• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Kecerdasan Interpersonal Laki-Laki (Putra) dan

1. Kecerdasan Interpersonal Laki-Laki (Putra)

Kecerdasan interpersonal laki-laki tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan orang tua kepada anak laki-lakinya sejak kecil seperti: harus tegar, tidak boleh cengeng, tidak boleh mudah menyerah

dalam mengerjakan sesuatu, dalam bekerja lebih banyak menggunakan otak ketimbang perasaan, tegas dalam mengambil setiap keputusan, serta mandiri. Jika hal ini terus ditanamkan pada diri anak laki-laki, maka secara langsung maupun tidak langsung akan berkembanglah seluruh potensi yang ada pada diri mereka secara lebih optimal.

Dalam proses interaksi sosial, laki-laki (putra) biasanya cenderung lebih mampu daripada perempuan (putri). Hal ini terjadi karena laki-laki mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam ruang hidupnya, yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat. Di lingkungan tersebut, mereka dapat belajar menghadapi berbagai perubahan lingkungan, sehingga mampu berinteraksi sosial dengan baik dan cepat. Oleh karenanya perilaku yang kerap muncul adalah cenderung agresif, aktif, mudah bergaul dengan orang lain, kurang sabar, dan lain-lain.

Sarwono (1989) menjelaskan bahwa di Indonesia kaum laki-laki diberikan kebebasan dan tidak menghadapi tekanan sosial dari keluarga dan masyarakat, sehingga tidak menghadapi konflik berat dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dapat dengan mudah berinteraksi sosial dengan lingkungannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemampuan seseorang dalam menjalin interaksi sosial dapat mencerminkan kecerdasan interpersonalnya.

2. Kecerdasan Interpersonal Perempuan (Putri)

Dalam perkembangan yang terjadi selama ini, perbedaan jenis kelamin menjadi sebuah kendala bagi kaum perempuan untuk bisa mengembangkan segala kemampuan yang ada pada dirinya secara optimal.

Poerwandari (2002) berpendapat bahwa perempuan Indonesia pada umumnya hingga saat ini masih sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi dalam kehidupannya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Ibrahim dan Suranto (1998) mengatakan bahwa di Indonesia, khususnya di lingkungan Jawa, kaum perempuan belum sanggup mengembangkan kemandiriannya untuk dapat keluar dari lingkaran yang membelenggunya, sehingga akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Walau sudah ada usaha untuk mengubah, namun tetap kaum perempuan masih tetap hidup dalam sosialisasinya yang semakin mengukuhkan citranya sebagai nomor dua setelah laki-laki.

Oleh karena itu, beberapa karakteristik perilaku yang cenderung melekat pada perempuan biasanya digambarkan seperti: lebih meminati segi-segi kehidupan yang serba segera, lebih dekat pada masalah hidup praktis. Selain itu ada sebagian perempuan yang mampu menonjolkan sifat sosialnya tapi kerap terbentur dengan aturan sosial masyarakat yang terlalu membatasi ruang gerak mereka.

Secara tidak langsung tanpa disadari, perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat menimbulkan

dampak terhadap laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa bersikap superior, menganggap dirinya lebih maju, pandai, kompeten daripada perempuan.

Tumbuhnya sikap laki-laki yang berbeda dengan perempuan ini, akan mempengaruhi mereka dalam menjalin relasi dengan orang-orang di sekitar mereka. Laki-laki mampu menjalin relasi dengan baik. Sedang perempuan kadang merasa malu untuk menjalin relasi.

Perbedaan perlakuan tersebut di atas, jelas bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh banyak orang bahwa semua orang baik itu laki-laki maupun perempuan pada dasarnya berhak mendapat perlakuan yang sama, agar dapat memiliki kecerdasan interpersonal yang sama-sama baik. Hal ini dijelaskan oleh Safaria (2005:39-41) dengan menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat meningkatkan kecerdasan interpersonalnya melalui keterampilan sosial dalam hubungannya dengan orang lain seperti menolong sesama, membimbing, mendengarkan, berkomunikasi, dan memecahkan permasalahan.

E. Pelayanan Bimbingan di Asrama

1. Pengertian Asrama

Secara harafiah, asrama diartikan sebagai bangunan tempat tinggal bagi sekelompok orang yang bersifat homogen (Depdikbud, 1990:53). Menurut Slameto (1990), asrama adalah rumah pondokan yang di dalamnya beranggotakan sejumlah anak/orang. Biasanya asrama dibangun

sesuai dengan kebutuhan suatu institusi formal (misal: sekolah) atau yayasan tertentu dan memiliki tujuan tertentu.

Pada dasarnya kelompok yang diterima dalam suatu asrama biasanya kelompok tertentu yang memenuhi beberapa persyaratan seperti jenjang dan jenis pendidikan yang sedang ditempuh, jenis kelamin, dan agama. Persyaratan-persyaratan tersebut berlaku juga di asrama putra dan putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan.

2. Peran Pembimbing Asrama

Di asrama, pembimbing berperan sebagai wakil orang tua siswa. Pembimbing asrama menjadi sandaran ketika siswa mengalami kesulitan. Tidak mungkin mereka dibiarkan begitu saja ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Pembimbing perlu mendampingi mereka dalam memecahkan persoalannya sendiri. Pembimbing asrama hendaknya juga peduli pada kebutuhan mereka.

Pembimbing asrama perlu juga menghargai perbedaan dan karakteristik (keunikan) yang ada dalam diri siswa asramanya. Seorang pembimbing asrama perlu menyadari bahwa adanya perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing siswa dapat memperkaya masing-masing pribadi dalam hidup bersama di asrama.

Dengan diperolehnya pendampingan yang baik dan positif dari pembimbing asrama, para siswa baik di asrama putra maupun asrama putri mampu belajar banyak hal mengenai hidup bersama dengan orang lain. Mereka dilatih untuk belajar menerima karakteristik dan menghargai

setiap perbedaan yang dibawa oleh sesamanya. Dengan demikian, asrama bukan hanya sekedar menjadi tempat untuk hidup bersama tetapi menjadi tempat pengembangan diri.

3. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama

Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dalam pelayanan bimbingan di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan adalah agar siswa tumbuh menjadi pribadi yang dewasa sehingga mampu mengatur hidupnya sendiri. Pelayanan bimbingan di asrama ini perlu dikembangkan mengingat yang tinggal di asrama adalah remaja yang masih membutuhkan pendampingan dalam perkembangannya.

Suasana kehidupan asrama yang dipelihara dan dikembangkan adalah semangat persaudaraan sejati yang membuat seluruh warga asrama merasa aman, senang, dan kerasan. Oleh karena itu pendampingan yang diberikan pada siswa dimaksudkan agar siswa menjadi pribadi yang berkualitas tinggi, beriman, berwatak, dan berbudi pekerti luhur dengan mengembangkan potensi-potensinya secara optimal dalam bidang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai hidup yang diperlukan untuk siap melanjutkan ke perguruan tinggi maupun hidup di tengah masyarakat ( Pedoman Umum SMA Pangudi Luhur Van Lith, 2001:9).

Dalam melaksanakan bimbingan di asrama perlu diperhatikan juga program pelayanan bimbingan di sekolah. Jangan sampai membuat siswa asrama menjadi jenuh dan bosan dengan layanan bimbingan yang diberikan. Ada baiknya, pelayanan bimbingan di asrama lebih banyak

ditekankan pada bidang bimbingan pribadi dan sosial, karena sebagian besar waktu yang ada di asrama menuntut mereka untuk belajar menjalin relasi yang baik dengan sesama teman di asrama.

Asrama menjadi sekolah kedua bagi siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan. Di asrama masing-masing siswa disadarkan akan pentingnya belajar menerima orang lain apa adanya, entah itu dari latar belakang keluarga, suku, budaya, agama yang berbeda. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam setiap pelayanan bimbingan tidak lain untuk membantu siswa agar dapat berkembang menjadi pribadi dewasa yang mampu hidup bersama dengan orang lain dan menempatkan diri dengan segala keunikannya dalam berelasi dengan sesamanya.

Dokumen terkait