Cemas dalam bahasa latin “anxius” dan dalam bahasa Jerman
“angst” kemudian menjadi “anxiety” yang berarti kecemasan, merupakan
suatu kata yang dipergunakan oleh Freud untuk menggambarkan suatu efek negatif dan keterangsangan. Cemas mengandung arti pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi sebaik – baiknya (Hawari, 2004).
Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut tidak tentram disertai
berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi dalam berbagai situasi
kehidupan maupun gangguan sakit. Selain itu kecemasan dapat menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara berulang, seperti rasa
RENTANG RESPON KECEMASAN
Respon adaptif Respon maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
kosong di perut, sesak nafas, jantung berdebar, keringat banyak, sakit
kepala, rasa keinginan buang air kecil dan buang air besar, perasaan ini
disertai perasaan ingin bergerak untuk lari menghindar hal yang dicemaskan (Stuart & Sundeen, 2000)
Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual yang dikomunikasikan secara interpersonal, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung (Nursalam, 2011). Kecemasan yang dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal berada dalam suatu rentang, yaitu :
Gambar 2.2 : Rentang Respon Kecemasan Sumber : Stuart & Laraia (2005)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan
adalah reaksi emosional yang timbul oleh penyebab yang tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam. Keadaan
emosi ini biasanya merupakan pengalaman individu yang subyektif yang
tidak diketahui secara khusus penyebabnya.
Hawari (2004) mengungkapkan bahwa individu yang cemas, gejalanya didominasi oleh keluhan psikis (ketakutan dan kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai keluhan fisik. Keluhan psikis pada individu yang mengalami kecemasan adalah cemas, khawatir, bimbang, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, gerakan sering serba salah, mudah terkejut,
takut sendirian, takut keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat. Keluhan fisik seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdengung (tinitus), jantung berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, kesemutan, rasa mual, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, muka merah atau pucat, denyut nadi dan nafas cepat.
2. Teori Kecemasan
Stuart & Sundeen (2000) menyatakan ada beberapa teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan terjadinya kecemasan adalah :
a. Faktor predisposisi 1) Teori psikoanalitik
Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntunan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi cemas adalah meningkatkan ego bahwa ada bahaya. 2) Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kelemahan fisik. Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan kecemasan yang berat.
3) Teori perilaku
Berdasarkan teori behaviour (perilaku), kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.
4) Teori keluarga
Intensitas cemas yang dialami oleh individu kemungkinan memiliki dasar genetik. Orang tua yang memiliki gangguan cemas tampaknya memiliki resiko tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan cemas. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.
5) Teori perspektif biologi
Kajian biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk Benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu magatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma neroregulator (GABA) dan endorfin juga memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan.
b. Faktor Presipitasi
Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dihindari pada kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman ansietas seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Faktor yang mempengaruhi kecemasan :
1) Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar seperti penyakit fisik, trauma fisik dan pembedahan.
2) Ancaman terhadap sistem diri meliputi ancaman terhadap identitas diri, harga diri dan hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status atau peran.
Cemas adalah kondisi yang disebabkan oleh transaksi individu dengan lingkungannya yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan. Tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Dari definisi tersebut, Sutherland & Cooper menyimpulkan (dalam Yosep, 2007) : a. Penilaian Kognitif (cognitive appraisal), stres adalah pengalaman
subjektif yang (mungkin) didasarkan atas persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan.
b. Pengalaman (experience), suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban dengan situasi, keterbukaan semula (exposure), proses belajar, kemampuan nyata dan konsep reinforcement.
c. Tuntutan (demand), tekanan, tuntutan, keinginan atau rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat diterima.
d. Pengaruh interpersonal (interpersonal influence), ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan perilaku koping.
3. Faktor yang Mempengaruhi Respon Kecemasan
Stuart dan Sundeen (2000) mengungkapkan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan, yaitu:
a. Usia
Usia mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia semakin baik tingkat kematangan emosi seseorang serta kemampuan dalam menghadapi berbagai persoalan.
b. Nilai budaya dan spiritual
Budaya dan spiritual mempengaruhi cara pemikiran seseorang. Reliiusitas yang tinggi menjadikan seseorang berpandangan positif atas masalah yang dihadapi.
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menyelesaikan masalah yang baru.
d. Keadaan fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, penyakit badan, operasi, cacat badan lebih mudah mengalami stres. Disamping itu orang yang mengalami kelelahan fisik juga akan lebih mudah mengalami stres.
e. Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif sebagai penyebab terjadinya perilaku patologis.
f. Dukungan sosial
Dukungan sosial dan lingkungan sebagai sumber koping, dimana kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi kecemasan dan lingkungan mempengaruhi area berfikir seseorang. g. Tahap perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stress pada tiap perkembangan berbeda atau pada tingkat perkembangan individu membentuk kemampuan adaptasi yang semakain baik terhadap stresor.
h. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menghadapi stresor yang sama.
i. Pengetahuan
Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan dan pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi masalah.
4. Tingkat Kecemasan
Tingkat kecemasan menurut Hamilton (1959); Stuart & Sundeen (2000) meliputi:
a. Tidak ada kecemasan.
Individu dalam keadaan normal, tidak ada kondisi yang berlebih terhadap rasa tidak aman dan tidak mudah tersinggung.
b. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kemampuan melihat dan mendengar menjadi meningkat. Cemas ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreativitas.
c. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan individu berfokus pada masalah yang sedang dihadapi dan mengesampingkan yang lain sehingga menyebabkan lapang persepsi menyempit dan kemampuan melihat dan mendengarnya menurun. Beberapa kemampuan menjadi tertutup tetapi masih bisa dilakukan dengan petunjuk.
d. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus pada hal-hal yang kecil dan tidak dapat
berfikir tentang hal lain. Kecemasan muncul beberapa kali dan sulit dikendalikan sebab kecemasan tersebut berupa kejadian yang mungkin akan membahayakan masa depannya. Kondisi ini kebanyakan akan mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari.
e. Panik
Pada tingkat ini lahan persepsi sudah tertutup dan orang bersangkutan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, gangguan persepsi, kehilangan kemampuan berfikir secra rasional. Panik merupakan pengalaman yang menakutkan dan bisa melumpuhkan seseorang.
Freud (1894) dalam Andri dan Dewi (2007) membagi kecemasan menjadi tiga, yaitu:
a. Kecemasan realitas atau objektif, yaitu ketakutan terhadap bahaya yang datang dari dunia nyata. Kecemasan seperti ini misalnya ketakutan terhadap kebakaran, angin tornado, gempa bumi, atau binatang buas.
b. Kecemasan neurotik, yaitu kecemasan terhadap tidak terkendalinya naluri yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang bisa mendatangkan hukuman baginya. Kecemasan ini mempunyai dasar pada masa kecil, pada konflik antara pemuasan instingtual dan realitas.
c. Kecemasan moral, yaitu ketakutan terhadap hati nurani. Misalnya seseorang yang hati nuraninya berkembang dengan baik cenderung merasa berdosa jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kode moral yang dimilikinya.
5. Respon Terhadap Kecemasan
Respon terhadap kecemasan meliputi respon fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif (Stuart, 2007).
a. Respon fisiologis
Respon kecemasan terhadap kardiovaskular seperti palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa ingin pingsan, pingsan, tekanan darah menurun. Respon kecemasan terhadap sistem pernapasan seperti nafas cepat, sesak nafas, tekanan pada dada, nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan dan sensasi tercekik.
Respon kecemasan terhadap sistem neuromuskular adalah reflek meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, gelisah, mondar-mandir, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah. Respon kecemasan terhadap sistem gastrointestinal seperti kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa tidak nyaman pada abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati, diare.
Respon kecemasan terhadap sistem perkemihan seperti tidak dapat menahan kencing, sering berkemih. Respon kecemasan terhadap kulit seperti wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.
b. Respon perilaku
Respon kecemasan terhadap perilaku seperti gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cidera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, sangat waspada.
c. Respon kognitif
Respon kecemasan pada kognitif seperti perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam pemberian penilaian, hambatan berfikir, lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian, kilas balik, mimpi buruk.
d. Respon afektif
Respon kecemasan pada afektif seperti mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah dan malu.
6. Alat Ukur Kecemasan
Mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik dengan menggunakan alat ukur kecemasan, yaitu Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) digunakan untuk melihat tingkat keparahan terhadap gangguan kecemasan seorang pasien. HARS terdiri atas 14 item penilaian (Hamilton, 1959 & Hidayat, 2007), yaitu:
a. Anxious mood: menunjukkan ketakutan yang luar biasa terhadap ketidakpastian masa depan, merasa khawatir, merasa tidak aman, mudah tersinggung, dan kecemasan.
b. Ketegangan (tension): menunjukkan ketidakmampuan pasien untuk bersikap relaks, tidak nervous, ketegangan, gemetaran, dan kepenatan.
c. Ketakutan (fear): menunjukkan ketakutan pasien di keramaian, terhadap binatang, di tempat umum, sendirian, keramaian lalu lintas, orang asing, kegelapan kerumunan orang banyak.
d. Sulit tidur (insomnia): menjukkan pengalaman pasien terhadap durasi tidur dan kepulasan tidur selama 3 malam sebelumnya. Catatan: tanpa penggunaan obat penenang.
e. Sulit konsentrasi dan daya ingat: menunjukkan ketidakmampuan pasien untuk berkonsentrasi, mengambil keputusan terhadap kejadian sehari-hari, dan lemahnya daya ingat.
f. Depressed mood: menunjukkan komunikasi pasien baik secara verbal maupun non-verbal tentang kesedihan, depresi, tanpa harapan, kemurungan, dan ketidakberdayaan.
g. Gejala-gejala somatik umum (motorik): pasien merasa lemah, sakit, ketegangan otot seperti pada bagian leher dan rahang.
h. Gejala-gejala somatik umum (sensorik): pasien merasa penat dan lemah, atau mengalami gangguan fungsi perasa seperti: tinnitus, mata kabur, sensasi panas-dingin dan keringat buntat.
i. Gejala-gejala yang berhubungan dengan jantung (cardiovascular): termasuk tachycardia, jantung berdebar, tekanan pada bagian dada, dentaman pada pembuluh darah, dan perasaan seakanakan ingin pingsan.
j. Gejala-gejala yang berhubungan dengan pernafasan: seperti merasa sesak nafas atau kontraksi pada tenggorokan atau dada, atau rasa seperti tercekik.
k. Gejala-gejala yang berkaitan dengan usus (Gastro-intestinal): seperti sulit menelan, merasa ada tekanan pada bagian perut, gangguan pencernaan (rasa panas pada bagian perut, sakit perut berhubungan dengan makanan, mual dan muntah), perut terasa keroncongan dan diare.
l. Gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran kencing (Genito-urinary): termasuk gejala-gejala non-organik atau psikis, seperti: sering atau susah buang air kecil, menstruasi tidak teratur, anorgasmia, ejakulasi dini.
m. Gejala-gejala otonomik lainnya, seperti: mulut terasa kering, pucat, sering keluar keringat dingin dan pusing.
n. Sikap pada saat wawancara seperti: pasien kelihatan tertekan, nervous, gelisah, tegang, suara gemetar, pucat, keluar keringat.
Setiap item bernilai 0, 1, 2, 3 atau 4. Nilai 0 menunjukkan tidak ada gejala-gejala yang tampak, dan nilai 4 menunjukkan gejala-gejala dominan dan sangat mengganggu. Total nilai yang diperoleh menunjukkan tingkat keparahan: tidak ada gejala kecemasan dengan nilai
skor 0-13, gejala ringan dengan nilai skor 14 – 20, gejala sedang dengan nilai skor 21-27, gejala berat nilai skor 28 -42, gejala berat sekali/panik dengan nilai skor 43-56.