• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Jenis-Jenis Kecerdasan Majemuk

4. Kecerdasan Kinestetik-Badani

Kecerdasan jasmaniah-kinestetik memungkinkan seseorang untuk menggerakkan obyek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus. Kecerdasan jasmaniah-kinestetik ialah kemampuan untuk menggunakan seluruh tubuh dalam

mengespresikan ide, perasaan, dan menggunakan tangan untuk menghasilkan atau mentransformasi sesuatu (Yaumi, 2014: 135). Kecerdasan kinestetik disebut juga kecerdasan olah tubuh karena dapat merangsang kemampuan seseorang untuk mengolah tubuh secara ahli atau mengekspresikan gagasan maupun emosi melalui gerakan badan.

Wilayah kecerdasan kinestetik dalam otak ialah serebrum, basal ganglia, dan korteks di kedua belahan otak (hemisphere). Proses kerja kecerdasan ini diawali dengan menangkap informasi yang datang, lalu disampaikan ke otak kemudian ke tangan, dari tangan mencoba untuk menyusun blok kecil tersebut, bisa menyusun ke atas atau samping dengan warna yang berbeda-beda sehingga terjadi penyatuan gerak dari pikiran ke anggota badan (Rina Roudhotul Jannah, dkk, 2018: 271).

Orang yang memiliki kecerdasan ini identik dengan tampak aktif, suka bergerak, memiliki kekuatan otot, terlibat kegiatan fisik seperti berolahraga, senam, menari, joget; dan unggul dalam berbagai kompetisi non akademik.

Contoh karier yang pantas ditekuni ialah penari, atlet, aktor, pelatih, interpreter bahasa isyarat, ahli bedah, artisan, dan lain-lain.

5. Kecerdasan Berirama-Musik (Musical Intelligence)

Kecerdasan musik adalah kapasitas berpikir dalam musik untuk mampu mendengarkan pola-pola dan mengenal serta mungkin memanipulasinya (Yaumi, 2014: 136). Kecerdasan musik ialah kecerdasan yang kelihatan pada seseorang yang memiliki sensitivitas dalam pola titinada, melodi, ritme, dan nada. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan musikal ialah mendengarkan pola-pola, bersenandung, memainkan sesuatu dengan irama, mampu membedakan

bunyi-bunyi, menguasai tangga nada, suka bernyanyi, bagus dalam mengambil nada, mengingat melodi, memiliki tarik suara yang bagus, pintar memainkan alat musik, berbicara, bergoyang mengikuti syair serta memberi respon secara emosional pada musik yang didengarkan (Paul Suparno, 2004: 36-38).

Dengan kata lain, orang yang cerdas musikal sangat menikmati dan mencari kesempatan mendengarkan musik atau lagu; senang menciptakan lagu; mengenali dan mendiskusikan berbagai bentuk gaya musik; memiliki koleksi musik atau lagu yang benarekaragam; mengembangkan kemampuan bernyanyi; cepat menganalisis jenis sebuah lagu; mampu mengaransemen lagu; tertarik pada karier sebagai penyanyi atau pemain musik; serta mampu menciptakan komposisi asli dan atau instrumen musik. Area kecerdasan musikal berada di lobus temporal kanan. Contoh karier yang cocok ialah seorang musisi, pengamat musik, pencipta lagu, konduktor, dan sebagainya.

6. Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence)

Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut (Yaumi, 2014: 137). Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang.

Komponen inti dari kecerdasan intrapersonal ialah kemampuan dalam memahami diri yang akurat meliputi kekuatan dan keterbatasan diri, kecerdasan akan suasana hati, maksud, motivasi, temparamen, dan keinginan (Yaumi, 2014:

137). Kecerdasan intrapersonal berarti kecerdasan dunia batin, kecerdasan yang

bersumber pada proses pemahaman diri secara menyeluruh guna menghadapi, merencanakan, dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.

Komponen inti dari kecerdasan ini ialah kemampuan dalam membedakan emosi, kehendak, sifat, berdisiplin diri dan menghargai diri. Area kecerdasan intrapersonal berada di lobus frontal, lobus parietal, dan sistem limbic. Orang yang memiliki tingkat kecerdasan intrapersonal tinggi biasanya selalu menunjukkan sikap menyendiri, memiliki kemauan kuat, tidak suka membual, suka mencoba hal baru, menikmati ketika melakukan kegiatan sendiri, jarang meminta pertimbangan dari teman, dan cenderung mengingat peristiwa yang melibatkan kesalahan diri sendiri; mampu menyatakan perasaan, penilaian, dan idenya kepada orang lain.

Kecerdasan intrapersonal terdapat pada ahli terapi, penyair, motivator, psikolog, filsuf, pemimpin spiritual, dan lain sebagainya.

7. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence)

Kecerdasan interpersonal ialah kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi dan keinginan orang lain, serta kemampuan memberikan respons secara tepat terhadap suasana hati, tempramen, motivasi dan keinginan orang lain (Yaumi, 2014: 135). Jadi, kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif.

Komponen inti kecerdasan interpersonal ialah kemampuan mencerna, dan menanggapi dengan tepat berbagai suasana hati, maksud, motivasi, perasaan dan keinginan orang lain di samping kemampuan untuk bekerjasama (Paul Suparno, 2004: 39). Area otak untuk kecerdasan interpersonal ialah lobus frontal, lobus temporal, hemisphere kanan dan sistem limbic. Contoh orang yang memiliki

kecerdasan interpersonal seperti guru atau dosen, konsultan, organisatoris, diplomat, peneliti dan ilmuan sosial, aktivis, pemimpin agama, negosiator, mediator, dan sebagainya.

8. Kecerdasan Naturalistik/Lingkungan (Naturalistic Intelligence)

Kecerdasan naturalistik adalah kemampuan dalam melakukan kategorisasi dan membuat hierarki terhadap keadaan organisme seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam (Yaumi, 2014: 136). Orang yang mempunyai kecerdasan naturalistik ialah senang dengan alam dan binatang (mendekati, memegang, mengelus, dan suka memelihara). Jadi kecerdasan naturalistik ialah keahlian mengenali dan mengategori spesies baik flora maupun fauna, lingkungan dan kemampuan mengolah dan memanfaatkan alam dan melestarikannya.

Selain itu juga anak yang memiliki kecerdasan naturalistik memiliki ciri-ciri, seperti akrab dengan hewan, binatang, dan tumbuhan; senang menjelajah di alam terbuka/kebun binatang, atau museum; senang berkebun atau bertani, suka memelihara berbagai jenis binatang, memiliki kesadaran ekologis, dan sebagainya (Paul Suparno, 2004: 42-43). Pengembangan karier yang cocok dengan kecerdasan ini dapat diarahkan untuk menjadi ilmuan pertanian, ahli geologi, ahli biologi, astronaut, ahli perikanan dan kelautan, nahkoda kapal, pelaut, pemancing, petani, aktivis alam, pendaki gunung, dan lain-lain.

9. Kecerdasan Eksistensial (Eksistencial Intelligence)

Kecerdasan eksistensial ialah kapasitas hidup manusia yang bersumber dari hati yang dalam (inner-capacity) yang terilhami dalam bentuk kodrat untuk dikembangkan dan ditumbuhkan dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup

(Yaumi, 2014: 138). Kecerdasan eksistensial ialah kesadaran terhadap hakikat atau keberadaan diri yang mendorong hadirnya pandangan luas terhadap kehidupan, memiliki pemahaman akan tujuan hidup dan nasib dimasa depan.

Kecerdasan eksistensial merujuk pada kesadaran terhadap eksistensi diri akan membawa dampak yang berharga bagi munculnya keinginan untuk mengakui keberadaan yang lain. Kebermaknaan yang merujuk pada sesuatu yang dapat bermakna kalau dapat memberi nilai dan gagasan-gagasan yang segar. Jadi, kecerdasan eksistensial ialah penyerahan diri sepenuhnya kepada suatu kekuatan yang dapat mengatur seluruh alam beserta isinya. Oleh karena itu kecerdasan spiritual dapat mengantar orang menjadi ilmuan, pimpinan, pendidik sejati.

10. Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Setelah kecerdasan intelektual (IQ) dipahami sebagai satu-satunya dapat memecahkan permasalahan, muncullah kecerdasan emosional. Di mana kesuksesan atau keberhasilan juga berpengaruh pada EQ (emotional quotiet) atau inteligensi emosi. Kecerdasan emosional disampaikan pertama kali oleh Peter Salovey dan John Mayer tahun 1990. Namun, tahun 1995 Daniel Jay Goleman, seorang psikolog dan penulis kenamaan dalam sebuah bukunya “Emotional Intelligence-why it can matter more than IQ” mulai menyebar luas dan dikenal orang banyak. Dari pandangannya, Goleman menjelaskan keterampilan yang berkaitan dengan inteligensi emosi ialah memahami pengalaman emosi pribadi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain dan mengembangkan hubungan dengan orang lain (dalam Monty P. Satiadarma & Fidelis E. Waruwu, 2003: 33).

Pentingnya kecerdasan emosional memberi kita rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat (Danah Zohar & Ian Marshall, 2007: 3). Kecerdasan emosi menyangkut cara kita berpikir asosiatif, terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan untuk menganali berbagai pola emosi. Dengan kecerdasan emosi kita dapat mengendalikan, mengola, mengontrol dan menerima perasaan atau emosi baik diri sendiri maupun orang lain. Jadi, kecerdasan emosi sangat berguna dan berpengaruh bagi kesuksesan seseorang, terutama bagi peserta didik. Dengan kecerdasan emosi dapat mengendalikan diri.

11. Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence)

Kecerdasan spiritual mulai diperkenalkan oleh pasangan suami isteri Danah Zohar dan Ian Marshall. Menurut mereka kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (dalam Wahab & Umiarso, 2016: 49).

Dari pengertian tersebut, kecerdasan spiritual berarti kemampuan menghadapi berbagai persoalan dan menempatkan perilaku serta hidup dalam konteks yang lebih bermakna, luas dan kaya. Seperti yang dikatakan oleh Lieke J. Wisnubrata (2002: 19) dalam tulisannya pada buku “Kecerdasan Spiritual, Religiusitas yang Memerdekakan, dan Masyarakat Sejahtera”, bahwa kecerdasan spiritual berkaitan dengan cara berpikir kreatif, penuh insight, intuitive, rule making (membuat aturan), rule breaking (tekanannya bukan pada segi melanggar aturan atau hukum

yang ada, melainkan lebih kearah rule bending, karena ada suatu cara pemecahan yang lain; suatu alternatif pemecahan lain. Jadi, kecerdasan spiritual disebut juga

“Unitive Thinking” (menyatukan).

Kecerdasan spiritual tidak sama dengan agama. Meskipun mengandung kata spiritual. Kecerdasan spiritual lebih kepada kemampuan untuk menemukan makna dan menghasilkan nilai. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa (Danah Zohar & Ian Marshall, 2007: 8). Artinya bahwa adanya kecerdasan spiritual membantu membangun dan menyembuhkan jati diri secara utuh (intelektual, emosional, dan spiritual), mampu membedakan, memberi rasa moral. Kecerdasan spiritual juga berpengaruh pada hubungan, secara vertikal berhubungan dengan relasi dengan Tuhan Pencipta dan secara horizontal hubungan relasi dengan sesama dan alam semesta. Lebih lanjut Zohar dan Marshall mengatakan bahwa kecerdasan spiritual mampu memfasilitasi suatu dialog antara akal dan emosi, antara pikiran dan tubuh; menyediakan titik tumpu bagi pertumbuhan dan perubahan;

menyediakan pusat pemberi makna yang aktif dan menyatu bagi diri.

Kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner yang mencangkup sembilan kecerdasan merupakan varian dari kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ) serta pengaturan saraf ketiganya (Danah Zohar & Ian Marshall, 2007: 4). Artinya bahwa kecerdasan majemuk adalah bagian dari tak terpisah dari ketiga kecerdasan (IQ, EQ dan SQ). Gardner memberikan perspektif yang lebih kaya yang menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kecerdasan yang menonjol dan tidak hanya satu. Semua kecerdasan yang dimiliki dapat dikembangkan dan memiliki fungsi tersendiri. IQ, EQ atau SQ saling

berpengaruh. Misalnya saja, peserta didik yang memiliki IQ tinggi tetapi EQ dan SQ rendah, maka belum tentu orang tersebut bisa sukses, atau peserta didik yang memiliki EQ tinggi tapi IQ dan SQ rendah juga belum tentu berhasil, dan begitu pula sebaliknya. Jadi, kecerdasan majemuk merupakan bagian integral dari kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

C. Dampak Kecerdasan Majemuk

Keberadaan teori kecerdasan majemuk mampu memberikan dampak dan mendobrak sistem pendidikan yang ada, secara khusus dalam sistem pembelajaran.

Dalam buku Suparno mengenai “Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah” (2004: 51-64), menguraikan beberapa dampak dari keberadaan kecerdasan majemuk, sebagai berikut.

1. Kurikulum

Kurikulum dipahami sebagai semua pengalaman yang direncanakan untuk dialami siswa di dalam proses pendidikan. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancang secara sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan (Chomaidi & Salamah, 2018: 32). Dalam sebuah kurikulum berisi sebuah komponen pengembangan kurikulum berupa tujuan, isi, metode/strategi, dan evaluasi.

Dalam teori kecerdasan majemuk, pemilihan materi dilakukan lewat berbagai jenis kecerdasan yang ada. Cara terbaik untuk menyampaikan pengembangan kurikulum menggunakan teori kecerdasan majemuk ialah dengan berpikir tentang bagaimana seseorang dapat menterjemahkan materi yang akan diajarkan dari satu kecerdasan ke kecerdasan lainnya (Thomas Armstrong, 2013:

70). Terdapat tujuh langkah untuk membuat rencana pelajaran atau unit kurikulum dengan kecerdasan majemuk yaitu fokus pada tujuan atau topik tertentu, ajukan pertanyaan-pertanyaan kunci tentang kecerdasan majemuk, pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, bertukar pikiran, pilih aktivitas yang sesuai, atur rencana yang berurutan dan melaksanakan rencana tersebut.

2. Pembelajaran a. Guru

Model pembelajaran klasik yang dilakukan oleh guru dengan cara ceramah dan menjelaskan tidak dapat membantu peserta didik untuk belajar secara optimal.

Apalagi guru menjelaskan suatu materi dengan satu inteligensi yang sama.

Sehingga membuat peserta didik yang tidak sesuai dengan inteligensi tersebut tidak menangkap materi atau topik dengan baik. Maka, peran kecerdasan majemuk ialah membantu mengoptimalkan kecerdasan peserta didik dan membantu mereka belajar secara aktif berdasar kecerdasan yang menonjol.

b. Peserta Didik

Keberadaan kecerdasan majemuk membantu peserta didik belajar secara aktif serta meningkatkan prestasi belajar sesuai sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Dengan gaya belajar yang dimiliki, peserta didik akan merasa puas

terhadap proses pembelajaran. Misalnya saja, peserta didik yang memiliki kecerdasan musikal akan lebih mudah mempelajari sebuah materi jika disampaikan dengan cara musik, atau peserta didik yang memiliki kecerdasan interpersonal, akan lebih mudah mempelajari dan memahami materi jika disampaikan dengan cara bekerja kelompok. Selain itu juga peran kecerdasan majemuk difungsikan untuk membantu para peserta didik belajar untuk mengembangkan inteligensi yang dimiliki.

c. Pendekatan dan Peralatan Kelas

Di dalam proses pembelajaran perlu bervariasi, hal itu berkenaan dengan peserta didik yang juga memiliki tingkat kecerdasan yang benarekaragam. Maka, dengan pembelajaran yang bervariasi, berdampak pada ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran di dalam kelas. Untuk itu, sekolah harus mampu mengupayakan dan memaksimalkan fasilitas pembelajaran di sekolah, seperti musik, proyektor, video, ruang belajar kelompok, sarana olahraga, dan lain sebagainya.

3. Pengaturan Kelas

Untuk melaksanakan sebuah pembelajaran berdasar kecerdasan majemuk, akan memberikan dampak dalam pengaturan kelas. Kelas sering kali hanya diatur dalam satu kedudukan yang tetap atau satu arah. Tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik dalam menerima topik pembelajaran.

Misalnya, ruang kelas dapat diatur dengan bentuk lingkaran, persegi, dikosongkan, dan sebagainya. Hal itu membantu peserta didik untuk belajar secara bebas dan leluasa.

Selain pengaturan tempat duduk, pengaturan kelas juga tidak hanya dibatasi di dalam gedung sekolah. Tetapi, peserta didik perlu juga belajar di luar sekolah yang memungkinkan kecerdasan lain dapat berkembang. Misalnya saja, mengembangkan inteligensi naturalistik, inteligensi kinestetik-badani, dan kecerdasan lainnya yang membutuhkan pembelajaran di luar sekolah atau kelas.

4. Evaluasi

Menurut Gardner, evaluasi yang tepat haruslah juga menggunakan macam-macam inteligensi yang digunakan dalam pembelajaran. Evaluasi perlu menggunakan model yang memuat sembilan (9) jenis kecerdasan. Evaluasi yang paling sesuai dengan strategi kecerdasan majemuk ialah melihat performa peserta didik dalam kondisi real (nyata). Misal, pentas musik, teater, hitungan, kerja nyata, penyelesaian proyek, praktikum, diskusi, olahraga, dan sebagainya.

D. Kritik Terhadap Kecerdasan Majemuk

Teori kecerdasan majemuk yang di kembangkan oleh Gardner pada tahun 1983 menuai banyak tanggapan dan kritikan dari beberapa orang, terutama para ahli pendidikan dan psikologi. Dari awal, teori Gardner dianggap tidak berangkat dari penelitian lama, tetapi lebih kepada spekulatif. Adapun beberapa tanggapan atau kritik terhadap teori kecerdasan majemuk sebagaimana diungkapkan oleh Paul Suparno (2004: 125-130), yaitu:

1. Tanggapan Positif

Tanggapan positif diwarnai oleh mereka yang mendukung teori kecerdasan majemuk. Berkat teori ini banyak peserta didik yang dulunya tidak berkembang dan

kesulitan dalam belajar, sekarang justru bisa berkembang dengan baik dan mampu memahami suatu materi. Karena model pembelajaran kecerdasan majemuk lebih berpusat pada peserta didik dari pada guru. Hal itu juga memberikan pengaruh pada proses pembelajaran bersifat klasik. Hal yang sungguh menjadi perhatian utama ialah secara psikologis para peserta didik mengalami bahwa belajar itu sungguh menyenangkan karena menyesuaikan dengan tingkat inteligensinya.

2. Tanggapan Negatif

Sebagian besar, teori kecerdasan majemuk yang dipaparkan oleh Gardner dikritik oleh para ahli pendidikan. Adapun kritikan dari teori Gardner, sebagai berikut:

a. Teori multiple intelligences terlalu menekankan segi intelektual, dari pada perasaan, emosi dalam diri orang.

b. Teori MI bukanlah hal baru, sejak Plato hal ini sudah dipikirkan. Bagi mereka inteligensi musikal, visual, interpersonal, intrapersonal dan sebaginya merupakan kemampuan biasa bukan inteligensi (kecerdasan).

c. Pengertian Gardner tentang inteligensi kurang diartikan secara ketat dan baik.

Karena setiap waktu pasti akan memunculkan inteligensi baru. Bagi mereka, dari sembilan (9) kecerdasan yang ada, disebut inteligensi hanyalah verbal linguistik dan matematis-logis, sedangkan tujuh (7) kecerdasan yang lain hanyalah talenta atau bakat.

d. Teori Gardner kurang eksak (pasti/tentu), kurang saintifik (alamiah), dan terlalu membuka ruang debat.

e. Teori ini juga terlalu ideal, bahkan merupakan utopi (khayalan).

f. Kurang praktis dilapangan, karena teori ini hanya cocok dalam kelas yang jumlahnya sedikit dan tidak untuk kelas besar

BAB III

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH

Pada bagian bab ini penulis akan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Katolik di sekolah. Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan bagian integral dari Pendidikan Nasional dan bagian dari Katekese. Sehubungan dengan itu pada bab ini akan diuraikan pendidikan nasional;

katekese; hakikat PAK di sekolah yang meliputi: PAK sekolah sebagai bagian pendidikan nasional dan PAK sekolah sebagai bagian pendidikan iman; tujuan PAK di sekolah; ruang lingkup bahan PAK di sekolah; serta pendekatan PAK di sekolah.

A. Pendidikan Nasional

Pendidikan menjadi kebutuhan hidup bagi semua orang tanpa terkecuali..

Pendidikan membantu setiap orang menjadi pribadi yang berilmu dan berakhlak mulia. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal bab II pasal 3 dikatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Pendidikan perlu diarahkan untuk menghasilkan manusia hebat dengan mengembangkan potensi-potensi dalam diri peserta didik demi kepentingan

masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan akhir hidup manusia dan sekaligus kebaikan umum masyarakat. Anak-anak dan orang muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, memiliki rasa tanggungjawab, dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial (KHK, Kan. 795).

Pendidikan juga dipahami sebagai usaha bantuan orang dewasa yang diberikan kepada orang yang belum dewasa supaya mengalami perkembangan atau kedewasaan baik dari segi intelektual, sikap, keterampilan, spiritual, emosional, dan sebagainya yang berguna bagi dirinya. Penyelenggaraan pendidikan terdapat beberapa jalur, pertama pendidikan informal yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dalam keluarga dan lingkungan. Kedua, pendidikan formal yaitu pendidikan yang diselenggarakan di sekolah secara terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ketiga, pendidikan nonformal yaitu pendidikan yang dilaksanakan di luar pendidikan formal.

Dengan demikian, pendidikan berarti sebuah usaha yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat maupun pemerintah lewat proses pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik supaya mengalami perkembangan kecakapan baik dari segi kognitif, afeksi, psikomotorik, keterampilan, spiritualitas serta emosi dalam suasana belajar yang mendukung. Singkatnya pendidikan mengarahkan dan membantu para peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dewasa menjadi dewasa, dan hal-hal lainnya.

B. Katekese

Katekese berasal dari bahasa Yunani “Catechein” (kata kerja) dan

“”Catechesis” (kata benda). Akar katanya ialah “kat” berarti keluar, ke arah luas dan “echo” berarti gema atau gaung. Maka, makna katekese berarti menggemakan secara meluas atau keluar. Dalam ajaran Agama Katolik yang digemakan atau diwartakan dalam katekese ialah Injil tentang Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah pewarta Kabar Gembira yang utama dan pertama. Ia mewartakan Kerajaan Allah, yang dirumuskan di dalam Injil sebagai Berita Gembira (PUK, Art. 34).

Dalam Catechesi Tradendae (CT. Art. 18) katekese merupakan pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa, khususnya mencangkup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.

Sedangkan menurut Thomas Groome (2010: 40), katekese berarti pembinaan atau menceritakan kembali cerita iman Kristen yang telah diberitahu. Katekese ialah pemakluman Sabda Allah, sebagai bentuk pewartaan. Dari pemahaman ini, katekese dipahami sebagai suatu tindakan atau usaha untuk mengajarkan kembali ajaran Kristiani kepada umat, agar umat mengalami kesatuan hidup dengan Kristus.

Katekese tidak lepas dari pewartaan Injil yang berisi tentang sabda Allah.

Sabda Allah adalah sumber katekese. Sabda itu ialah Yesus Kristus sendiri yang menjadi manusia dan bahwa suara-Nya terus bergema dalam Gereja dan di dunia melalui Roh Kudus (PUK, Art. 94). Maka, Sabda Allah harus memiliki nilai eksistensial artinya sungguh kena akan kenyataan hidup manusia. Berkatekese bukan hanya menafsirkan Injil yang terdapat dalam Kitab Suci dan tersalurkan

lewat ajaran Gereja tetapi menafsirkan pengalaman sesama, mengajak menggali arti hidup sedalam-dalamnya dalam konteks situasi peristiwa sehingga amanat Allah secara pribadi menyentuh dan mengundang kepatuhan imannya (Huber, 1981: 41).

Inti dalam katekese selalu terikat pada Yesus Kristus. Katekese diberikan untuk mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu (CT, Art. 20).

Lewat firman yang diwartakan, orang Katolik menerima pribadi Yesus Kristus,

Lewat firman yang diwartakan, orang Katolik menerima pribadi Yesus Kristus,

Dokumen terkait