Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Thomas Buntoro
NIM : 021114053
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Thomas Buntoro
NIM : 021114053
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
¾ Non Scholae Sed Vitae Discimus: “Belajar tidak hanya demi pengetahuan
belaka, melainkan demi kehidupan.”
¾ “Pengalaman: Guru yang paling brutal. Tapi kita belajar, benar-benar dari
pengalaman.” (C.S. Lewis)
¾ “Ada saat-saat istimewa dalam kehidupan kita. Dan sebagian besar datang
melalui dorongan orang lain.” (George Adams)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Bapa dan Ibu (Alm) terkasih
Kakak-kakakku tercinta
Seseorang yang aku sayangi “Theo”
MUNTILAN TAHUN AJARAN 2006/2007 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
Thomas Buntoro Universitas Sanata Dharma
2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007, (2) ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara siswa di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007 dalam hal kecerdasan interpersonal, dan (3) menyusun suatu usulan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007.
Subjek penelitian ini adalah siswa di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan purposive sample (sampel bertujuan). Pertimbangan peneliti menggunakan purposive sample, mengingat karena peneliti tidak dapat mengambil sampel dalam jumlah yang besar dan juga alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan kepentingan tempat penelitian. Subjek yang dipakai sebagai sampel penelitian adalah subjek kelas X-5, XI IPS1, dan XII IPS2. Jumlah total sampel penelitian ini adalah 87 siswa, terdiri dari 46 siswa putra dan 41 siswa putri.
HIGH SCHOOL’S BOYS AND GIRLS DORMITORY, MUNTILAN ACADEMIC YEAR OF 2006/2007 AND ITS IMPLICATIONS TO THE
PROPOSAL GROUP GUIDANCE TOPICS
Thomas Buntoro Sanata Dharma University
2007
This research aimed at understanding: (1) students’ interpersonal intelligence level at Pangudi Luhur Van Lith Senior High School’s boys and girls dormitory, Muntilan academic year of 2006/2007, (2) the presence of significant differences among students at Pangudi Luhur Van Lith Senior High School’s boys and girls dormitory, Muntilan academic year of 2006/2007 in the interpersonal intelligence matter, and (3) developing a proposal on the appropriate guidance topics to increase the students’ interpersonal intelligence at Pangudi Luhur Van Lith Senior High School’s boys and girls dormitory, Muntilan academic year of 2006/2007.
The subjects of this research were students of Pangudi Luhur Van Lith Senior High School’s boys and girls dormitory, Muntilan academic year of 2006/2007. The sampling procedure was done based upon purposive sample. The researcher’s consideration to use purposive sample was that the researcher was unable to take samples in large number as well as time, power, and location interest limitations. The subjects used as sample of the research were students on X-5, XI IPS1, and XII IPS2 grades. The total amount of sample of this research were 87 students, consisting of 46 boys and 41 girls.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Pengalaman yang sungguh sangat berharga dan luar biasa yang penulis
alami dalam penelitian ini tidak lain merupakan wujud kasih Allah. Karunia yang
berasal dari Dia inilah yang senantiasa memberikan kekuatan dalam diri penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam skripsi ini, penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Bimbingan &
Konseling, FKIP USD, yang telah memberikan ijin untuk penelitian skripsi
ini.
2. Fajar Santoadi, S.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Bimbingan &
Konseling, FKIP USD.
3. Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan
penuh kesabaran dan ketulusan hati telah memberikan bimbingan, petunjuk,
saran dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dra. C.L. Milburga CB., M.Ed. selaku Dosen Pembimbing II yang dengan
penuh kesabaran membimbing dan memberi masukan-masukan bermanfaat
perbaikan skripsi.
6. Dosen Prodi Bimbingan & Konseling, FKIP, USD yang telah banyak
memberikan bekal ilmu kepada penulis selama menjalani studi.
7. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan bantuan
kepada penulis selama menjalani masa studi melalui beasiswa SADHAR.
8. Kedua orang tua : Bapa & Ibu (Alm) yang telah mendidik, membimbing,
memberikan dukungan/semangat dan doa kepada penulis selama menjalani
masa studi hingga menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakak-kakakku di rumah: Mbak Eka - Mas Tri, Mbak Fitri – Mas Budi,
Mbak Emi – Mas Totok, dan Mas Agus yang telah memberikan
dukungan/semangat dan doa kepada penulis selama menjalani masa studi
hingga menyelesaikan skripsi ini.
10.Kekasihku “Theodora Purwandari (Ade)” yang telah sepenuh hari memberi
perhatian, semangat, dukungan, cinta, sayang dan doa kepada penulis
selama menjalani masa studi hingga menyelesaikan skripsi ini.
11.Keponakan-keponakan di rumah: Stephanie, Vendra, Tommy, Tanti, dan
Kiki yang lucu dan manis.
12.Budhe dan Pak Dhe di rumah Nanggulan yang telah memberi perhatian dan
dorongan kepada penulis selama menjalani masa studi hingga
skripsi ini.
14. Teman-teman angkatan: para Frater tingkat V Wisma Nazareth Banteng
Yogyakarta yang telah memberi dukungan lewat doa kepada penulis selama
menjalani masa studi hingga menyelesaikan skripsi ini.
15.Br. Albertus Suwarto FIC selaku Kepala Sekolah SMA Pangudi Luhur Van
Lith Muntilan yang telah memberikan ijin tempat penelitian di SMA
Pangudi Luhur Van Lith Muntilan.
16.Bruder Anton FIC dan Bruder Agus Sekti FIC yang telah membantu
penulis dalam memberikan ijin tempat penelitian di SMA Pangudi Luhur
Van Lith Muntilan.
17.Ibu Y. Muji Handayani dan Ibu C. Kistiyarni selaku Guru BK SMA
Pangudi Luhur Van Lith Muntilan yang telah membantu penulis selama
melaksanakan uji coba dan penelitian.
18.Siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran
2006/2007.
19.Teman-teman mahasiswa BK angkatan 2002.
20.Teman-teman mahasiswa Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) NATAS.
21.Teman-teman kost Jl. Sedah 126 Pringwulung.
22.Sahabat-sahabatku: Atok (Alumni Teknik Industri 99 UGM), William
23.Keluarga Bapak Andi Suryo di Jakarta yang telah memberi perhatian dan
dukungan doa kepada penulis selama menjani masa studi hingga
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan dari pembaca demi peningkatan dan perbaikan penelitian ini.
Akhirnya, penulis pun berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Yogyakarta, 6 Januari 2007
Penulis
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO & PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan ... 8
D. Manfaat ... 9
E. Batasan Istilah ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12
A. Hakikat Kecerdasan Interpersonal ... 12
1. Pengertian Kecerdasan dan Kecerdasan Interpersonal ... 12
a. Empati ... 18
b. Bersikap Prososial ... 19
c. Kesadaran Diri ... 20
d. Pemahaman Situasi Sosial dan Etika Sosial ... 21
e. Pemecahan Masalah Secara Efektif ... 22
f. Berkomunikasi dengan Santun ... 23
g. Mendengarkan Secara Efektif ... 25
5. Karakteristik Individu yang Memiliki Kecerdasan Interpersonal Tinggi ... 27
B. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Interpersonal 28 1. Persepsi Terhadap Orang Lain ... 28
2. Kemampuan Menampilkan Diri Secara Menarik ... 28
C. Perbedaan Kecerdasan Interpersonal Berdasarkan Perbedaan Jenis Kelamin ... 29
1. Biologis ... 29
2. Proses Belajar ... 30
3. Situasi Sosial ... 30
D. Kecerdasan Interpersonal Laki-Laki (Putra) dan Perempuan (Putri) ... 31
1. Kecerdasan Interpersonal Laki-Laki (Putra) ... 31
2. Peran Pembimbing Asrama ... 35
3. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama ... 36
F. Bimbingan Kelompok ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Subjek Penelitian ... 38
C. Instrumen Penelitian ... 39
1. Alat Pengumpul Data ... 39
2. Uji Coba Alat ... 43
3. Validitas dan Reliabilitas ... 45
a. Validitas Instrumen ... 45
b. Reliabilitas Instrumen ... 48
D. Prosedur Pengumpulan Data ... 49
1. Tahap Persiapan ... 49
a. Penyusunan Alat (Kuesioner) ... 49
b. Uji Coba Kuesioner ... 50
2. Tahap Pelaksanaan ... 50
E. Teknik Analisis Data ... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54
A. Kecerdasan Interpersonal Siswa di Asrama Putra dan
2. Pembahasan ... 58
B. Perbedaan antara Siswa di Asrama Putra dan Asrama Putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan Tahun Ajaran 2006/2007 dalam Hal Kecerdasan Interpersonal. ... 63
1. Hasil Penelitian ... 63
2. Pembahasan ... 65
BAB V USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK ... 68
BAB VI PENUTUP ... 79
A. Ringkasan ... 79
B. Kesimpulan ... 82
C. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 84
Tabel 1 : Kisi-kisi Kuesioner Penelitian ... 41
Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Analisis Validitas Kuesioner Uji Coba ... 46
Tabel 3 : Reliabilitas Per Aspek Kecerdasan Interpersonal ... 49
Tabel 4 : Penggolongan Tingkat Kecerdasan Interpersonal Siswa
di Asrama Putra SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Tahun Ajaran 2006/2007 ... 55
Tabel 5 : Penggolongan Tingkat Kecerdasan Interpersonal Siswa
di Asrama Putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Tahun Ajaran 2006/2007 ... 56
Tabel 6 : Perhitungan Mean, Standar Deviasi, nilai t
Kecerdasan Interpersonal Siswa di Asrama Putra dan
Asrama Putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Tahun Ajaran 2006/2007... 64
Tabel 7 : Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok di Asrama Putra
SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Tahun Ajaran 2006/2007... 69
Tabel 8 : Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok di Asrama Putri
SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Lampiran 1 : Reliabilitas ... 87
Lampiran 2 : Hasil Analisis Uji Validitas Item Per Aspek
Kuesioner Uji Coba ... 94
Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... 96
Lampiran 4 : Perolehan Skor Kecerdasan Interpersonal Siswa
di Asrama Putra dan Asrama Putri SMA Pangudi
Luhur Van Lith Muntilan Tahun Ajaran 2006/2007 ... 102
Lampiran 5 : Perhitungan untuk Melihat Tingkat
Kecerdasan Interpersonal ... 112
Lampiran 6 : Kualifikasi Tingkat Kecerdasan Interpersonal Siswa
di Asrama Putra dan Asrama Putri SMA Pangudi Luhur
Van Lith Muntilan Tahun Ajaran 2006/2007 ... 113
Lampiran 7 : Data Uji Beda Kecerdasan Interpersonal Siswa
di Asrama Putra dan Asrama Putri SMA Pangudi Luhur
Van Lith Muntilan Tahun Ajaran 2006/2007 ... 115
Lampiran 8 : Hasil Penghitungan Uji Beda ... 116
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan
batasan istilah.
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap orang menunjukkan reaksi sosial yang berbeda-
beda ketika berinteraksi dengan orang lain. Ada orang yang mudah bergaul
dan mendapat banyak teman. Namun ada pula orang yang malu bergaul.
Kesulitan orang dalam berinteraksi dengan sesamanya ini terjadi karena
adanya penanganan yang kurang optimal pada masa awal usianya.
Hurlock (1995) menjelaskan bahwa kurangnya kesempatan dan motivasi
untuk belajar menjadi sosial dapat dilihat dalam kondisi sejak masa bayi,
terutama ketika berusia enam minggu – enam bulan. Masa ini merupakan
masa kritis dalam pengembangan sikap yang mempengaruhi pola interaksi
sosial kelak.
Orang yang mengalami kesulitan melakukan sosialisasi di masa awal
usianya, umumnya cenderung akan menetap hingga dia dewasa. Bila hal ini
tidak tertangani dengan baik maka dia akan terhambat dalam mencapai
kesuksesan di masa depan. Karena bagaimanapun juga, ketika orang
menginjak dewasa, dia tetap membutuhkan keterampilan sosial untuk
Orang yang sulit bergaul dan sulit mengembangkan hubungan yang
suportif dengan teman sebayanya, biasanya digambarkan sebagai orang yang
agresif, suka bertindak kasar, dan mementingkan dirinya sendiri. Umumnya
orang ini sering terlibat dalam konflik dan perkelahian. Akibatnya
kehadirannya tidak disukai oleh teman sebayanya.
Ada juga orang yang malas untuk bergabung dengan teman sebayanya
karena sering mendapat ejekan. Orang ini biasanya menjadi kurang percaya
diri ketika harus bergaul dengan teman sebayanya dan juga tidak mampu
menghadapi konflik dengan teman-temannya. Ini disebabkan karena dia tidak
memiliki keterampilan untuk menghadapi konflik
Ketidakmampuan orang dalam bersosialisasi inilah yang pada akhirnya
mempengaruhi proses interaksinya bersama orang lain. Masing-masing
pribadi bersikeras dalam mempertahankan kepentingannya sendiri dan tidak
mempedulikan kepentingan orang lain. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa
jadi, orang tidak mau ambil pusing dengan apa yang seharusnya menjadi
kebutuhan dan hak orang lain. Idealnya proses interaksi sosial akan berjalan
dengan baik, bila setiap orang menyadari dan mampu memandang keinginan,
kebutuhan, dan haknya sama dengan keinginan, kebutuhan, dan hak orang
lain.
Dalam situasi apa pun orang akan dituntut untuk berhubungan dengan
orang lain. Hubungan interpersonal yang diharapkan tentu saja dilandasi oleh
sikap saling menerima, menghargai, dan kerjasama. Mengingat secara kodrat
Orang membutuhkan sesama demi kelangsungan hidupnya. Dalam konteks
inilah orang dapat mengembangkan kecerdasan interpersonal dalam hidupnya.
Dalam kehidupan manusia, kecerdasan interpersonal yang dimiliki
seseorang berbeda dengan orang lain. Dalam prakteknya, kecerdasan
interpersonal yang dimiliki seseorang tercermin dalam kemampuannya untuk
melakukan hubungan interpersonal, relasi sosial, keterampilan sosial, dan
perilaku sosial dengan sesamanya.
Banyak kegiatan dalam hidup kita terkait dengan orang lain. Orang yang
gagal mengembangkan kecerdasan interpersonalnya, akan mengalami banyak
hambatan dalam dunia sosialnya. Sebaliknya orang yang mampu
mengembangkan kecerdasan interpersonalnya dengan baik akan memiliki
kematangan sosial dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa pada hakikatnya kecerdasan interpersonal merupakan
proses belajar dari pengalaman hidup orang dari interaksinya bersama orang
lain.
Gardner dalam Multiple Intelligences mengungkapkan bahwa salah satu
kecerdasan yang penting dalam membina hubungan/relasi dengan orang lain
adalah kecerdasan interpersonal. Menurut Gardner orang yang memiliki
kecerdasan interpersonal tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang
efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, dan mampu
mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain (Safaria,
Safaria (2005:23) mengungkapkan hal yang sama dengan Gardner di
atas. Safaria mengartikan kecerdasan interpersonal sebagai kemampuan orang
dalam menciptakan relasi, membangun relasi, dan mempertahankan relasi
sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi saling
menguntungkan. Tidak ada konflik dan sadar kalau setiap orang juga memiliki
kebutuhan dan hak yang sama.
Sekolah akan merasa bangga bila para siswanya dapat bersosialisasi
dengan baik di lingkungan sekolahnya. Melalui kecerdasan interpersonal
diharapkan siswa mampu untuk mengaktualisasikan dirinya dalam relasi sosial
antara lain seperti: mampu berempati dengan orang lain, memiliki kepekaan
terhadap perubahan situasi sosial yang ada, mampu memecahkan masalah
yang terjadi dalam relasi sosialnya dengan pendekatan win-win solution, dan
mampu mendengarkan orang lain.
Dalam kenyataannya kecerdasan interpersonal yang dimiliki siswa masih
rendah, belum tinggi seperti yang diharapkan. Ini mengingat karena siswa
adalah remaja yang dalam masanya dipandang sebagai masa yang bermasalah
dan masa pencarian identitas. Sebagian besar remaja masih belum sepenuhnya
mampu untuk berelasi secara baik karena alasan malu bergaul, minder, tidak
percaya diri, dan takut menghadapi konflik. Oleh karena itu untuk melatih
siswa agar mampu berkembang dalam relasi sosialnya, wajar saja bila ada
beberapa sekolah tertentu yang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama.
Asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan adalah asrama yang
baik putra maupun putri wajib tinggal di asrama. Untuk asrama putri pihak
yang bertanggungjawab terhadap pembinaan siswa putri adalah para Suster
CB. Sedangkan untuk asrama putra pihak yang bertanggungjawab terhadap
pembinaan siswa putra adalah para Bruder FIC. Mengingat mereka bersekolah
di tempat yang sama, di bawah naungan karya yang dilakukan oleh para
Bruder FIC, sekolah ini memiliki misi:
“ Mendampingi kaum muda dengan mendahulukan yang miskin, melalui pendidikan berasrama. Proses pendidikan tersebut memadukan unsur-unsur pendidikan formal, informal, dan non formal yang mencakup segi-segi religiositas, humanitas, sosialitas, dan intelektualitas. Pencapaiannya dilakukan dengan cara yang luwes dalam suasana persaudaraan sejati yang saling asih, asah, dan asuh ( Pedoman Umum SMA Pangudi Luhur Van Lith, 2001:3).”
Berkaitan dengan keberadaan siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith yang
berasrama, maka kegiatan bimbingan tidak hanya dijalankan di sekolah saja,
melainkan juga di asrama. Kegiatan ini dijalankan secara terpadu antara
sekolah dan asrama, dengan tetap menghargai dan menghormati wilayah
bimbingan masing-masing. Hal ini disadari karena subjek bimbingannya
adalah sama yaitu siswa. Kerjasama ini dapat dijalin melalui
pertemuan-pertemuan formal dan informal, yang di dalamnya disampaikan beberapa
informasi dan persoalan nyata dari dua lingkup wilayah bimbingan tersebut.
Asrama putra dan putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi perkembangan pribadi
siswa. Di asrama putra dan putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan para
siswanya terdiri dari berbagai macam latar belakang seperti keluarga,
dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya yang
baru yaitu asrama, tempat mereka hidup dan tinggal bersama.
Kerap tak bisa dipungkiri, banyak permasalahan hidup bersama yang
dihadapi siswa putra maupun putri di asrama. Keberhasilan mereka dalam
membangun kerjasama dengan sesamanya di asrama menjadi penting. Setiap
siswa asrama perlu mempertahankan hubungan interpersonal yang baik di
antara sesamanya. Keberhasilan hidup bersama dalam suatu asrama sangat
ditentukan oleh kemampuan individu dalam menjawab dan mengatasi situasi
permasalahan yang ada. Harapannya para siswa baik siswa asrama putra
maupun asrama putri memiliki kecerdasan interpersonal yang baik.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan interpersonal
siswa-siswi asrama adalah jenis kelamin. Di lingkungan keluarga, anak laki-laki
selalu ditanamkan sikap mandiri, tidak manja, tegar, berani tampil sebagai
pemimpin, dan kuat dalam menyelesaikan masalah. Sebaliknya, anak
perempuan ditanamkan sikap mengalah, manja, dan tidak dibiasakan untuk
tampil ke depan.
Selain itu anak laki-laki mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam
ruang lingkup hidupnya baik itu di lingkungan keluarga maupun di
masyarakat. Di lingkungan tersebut itu, anak laki-laki memiliki kesempatan
belajar yang jauh lebih banyak daripada anak perempuan dalam membina dan
mengembangkan hidup sosialnya. Sebaliknya, anak perempuan diidentikkan
dengan orang yang lemah lembut, mudah mendengarkan, sabar, peka terhadap
Mengamati realita perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan
seperti yang terurai di atas, peneliti menduga bahwa perlakuan tersebut tidak
berlaku di lingkungan asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith. Baik siswa putra
maupun putri memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah,
mengerjakan tugas-tugas asrama, kegiatan pengembangan minat, dan bakat
mereka.
Mengingat pentingnya kecerdasan interpersonal ini di lingkungan
asrama baik itu asrama putra maupun asrama putri yang rata-rata adalah
remaja, maka peneliti berpandangan bahwa pengembangan kecerdasan
interpersonal perlu bagi mereka. Oleh karena itu pembimbing asrama perlu
memberikan bimbingan yang dimaksudkan untuk mengembangkan
kecerdasan interpersonal para penghuni asramanya.
Bimbingan yang dikembangkan di SMA Pangudi Luhur Van Lith
Muntilan, khususnya dalam praktek bimbingan di asrama merupakan suatu
usaha memberi bantuan kepada siswanya untuk mempergunakan secara
efisien dan efektif segala kesempatan yang dimiliki demi perkembangan
dirinya, sehingga siswa dapat menentukan pilihan, menetapkan tujuan dengan
tepat, dan menyusun rencana ke depan dengan lebih konkret.
Bagi asrama, pengembangan kecerdasan interpersonal ini merupakan
sesuatu yang baru, sehingga diperlukan keberanian untuk memulainya.
Kegiatan pembimbingan yang sungguh-sungguh dilakukan secara optimal
asrama. Segala macam bentuk kegiatan pembimbingan yang ada, hendaknya
mampu menyentuh aspek kognisi, emosi, dan sosial siswa di asrama.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan
penelitian mengenai deskripsi tingkat kecerdasan interpersonal siswa di
asrama putra-putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran
2006/2007 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan
kelompok.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan
asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran
2006/2007?
2. Dalam hal kecerdasan interpersonal, apakah ada perbedaan yang signifikan
antara siswa di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van
Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007?
3. Topik-topik bimbingan manakah yang sesuai untuk meningkatkan
kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan asrama putri SMA
Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007?
C. Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
1. Mengetahui tingkat kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan
asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran
2006/2007.
2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara siswa di
asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
tahun ajaran 2006/2007 dalam hal kecerdasan interpersonal.
3. Menyusun suatu usulan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk
meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan asrama
putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007.
D. Manfaat
1. Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran
tentang tingkat kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra-putri SMA
Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007, sehingga dapat
dipakai sebagai dasar penyusunan usulan topik-topik bimbingan
kelompok.
2. Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak:
a. Kepala asrama dan pengelola asrama SMA Van Lith Muntilan dalam
praktek bimbingan dan konseling di masing-masing asrama baik
asrama putra maupun asrama putri untuk meningkatkan kecerdasan
b. Para siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran
2006/2007 dalam memperoleh informasi tentang kecerdasan
interpersonal mereka dan diharapkan mereka semakin termotivasi
untuk meningkatkan kecerdasan interpersonalnya.
c. Pembimbing asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van
Lith Muntilan memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam
meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa di asrama
masing-masing.
d. Peneliti sendiri memperoleh pengalaman dalam memperoleh gambaran
tingkat kecerdasan interpersonal siswa di asrama putra dan asrama
putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007,
sehingga dapat dipakai sebagai dasar penyusunan usulan topik-topik
bimbingan kelompok.
E. Batasan Istilah
1. Deskripsi
Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran sesuatu dengan kata-kata
secara jelas dan terinci (Poerwadarminta, 2003:288).
2. Tingkat
Tingkat dalam pengertian ini menunjuk pada susunan yang berlapis-lapis
dari variabel-variabel yang diteliti (Tim Penyusun Kamus, 1991).
(Dalam penelitian ini tingkat dikategorikan atas 5 tingkatan, yaitu Sangat
3. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan individu dalam berempati,
bersikap prososial, menemukan kesadaran diri, memahami situasi sosial
dan etika sosial, memecahkan masalah secara efektif, berkomunikasi
dengan santun, dan mendengarkan secara efektif, seperti yang
dimaksudkan dalam butir-butir kuesioner yang digunakan.
4. Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Dalam hal ini adalah siswa putra dan putri SMA Pangudi Luhur Van Lith
dan tinggal di asrama.
5. Asrama Putra dan Asrama Putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
Asrama adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi pelajar Sekolah
Menengah Atas, yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu misal jenjang
dan jenis pendidikan yang sedang ditempuh, jenis kelamin, dan agama
(Slameto, 1990).
6. Usulan Topik-Topik Bimbingan
Usulan topik-topik bimbingan terbatas pada topik-topik yang tercakup
dalam setiap aspek kecerdasan interpersonal yang diusulkan untuk
digunakan sebagai acuan pelaksanaan bimbingan kelompok oleh
pembimbing di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van
Lith Muntilan.
7. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada lebih dari
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini memuat hakikat kecerdasan interpersonal, faktor yang
mempengaruhi kecerdasan interpersonal, perbedaan kecerdasan interpersonal
berdasarkan perbedaan jenis kelamin, kecerdasan interpersonal laki-laki dan
perempuan, pelayanan bimbingan di asrama, dan bimbingan kelompok.
A. Hakikat Kecerdasan Interpersonal
1. Pengertian Kecerdasan dan Kecerdasan Interpersonal
David Wechsler (Safaria, 2005:20) mendefinisikan kecerdasan
sebagai totalitas kemampuan individu untuk bertindak dengan tujuan
tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan
efektif.
Alfred Binet dan Theodore Simon (Azwar, 1999:5) mendefinisikan
inteligensi/kecerdasan sebagai terdiri atas tiga komponen: (a) kemampuan
untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, (b) kemampuan
untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan,
dan (c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan
autocriticism.
E.L. Thorndike memformulasikan teori kecerdasan dalam tiga
bentuk kemampuan: (a) kemampuan abstraksi yaitu bentuk kemampuan
(b) kemampuan mekanika yaitu kemampuan individu untuk bekerja
dengan menggunakan alat-alat mekanis dan aktivitas gerak, dan (c)
kemampuan sosial yaitu kemampuan untuk menghadapi orang lain di
sekitar dengan cara-cara yang efektif (Safaria, 2005:20).
Gardner (Armstrong, 2002:19) dalam teori kecerdasan majemuk
(multiple intelligences) mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan
untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang mempunyai
nilai budaya.
Dalam teori kecerdasan majemuk itu, Gardner (Safaria, 2005:21-23)
memaparkan delapan macam kecerdasan yang menurutnya bersifat
universal. Delapan kecerdasan tersebut antara lain: kecerdasan linguistik,
kecerdasan logistik matematik, kecerdasan dimensi ruang, kecerdasan
musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Dua tokoh yang secara tidak langsung menegaskan konsep
kecerdasan interpersonal adalah Thorndike dan Gardner. Thorndike
menggunakan istilah kecerdasan sosial. Sedangkan Gardner menggunakan
istilah kecerdasan interpersonal. Safaria (2005:24-25) menjelaskan baik
kata sosial maupun interpersonal sebenarnya mengacu pada konteks yang
sama yaitu hubungan/relasi dengan orang lain.
Tracy (1996) menegaskan hal serupa seperti yang telah diungkap
oleh Thorndike dan Gardner. Tracy (1996:264) menjelaskan bahwa salah
antar pribadi adalah inteligensi sosial (interpersonal). Menurut Tracy,
sukses tidaknya seseorang baik itu laki-laki maupun perempuan dalam
kehidupannya akan ditentukan oleh keahlian dia dalam hidup bersosial.
Schmidt (2002:36) menjelaskan bahwa umumnya kecerdasan
interpersonal terkait dengan kepandaian untuk melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain. Kecerdasan ini menuntun orang untuk memahami,
bekerjasama, berkomunikasi, dan memelihara hubungan baik dengan
orang lain.
Armstrong (2002:21-22) mendefinisikan kecerdasan interpersonal
sebagai kecerdasan yang di dalamnya melibatkan kemampuan untuk
memahami dan bekerjasama dengan orang lain. Dalam aspek kehidupan,
kecerdasan ini melibatkan interaksi dengan orang lain.
Safaria (2005:23) mendefinisikan kecerdasan interpersonal sebagai
kemampuan orang dalam menciptakan relasi, membangun relasi, dan
mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada
dalam situasi menang-menang atau saling menguntungkan.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami
bahwa secara umum kecerdasan interpersonal berlaku dalam konteks relasi
dengan orang lain. Bila orang mampu membangun dan membina
hubungannya (relasi sosial) dengan orang lain secara baik, maka dia akan
mudah diterima. Orang yang cerdas secara sosial ditandai dengan
kemampuan dia untuk menciptakan, membangun, dan mempertahankan
2. Teori FIRO Mengenai Konsep Interpersonal
Banyak teori yang membahas hubungan antar manusia. Dalam salah
satu teori tentang hubungan antar manusia ini, Schutz menggunakan istilah
hubungan interpersonal. Teori yang Schutz kembangkan adalah FIRO
(Fundamental Interpersonal Relation Orientation). Melalui FIRO ini,
Schutz mencoba membahas secara keseluruhan dan mendalam konsep
dasar dari hubungan interpersonal yang terjadi antara manusia.
Asumsi dasar Schutz mengenai istilah interpersonal adalah “manusia
membutuhkan manusia.” Artinya manusia dalam hidupnya membutuhkan
manusia lain. Pernyataan ini mengingatkan bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki sejumlah
kebutuhan. Dalam kerangka relasi sosial yang terjadi pada manusia,
Schutz menjelaskan bahwa hubungan interpersonal adalah salah satu dari
sekian dari kebutuhan manusia. Melalui kebutuhan untuk saling
berhubungan dengan orang lain, orang dapat memenuhi kebutuhannya
seperti mendapat pengakuan dan diterima oleh orang lain.
Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas, Schutz menjelaskan
bahwa kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain ini
didasari atas keinginan individu untuk mendapatkan inklusi, kontrol, dan
afeksi. Oleh karena itu, Schutz menguraikan bahwa setiap manusia
memiliki tiga kebutuhan interpersonal yaitu: (a) Inklusi yaitu kebutuhan
dengan orang lain khususnya dalam hal interaksi dan asosiasi, (b) Kontrol
yaitu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan yang
memuaskan dengan orang lain khususnya dalam hal memperoleh kontrol
dan kekuasaan, dan (c) Afeksi yaitu kebutuhan untuk mengadakan serta
mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain
khususnya dalam hal memperoleh cinta dan kasih sayang (Departemen
Pendidikan & Kebudayaan, 1979:9-10).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep interpersonal
menunjuk pada pengertian adanya suatu hubungan yang terjadi antar
manusia. Suatu hubungan tidak akan dikatakan sebagai ‘interpersonal’,
jika salah satu partisipannya itu bukanlah manusia. Jadi istilah
interpersonal hanya dapat digunakan dalam konteks apabila yang
berhubungan adalah manusia dengan manusia.
3. Pentingnya Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal menjadi penting karena pada dasarnya
manusia hidup tidak seorang diri. Setiap manusia membutuhkan manusia
lain dalam melakukan aktivitasnya. Tanpa relasi dengan orang lain, tidak
mungkin orang dapat berkembang. Bila orang tidak mampu
mengembangkan kecerdasan interpersonal dengan baik, maka orang yang
bersangkutan akan mengalami banyak hambatan dalam dunia sosialnya.
Safaria (2005:39-41) menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap orang
dapat meningkatkan kecerdasan interpersonalnya melalui keterampilan
membimbing, mendengarkan, berkomunikasi, dan memecahkan
permasalahan. Selain itu orang belajar mengembangkan perilaku
kooperatif dan prososial dengan orang lain. Melalui hubungan dengan
orang lain atau dengan lingkungan di sekitarnya, dia dapat belajar dan
berlatih keterampilan sosial yang positif, sehingga akhirnya dia akan
memiliki kematangan sosial.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada hakikatnya setiap
orang memiliki kecerdasan interpersonal. Tentu saja kecerdasan
interpersonal yang dimiliki orang berbeda-beda. Kecerdasan interpersonal
dapat ditingkatkan melalui proses belajar yang terus menerus. Setiap orang
perlu dilatih untuk mengembangkan kecerdasan interpersonalnya. Oleh
karena dalam hal ini orang tua perlu memberikan bimbingan melalui
keteladanan dan dukungan bagi setiap anggota keluarganya terlebih bagi
anaknya. Singkatnya perhatian dan keteladanan orang dewasa menjadi
unsur penting dalam pendewasaan kepribadian anak.
4. Aspek-Aspek Kecerdasan Interpersonal
Pada dasarnya kecerdasan interpersonal (sosial) dapat dikembangkan
melalui pengalaman belajar. Melalui proses belajar yang terus menerus,
diharapkan orang mampu mengembangkan hubungan sosialnya dengan
baik. Setiap aspek yang tercakup dalam kecerdasan interpersonal dapat
dikembangkan. Aspek-aspek yang dimaksud dalam kecerdasan
a. Empati
Kemampuan memahami perasaan orang lain (empati)
diungkapkan orang ketika dia melihat orang lain terluka atau sedih.
Safaria (2005:106) mengartikan empati sebagai pemahaman seseorang
tentang orang lain berdasar sudut pandang, perspektif,
kebutuhan-kebutuhan, pengalaman-pengalaman orang yang bersangkutan. Untuk
itulah sikap empati sangat dibutuhkan di dalam proses pergaulan agar
tercipta hubungan yang bermakna dan saling menguntungkan.
Beberapa tokoh lain mengartikan empati dalam sudut pandang
yang berbeda-beda, misalnya:
1) Theodor Lipps mendeskripsikan empati sebagai pengalaman
estetik. Dengan empati orang memproyeksikan pikiran dan
perasaannya ke dalam objek pengalamannya. Orang dikatakan
berada dalam hubungan empatik dengan orang lain jika dia dapat
menghayati apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain
(Effendy, 1988:19-20).
2) Everett M. Rogers mengartikan empati sebagai kemampuan orang
untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain
(Effendy, 1988:20).
3) Joseph A. Devito mengartikan empati itu seperasaan dengan orang.
Berempati dengan orang lain adalah merasakan apa yang dirasakan
4) Hardjana (2003:92) mendefinisikan empati sebagai kecakapan
untuk memahami pengertian dan perasaan orang lain tanpa
meninggalkan sudut pandang sendiri tentang hal yang menjadi
bahan komunikasi.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
empati membawa kita pada sebuah kesadaran tentang hakikat kita
sebagai makhluk sosial. Dengan berempati dengan orang lain, kita
tidak hanya sekedar menaruh perhatian, tetapi lebih dari itu kita
mencoba untuk memahami orang lain secara utuh baik itu
kebutuhannya maupun pengalamannya. Singkatnya, sikap empati
sangat menentukan kelanjutan dari proses terciptanya hubungan
interpersonal yang baik.
b. Bersikap Prososial
Safaria (2005:117) menjelaskan sikap prososial sebagai sebuah
tindakan moral yang harus dilakukan secara kultural seperti berbagi,
membantu orang yang membutuhkan, dan bekerja sama dengan orang
lain. Perilaku tersebut menuntut kontrol diri dari setiap individu untuk
menahan diri dari egoismenya dan rela menolong atau berbagi dengan
orang lain.
Sears dkk. (1994:47) mengungkapkan bahwa sikap prososial
meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan
orang untuk menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif-motif si
Perkembangan perilaku prososial seseorang salah satunya
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga di mana dia tinggal. Dalam hal
ini orang tua menjadi model bagi anaknya. Orang yang diterima dan
disukai oleh sesamanya sebagian besar menunjukkan perilaku
prososial yang tinggi, seperti suka membantu dan tidak mengganggu.
Sementara orang yang tidak disukai oleh sesamanya, biasanya
menunjukkan perilaku seperti jarang membantu teman, sering
mengganggu, dan lebih banyak mementingkan dirinya sendiri (Safaria,
2005:118).
Dengan demikian dapat disimpulkan, orang yang memiliki sikap
prososial biasanya ditandai dengan kesediaan orang itu untuk
membantu sesamanya dan tidak mementingkan dirinya sendiri bila
melihat orang lain membutuhkan pertolongan. Dengan bersikap
prososial, orang saling memberikan perhatian dan bantuan.
c. Kesadaran Diri
Rogacion (Safaria, 2005:46) mengartikan kesadaran diri sebagai
kemampuan orang dalam menginsafi totalitas keberadaannya sejauh
mungkin, seperti menyadari keinginan, cita-cita, harapan, dan tujuan
hidupnya.
Fenigstein juga mendefinisikan kesadaran diri sebagai
kecenderungan orang untuk dapat menyadari dan memperhatikan
aspek diri internal maupun apek diri eksternal (Safaria, 2005:46).
keadaan internalnya seperti pikiran, perasaan, emosi, pengalaman, dan
pilihan. Sedangkan aspek diri eksternal berkaitan dengan kemampuan
orang untuk menyadari penampilan, pola interaksi dengan lingkungan
sosial, dan menyadari situasi yang terjadi di sekelilingnya.
Kesadaran diri inilah yang mempertegas setiap pribadi mampu
menentukan pilihan-pilihannya, mampu menciptakan
pengalaman-pengalamannya sendiri, dan memaknai pengalaman-pengalamannya itu sesuai
dengan apa yang diinginkan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki
kesadaran diri biasanya ditandai oleh karakteristik seperti berikut:
terbuka terhadap pengalaman, memiliki kemampuan merasakan dan
mengalami secara bebas dari setiap pengalaman hidup, bersikap
fleksibel, tidak menolak pengalaman-pengalaman buruk, dan bersedia
membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman yang baru.
d. Pemahaman Situasi Sosial dan Etika Sosial
Dalam membina dan mempertahankan sebuah hubungan, orang
perlu memahami norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Di dalam norma-norma tersebut terdapat ajaran yang membimbing
setiap individu secara benar dalam situasi sosial. Oleh karena itu,
dalam membina relasi dengan orang lain, orang perlu mengetahui
kaidah norma yang ada dalam masyarakat.
Untuk mengetahui kaidah norma yang berlaku dalam masyarakat,
sangat berperan penting bagi anaknya dalam mengenal kaidah norma
dan etika sosial di masyarakat. Prinsipnya, orang yang mampu
menempatkan diri secara baik dalam situasi sosial apa pun, akan lebih
dihargai oleh lingkungan sosialnya.
e. Pemecahan Masalah Secara Efektif
Dalam bukunya Children Solving Problem, Stephanie Thornton
-seorang profesor di University of Sussex- mengutip sejumlah hasil
penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak jauh lebih ahli dalam
pemecahan masalah daripada yang pernah diduga selama ini, bahwa
anak belum mampu memecahkan masalahnya sendiri. Ia
menyimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil tidak begitu
bergantung pada kecerdasan si anak, tapi lebih pada pengalaman anak
ketika harus memecahkan masalahnya sendiri (Saphiro, 1999:141).
Setiap orang membutuhkan keterampilan untuk memecahkan
masalah secara efektif. Semakin tinggi orang mampu memecahkan
masalah, maka semakin positif hasil yang akan dia dapatkan.
Konflik terjadi ketika ada dua kepentingan yang berbeda muncul
dalam suatu hubungan interpersonal. Tak jarang remaja pun
mengalami konflik dalam kehidupannya sehari-hari. Keterampilan
menyelesaikan suatu masalah menjadi penting agar orang yang
bersangkutan mampu menghadapi konflik tersebut secara konstruktif
Ancok (1995:230-231) mengartikan konflik sebagai salah satu
bentuk ketidakserasian yang disebabkan oleh tidak sejalannya pikiran
antara kedua belah pihak yang terlibat dalam hubungan interpersonal.
Bila tidak terselesaikan dengan baik, konflik akan mengancam
kelangsungan hubungan tersebut.
Berikut prosedur pemecahan masalah yang dapat dipakai sebagai
acuan (Safaria, 2005):
1) Mengidentifikasikan masalah.
2) Memikirkan pemecahan-pemecahan alternatif.
3) Membandingkan tipe pemecahan masalah yang muncul.
4) Memilih pemecahan yang paling baik.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa setiap orang
umumnya memiliki kemampuan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Suatu masalah akan dapat diselesaikan bila orang mampu menciptakan
pikiran/pemahaman yang sejalan dengan orang lain. Harapannya
dengan mengalami sendiri, orang akhirnya mendapatkan hasil yang
sungguh berguna bagi dirinya dan juga orang lain.
f. Berkomunikasi Dengan Santun
Menurut Covey, komunikasi merupakan keterampilan terpenting
dalam hidup manusia. Orang menghabiskan sebagian besar waktunya
dengan berkomunikasi. Kelemahan orang adalah karena tidak memiliki
kesadaran untuk melakukan komunikasi yang efektif. Salah satu cara
sikap santun dan saling percaya di antara orang lain (Prijosaksono &
Hartono, 2002).
Hardjana (2003:11) mengartikan komunikasi sebagai kegiatan
dimana orang menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada
orang lain. Setelah menerima pesan dan memahami pesan sejauh
kemampuannya, selanjutnya si penerima pesan menyampaikan
tanggapannya melalui media tertentu pula pada orang yang
menyampaikan pesan itu kepadanya.
Komunikasi merupakan sarana yang penting dalam kehidupan
manusia. Setiap orang perlu melatih komunikasi dalam sosialisasinya
dengan lingkungan sekitar terutama dengan orang lain seperti
memberikan umpan balik, mengungkapkan perasaan, mendukung dan
menanggapi orang lain, dan menerima diri sendiri/orang lain.
Latihan-latihan seperti memberikan umpan balik,
mengungkapkan perasaan, mendukung dan menanggapi orang lain,
dan menerima diri sendiri/orang lain sangat diperlukan dalam interaksi
sosial. Jika orang mampu melatihnya dengan baik, dapat dipastikan
orang tersebut akan berhasil mengembangkan kecerdasan
interpersonalnya. Dengan kata lain orang akan mampu membangun
dan mempertahankan hubungannya yang bermakna dengan orang lain
(Safaria, 2005:134).
Berikut adalah sejumlah keterampilan dasar berkomunikasi yang
1995:10-12), agar kita mampu memulai, mengembangkan, dan
memelihara komunikasi yang akrab, hangat dan produktif dengan
orang lain:
1)Saling memahami.
2)Saling mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat dan
jelas.
3)Saling menerima dan saling memberikan dukungan.
4)Kemampuan memecahkan konflik-konflik dan bentuk-bentuk
masalah antar pribadi melalui cara-cara yang konstruktif.
Secara singkat dapat dipahami bahwa dalam membina hubungan
interpersonal dengan orang lain, orang perlu membangun komunikasi
yang baik dengan orang lain. Dengan berkomunikasi secara santun,
umumnya orang akan merasa dihargai dan diterima oleh orang lain.
Dengan melatih kemampuan berkomunikasi itulah, orang diharapkan
mampu meningkatkan kecerdasan interpersonal, sehingga relasi
dengan orang lain dapat terjalin dengan baik.
g. Mendengarkan Secara Efektif
Keterampilan mendengarkan merupakan salah satu dari
keterampilan komunikasi yang harus dipelajari dan dilatih oleh setiap
orang. Keterampilan mendengarkan ini akan menunjang proses
komunikasi dengan orang lain. Orang akan merasa dihargai dan
diperhatikan ketika dia didengarkan. Sebuah hubungan komunikasi
dan memiliki kesediaan untuk mendengarkan. Mendengarkan
membutuhkan perhatian dan sikap empati, sehingga orang merasa
dihargai dan dimengerti (Safaria, 2005:163).
Hardjana (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya dalam
percakapan dengan orang lain, sebaiknya tidak hanya sekedar
mendengarkan isi. Diharapkan setiap orang berusaha dan mampu
untuk mendengarkan secara empatik dan kritis, agar tujuan dan hasil
yang diinginkan tercapai.
Beberapa hal yang perlu diusahakan agar bisa mendengarkan
secara efektif (Hardjana, 2003:100-101):
1) Bermotivasi yakni memiliki dorongan dari dalam untuk
mau/bersedia mendengarkan.
2) Mengadakan kontak mata. Tujuannya agar membantu orang untuk
memusatkan perhatian dan mengurangi
kemungkinan-kemungkinan terganggu dari lingkungan sekitar.
3) Menunjukkan minat.
4) Menghindari tindakan-tindakan yang mengganggu.
5) Tidak memotong pembicaraan.
6) Bersikap wajar.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa mendengarkan orang
lain yang sedang berbicara itu tidaklah mudah. Dalam mendengarkan
orang lain, selain dibutuhkan perhatian dan empati, dibutuhkan juga
dapat dihargai dan didengarkan oleh orang adalah kesediaan kita
terlebih dahulu untuk mendengarkan dan menghargai apa yang hendak
disampaikan orang kepada kita.
5. Karakteristik Individu yang Memiliki Kecerdasan Interpersonal Tinggi
Beberapa karakteristik dari individu yang memiliki kecerdasan
interpersonal tinggi adalah sebagai berikut (Safaria, 2005:25):
a. Mampu mengembangkan dan menciptakan relasi sosial baru secara
efektif.
b. Mampu berempati dengan orang lain atau memahami orang lain secara
total.
c. Mampu mempertahankan relasi sosialnya secara efektif sehingga
berkembang semakin dalam dan penuh makna.
d. Mampu menyadari komunikasi verbal maupun non verbal yang
dimunculkan orang lain. Atau dengan kata lain sensitif terhadap
perubahan situasi sosial dan tuntutannya.
e. Mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam relasi sosialnya
dengan pendekatan win-win solution serta mencegah munculnya
masalah dalam relasi sosialnya.
f. Memiliki keterampilan komunikasi yang mencakup keterampilan
mendengarkan efektif dan berbicara efektif. Termasuk di dalamnya
mampu menunjukkan penampilan fisik yang sesuai dengan tuntutan
B. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Interpersonal
Seperti yang telah diungkapkan peneliti sebelumnya, kecerdasan
interpersonal seseorang tercermin dalam kemampuannya untuk melakukan
hubungan interpersonal, relasi sosial, keterampilan sosial, dan perilaku sosial
dengan sesamanya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam kecerdasan
interpersonal adalah sebagai berikut (Ancok, 1995:223-229):
1. Persepsi Terhadap Orang Lain
Kecerdasan interpersonal seseorang berpijak dari pandangan atau
persepsi orang terhadap orang lain. Persepsi terhadap orang lain ini, bisa
dilihat dalam dua hal yang turut mempengaruhinya:
a. Hal-hal di dalam diri, seperti: sifat kepribadian, pengalaman masa lalu,
keadaan emosi sementara, dan peran yang tengah dimainkan.
b. Hal-hal pada diri orang lain, misalnya ciri fisik, jenis kelamin, asal
suku, dan usia.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa persepsi terhadap sesama
dapat mempengaruhi kecerdasan interpersonal.
2. Kemampuan Menampilkan Diri Secara Menarik
Kecerdasan interpersonal yang dimiliki orang ditentukan juga oleh
kemampuan orang dalam menampilkan dirinya secara menarik di hadapan
orang lain. Beberapa cara untuk menimbulkan kesan menarik adalah:
a. Berbicara tentang kesamaan kita dengan orang lain.
b. Membicarakan hal-hal yang merupakan kesukaan orang lain.
d. Mengingat nama orang.
e. Tidak merasa rendah diri.
f. Berpenampilan bersih dan rapi.
g. Menggunakan komunikasi verbal yang menyenangkan.
h. Menyiapkan mental untuk menerima kritik.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan menampilkan diri
secara menarik di hadapan orang lain, orang akan sadar bahwa betapa
pentingnya mengembangkan kecerdasan interpersonal yang baik.
C. Perbedaan Kecerdasan Interpersonal Berdasarkan Perbedaan Jenis Kelamin
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan merupakan prinsip pengatur
universal dalam semua masyarakat manusia. Penjelasan yang menyeluruh
tentang perbedaan jenis kelamin kiranya perlu mempertimbangkan baik itu
kapasitas biologis dari kedua jenis kelamin maupun lingkungan sosial dimana
laki-laki dan perempuan itu hidup. Oleh karena itu, semakin jelas bahwa tidak
ada penjelasan yang tunggal, umum, tentang semua perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Berikut akan dipaparkan tiga sudut pandang yang luas
mengenai penyebab perbedaan kecerdasan interpersonal berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang memberi tekanan pada pengaruh biologis,
proses belajar, dan situasi sosial (Sears dkk, 1994):
1. Biologis
Pada dasarnya tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan jenis kelamin
dampak perbedaan fisik, hormon seks, dan genetika. Namun yang perlu
disadari adalah bahwa perbedaan biologis dapat sangat meningkat atau
berkurang karena mengingat adanya kekuatan-kekuatan sosial.
2. Proses Belajar
Proses belajar yang dimaksud di sini tidak lain mengacu pada
aturan-aturan budaya mengenai bagaimana orang dengan tipe tertentu harus
berlaku. Peran-peran yang ada menetapkan perilaku yang layak dilakukan.
Sebagian besar peran-peran yang terpenting berkaitan dengan jenis
kelamin. Peran-peran sosial ini dipelajari melalui proses penguatan dan
peniruan baik itu dari orangtua, teman, guru maupun media populer.
Hasilnya pun menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memperoleh
sikap, minat, keterampilan, dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda
berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam masyarakat.
Fakta bahwa laki-laki sangat berbeda satu dari yang lain, seperti juga
halnya dengan perempuan, merupakan sebuah kelompok yang bervariasi
dapat dijelaskan oleh adanya perbedaan pengalaman belajar dari setiap
orang.
3. Situasi Sosial
Situasi sosial yang ada di lapangan pun turut memberikan andil
dalam perilaku orang. Jenis kelamin adalah salah satu determinan sosial
yang sangat menentukan perilaku. Hasrat untuk diterima dan disukai orang
harapan orang lain tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
berperilaku, tanpa mempedulikan keyakinan pribadi.
Bicara soal stereotipe, terlebih stereotipe mengenai perbedaan jenis
kelamin sampai sekarang masih menjadi perdebatan banyak pihak. Jung
mengungkapkan bahwa tidak ada ciri-ciri yang khas pada laki-laki dan
perempuan (stereotipe). Dalam teorinya lebih lanjut Jung menyatakan bahwa
setiap manusia mempunyai aspek dari jenis kelamin lainnya dalam dirinya
sendiri. Laki-laki memiliki aspek feminim yang disebut “anima”, perempuan
memiliki aspek maskulin yang disebut “animus”. Pada setiap laki-laki maupun
perempuan, ciri-ciri maskulin diintegrasikan dengan ciri feminim (Hommes,
1992:37-39).
Maccoby & Jacklin (Sears dkk, 1994) memberikan tekanan pada soal
kemampuan intelektual individu dalam uraian mereka. Dalam hal ini, mereka
lebih mengutamakan soal keterampilan dan perilaku sosial.
Martin dan Parker (Baron & Byrne, 2004) memberikan penjelasan yang
sama, bahwa pada dasarnya baik variabel biologis maupun sosial berperan di
dalamnya, tapi proses belajarlah yang memampukan masing-masing orang
memainkan perilaku sosialnya.
D. Kecerdasan Interpersonal Laki-Laki (Putra) dan Perempuan (Putri.)
1. Kecerdasan Interpersonal Laki-Laki (Putra)
Kecerdasan interpersonal laki-laki tercermin dari
kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan orang tua kepada anak laki-lakinya sejak kecil
dalam mengerjakan sesuatu, dalam bekerja lebih banyak menggunakan
otak ketimbang perasaan, tegas dalam mengambil setiap keputusan, serta
mandiri. Jika hal ini terus ditanamkan pada diri anak laki-laki, maka secara
langsung maupun tidak langsung akan berkembanglah seluruh potensi
yang ada pada diri mereka secara lebih optimal.
Dalam proses interaksi sosial, laki-laki (putra) biasanya cenderung
lebih mampu daripada perempuan (putri). Hal ini terjadi karena laki-laki
mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam ruang hidupnya, yang
dimulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat. Di lingkungan
tersebut, mereka dapat belajar menghadapi berbagai perubahan
lingkungan, sehingga mampu berinteraksi sosial dengan baik dan cepat.
Oleh karenanya perilaku yang kerap muncul adalah cenderung agresif,
aktif, mudah bergaul dengan orang lain, kurang sabar, dan lain-lain.
Sarwono (1989) menjelaskan bahwa di Indonesia kaum laki-laki
diberikan kebebasan dan tidak menghadapi tekanan sosial dari keluarga
dan masyarakat, sehingga tidak menghadapi konflik berat dalam
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki
dapat dengan mudah berinteraksi sosial dengan lingkungannya. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kemampuan seseorang dalam menjalin
2. Kecerdasan Interpersonal Perempuan (Putri)
Dalam perkembangan yang terjadi selama ini, perbedaan jenis
kelamin menjadi sebuah kendala bagi kaum perempuan untuk bisa
mengembangkan segala kemampuan yang ada pada dirinya secara optimal.
Poerwandari (2002) berpendapat bahwa perempuan Indonesia pada
umumnya hingga saat ini masih sering mengalami berbagai bentuk
diskriminasi dalam kehidupannya, baik di lingkungan keluarga maupun
masyarakat.
Ibrahim dan Suranto (1998) mengatakan bahwa di Indonesia,
khususnya di lingkungan Jawa, kaum perempuan belum sanggup
mengembangkan kemandiriannya untuk dapat keluar dari lingkaran yang
membelenggunya, sehingga akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi
dengan lingkungan di sekitarnya. Walau sudah ada usaha untuk mengubah,
namun tetap kaum perempuan masih tetap hidup dalam sosialisasinya
yang semakin mengukuhkan citranya sebagai nomor dua setelah laki-laki.
Oleh karena itu, beberapa karakteristik perilaku yang cenderung
melekat pada perempuan biasanya digambarkan seperti: lebih meminati
segi-segi kehidupan yang serba segera, lebih dekat pada masalah hidup
praktis. Selain itu ada sebagian perempuan yang mampu menonjolkan sifat
sosialnya tapi kerap terbentur dengan aturan sosial masyarakat yang terlalu
membatasi ruang gerak mereka.
Secara tidak langsung tanpa disadari, perbedaan perlakuan terhadap
dampak terhadap laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa bersikap
superior, menganggap dirinya lebih maju, pandai, kompeten daripada
perempuan.
Tumbuhnya sikap laki-laki yang berbeda dengan perempuan ini,
akan mempengaruhi mereka dalam menjalin relasi dengan orang-orang di
sekitar mereka. Laki-laki mampu menjalin relasi dengan baik. Sedang
perempuan kadang merasa malu untuk menjalin relasi.
Perbedaan perlakuan tersebut di atas, jelas bertolak belakang dengan
apa yang diharapkan oleh banyak orang bahwa semua orang baik itu
laki-laki maupun perempuan pada dasarnya berhak mendapat perlakuan yang
sama, agar dapat memiliki kecerdasan interpersonal yang sama-sama baik.
Hal ini dijelaskan oleh Safaria (2005:39-41) dengan menyatakan bahwa
pada dasarnya setiap orang dapat meningkatkan kecerdasan
interpersonalnya melalui keterampilan sosial dalam hubungannya dengan
orang lain seperti menolong sesama, membimbing, mendengarkan,
berkomunikasi, dan memecahkan permasalahan.
E. Pelayanan Bimbingan di Asrama
1. Pengertian Asrama
Secara harafiah, asrama diartikan sebagai bangunan tempat tinggal
bagi sekelompok orang yang bersifat homogen (Depdikbud, 1990:53).
Menurut Slameto (1990), asrama adalah rumah pondokan yang di
sesuai dengan kebutuhan suatu institusi formal (misal: sekolah) atau
yayasan tertentu dan memiliki tujuan tertentu.
Pada dasarnya kelompok yang diterima dalam suatu asrama biasanya
kelompok tertentu yang memenuhi beberapa persyaratan seperti jenjang
dan jenis pendidikan yang sedang ditempuh, jenis kelamin, dan agama.
Persyaratan-persyaratan tersebut berlaku juga di asrama putra dan putri
SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan.
2. Peran Pembimbing Asrama
Di asrama, pembimbing berperan sebagai wakil orang tua siswa.
Pembimbing asrama menjadi sandaran ketika siswa mengalami kesulitan.
Tidak mungkin mereka dibiarkan begitu saja ketika dihadapkan pada suatu
permasalahan. Pembimbing perlu mendampingi mereka dalam
memecahkan persoalannya sendiri. Pembimbing asrama hendaknya juga
peduli pada kebutuhan mereka.
Pembimbing asrama perlu juga menghargai perbedaan dan
karakteristik (keunikan) yang ada dalam diri siswa asramanya. Seorang
pembimbing asrama perlu menyadari bahwa adanya perbedaan yang
dimiliki oleh masing-masing siswa dapat memperkaya masing-masing
pribadi dalam hidup bersama di asrama.
Dengan diperolehnya pendampingan yang baik dan positif dari
pembimbing asrama, para siswa baik di asrama putra maupun asrama putri
mampu belajar banyak hal mengenai hidup bersama dengan orang lain.
setiap perbedaan yang dibawa oleh sesamanya. Dengan demikian, asrama
bukan hanya sekedar menjadi tempat untuk hidup bersama tetapi menjadi
tempat pengembangan diri.
3. Pentingnya Pelayanan Bimbingan di Asrama
Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dalam pelayanan bimbingan
di asrama putra dan asrama putri SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan
adalah agar siswa tumbuh menjadi pribadi yang dewasa sehingga mampu
mengatur hidupnya sendiri. Pelayanan bimbingan di asrama ini perlu
dikembangkan mengingat yang tinggal di asrama adalah remaja yang
masih membutuhkan pendampingan dalam perkembangannya.
Suasana kehidupan asrama yang dipelihara dan dikembangkan
adalah semangat persaudaraan sejati yang membuat seluruh warga asrama
merasa aman, senang, dan kerasan. Oleh karena itu pendampingan yang
diberikan pada siswa dimaksudkan agar siswa menjadi pribadi yang
berkualitas tinggi, beriman, berwatak, dan berbudi pekerti luhur dengan
mengembangkan potensi-potensinya secara optimal dalam bidang
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai hidup yang diperlukan
untuk siap melanjutkan ke perguruan tinggi maupun hidup di tengah
masyarakat ( Pedoman Umum SMA Pangudi Luhur Van Lith, 2001:9).
Dalam melaksanakan bimbingan di asrama perlu diperhatikan juga
program pelayanan bimbingan di sekolah. Jangan sampai membuat siswa
asrama menjadi jenuh dan bosan dengan layanan bimbingan yang
ditekankan pada bidang bimbingan pribadi dan sosial, karena sebagian
besar waktu yang ada di asrama menuntut mereka untuk belajar menjalin
relasi yang baik dengan sesama teman di asrama.
Asrama menjadi sekolah kedua bagi siswa-siswi SMA Pangudi
Luhur Van Lith Muntilan. Di asrama masing-masing siswa disadarkan
akan pentingnya belajar menerima orang lain apa adanya, entah itu dari
latar belakang keluarga, suku, budaya, agama yang berbeda. Oleh karena
itu, tujuan yang ingin dicapai dalam setiap pelayanan bimbingan tidak lain
untuk membantu siswa agar dapat berkembang menjadi pribadi dewasa
yang mampu hidup bersama dengan orang lain dan menempatkan diri
dengan segala keunikannya dalam berelasi dengan sesamanya.
F. Bimbingan Kelompok
Winkel (1997:518) menyebut ada dua macam bentuk bimbingan yaitu
bimbingan individual/perseorangan dan bimbingan kelompok/klasikal.
Bimbingan individual adalah pelayanan bimbingan yang diberikan pada satu
orang saja. Sedangkan bimbingan kelompok adalah pelayanan bimbingan
yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan hendaknya diberikan kepada semua
orang tanpa memandang umur, jenis kelamin, suku, agama, dan status sosial
ekonomi. Tujuan pelayanan bimbingan kelompok adalah agar supaya orang
yang dilayani menjadi mampu mengatur hidupnya sendiri, mengambil sikap
sendiri, dan berani menanggung sendiri efek serta konsekuensi dari segala
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi paparan tentang jenis penelitian, subjek penelitian, instrumen
penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Furchan (1982:415),
penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh
status gejala pada saat penelitian dilakukan.
Rahmat (1989:34-35) menyebutkan tujuan dari penelitian deskriptif
yaitu: (1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala
yang ada, (2) mengidentifikasikan masalah/memeriksa kondisi dan praktek
yang berlaku, (3) membuat perbandingan/evaluasi, dan (4) menentukan apa
yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar
dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada
waktu yang akan datang.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa di asrama putra dan asrama putri
SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan tahun ajaran 2006/2007. Pengambilan
sampel dilakukan berdasarkan purposive sample (sampel bertujuan).
Pertimbangan peneliti menggunakan purposive sample, mengingat karena
alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan kepentingan tempat penelitian. Subjek
yang dipakai sebagai sampel penelitian adalah subjek kelas X-5, XI IPS1, dan
XII IPS2. Subjek yang dipilih sebagai sampel memiliki pertimbangan tertentu
yaitu subjek yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang terdapat
pada populasi (Arikunto, 2002:117). Jumlah keseluruhan sampel penelitian ini
adalah 87 siswa, terdiri dari 46 siswa putra dan 41 siswa putri.
C. Instrumen Penelitian
1. Alat Pengumpul Data
Peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data.
Metode yang digunakan kuesioner ini adalah metode skoring yang
dijumlahkan (summated rating), dengan skala likert yang terdiri atas
empat kategori jawaban yaitu: Sangat Sering (SS), Sering (S),
Kadang-Kadang (KK), Jarang (J).
Menurut Hadi (1990), modifikasi skala likert menjadi empat kategori
jawaban dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan yang terdapat
pada skala lima tingkat dimana di dalamnya memuat kategori netral.
Kategori netral dalam skala lima tingkat secara tidak langsung belum
dapat memutuskan. Kategori netral ini bersifat ragu-ragu. Oleh karena itu
tersedianya jawaban di tengah pada dasarnya menimbulkan kecenderungan
memilih jawaban yang netral (central tendency effect) terutama bagi
Kuesioner disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada
aspek-aspek kecerdasan interpersonal yang dikemukakan oleh Safaria (2005)
yaitu:
a. Empati.
b. Bersikap prososial.
c. Kesadaran diri.
d. Pemahaman situasi sosial dan etika sosial.
e. Pemecahan masalah secara efektif.
f. Berkomunikasi dengan santun.
g. Mendengarkan secara efektif.
Dalam kuesioner ini, pernyataan terdiri dari 2 kelompok, yaitu
pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Pernyataan favorable
adalah pernyataan positif yang menggambarkan adanya kecerdasan
interpersonal yang ideal. Pernyataan unfavorable adalah pernyataan
negatif yang menggambarkan kurang atau tidak adanya kecerdasan
interpersonal.
Penentuan skor untuk setiap pernyataan dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk pernyataan positif (favorable) skor untuk jawaban Sangat
Sering (SS) adalah empat, skor untuk jawaban Sering (S) adalah tiga,
skor untuk jawaban Kadang-Kadang (KK) adalah dua, dan skor untuk
jawaban Jarang (J) adalah satu.
b. Untuk pernyataan negatif (unfavorable) skor untuk jawaban Sangat
skor untuk jawaban Kadang-Kadang (KK) adalah tiga, dan skor untuk
jawaban Jarang (J) adalah empat.
Dalam tabel 1 disajikan kisi-kisi kuesioner kecerdasan Interpersonal
yang dipakai untuk penelitian.
Tabel 1
Kisi-kisi Kuesioner Penelitian