G. Ruang Lingkup Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
8. Kecerdasan Adversitas
Kecerdasan adversitas atau AQ (Adversity Quotient) pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Hasil riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun merupakan terobosan penting dalam pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan untukmencapai kesuksesan. Kecerdasan adversitas merupakan faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang. Paul G. Stoltz (2007: 8-9) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas dapat memberitahukan:
a. seberapa jauh individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya
b. siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur c. siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi
mereka serta siapa yang akan gagal
d. siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan
Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993: 14). Adversity
sendiri bila diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakbahagiaan, kesulitan, atau ketidakberuntungan. Menurut Reni Akbar Hawadi(2002: 195) istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan.Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari serta tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi.
39
Menurut Paul G. Stoltz (2007: 9), kecerdasan adversitas memiliki tiga bentuk. Pertama, kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversitas adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Ketiga, kecerdasan adversitas adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan profesional individu secara keseluruhan.
Kecerdasan adversitas dengan menggambarkan konsep pendakian gunung yaitu menggerakkan tujuan hidup ke depan, apapun tujuannya. Pendakian yang dimaksud berkaitan dengan mendapatkan nilai yang lebih bagus, memperbaiki hubungan, menjadi lebih mahir dalam segala hal,
meyelesaikan satu tahap pendidikan, dan memberikan kontribusi yang berarti dalamhidup. Berdasarkan konsep di atas, Paul G. Stoltz membagi individu menjadi tiga tipe, yaitu.
1) Individu yang berhenti (quitters)
Individu yang berhenti (quitters) dalah individu yang memilih
menghentikan pendakian, keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan
dorongan inti manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters
menjalani kehidupan yang tidak menyenangkan. Quitters banyak meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang dianggap
40
lebih mudah. Sebagai akibatnya, Quitters sering menjadi sinis, murung, dan mati perasaanya. Atau, mereka menjadi pemarah dan frustasi, menyalahkan semua orang disekelilingnya, dan membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters tidak mempunyai visi dan keyakinan akan masa depan. Akibatnya, mereka kurang melihat alasan-alasannya menginvestasikan waktu, uang, dan sakit hati yang dibutuhkan untuk memperbaiki diri (Paul G. Stoltz, 2007: 18-33).
2) Individu yang berkemah (campers)
Individu yang berkemah (campers) memiliki kecerdasan adversitas yang sedang. Campers telah memulai pendakian namun karena bosan individu tersebut mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Campers mungkin merasa cukup senang dengan apa yang sudah ada dan mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin terjadi. Campers setidaknya telah menghadapi beberapa tantangan dari pendakian namun individu tersebut berhenti mendaki setelah menemukan kepuasan pada suatu titik yang dianggapnya nyaman dan tidak mau mengembangkan diri (Paul G. Stoltz, 2007: 19-22).
Campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan
beberapa usaha. Campers bisa melakukan pekerjaan yang menuntut kreativitas dan mengambil resiko dengan penuh perhitungan, tetapi mereka memilih untuk mengambil jalan yang aman. Semakin lama
41
campers akan kehilangan kemampuan untuk terus maju, juga bisa
kehilangan keunggulannya, dan menjadi semakin lamban dan lemah, serta kinerjanya akan semakin merosot. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka akan sampai pada kesadaran yang sudah terlambat, bahwa dengan mencoba bertahan di satu tempat, mereka akhirnya kehilangan tempat berpijak (Paul G. Stoltz: 2007: 25-36).
3) Individu yang mendaki (climbers)
Pendaki adalah sebutan bagi individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkian dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik, atau mental, atau hambatan lainnya
menghalangi pendakiannya. Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka, yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh. Satu batu besar menghadang di jalan atau menemui jalan buntu, mereka akan mencari jalan lain. Saat merasa lelah dan kaki sudah tidak dapat diayunkan lagi, mereka akan melakukan introspeksi diri dan terus bertahan. Kata berhenti tidak terdapat dalam kamus para
Climbers.(Paul G. Stoltz, 2007: 20-24).
Climbers tidak pernah melupakan kekuatan dari perjalanan yang
pernah ditempuhnya. Climbers tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang, dan langkah-langkah
42
kecil sekarang ini akan membawanya pada kemajuan-kemajuan lebih lanjut di kemudian hari (Paul G. Stoltz, 2007: 23). Mereka bekerja dengan visi dan penuh inspirasi. Climbers menyambut baik tantangan- tantangan, dan meraka hidup dengan pemahaman bahwa ada hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang tinggi, dan berjuang untuk
mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers selalu menemukan cara yntuk membuat segala sesuatu terjadi, bertindak dengan tujuan yang jelas, dan bahasa mereka mencerminkan tujuan yang dicapai (Paul G. Stoltz, 2007: 30-33).
Tiga batu pembangun Kecerdasan Adversitas (AQ) 1. Psikologi Kognitif
Batu pembangunan ini terdiri dari kumpulan riset yang luas dan terus bertambah, yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kendali atau penguasaan terhadap hidup seseorang. Mencakup beberapa konsep penting untuk memahami motivasi, efektifitas, dan kinerja manusia.
2. Ilmu Kesehatan yang Baru
Ketika para ilmuan mulai menjelajahi kesehatan dan menjadi lebih canggih dalam usaha-usaha mereka untuk menemukan penyebab- penyebab berbagai macam kondisi medis, banyak yang menemukan dirinya sendiri memasuki wilayah baru dan mempertanyakan cara- cara berpikir lama.
43
3. Ilmu Pengetahuan tentang Otak
Berkat trobosab-terobosan mutakhir ilmu pengetahuan tentang otak, sekarang kita mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang bagaiman AQ terbentuk dan apa yang harus individu lakukan untuk
mengubahnya dan mengembangkan kebiasan-kebiasaan mental seseoran Climbers.
Menurut Paul G.Stoltz (2007:140-160) kecerdasan adversitas memiliki empat dimensi yang biasa disingkat dengan CO2RE. Keempat dimensi tersebut adalah sebagai berikut.
1) Control (C)
Kendali (control) berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, serta akan mempengaruhi semua dimensi CO2RE. Dimensi AQ ini merupakan salah satu yang paling penting terhadap cara seseorang merespons dan menangani kesulitan. Kendali berhubungan langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Dimensi control ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak kontrol yang dirasakan oleh individu terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa yang sulit dibandingkan dengan individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah.Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control akan berfikir pasti ada cara
44
menghadapi kesulitan, dan tidak merasa putus asa saat berada pada situasi yang sulit (Paul G. Stoltz, 2007: 141-142).
2) Origin dan Ownership (O2)
O2 adalah akronim dari origin (asal usul) dan ownership (pengakuan). Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu siapa atau apa yang menjadi penyebab dari suatu kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mampu mengakui atau menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh situasi sulit tersebut. Orang yang AQ-nya rendah menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa- peristiwa buruk yang terjadi. Banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut. Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah itu membantu anda belajar. Dengan menyalahkan diri sendiri, anda akan cenderung merenungkan, belajar, dan menyesuaikan tingkah lagu anda. Kedua, rasa bersalah itu menjurus pada penyesalan,
penyesalan dapat memaksa anda untuk meneliti batin anda dan mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang telah melukai hati orang lain. Penyesalan merupakn motivator yang sangat kuat. Bila digunakan dengan sewajarnya, penyesalan dpat membantu menyembuhkan
kerusakan yang nyata, dirasakan, atau yang mungkin dapat timbul dalam suatu hubungan (Paul G. Stoltz, 2007: 146-147).
45
Origin
Dimensi ini berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah (quitters) menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas sebuah peristiwa yang terjadi. Sedangkan individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi (climbers) menganggap sumber kesulitan itu berasal dari luar. (Paul G. Stoltz, 2007: 147-149).
Ownership
Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana individu bersedia mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit. Orang yang selalu menyalahkan dirinya sendiri berarti tingkat originnya
rendah.sedangkan individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi tidak akan menyalahkan orang lain sambil mengelak dari tanggung jawab. (Paul G. Stoltz, 2007: 153-154).
3) Reach (R)
Kecerdasan adversitas yang mempertanyakan sejauh manakah
kesulitan yang dihadapi akan menjangkau atau mempengaruhi bagian lain dari kehidupan individu. Respons-respons dengan AQ yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Semangkin rendah skor R individu, semangkin besar kemungkinan individu menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana. Sebaliknya,semakin tinggi skor R individu,semakin besar
46
kemungkinannya individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi (Paul G. Stoltz, 2007: 158-159).
4) Endurance (E)
Endurance (daya tahan) dimensi ini mempertanyakan berapa lama
suatu situasi sulit akan berlangsung. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah merasa bahwa suatu situasi yang sulit akan terjadi selamanya. Individu yang memiliki respon yang rendah pada dimensi ini akan memandang kesulitan sebagai peristiwa berlangsung terus menerus dan menganggap peristiwa positif hanya berlangsung sementara. Ini bisa menunjukan jenis respon-respon yang memunculkan perasaan tak berdaya atau hilang harapan. Sementara individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memiliki
kemampuan yang luar biasa untuk tetap memiliki harapan yang optimis dan menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara.