994) bahwa rumah tangga yang memiliki lahan milik maka kebutuhan kayu bakar diperoleh dari lahan miliknya jika lahan miliknya ditanami dengan pohon penghasil kayu bakar, sedangkan bagi rumah tangga yang tidak mempunyai lahan milik atau lahan milik yang sempit dan tidak ditanami dengan pohon penghasil kayu bakar pada umumnya mengambil dari hutan rakyat disekitar tempat tinggal mereka atau membeli.

5.2Sumber Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber kayu bakar yang digunakan oleh industri rumah tangga pengrajin gula kelapa berasal dari hutan negara (KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur) dan hutan rakyat yang terletak di Kecamatan Wangon. Semua responden menggunakan kayu bakar dari hutan rakyat sebagai bahan bakar utama dan terdapat empat responden yang memperoleh kayu bakar tambahan dari hutan negara.

Bahan bakar utama dalam mengolah gula kelapa sebagian besar berasal dari hutan rakyat yang diperoleh dengan cara membeli dari tengkulak atau industri penggergajian dan mencari kayu bakar di hutan rakyat. Para tengkulak memperoleh kayu bakar pada saat ada tebangan di sekitar tempat tinggal mereka atau dari hutan rakyat di tempat lain.

(37)

kayu bakar. Pada saat harga naik, kayu bakar dapat mencapai hingga Rp 30.000/pikul. Pengrajin gula kelapa tetap membeli kayu bakar sesuai dengan kebutuhan pengolahan. Namun, permintaan terhadap kayu akan menjadi lebih banyak jika harga kayu bakar turun. Hal ini bertujuan untuk persediaan kayu bakar pada musim hujan.

Kayu bakar yang diperoleh dari hutan negara hanya sebagian kecil saja berupa cabang dan ranting pohon yang diperoleh pada saat ada kegiatan penebangan yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Kayu bakar dari hutan negara hanya sebagai bahan bakar tambahan saja. Mereka lebih banyak mengambil kayu bakar dari hutan rakyat. Hal ini berbeda dengan Nurhayati et al. (2002) dalam studi kasus ketersediaan kayu bakar pada pengrajin gula kelapa di Gombong, Jawa Tengah, jenis kayu bakar yang digunakan terdiri dari kayu jati diameter sekitar 5 cm dari peremajaan dari Perum Perhutani dan jenis lainnya seperti sengon, sungkai, jeruk, pelepah kelapa, dan lain-lain. Perbedaan ini dapat terjadi karena kelas perusahaan Perum Perhutani di Kabupaten Banyumas adalah Kelas Perusahaan Pinus (KP Pinus). Pohon pinus dimanfaatkan getahnya. Kegiatan penebangan pohon pinus dilakukan pada saat penjarangan dan akhir daur dengan sistem tebang habis (25 tahun), sehingga ketersediaan kayu bakar dari Perum Perhutani lebih sedikit. Oleh sebab itu, pengrajin gula kelapa memanfaatkan sumber kayu bakar yang berasal dari hutan rakyat.

Sumber kayu bakar tidak hanya berasal dari dalam kecamatan, namun dapat juga berasal dari luar kecamatan. Beberapa sumber kayu bakar berdasarkan asal geografis yang digunakan industri pengrajin gula kelapa disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sumber kayu bakar berdasarkan asal geogragfis

No Sumber kayu bakar berdasarkan asal

(38)

pengrajin gula kelapa menggunakan kayu bakar yang berasal dari dalam desa dalam kecamatan sebanyak 92 pengrajin gula. Pengrajin gula kelapa yang memperoleh sumber kayu bakar dari luar desa luar kecamatan sebanyak 2 pengrajin gula. Pengrajin gula kelapa sebagian besar memperoleh kayu bakar dari dalam kecamatan. Hal ini dikarenakan jarak lokasi untuk mencari kayu bakar yang relatif dekat dari rumah mereka sehingga mempermudah dalam pengangkutan. Beberapa pengrajin memperoleh kayu bakar dari luar kecamatan. Hal ini karena lokasi untuk mencari kayu bakar lebih dekat ke daerah di luar kecamatan dan akses jalan yang lebih mudah.

5.3Pola Memperoleh Kayu Bakar

Pengrajin gula kelapa dalam menggunakan kayu bakar memiliki cara tersendiri seperti cara memperoleh kayu bakar, waktu pengambilan kayu bakar, pengangkutan kayu bakar, dan cara penyimpanan kayu bakar. Kayu bakar diperoleh dengan cara memungut dan memangkas atau membeli. Tabel 10 menyajikan teknik dan intensitas memperoleh kayu bakar yang dilakukan oleh pengrajin gula kelapa.

Tabel 10 Teknik dan Intensitas Memperoleh Kayu Bakar

(39)

kelapa memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas menjadi kegiatan yang dilakukan setelah menyadap nira. Kegiatan ini dilakukan untuk mengisi waktu luang mereka sebelum kembali menyadap nira sore harinya. Selain itu kegiatan ini untuk menambah persediaan kayu bakar. Menurut Dewi (1994) cara memperoleh kayu bakar berdasarkan teknik pengambilannya dibedakan menjadi memungut kayu kering (ranting-ranting) yang jatuh dibawah tegakan (lantai hutan), memanjat dan mengambil dengan galah, memanfaatkan pohon tumbang dengan memotong ranting dan cabang, serta menebang pohon. Responden pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara membeli sebanyak 36 responden. Mereka membeli kayu bakar dari tengkulak dan penggergajian di sekitar tempat tinggal mereka.

Berdasarkan teknik memperoleh kayu bakar diperoleh sortimen kayu bakar yang berbeda-beda. Pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas atau membeli ke tengkulak kayu bakar memperoleh kayu bakar dalam bentuk rencek. Pengrajin gula kelapa yang memperoleh kayu bakar dengan cara membeli ke penggergajian adalah kayu bakar berupa belahan-belahan papan sisa gergajian.

Waktu yang digunakan para pengrajin gula kelapa untuk memperoleh kayu bakar berbeda-beda. Menurut Tabel 10, pengrajin gula kelapa yang mengambil atau membeli kayu bakar setiap hari ada 19 pengrajin. Pengrajin gula kelapa yang mengambil atau mengumpulkan kayu bakar seminggu sekali sebanyak 4 pengrajin dan pengrajin gula kelapa yang lain mengambil atau membeli kayu bakar secara insidental ada 77 pengrajin gula kelapa. Waktu pengambilan kayu bakar secara insidental merupakan waktu mencari kayu bakar yang banyak digunakan oleh responden. Hal ini karena mereka tidak mempunyai jadwal kegiatan yang jelas dan apabila mereka sudah mempunyai banyak persediaan kayu bakar, mereka akan mencari lagi ketika persediaan mulai berkurang.

(40)

menyadap nira kelapa, sedangkan perempuan biasanya mengambil atau membeli kayu bakar disekitar tempat tinggal mereka. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (1994) bahwa pengambilan kayu bakar di hutan dilakukan oleh kaum bapak sedangkan kayu bakar yang diambil dari lahan pekarangan dilakukan oleh kaum ibu walaupun demikian pengambilan kayu bakar dapat dilakukan oleh siapa saja dalam keluarga baik oleh ibu, ayah, atau anak. Menurut Rachmat (1989) biasanya lepas dari aktivitas menyadap nira anggota keluarga laki-laki mencari kayu bakar sebagai bahan bakar.

Para pengrajin gula kelapa lebih sering mengumpulkan atau membeli kayu bakar ketika musim kemarau. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan kayu bakar sebagai persediaan ketika musim hujan. Hal ini karena ketika musim hujan lebih sulit untuk mencari kayu bakar dan kayu bakar yang diperoleh dalam keadaan basah.

(41)

Tabel 11 Teknik pengangkutan kayu bakar berdasarkan moda angkutan yang digunakan

No Moda angkutan kayu bakar Jumlah responden (orang) Presentase (%)

1 Dipikul 50 50 memungut, memangkas dan membeli kayu bakar kepada tengkulak di sekitar rumahnya mengangkut kayu bakar dengan cara dipikul 50% dan digendong 37%. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa pengangkutan terbanyak dengan cara dipikul. Pengangkutan dengan cara dipikul merupakan pengangkutan kayu bakar yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Pengangkutan ini banyak dilakukan karena kayu bakar yang dibawa relatif sedikit dan dilakukan dalam intensitas yang sering. Selain itu tidak memerlukan biaya pengangkutan. Pengangkutan kayu bakar dengan cara digendong biasanya dilakukan oleh ibu-ibu pengolah gula kelapa. Para pengrajin yang menggunakan alat angkut seperti becak dan pick up, pada umumnya memperoleh kayu bakar dengan cara membeli dari tengkulak dan biasanya dalam jumlah yang cukup besar sehingga tidak memungkinkan untuk dipikul ataupun digendong.

Pada umumnya, kayu bakar yang telah diperoleh dengan cara dikumpulkan sendiri maupun dengan cara dibeli dari tengkulak atau penggergajian tidak langsung digunakan seluruhnya. Kadang kala kayu bakar tersebut disimpan di tempat penyimpanan untuk digunakan di hari-hari berikutnya. Para pengrajin industri gula kelapa di Kecamatan Wangon mempunyai tempat untuk menyimpan kayu bakar yang berada pada lokasi berbeda-beda. Tempat ini digunakan untuk menyimpan persediaan kayu bakar yang mereka peroleh. Bermacam-macam jenis tempat menyimpan kayu bakar disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Tempat penyimpanan kayu bakar

No Tempat penyimpanan kayu bakar Jumlah responden (orang) Presentase (%)

1 Dapur 32 32

2 Di luar rumah 44 44

3 Gubug penyimpanan kayu bakar 24 24

(42)

Tabel 12 menyatakan bahwa para pengrajin industri gula kelapa dari 100 responden terdapat 32 responden yang menyimpan kayu bakar di dapur. Tempat menyimpan kayu bakar di dapur yaitu biasanya kayu bakar disimpan di dapur dekat dengan tempat memasak gula kelapa. Terdapat 44 responden yang menyimpan kayu bakar di luar rumah. Mereka memanfaatkan bagian yang tidak digunakan di luar rumah sebagai tempat penyimpanan kayu bakar untuk melindungi kayu bakar dari hujan. Tempat penyimpanan berupa gubug penyimpanan kayu bakar dimiliki oleh 24 pengrajin gula kelapa. Gubug penyimpanan kayu bakar biasanya memerlukan lahan tersendiri. Kapasitas penyimpanan di gubug lebih banyak dibandingkan tempat penyimpanan lainnya. Jenis-jenis tempat menyimpan kayu bakar dipengaruhi oleh luas pekarangan tempat tinggal pengrajin gula kelapa. Responden yang memiliki tempat menyimpan berupa gubug penyimpanan kayu bakar lebih sedikit jika dibandingkan dengan responden yang memiliki tempat penyimpanan di dapur atau di luar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak pengrajin yang memiliki lahan yang cukup untuk membuat gubug tersendiri sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. Kayu bakar yang ditempatkan di dapur hanya berjumlah sedikit saja karena kapasitas tempat menyimpan di dapur tidak memadai untuk menyimpan kayu bakar dalam jumlah yang banyak. Jenis-jenis tempat untuk menyimpan kayu bakar disajikan pada Gambar 3.

a b C

Gambar 3 Tempat penyimpanan kayu bakar (a) Dapur, (b) Di luar rumah, dan (c) Gubug penyimpanan kayu bakar

5.4Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa

a. Intensitas produksi Gula kelapa

(43)

sewa antara pemilik pohon dan penyadap. Semakin banyak pohon yang disadap semakin banyak nira yang diperoleh. Waktu memasak nira tergantung pada sistem bagi hasilnya. Apabila hasil yang dibagi dalam bentuk nira maka pemilik pohon dan penyewa memasak secara bergantian sesuai dengan jadwal yang disepakati. Namun apabila yang dibagi dalam bentuk gula pemilik pohon menerima produk gula yang siap dikonsumsi dan memasak nira dilakukan setiap hari oleh penyewa. Periode memasak nira seperti yang telah disajikan pada Tabel 13 mempengaruhi penggunaan kayu bakar dalam mengolah nira menjadi gula.

Tabel 13 Periode produksi gula kelapa berdasarkan waktu pemasakan nira

No Periode produksi gula kelapa Jumlah responden (orang) Presentase (%)

1 Setiap hari 19 19

2 Dua hari sekali 59 59

3 Tiga hari sekali 22 22

Total 100 100

Tabel 13 menunjukkan bahwa pengrajin gula kelapa paling banyak memasak gula kelapa dua hari sekali yaitu sebanyak 59 pengrajin gula kelapa Pengrajin yang memasak setiap hari sebanyak 19 pengrajin gula. Terdapat 22 pengrajin yang memasak setiap tiga hari sekali. Pengrajin yang mengolah setiap hari biasanya memiliki pohon kelapa atau menyewa tahunan, sedangkan pengrajin yang mengolah tidak setiap hari biasanya karena sistem bagi hasil dari pohon yang mereka sadap atau karena jumlah nira yang dihasilkan relatif sedikit sehingga memasaknya dilakukan dua sampai tiga hari sekaligus.

b. Jenis Tungku yang Digunakan

(44)

a B

Gambar 4 Jenis-jenis tungku pengolahan gula kelapa (a) Tungku satu lubang, (b) Tungku introduksi

Tungku tradisional merupakan tungku satu lubang. Tungku ini biasanya dibuat oleh pengrajin gula kelapa. Ukuran tungku ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan pembuatnya. Bahan bakar yang digunakan yaitu kayu bakar dan serbuk gergajian. Bagian-bagian tungku satu lubang yaitu tempat meletakkan wajan dan lubang kayu bakar. Tempat untuk meletakan wajan berbentuk persegi dengan panjang sisi 55 cm dan lubang kayu bakar berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 20 cm. Pada bagian tempat meletakan wajan bagian bawahnya berisi serbuk gergajian yang dipadatkan. Lubang kayu bakar hanya mampu diisi dengan maksimal lima buah sortimen kayu bakar. Panas yang dihasilkan tungku jenis ini mengumpul dalam satu lubang sehingga dapat mempercepat proses pemasakan. Menurut Winarti (1998), pengolahan gula ditingkat petani masih sederhana. Pemasakan dilakukan menggunakan tungku tanah liat pada satu lubang (satu wajan) dengan bahan bakar kayu, sabut, dan batok kelapa.

(45)

diameter 60 cm. Tempat wajan belakang berbentuk lingkaran dengan rata-rata diameter 20 cm. Dan lubang kayu bakar berbentuk persegi panjang dengan panjang 25 cm dan tinggi 18 cm. Panas api tungku introduksi menyebar dan dapat keluar dari lubang belakang.

c. Kebutuhan kayu bakar

Kebutuhan kayu bakar dalam pemasakan gula kelapa dipengaruhi oleh jenis kayu bakar dan jenis tungku. Jenis kayu bakar yang digunakan terdiri dari bermacam-macam jenis kayu. Pengrajin gula kelapa biasanya menjemur kayu bakar yang akan mereka gunakan, namun apabila persediaan yang mereka miliki hanya cukup digunakan untuk satu kali produksi maka hasil kayu bakar yang diperoleh langsung mereka gunakan sebagai bahan bakar tanpa dijemur terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan kayu bakar yang digunakan semakin banyak. Penggunaan kayu bakar tanpa dijemur menyebabkan panas yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan kayu kering, sehingga untuk mencapai tingkat panas yang sama diperlukan jumlah kayu lebih banyak (Dewi 1994). Hal ini menyebabkan pemborosan penggunaan kayu bakar. Penggunaan jenis tungku yang berbeda akan membutuhkan kayu bakar yang berbeda pula. Pada Tabel 14 disajikan kebutuhan kayu bakar dalam memproduksi gula kelapa dalam jumlah yang berbeda-beda menggunakan tungku tradisional dan tungku introduksi.

Tabel 14 Kebutuhan kayu bakar untuk memasak nira

No Jenis banyak diperlukan apabila menggunakan tungku introduksi dengan kebutuhan kayu bakar 0,008 m3/kg. Tungku tradisional memerlukan kayu bakar 0,002 m3/kg, namun memerlukan bahan bakar tambahan berupa serbuk gergajian sehingga menambah biaya seharga Rp 3.000,00/karung ukuran 30 kg untuk satu kali pengolahan.

(46)

pengolahan gula kelapa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Winarti et al. (1998), penggunaan tungku percontohan (tungku introduksi) memberikan kontribusi penggunaan bahan bakar yang lebih efisien yaitu rataannya 3,29-3,30 kg bahan bakar per kg gula kelapa, sedangkan dengan tungku tradisional (tungku satu lubang) mencapai 3,97-4,03 kg bahan bakar per kg gula dengan waktu yang lebih lama. Hal ini disebabkan panas yang diterima pada saat pemasakan nira lebih besar dengan menggunakan tungku percontohan dibanding tungku tradisional. Tungku introduksi memiliki dua buah lubang pemasakan atau menggunakan dua buah wajan, sedangkan tungku yang biasa digunakan oleh petani terdiri atas satu lubang untuk satu wajan. Jadi efisiensi panas yang digunakan cukup baik, dan waktu pemasakan dapat dipersingkat waktunya menjadi tiga jam.

Perbedaan ini terjadi karena di lokasi penelitian pengrajin gula kelapa yang menggunakan tungku introduksi hanya memanfaatkan satu lubang dalam proses memasak. Lubang bagian belakang dengan posisi yang lebih tinggi digunakan untuk memasak air. Lubang bahan bakar hanya diisi dengan kayu bakar sehingga kebutuhan kayu bakar lebih banyak. Lain halnya dengan tungku satu lubang, bagian lubang bahan bakarnya diisi dengan serbuk gergajian yang dipadatkan dan dibuat lubang bagian tengahnya. Lubang ini digunakan untuk menyalurkan panas. Kayu bakar pada tungku tradisional hanya untuk menghasilkan bara yang memanaskan serbuk gergajian. Oleh sebab itu, penggunaan kayu bakar pada tungku tradisional lebih efisien dibandingkan tungku introduksi.

(47)

Tabel 15 Total kebutuhan kayu bakar pada industri gula kelapa di

Sumber : *Dihitung kembali dari Tabel 15

Menurut Tabel 15 total kebutuhan kayu bakar di Kecamatan Wangon adalah 10.888,03 m3/tahun. Rata-rata kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan tungku tradisional adalah 3,85 m3/tahun dan rata-rata kebutuhan kayu bakar dengan menggunakan tungku introduksi adalah 8,90 m3/tahun. Hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa kebutuhan kayu bakar yang diperlukan relatif banyak.

5.5Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon

Luas hutan rakyat di Kecamatan Wangon adalah 2467 ha. Berdasarkan pengamatan di lapang diperoleh bahwa jenis tanaman yang tumbuh bermacam-macam jenis pohon buah dan kayu pertukangan dengan jarak tanam yang tidak teratur dan umur bervariasi. Fungsi tanaman sebagai penunjang kebutuhan hidup. Tanaman tersebut tumbuh dengan sendirinya, tidak mendapatkan perawatan dan perlakuan khusus.

Jenis-jenis pohon yang ditemukan di lahan hutan rakyat di Kecamatan Wangon antara lain jati (Tectona grandis), karet (Havea brasilinsis), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia Sp), akasia (Acacia decurens), angsana (Pterocarpus indicus), kelapa (Cocos nucifera), dan tanaman buah-buahan yaitu nangka (Artocarpus sp) dan rambutan (Nephelium lappaceum). Pohon-pohon tersebut digunakan untuk kayu bangunan, kayu bakar, maupun dimanfaatkan hasil buahnya. Jenis pohon dominan yaitu pohon jati.

(48)

sembilan desa contoh yaitu 73 m3 dan diperoleh potensi kayu bakar Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3.

5.6Keterkaitan Antara Kebutuhan Kayu Bakar dengan Ketersedia Kayu

Bakar

(49)

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pengrajin industri gula kelapa memperoleh sumber kayu bakar menurut asal hutan berasal dari hutan rakyat dan hutan negara. Pengrajin yang memperoleh sumber kayu bakar dari hutan rakyat sebanyak 100 pengrajin. Kayu bakar dari hutan negara menjadi sumber bahan bakar tambahan bagi 4 pengrajin. Sumber kayu bakar berdasarkan asal geografis diperoleh dari dalam desa dalam kecamatan, luar desa dalam kecamatan, dan luar desa luar kecamatan dengan jumlah sebanyak 92 pengrajin, 6 pengrajin, dan 2 pengrajin.

2. Pengrajin industri gula kelapa memperoleh kayu bakar dengan cara memungut, memangkas dan membeli. Pengrajin yang memperoleh kayu bakar dengan cara memungut dan memangkas sebanyak 64 pengrajin dan yang memperoleh kayu bakar dengan cara membeli sebanyak 36 pengrajin. 3. Total kebutuhan kayu bakar yang digunakan pengrajin gula kelapa adalah

10.888,03 m3/tahun.

4. Potensi kayu bakar Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. Potensi tersebut mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar selama 16,55 tahun dengan jumlah tegakan tidak mengalami perubahan.

6.2 Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai energi alternatif pengganti kayu bakar yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Azni N, Nurli I dan Mildaerizanti. 2001. Teknologi Pembuatan Gula Kelapa. Jambi [ID]: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Departemen Pertanian.

Bappeda Kabupaten Banyumas. 2011. Kecamatan Wangon dalam Angka 2011. Banyumas [ID]: Bappeda Kabupaten Banyumas dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas.

Budiyanto. 2009. Tingkat konsumsi kayu Bakar Masyarakat Desa Sekitar Hutan Kasus Desa Hegarmanah Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB.

Coto Z. 1980 Teknik Efisiensi Penggunaan Energi Kayu Bakar. Di dalam: Tambunan B, Husaeni E, Suwardjo Domon, editor. Peningkatan Penyediaan dan Pemanfaatan Kayu sebagai Sumber Energi; 1979 September 8−9; ; Bogor, Indonesia Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 89-90

Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.05/VI-BIKPHH/2008.

Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: P.14/VI-BIKPHH/2009.

Dewi HQ. 1994. Studi Pemenuhan Kebutuhan Kayu Bakar di Desa-Desa Sekitar Hutan Ketu BKPH Wonogiri KPH Surakarta [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

[Deperindag] Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas. 2011. Laporan Kegiatan seksi Industri Pertanian dan Kehutanan Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyumas Tahun 2011. Purwokerto [ID]: Deperindag.

Dwiprabowo H. 2010. Kajian Kebijakan Kayu Bakar sebagai Sumber Energi di Pedesaan Pulau Jawa. Analisis Kebijakan Kehutanan 7(1):1-11.

(51)

Goverment of Indonesia dan Food Agriculture Organization. 1990. Fuelwood dan Energy. Ministry of Forestry, Round Table Type II, May 29-30. Jakarta [ID]: Indonesia.

Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta:Erlangga

Hamzah Z. 1980. Situasi Kayu Bakar di Jawa Tempo Dulu, Sekarang, dan Yang Akan Datang. Di dalam: Tambunan B, Husaeni E, Suwardjo Domon, editor. Peningkatan Penyediaan dan Pemanfaatan Kayu sebagai Sumber Energi. Bogor; 1979 September 8−9; Bogor, Indonesia. Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 67-70.

Keputusan Menteri Kehutanan. 2003. Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Wilayah Kerja Perhutani untuk Propinsi di Wilayah Jawa. Kepmenhut 127/Kpts-II/2003.

Mashar M C. 1980. Pembinaan kebun kayu Bakar Untuk Memenuhi Kebutuhan Kayu Energi. Di dalam: Tambunan B, Husaeni E, Suwardjo Domon, editor. Peningkatan Penyediaan dan Pemanfaatan Kayu sebagai Sumber Energi; 1979 September 8−9; ; Bogor, Indonesia Bogor [ID]: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 67-70.

Nurhayati T, Wesman E, dan Dadang S. 2002. Kajian Ketersediaan Kayu Bakar pada Pengrajin Gula Merah. Penelitian Hasil Hutan 20(4):271-284.

Prasojo S. 2001. Pemberdayaan Pengrajin Gula Kelapa sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan. Purbalingga [ID]: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Purbalingga.

Pemerintah Kabupaten Banyumas. 2009. Peraturan Daerah Kabupaten banyumas Nomor 24 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Banyumas Tahun 2008-2013. Banyumas [ID]: Pemerintah Kabupaten Banyumas.

(52)

Rumokoi. 1994. Prospek pengembangan Gula kelapa di Indonesia. Litbang Pertanian. 13(1):p.9-18.

Rostiwati T, Yetti H, dan Sofwan B. 2006. Review Hasil Litbang Kayu Energi dan Turunannya. Bogor [ID]: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Santosa HT. 2001. Analisis Dampak Konsumsi Kayu Bakar terhadap Kelestarian Lingkungan di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta. Manusia dan Lingkungan. 8(1):154-166.

Soedijanto dan Sianipar. 1985. Kelapa. Jakarta: CV Yasaguna.

Soepomo A dan Soemarna. 1983. Firewood and its Problem in java. Duta Rimba No.57-58/.:3-8

Supomo. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Pengrajin Gula Kelapa di Kabupaten Purbalingga. Ekonomi Pembangunan 12(2):149-162.

Sylviani dan Asmanah W. 2001. Penentuan Jenis Pohon Unggulan sebagai Penghasil Kayu Bakar. Sosial Ekonomi. 2(2):139-150.

Tampubolon AP. 2008. Kajian Kebijakan Energi Biomassa Kayu Bakar. Analisis Kebijakan Kehutanan. 5(1):29-37.

Winarti C, Widi R, Ferry M, Agus S, Dedi S E, dan Elna K. 1998. Perbaikan Pengolahan Gula Kelapa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Di dalam: Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis Kelapa; 1998 April 21-23; Bandar Lampung Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, Indonesia. Bogor (ID). hml 622-630.

(53)
(54)

Lampiran 1. Teknik Pengukuran Kayu Bakar

Kayu bakar termasuk dalam Kayu Bulat Kecil (KBK). Untuk kayu bulat sortimen KBK yang mempunyai ukuran diameter lebih kecil dari 30 cm cara pengukurannya menggunakan metode sistem stapel meter (sm).

Cara pengukuran dengan menggunakan stapel meter berdsarkan P.14/VI-BIKPHH/2009 adalah sebagai berikut :

a. Panjang kayu bulat untuk perhitungan menggunakan stapel meter (sm) disarankan minimal 1 meter dalam kelipatan 0,5 meter.

b. Kayu bundar yang akan diukur harus ditumpuk secara teratur, sehingga setiap tumpukan mempunyai ukuran lebar yang sama (sebagai cerminan penumpukan kayu yang mempunyai panjang yang sama) serta tinggi yang sama.

c. Untuk memudahkan perhitungan, agar setiap panjang tumpukan yang dapat mencerminkan isi tertentu diberi tanda panjang, seperti pada gambar sebagai berikut.

Gambar 5 Tumbukan kayu bundar rimba sortimen KBK yang mempunyai ukuran diameter lebih kurang dari 30 cm.

Keterangan :

a) ltp adalah lebar tumpukan (panjang kayu) dalam satuan meter (m) b) ttp adalah tinggi tumpukan dalam satuan meter (m)

c) ptp adalah panjang tumpukan dalam satuan meter (m)

(55)

e) Untuk keperluan pemeriksaan, pelaksanaan pengukuran dengan menggunakan metode stapel meter (sm) dapat dilakukan pada alat angkut (truk). Untuk menghitung sm di dalam truk, dapat dihitung dengan mengalikan lebar tumpukan (ltp) atau (rata-rata panjang kayu), panjang tumpukan (ptp) dan rata-rata tinggi tumpukan kayu (ttp) dalam bak truk.

Daftar Angka Konversi Volume Kayu Bulat Kecil (KBK) dari Satuan Stapel Meter (sm) ke Satuan Meter Kubik (m³) (Sesuai dengan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.05/VIBIKPHH/2008 tanggal 10 September 2008) :

Tabel 1. Daftar angka konversi volume kayu bulat kecil (KBK) dari satuan stapel meter (sm) ke satuan meter kubik (m³)

No Kelompok Angka konversi(m3/SM)

1 Genus Akasia 0,59

2 Genus Eucalyptus 0,67

3 Rimba Campuran 0,63

Keterangan :

a) Kelompok selain kelompok genus Acasia dan genus Eucalyptus, angka konversinya dimasukkan ke dalam kelompok rimba campuran

b) Apabila penumpukan dalam satuan stapel meter yang tercampur lebih dari 1 kelompok, maka angka konversi yang digunakan adalah angka konversi yang tertinggi

(56)
(57)
(58)

Lanjutan Lampiran 2

Responden

Alasan Mengolah Gula Kelapa Awal

(59)

Lanjutan Lampiran 2

Responden

Alasan Mengolah Gula Kelapa Awal

(60)
(61)
(62)
(63)
(64)

Lampiran 4 Pola Penggunaan Kayu Bakar

Responden

(65)

Lanjutan Lampiran 4

Responden

(66)

Lanjutan Lampiran 4

Responden

Teknik Mengangkut Kayu Bakar Tempat Menyimpan Kayu Bakar

(67)

Lanjutan Lampiran 4

Responden

Cara Mengangkut Kayu Bakar Tempat Menyimpan Kayu Bakar

(68)

Lanjutan Lampiran 4

Responden

Sumber Kayu Bakar

(69)

Lanjutan Lampiran 4

Responden

Sumber Kayu Bakar

(70)

Lampiran 5 Kebutuhan Kayu Bakar

5.1 Kebutuhan Kayu Bakar Tungku Introduksi

(71)
(72)
(73)

Lampiran 6 Potensi Kayu Bakar

Tabel 6.1 Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon

No Desa Luas tanah kebun

Jumlah 678,48 163.982,4 180.198,05

Rata-rata 51.01 73 73

Tabel 6.2 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Jati

No Desa N

Tabel 6.3 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Sengon

(74)

Tabel 6.4 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Akasia , Kapuk, dan

Keterangan : * cengkeh, ** kapuk

Tabel 6.5 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Mahoni

No Desa N

Tabel 6.6 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Angsana

No Desa N

Tabel 6.7 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Waru

(75)

Tabel 6.8 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Karet dan Buah

Tabel 6.9 Volume Tegakan dan Potensi Kayu Bakar Kelapa

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2.  Peta Kecamatan Wangon
Tabel 1  Penggunaan lahan  di Kecamatan Wangon
Tabel  2  Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Drop shot adalah pukulan yang mirip dengan smash yang dipukul dari belakang dengan arah shuttle cock jatuh di dekat net lawan. Drive adalah pukulan yang mendatar atau lurus dengan

Perhitungan yang dilakukan akan didasarkan dari kriteria teknis sistem jaringan distribusi air bersih yang digunakan dengan berpegangan pada dasar-dasar perencanaan yang telah

setelah degradasi dengan komposisi penyusun uan mikrosfer yang berbeda. Pencirian morfologi mikrosfer dilakukan dengan waktu degradasi pada minggu ke 0, 2, 4, 6, dan 8 dengan

[r]

terutama apabila terkena luka, jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita, bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan

Pengujian keseluruhan sistem obstacle avoidence pada differential steering mobile robot ini meliputi pengujian penentuan arah menghindar robot dan pemilihan

Satuan Polisi Pamong Praja adalah Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Serdang Bedagai sebagai perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan

Aplikasi Informasi Akademik STMIK STIKOM Indonesia akan meminta kepada SPIK untuk memberikan informasi, kemudian menampilkan list informasi yang diberikan oleh Aplikasi