• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI KECERDASAN MAJEMUK PADA

MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI UNTUK SEKOLAH

DASAR KELAS II

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

Oleh:

Agustinus Tasirisokut NIM: 161124058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

(2)

ii SKRIPSI

MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI KECERDASAN MAJEMUK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI UNTUK SEKOLAH DASAR KELAS II

Pembimbing

F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. Tanggal, 6 Juli 2021 Oleh:

Agustinus Tasirisokut

NIM: 161124058

Telah disetujui oleh:

(3)

iii

NIM: 161124058

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 6 Juli 2021

dan dinyatakan memenuhi syarat.

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Nama

: Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ : F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd.

: 1. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd.

2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ 3. Yoseph Kristianto, SFK.,M.Pd.

S K R I P S I

MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI KECERDASAN MAJEMUK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI UNTUK SEKOLAH DASAR KELAS II

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Agustinus Tasirisokut

Ketua Sekretaris Anggota

Yogyakarta, 6 Juli 2021

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si.

Tanda Tangan

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada

Oileat Tasirisokut dan Natalia Sabailaket selaku orangtua saya,

Isabella Tasirisokut, Lucia Tasirisokut, Rosetta Tasirisokut, Yasinta Sara Kunen, dan Guidorius Tasirisokut

Selaku saudara dan saudari kandung saya,

Serta kepada Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik yang turut serta dalam proses mendampingi perkembangan saya baik dari segi akademis maupun

non akademis.

(5)

v MOTTO

“Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah

hatimu melimpah dengan syukur”

(Kol 2:7)

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Juli 2021 Penulis

Agustinus Tasirisokut

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Agustinus Tasirisokut NIM : 161124058

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI KECERDASAN MAJEMUK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI UNTUK SEKOLAH DASAR KELAS II beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu ijin maupun memberikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 6 Juli 2021 Yang menyatakan

Agustinus Tasirisokut

(8)

viii ABSTRAK

Skripsi berjudul Merancang Strategi Pembelajaran Berbasis Teori Kecerdasan Majemuk pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti untuk Sekolah Dasar Kelas II dipilih oleh penulis untuk menambah kajian pembelajaran berdasar pada kecerdasan peserta didik dalam pembelajaran Pendidikan Agama Katolik. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa setiap peserta didik memiliki potensi diri yang kadang kala kurang disadari dalam proses pembelajaran. Pendidikan Agama Katolik bukan saja mendidik peserta didik untuk memperoleh informasi atau pengetahuan sebanyak-banyaknya akan tetapi sampai pada penemuan eksistensi diri. Kecerdasan majemuk itu sendiri ialah berbagai kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menyelesaikan permasalahan. Ada beberapa jenis kecerdasan majemuk yakni kecerdasan verbal-linguistik, matematis- logis, kinestetik-badani, ruang-visual, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan eksistensial. Berdasarkan kajian akan kekhasan Pendidikan Agama Katolik dan teori kecerdasan majemuk, ditemukan strategi pembelajaran Pendidikan Agama Katolik berbasis teori kecerdasan majemuk yang meliputi beberapa langkah seperti mengidentifikasi kecerdasan peserta didik di dalam kelas, menganalisis kompetensi dan mengolahnya dalam bahasa kecerdasan yakni kecerdasan eksistensial (spiritual) sebagai tujuan pembelajaran, menentukan kelompok sebagai basis kecerdasan peserta didik, menentukan pendekatan sebagai titik tolak mencapai tujuan pembelajaran, mengembangkan model pembelajaran sebagai alternatif yakni sintesis pusat-pusat dan kateketis, mengembangkan materi berdasar kecerdasan peserta didik yang sudah dikategorisasikan dalam beberapa kecerdasan dominan serta relevan terhadap kompetensi yang mau dicapai, pemilihan media yang murah dan praktis penggunaannya dan relevan dengan tujuan dan kecerdasan peserta didik, serta penilaian pembelajaran yang dikembangkan berdasar jenis kecerdasan peserta didik dan kompetensi dasar.

Kata-kata Kunci: Strategi Pembelajaran, Kecerdasan Majemuk, Pendidikan Agama Katolik.

(9)

ix ABSTRACT

The thesis entitled Designing Learning Strategies Based on Multiple Intelligence Theory in Catholic Religious Education Subjects and Character for Elementary Schools for Grade II was chosen by the author to add learning studies based on the intelligence of students in learning Catholic Religious Education. This is inseparable from the view that every student has self-potential which is sometimes not realized in the learning process. Catholic Religious Education is not only educating students to obtain as much information or knowledge as possible but also to the discovery of self-existence. Multiple intelligences are the various abilities possessed by a person in solving problems. There are several types of multiple intelligences, namely verbal-linguistic, mathematical-logical, bodily-kinesthetic, visual-space, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalistic, and existential intelligences. Based on the study of the peculiarities of Catholic Religious Education and the theory of multiple intelligences, it was found that the learning strategy of Catholic Religious Education based on the theory of multiple intelligences includes several steps such as identifying the intelligence of students in the classroom, analyzing competencies and processing them in the language of intelligence, namely existential (spiritual) intelligence as a goal. learning, determining groups as the basis for students' intelligence, determining approaches as a starting point for achieving learning objectives, developing learning models as alternatives, namely the synthesis of centers and catechesis, developing materials based on the intelligence of students that have been categorized into several dominant intelligences and relevant to the competencies they have. to be achieved, the selection of media that is cheap and practical to use and relevant to the goals and intelligence of students, as well as learning assessments that are developed based on the type of intelligence of students ic and basic competencies.

Keywords: Learning Strategies, Multiple Intelligences, Catholic Religious Education.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah, perlindungan, cinta dan rahmat-Nya, sehingga skripsi mengenai

MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI

KECERDASAN MAJEMUK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI UNTUK SEKOLAH DASAR KELAS II ini akhirnya dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Hal itu disebabkan karena keterbatasan waktu, sarana, maupun ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan berupa waktu, nasehat, arahan, maupun motivasi kepada penulis. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. B. A. Rukiyanto, SJ selaku Kaprodi PENDIKKAT Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan kesempatan dan dukungannya kepada penulis selama menjalankan proses perkuliahan di kampus dan sekaligus dosen pembimbing akademik.

2. FX. Dapiyanta, SFK., M.Pd selaku dosen pembimbing utama yang dengan setia membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Segenap Dosen prodi PENDIKKAT, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama proses belajar hingga penyelesaiian skripsi ini.

4. Segenap staf karyawan kampus PENDIKKAT baik Sekretariat, Perpustakaan, dan karyawan lain yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulisan skripsi.

5. Br. Sarju SJ dan P. Hery, SX yang telah memberikan beasiswa kepada penulis hingga penyelesaian skripsi.

(11)

xi

6. Kedua orang tua beserta saudara dan saudari penulis yang senantiasa mendorong, menasehati, mendoakan, dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi.

7. Teristimewa kepada Maria Helena Odi Lamak yang selalu mendukung, mencintai, membantu, memotivasi, dan menyemangati penulis menyelesaikan skripsi.

8. Teman-teman PENDIKKAT angkatan 2016 yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebut satu-persatu oleh penulis yang dengan caranya sendiri-sendiri membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna.

Maka untuk menyempurnakan skripsi ini penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi para pembaca di manapun berada. Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 6 Juli 2021

Agustinus Tasirisokut

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penulisan ... 7

F. Manfaat Penulisan ... 7

G. Metode Penulisan ... 8

H. Sistematika Penulisan... 8 BAB II. KECERDASAN MAJEMUK

(13)

xiii

A. Kecerdasan Majemuk ... 10

B. Jenis-Jenis Kecerdasan Majemuk ... 14

1. Kecerdasan Verbal-Linguistik ... 14

2. Kecerdasan Matematis-Logis ... 15

3. Kecerdasan Ruang-Visual ... 17

4. Kecerdasan Kinestetik-Badani ... 17

5. Kecerdasan Musikal ... 18

6. Kecerdasan Intrapersonal ... 19

7. Kecerdasan Interpersonal ... 20

8. Kecerdasan Naturalistik-Lingkungan... 21

9. Kecerdasan Eksistensial ... 21

10. Kecerdasan Emosional ... 22

11. Kecerdasan Spiritual ... 23

C. Dampak Kecerdasan Majemuk ... 25

1. Kurikulum ... 25

2. Pembelajaran ... 26

3. Pengaturan Kelas ... 27

4. Evaluasi ... 28

D. Kritik Terhadap Kecerdasan Majemuk ... 28

1. Tanggapan Positif... 28

2. Tanggapan Negatif ... 29

BAB III. PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH A. Pendidikan Nasional... 31

B. Katekese ... 33

C. Hakikat PAK di Sekolah ... 35

1. PAK Sekolah sebagai bagian Pendidikan Nasional ... 35

2. PAK Sekolah sebagai bagian Pendidikan Iman ... 37

D. Tujuan PAK di Sekolah ... 38

E. Ruang Lingkup Bahan PAK di Sekolah... 43

F. Pendekatan dalam PAK Sekolah ... 46

(14)

xiv

BAB IV. STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN MAJEMUK DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

A. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik ... 52

1. Definisi Strategi Pembelajaran ... 52

2. Pengembangan Strategi Pembelajaran PAK ... 54

B. Contoh Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk dalam Pendidikan Agama Katolik di Sekolah ... 80

1. Analisis Kompetensi Dasar ... 82

2. Analisis Keadaan Awal Peserta Didik ... 84

3. Strategi Pembelajaran... 86

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Orang Tua dan Anak ... (1)

Lampiran 2. Sinopsis Hellen Keller ... (2)

Lampiran 3. Puzzle Tafsiran Kitab Suci ... (3)

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Survei Kecerdasan... 62

Tabel 2. Contoh Hasil Survei Kecerdasan ... 63

Tabel 3. Pengelompokkan Kecerdasan ... 63

Tabel 4. RPP Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk ... 81

Tabel 5. Survei Kecerdasan... 85

Tabel 6. Pengelompokkan Peserta Didik Berdasarkan Kecerdasan.. 85

Tabel 7. Pelaksanaan Pembelajaran ... 91

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Dokumen Gereja

GE : Gravissimum Educationis, Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983.

B. Singkatan-Singkatan Lain BP : Budi Pekerti

EQ : Emotional Quetiont IQ : Intelligent Quetiont

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KM : Kecerdasan Majemuk

MI : Multiple Intelliegnces PAK : Pendidikan Agama Katolik

PLP-KP : Pengenalan Lapangan Persekolahan Pengelolaan Pembelajaran PLP-RP : Pengenalan Lapangan Persekolahan Perencanaan Pembelajaran RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

SD : Sekolah Dasar SQ : Spiritual Quetiont

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan fundamental bagi semua orang tanpa terkecuali. Melalui pendidikan membantu dan mengarahkan hidup seseorang kearah yang lebih baik. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab I pasal (1) alinea (1) dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari pemahaman di atas, pendidikan diselenggarakan, pertama untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran. Suasana belajar menjadi salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menunjang pendidikan (terutama dalam pembelajaran). Suasana belajar yang dimaksud ialah harus menyenangkan, menggembirakan, jauh dari keramaian, nyaman, sejuk serta ruangan ditata dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Sehingga, sekolah yang nyaman, aman, sejuk dan menyenangkan bagi peserta didik akan menumbuhkan kesejahteraan bagi peserta didik, dapat tumbuh dan berkembang secara sehat serta dapat menumbuhkan kepercayaan dan harga diri. Maka, dengan suasana belajar yang baik akan menciptakan proses pembelajaran yang efektif dan efesien.

(18)

Sedangkan proses pembelajaran merupakan interaksi aktif antara guru dengan peserta didik dan sumber belajar dalam sebuah lingkup belajar.

Kedua, pelaksanaan pendidikan membantu para peserta didik secara aktif mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Penyelenggaraan pendidikan bukannya tidak memiliki maksud dan tujuan. Pendidikan menjadi salah satu cara untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang hebat, unggul dan sukses. Maka, untuk menghasilkan pribadi semacam itu, pendidikan tidak lagi memberikan stimulus, tetapi mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki (Chotimah & Fathurrohman, 2018: 38). Guru tidak lagi memandang peserta didik sebagai obyek pembelajaran melainkan subyek pembelajaran yang harus diasah dan diberdayakan. Kak Seto (2000: 86-87) dalam tulisannya “Pendidikan dan Masalah Perkembangan Anak”

mengatakan bahwa peserta didik bukan orang dewasa mini, tapi mereka hidup dalam dunia bermain, sedang berkembang, senang meniru, dan berciri kreatif.

Dalam proses pendidikan, guru tidak lagi memusatkan perhatiannya pada penyampaian atau transfer ilmu dari buku ke guru dan dari guru ke peserta didik.

Sudjana (2005: 3), mengatakan pihak pendidik (pembimbing, pengajar atau pembelajar, pelatih, pamong belajar) berperan untuk membantu peserta didik melakukan belajar yang berdaya guna dan berhasil guna, sedangkan pihak peserta didik (siswa, warga belajar, peserta latihan) melakukan kegiatan belajar. Peran guru yang seringkali mendominasi proses pembelajaran perlu dikurangi dan menempatkan peserta didik sebagai titik sentral dalam pelaksanaan pembelajaran.

Jika hal itu dihiraukan mengakibatkan keterlibatan yang dangkal akan membentuk

(19)

peserta didik menjadi pasif, tidak bersemangat karena tidak dapat mengeksplorasikan dirinya sendiri secara bebas, aktif, dan kreatif.

Tugas utama guru dalam pembelajaran pada prinsipnya hanyalah fasilitator dan motivator bukan pengkotbah atau penceramah. Oleh karena itu, dibutuhkan guru yang kreatif, terampil, mumpuni, dan inovatif untuk mengembangkan dan mengelolah pelaksanaan pembelajaran. Menjadi guru bukan hanya sekedar jabatan apalagi menjadi sarana untuk memperbaiki hidup finansial. Guru adalah profesi yang mulia sebab melahirkan peserta didik yang intelektual, berakhlak mulia, cerdas, beriman, sehat, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (UU RI No. 20 Tahun 2003 bab 1 pasal 1 alinea 1).

Oleh karena itu, pemahaman dan pengenalan akan karakteristik peserta didik perlu dilakukan baik dari segi bakat, talenta maupun kecerdasan. Tujuannya untuk memudahkan guru merancang strategi pembelajaran. Salah satunya ialah kecerdasan (inteligensi). Kecerdasan jenisnya benarekaragam. Kecerdasan itu ada dalam diri setiap peserta didik dan sudah tertanam sejak mereka dilahirkan. Inilah yang perlu dioptimalkan di dalam proses pembelajaran. Guru tidak begitu saja menyeragamkan peserta didik apalagi mengajar dengan satu cara untuk keseluruhan. Namun yang terjadi sampai saat ini masih mengandalkan prinsip pembelajaran klasik. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika terjadi diskriminasi atau membanding-bandingkan antara peserta didik yang pintar dengan yang bodoh, malas dan rajin, nilai tinggi dan rendah dan sebagainya. Keberhasilan belajar peserta didik dalam belajar tidak di latarbelakangi oleh tahu atau tidak tahu, aktif

(20)

atau tidak aktif, cerdas atau tidak cerdas, dan lain-lain. Tapi gaya pengajaran guru yang mungkin tidak sesuai dengan gaya belajar masing-masing peserta didik.

Maka, yang perlu diketahui oleh guru ialah setiap peserta didik cerdas dan tidak ada yang bodoh. Bukannya peserta didik aktif dan tidak aktif belajar, tidak menyimak atau memperhatikan, malas atau rajin, hasil ujian tinggi atau rendah melainkan strategi atau cara mengajar yang kurang sesuai dengan potensial peserta didik.

Guru tidak boleh bersikap dan bertindak dalam menentukan, memaksa atau mengharuskan peserta didik belajar dengan cara guru akan tetapi gurulah yang menyesuaikan dengan keadaan peserta didik. Sebab, tidak semua peserta didik memiliki kecerdasan yang sama dengan kecerdasan guru. Penyebab salah satunya yakni guru masih terfokus pada prinsip generalisasi terhadap kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik. Adanya generalisasi memberikan dampak buruk bagi potensi yang dimiliki peserta didik yaitu kesempatan dalam mengembangkan kecerdasan yang dimiliki tidak begitu maksimal.

Dengan demikian, disinilah fungsi keberadaan strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Teori yang dikemukakan pertama kali oleh Howard Gardner pada tahun 1983 dalam sebuah bukunya yang berjudul Frames of Mind (Paul Suparno, 2004: 17). Menurutnya pembelajaran klasik terlalu berfokus pada dua jenis kecerdasan yakni kecerdasan verbal (bahasa) dan matematis-logis sedangkan kecerdasan lainnya diabaikan. Padahal, masing- masing peserta didik memiliki jenis kecerdasan yang heterogen. Dalam bukunya itu, Gardner menuliskan tujuh jenis kecerdasan hingga berkembang menjadi sembilan jenis kecerdasan. Teori kecerdasan majemuk pada prinsipnya berupaya

(21)

untuk mengoptimalisasikan dengan baik fungsi otak pada manusia. Adanya strategi pembelajaran KM membantu peserta didik dapat belajar sesuai dengan jenis kecerdasannya. Teori kecerdasan majemuk bukan hanya mengakui perbedaan individual demi tujuan-tujuan praktis, misalnya pengajaran dan penilaian, tetapi juga menganggap serta menerimanya sebagai suatu yang normal, wajar bahkan manarik dan sangat berharga (Julia Jasmine, 2007: 12). Maka, bila peserta didik tidak sanggup dalam kecerdasan matematis-logis jangan dipaksakan kepada peserta didik; atau memaksakan kecerdasan linguistik-verbal; atau musikal maupun kecerdasan lain yang berlawanan dengan jenis kecerdasannya. Dan pembelajaran berdasar KM dapat menghindari pembelajaran yang bersifat monoton, kaku dan membosankan.

Untuk itu, penulis memberi judul skripsi ini, ”MERANCANG STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI KECERDASAN MAJEMUK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI UNTUK SEKOLAH DASAR KELAS II.” Maksudnya ialah supaya guru sebagai pendidik tidak lagi melaksanakan proses pembelajaran dengan satu cara tapi bervariasi sesuai jenis kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik.

Sehingga apa yang disampaikan oleh guru dapat diserap dan diterima oleh otak masing-masing peserta didik dengan mudah.

(22)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun identifikasi masalah yaitu:

1. Tujuan pendidikan ialah mengembangkan potensi diri peserta didik 2. Diperlukan guru yang kreatif, inovatif, terampil dan mumpuni 3. Pentingnya pengenalan karakteristik peserta didik

4. Semua peserta didik memiliki jenis kecerdasan yang beranekaragam

5. Pentingnya penggunaan strategi pembelajaran berdasar kecerdasan majemuk dalam PAK di sekolah

C. Batasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan yang dapat dikaji penulis membatasi penulisan skripsi ini pada bagaimana merancang strategi pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk pada mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti untuk Sekolah Dasar Kelas II.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan permasalahan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah teori kecerdasan majemuk?

2. Apakah yang dimaksud dengan strategi pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk?

(23)

3. Bagaimana penerapan strategi pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk pada mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di Sekolah Dasar kelas II?

E. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan gagasan tentang teori kecerdasan majemuk.

2. Mendeskripsikan strategi pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk dalam Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti.

3. Merancang sebuah strategi pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk pada pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di Sekolah Dasar kelas II.

F. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Memberikan sumbangan wawasan baru tentang merancang strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk pada mata pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di sekolah.

(24)

2. Secara Praktis a. Bagi Guru

Membantu merancang sebuah strategi pembelajaran secara khusus pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk sebagai pedoman untuk pembelajaran PAK di sekolah.

b. Bagi peserta didik

Membantu peserta didik untuk belajar secara aktif berdasar jenis kecerdasan yang dimiliki dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti di sekolah.

G. Metode Penulisan

Tulisan ini berupa studi pustaka (library research). Di mana sumber informasi yang didapat berasal dari hasil kajian buku-buku kepustakaan yang ada.

Metode penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif interpretatif untuk mengemukakan dan menyampaikan pemikiran para ahli lewat studi pustaka, serta menjelaskan dan memaknainya. Berdasarkan judul penulisan, penulis akan merancang strategi pembelajaran berdasar kecerdasan majemuk dan memaknainya sebagai inspirasi bagi guru agama Katolik dalam melaksanakan proses pembelajaran PAK di sekolah.

H. Sistematika Penulisan

Tulisan ini mengambil judul “Merancang Strategi Pembelajaran Berbasis Teori Kecerdasan Majemuk Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Dan

(25)

Budi Pekerti untuk Sekolah Dasar Kelas II”. Dengan judul ini, penulis berusaha untuk menggali arti strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk sebagai strategi baru bagi guru agama Katolik dan penerapannya dalam pembelajaran PAK di sekolah. Maka, untuk mencapai maksud tersebut, adapun pembahasan dalam penulisan ini ialah sebagai berikut:

Bab I pendahuluan yang mencangkup: latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II kecerdasan majemuk yang meliputi: kecerdasan majemuk: latar belakang dan dasar teoretis kecerdasan majemuk, jenis-jenis kecerdasan majemuk, dampak kecerdasan majemuk, dan kritik terhadap kecerdasan majemuk.

Bab III tentang Pendidikan Agama Katolik di Sekolah yang meliputi:

pendidikan nasional, katekese, hakikat PAK di sekolah meliputi: PAK sekolah sebagai bagian pendidikan nasional dan PAK sekolah sebagai bagian pendidikan iman, tujuan PAK di sekolah, ruang lingkup bahan PAK di sekolah, dan pendekatan dalam PAK sekolah.

Bab IV strategi kecerdasan majemuk dalam Pendidikan Agama Katolik yang meliputi strategi pembelajaran: definisi strategi pembelajaran dan pengembangan strategi pembelajaran, contoh penerapan strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah.

Bab V berisi penutup yang mencangkup kesimpulan dan saran.

(26)

BAB II

KECERDASAN MAJEMUK (Multiple Intelligences)

Pada bab ini penulis akan menjabarkan mengenai kecerdasan majemuk yang di dalamnya terdapat beberapa hal tentang kecerdasan majemuk meliputi: latar belakang dan dasar teoretis KM, jenis-jenis KM, dampak KM, dan kritik terhadap teori KM.

A. Latar Belakang dan Pengertian Kecerdasan Majemuk

Kecerdasan majemuk (multiple intelligences) merupakan salah satu teori belajar yang dikemukakan seorang pakar psikologi dan pendidikan dari Graduate School of Education, Hardvard University, Amerika Serikat bernama Howard Earl Gardner. Ia lahir 11 Juli 1943 di Scranton, Pennsylvania. Gagasan tentang kecerdasan mulai ditulis dalam buku pertamanya “Frame of Mind” tahun 1983.

Dalam buku tersebut Gardner menjelaskan tujuh (7) jenis kecerdasan yakni kecerdasan verbal-linguistik, matematik-logik, badaniah-kinestetik, visual-spasial, berirama-musik, interpersonal dan intrapersonal. Pada tahun 1999 dalam bukunya yang berjudul “Intelligence Reframed”, Gardner menambahkan 2 kecerdasan yaitu kecerdasan naturalistik dan kecerdasan eksistensial. Sehingga menjadi sembilan (9) jenis kecerdasan manusia. Namun, kecerdasan eksistensial, Gardner belum sepenuhnya memiliki data autentik untuk menjadikannya bagian dari kecerdasan

(27)

mejemuk. Maka, kecerdasan ini sering dinamakan kecerdasan setengah (half intelligence) atau hipotetik (Muhammad Yaumi, 2013: 132).

Kecerdasan intelektual atau IQ (Intelligence Quotient) telah lama mendominasi dunia psikologi. Kecerdasan intelektual (IQ) banyak dipahami sebagai satu-satunya kemampuan menyelesaikan masalah dan meraih keberhasilan.

Kesimpulan itu berdasarkan penelitian yang dilakukan sebagaian ahli, para psikolog berpendapat bahwa semakin tinggi skor IQ seseorang, semakin tinggi pula kecerdasannya dan mampu menyelesaikan permasalahan. Dan semakin rendah skor IQ seseorang, semakin rendah pula kecerdasannya serta akan sulit memecahkan masalah. Akibatnya menimbulkan perspektif bahwa anak yang memiliki IQ tinggi berarti anak yang cerdas, anak IQ rendah berarti anak yang kurang cerdas (bodoh).

Namun, pernyataan tersebut tidaklah benar. Setiap anak memiliki jenis kecerdasan yang menonjol. Anak dilahirkan ke dunia dengan kekaguman, keingintahuan, spontanitas, vitalitas, fleksibilitas, dan banyak lagi kesenangan lain baginya (Hamzah B. Uno & Masri Kudrat Umar, 2009: 41). Artinya, semua anak yang lahir dikaruniai oleh kecerdasan atau potensi yang beragam (namun belum begitu optimal). Oleh karenanya, kecerdasan intelektual (IQ) bukan satu-satunya patokan untuk menentukan kecerdasan seseorang, mampu menyelesaikan masalah atau tidak, sukses atau tidak sukses dan sebagainya. Sebab setiap orang memiliki kecerdasan yang heterogen untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan yang serba kompleks. Jadi, IQ yang hanya dilihat dari segi kecerdasan linguistik dan matematis-logik tidak menjadi tolak ukur dalam menyelesaikan masalah.

(28)

Bagi Gardner kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang (Linda Campbell dkk, 2006: 2). Dari pemahaman ini, kecerdasan berarti kemampun memecahkan persoalan hidup sehari-hari yang menimbulkan masalah baru yang menuntut penyelesaian sehingga menghasilkan sesuatu. Jadi, kecerdasan mengandung dua hal yaitu kebiasaan seseorang menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving), serta menciptakan produk baru yang memiliki nilai budaya (creativity) (Munif Chatib, 2013: 132).

Muhammad Yaumi (2013: 12) berpandapat bahwa teori kecerdasan majemuk adalah berbagai kemampuan, keterampilan, atau bakat yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Kecerdasan manusia sangat kompleks, tidak hanya berdasar kecerdasan intelektual. Teori ini juga menjadi salah satu perkembangan paling penting dan paling menjanjikan dalam pendidikan dewasa ini. Teori ini meyakini bahwa semua orang memiliki pemikiran dan kecenderungan jenis kecerdasan tertentu dalam diri setiap orang (termasuk peserta didik yang bergelut dalam dunia pendidikan). Sebuah penilaian yang dilihat secara deskriptif bagaimana individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu (Hamzah B. Uno & Masri Kudrat Umar, 2009: 42). Dengan kemampuan dalam beradaptasi terhadap hal-hal yang muncul dari sebuah perubahan dan ketidakpastian lingkungan sekitar yang terjadi disebut juga kecerdasan.

(29)

Teori kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner mendapat banyak respon dari beberapa orang. Dari sembilan jenis kecerdasan yang diungkapkan (terutama berkaitan dengan jenis kecerdasan seperti musik, kinestetik badani, spasial dan lainnya dianggap sebagai talenta atau bakat yang sudah dimiliki sejak seseorang dilahirkan) yang disebut kecerdasan hanyalah kecerdasan verbal- linguistik dan matematis-logis. Maka untuk memberikan landasan teoretis yang kuat terhadap temuannya dan dari hasil penelitian yang dilakukan, Gardner menjelaskan bahwa kemampuan-kemampuan manusia yang dimasukkan dalam kecerdasan majemuk haruslah memenuhi kriteria-kriteria sebagai bagian dari kecerdasan dan tidak hanya bakat. Kriteria yang dimaksud Paul Suparno (2004: 23- 25) yakni terisolasi dalam bagian otak tertentu, kemampuan itu independen, memuat satuan operasi khusus, memiliki sejarah perkembangan sendiri, berkaitan dengan sejarah evolusi zaman dulu, dukungan psikologi eksperimental, penemuan psikometrik, dan dapat disimbolkan.

Dari kriteria-kriteria kecerdasan di atas, Gardner memiliki konsep tersendiri yang berbeda dengan kriteria kecerdasan majemuk (Suyadi & Dahlia, 2014: 83), yaitu semua kecerdasan berbeda-beda, tapi semuanya sederajat; semua kecerdasan dimiliki setiap orang dalam kadar yang sama; memiliki indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan, semua kecerdasan yang berbeda akan saling bekerja sama dalam mewujudkan aktivitas manusia; semua jenis kecerdasan tersebut ditemukan di semua lintas kebudayaan di seluruh dunia dan kelompok usia; tahapan alami setiap kecerdasan dimulai dengan kemampuan membuat pola dasar; saat dewasa kecerdasan diwujudkan dalam rentang pengejaran profesi dan hobi; dan jika

(30)

seorang anak berbeda kondisi “berisiko” sehingga apabila mereka tidak mendapatkan bantuan khusus, mereka akan mengalami kegagalan dalam tugas- tugas tertentu yang melibatkan kecerdasan tersebut.

B. Jenis-Jenis Kecerdasan Majemuk

Kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh Gardner mengandung 9 jenis kecerdasan (seperti yang telah disebutkan di atas). Gardner dalam bukunya yang berjudul “Frames of Mind” pada tahun 1983, dan didukung dalam bukunya yang berjudul “Theory of Multiple Intelligences” menyebutkan 7 jenis kecerdasan (dalam Linda Campbell dkk, 2006: 2) dan dalam bukunya, M. Yaumi dan N.

Ibrahim (2013: 13-24) mendefinisikan 9 jenis kecerdasan. Berikut penjelasan 9 jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner.

1. Kecerdasan Verbal-Linguistik (linguistic intelligence)

Kecerdasan verbal-linguistik adalah kemampuan dalam berbahasa.

kemampuan untuk berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Orang yang memiliki kecerdasan linguistik tinggi biasanya suka mengajukan banyak pertanyaan, suka bicara, memiliki banyak kosakata, suka membaca dan menulis, memahami fungsi bahasa, dan dapat berbicara tentang keterampilan bahasa (Paul Suparno, 2004: 25- 28). Singkatnya, kemampuan verbal-linguistik adalah kemampuan dalam menulis, membaca, berdialog atau diskusi serta berargumentasi. Area otak tempat kecerdasan verbal linguistik ialah lobus temporal kiri dan lobus frontal (area broca dan wernicke).

(31)

Rina Roudhotul Jannah, dkk (2018: 9), menggambarkan peserta didik yang memiliki kecerdasan linguistik biasanya senang mendengar serta merespon setiap suara ritme, warna, dan berbagai ungkapan kata; suka menirukan suara, bahasa, membaca, dan menulis dari orang lainnya; menyimak, membaca termasuk mengeja, dan menulis; menyimak secara efektif, memahami, menguraikan, menafsirkan dan mengingat apa yang diucapkan.

Maka tak mengherankan jika memperlihatkan kemampuan menguasai bahasa, berinteraksi dengan baik (berkomunikasi, berdiskusi, menjelaskan, mempengaruhi) serta mampu menciptakan pengetahuan, menyusun makna serta menggambarkan bahasa itu sendiri. Contoh karier yang sesuai dengan kecerdasan linguistik ialah penyair, wartawan, jurnalis, ilmuwan, novelis, pemain komedi atau film, pemain drama, pengacara, penceramah/pengkhotbah, pelatih, guide, guru, dosen, dan sebagainya.

2. Kecerdasan Logis-Matematik (Logical-mathematical Intelligence)

Kecerdasan matematik-logis ialah kemampuan yang berkenaan dengan rangkaian alasan, mengenal pola-pola dan aturan (Yaumi, 2014: 136). Kecerdasan logika-matematika merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi matematis. Biasanya orang yang memiliki kecerdasan logika-matematika tinggi suka bermain dengan angka/bilangan, suka menghitung, suka untuk diatur, baik dalam problem solving, mengenal pola-pola, menyukai permainan matematika, melakukan percobaan dengan logis, berpikir abstrak, suka komputer, suka teka-teki, dan lain-lain (Paul Suparno, 2004: 28-30).

(32)

Kecerdasan matematis-logis mencangkup tiga bidang utama yaitu matematika, ilmu pengetahuan (sains) dan logika (Rina Roudhotul Jannah, dkk, 2018: 140). Dalam kecerdasan ini memungkinkan peserta didik untuk berpikir secara deduktif dan induktif, menggunakan logika dalam berpikir untuk memecahkan sebuah permasalahan. Kecerdasan matematis disebut sebagai kecerdasan logis karena menjadi dasar dalam memecahkan masalah dengan memahami prinsip-prinsip yang mendasari sistem kausal atau dapat memanipulasi bilangan, kuantitas, dan operasi (Suyadi & Dahlia, 2014: 87). Letak kecerdasan ini berada pada lobus frontal kiri dan pariental kanan.

Adapun indikator kecerdasan matematis-logis yaitu dapat menghitung angka di luar kepala dengan mudah dan tepat; menyukai bidang matematika dan/atau ilmu eksak; senang bermain game atau memecahkan teka-teki yang menuntut penalaran dan berpikir logis; membuat eksperimen dari sebuah pertanyaan; selalu mencari pola, keteraturan, atau urutan logis dalam berbagai hal;

tertarik pada perkembangan baru dalam bidang sains; pada banyak hal yang melibatkan penjelasan rasional; berpikir dengan konsep yang jelas, abstrak, tanpa kata dan gambar; peka terhadap kesalahan penalaran dalam perkataan dan tindakan orang; senang apabila segala sesuatu diukur, dikategorikan, dianalis, atau dihitung jumlahnya dengan cara tertentu (Rina Roudhotul Jannah, dkk, 2018: 142).

Contoh karier yang cocok dengan kecerdasan ini ialah para ilmuan, insinyur, arsitek, programmer komputer, pekerja konstruksi, analisis anggaran, akuntan, perajut, dan sebagainya.

(33)

3. Kecerdasan Visual-Spasial (Spatial Intelligence)

Kecerdasan visual-spasial memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan, mengemudikan diri sendiri dan obyek melalui ruangan, dan menghasilkan atau menguraikan informasi grafik (Paul Suparno, 2004: 31).

Kecerdasan visual-spasial ialah kecerdasan yang dikaitkan dengan bakat seni, khususnya seni lukis dan seni arsitektur. Mereka memiliki kepekaan pada garis, warna, bentuk, ruang, keseimbangan, bayangan harmoni, pola, dan hubungan antar unsur.

Area otak untuk kecerdasan visual-spasial berada di bagian belakang hemisphere kanan, lobus oksipital, dan bagian posterior belahan kanan. Orang yang cerdas visul-spasial senang merancang atau membuat gambar, desain, dan peka terhadap citra dan warna; pandai memvisualisasikan ide dan imajinasi aktif; mudah menemukan jalan dalam ruang, mempunyai persepsi yang tepat dari berbagai sudut, dan senang membuat rumah-rumahan dari blok; dan mengenal relasi benda-benda dalam ruang (Rina Roudhotul Jannah, dkk, 2018: 53).

Contoh karier yang sesuai ialah arsitek, artis, pemahat, pemotret, perencana strategik, tukang kebun, pengukir, dokter bedah, montir, tukang cat, tukang kayu, cameramen, penari, atlet, dan lain-lain.

4. Kecerdasan Kinestetik-Badani (Bodily-kinesthetic Intelligence)

Kecerdasan jasmaniah-kinestetik memungkinkan seseorang untuk menggerakkan obyek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus. Kecerdasan jasmaniah-kinestetik ialah kemampuan untuk menggunakan seluruh tubuh dalam

(34)

mengespresikan ide, perasaan, dan menggunakan tangan untuk menghasilkan atau mentransformasi sesuatu (Yaumi, 2014: 135). Kecerdasan kinestetik disebut juga kecerdasan olah tubuh karena dapat merangsang kemampuan seseorang untuk mengolah tubuh secara ahli atau mengekspresikan gagasan maupun emosi melalui gerakan badan.

Wilayah kecerdasan kinestetik dalam otak ialah serebrum, basal ganglia, dan korteks di kedua belahan otak (hemisphere). Proses kerja kecerdasan ini diawali dengan menangkap informasi yang datang, lalu disampaikan ke otak kemudian ke tangan, dari tangan mencoba untuk menyusun blok kecil tersebut, bisa menyusun ke atas atau samping dengan warna yang berbeda-beda sehingga terjadi penyatuan gerak dari pikiran ke anggota badan (Rina Roudhotul Jannah, dkk, 2018: 271).

Orang yang memiliki kecerdasan ini identik dengan tampak aktif, suka bergerak, memiliki kekuatan otot, terlibat kegiatan fisik seperti berolahraga, senam, menari, joget; dan unggul dalam berbagai kompetisi non akademik.

Contoh karier yang pantas ditekuni ialah penari, atlet, aktor, pelatih, interpreter bahasa isyarat, ahli bedah, artisan, dan lain-lain.

5. Kecerdasan Berirama-Musik (Musical Intelligence)

Kecerdasan musik adalah kapasitas berpikir dalam musik untuk mampu mendengarkan pola-pola dan mengenal serta mungkin memanipulasinya (Yaumi, 2014: 136). Kecerdasan musik ialah kecerdasan yang kelihatan pada seseorang yang memiliki sensitivitas dalam pola titinada, melodi, ritme, dan nada. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan musikal ialah mendengarkan pola-pola, bersenandung, memainkan sesuatu dengan irama, mampu membedakan bunyi-

(35)

bunyi, menguasai tangga nada, suka bernyanyi, bagus dalam mengambil nada, mengingat melodi, memiliki tarik suara yang bagus, pintar memainkan alat musik, berbicara, bergoyang mengikuti syair serta memberi respon secara emosional pada musik yang didengarkan (Paul Suparno, 2004: 36-38).

Dengan kata lain, orang yang cerdas musikal sangat menikmati dan mencari kesempatan mendengarkan musik atau lagu; senang menciptakan lagu; mengenali dan mendiskusikan berbagai bentuk gaya musik; memiliki koleksi musik atau lagu yang benarekaragam; mengembangkan kemampuan bernyanyi; cepat menganalisis jenis sebuah lagu; mampu mengaransemen lagu; tertarik pada karier sebagai penyanyi atau pemain musik; serta mampu menciptakan komposisi asli dan atau instrumen musik. Area kecerdasan musikal berada di lobus temporal kanan. Contoh karier yang cocok ialah seorang musisi, pengamat musik, pencipta lagu, konduktor, dan sebagainya.

6. Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence)

Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut (Yaumi, 2014: 137). Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang.

Komponen inti dari kecerdasan intrapersonal ialah kemampuan dalam memahami diri yang akurat meliputi kekuatan dan keterbatasan diri, kecerdasan akan suasana hati, maksud, motivasi, temparamen, dan keinginan (Yaumi, 2014:

137). Kecerdasan intrapersonal berarti kecerdasan dunia batin, kecerdasan yang

(36)

bersumber pada proses pemahaman diri secara menyeluruh guna menghadapi, merencanakan, dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.

Komponen inti dari kecerdasan ini ialah kemampuan dalam membedakan emosi, kehendak, sifat, berdisiplin diri dan menghargai diri. Area kecerdasan intrapersonal berada di lobus frontal, lobus parietal, dan sistem limbic. Orang yang memiliki tingkat kecerdasan intrapersonal tinggi biasanya selalu menunjukkan sikap menyendiri, memiliki kemauan kuat, tidak suka membual, suka mencoba hal baru, menikmati ketika melakukan kegiatan sendiri, jarang meminta pertimbangan dari teman, dan cenderung mengingat peristiwa yang melibatkan kesalahan diri sendiri; mampu menyatakan perasaan, penilaian, dan idenya kepada orang lain.

Kecerdasan intrapersonal terdapat pada ahli terapi, penyair, motivator, psikolog, filsuf, pemimpin spiritual, dan lain sebagainya.

7. Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence)

Kecerdasan interpersonal ialah kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi dan keinginan orang lain, serta kemampuan memberikan respons secara tepat terhadap suasana hati, tempramen, motivasi dan keinginan orang lain (Yaumi, 2014: 135). Jadi, kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif.

Komponen inti kecerdasan interpersonal ialah kemampuan mencerna, dan menanggapi dengan tepat berbagai suasana hati, maksud, motivasi, perasaan dan keinginan orang lain di samping kemampuan untuk bekerjasama (Paul Suparno, 2004: 39). Area otak untuk kecerdasan interpersonal ialah lobus frontal, lobus temporal, hemisphere kanan dan sistem limbic. Contoh orang yang memiliki

(37)

kecerdasan interpersonal seperti guru atau dosen, konsultan, organisatoris, diplomat, peneliti dan ilmuan sosial, aktivis, pemimpin agama, negosiator, mediator, dan sebagainya.

8. Kecerdasan Naturalistik/Lingkungan (Naturalistic Intelligence)

Kecerdasan naturalistik adalah kemampuan dalam melakukan kategorisasi dan membuat hierarki terhadap keadaan organisme seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam (Yaumi, 2014: 136). Orang yang mempunyai kecerdasan naturalistik ialah senang dengan alam dan binatang (mendekati, memegang, mengelus, dan suka memelihara). Jadi kecerdasan naturalistik ialah keahlian mengenali dan mengategori spesies baik flora maupun fauna, lingkungan dan kemampuan mengolah dan memanfaatkan alam dan melestarikannya.

Selain itu juga anak yang memiliki kecerdasan naturalistik memiliki ciri- ciri, seperti akrab dengan hewan, binatang, dan tumbuhan; senang menjelajah di alam terbuka/kebun binatang, atau museum; senang berkebun atau bertani, suka memelihara berbagai jenis binatang, memiliki kesadaran ekologis, dan sebagainya (Paul Suparno, 2004: 42-43). Pengembangan karier yang cocok dengan kecerdasan ini dapat diarahkan untuk menjadi ilmuan pertanian, ahli geologi, ahli biologi, astronaut, ahli perikanan dan kelautan, nahkoda kapal, pelaut, pemancing, petani, aktivis alam, pendaki gunung, dan lain-lain.

9. Kecerdasan Eksistensial (Eksistencial Intelligence)

Kecerdasan eksistensial ialah kapasitas hidup manusia yang bersumber dari hati yang dalam (inner-capacity) yang terilhami dalam bentuk kodrat untuk dikembangkan dan ditumbuhkan dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup

(38)

(Yaumi, 2014: 138). Kecerdasan eksistensial ialah kesadaran terhadap hakikat atau keberadaan diri yang mendorong hadirnya pandangan luas terhadap kehidupan, memiliki pemahaman akan tujuan hidup dan nasib dimasa depan.

Kecerdasan eksistensial merujuk pada kesadaran terhadap eksistensi diri akan membawa dampak yang berharga bagi munculnya keinginan untuk mengakui keberadaan yang lain. Kebermaknaan yang merujuk pada sesuatu yang dapat bermakna kalau dapat memberi nilai dan gagasan-gagasan yang segar. Jadi, kecerdasan eksistensial ialah penyerahan diri sepenuhnya kepada suatu kekuatan yang dapat mengatur seluruh alam beserta isinya. Oleh karena itu kecerdasan spiritual dapat mengantar orang menjadi ilmuan, pimpinan, pendidik sejati.

10. Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)

Setelah kecerdasan intelektual (IQ) dipahami sebagai satu-satunya dapat memecahkan permasalahan, muncullah kecerdasan emosional. Di mana kesuksesan atau keberhasilan juga berpengaruh pada EQ (emotional quotiet) atau inteligensi emosi. Kecerdasan emosional disampaikan pertama kali oleh Peter Salovey dan John Mayer tahun 1990. Namun, tahun 1995 Daniel Jay Goleman, seorang psikolog dan penulis kenamaan dalam sebuah bukunya “Emotional Intelligence-why it can matter more than IQ” mulai menyebar luas dan dikenal orang banyak. Dari pandangannya, Goleman menjelaskan keterampilan yang berkaitan dengan inteligensi emosi ialah memahami pengalaman emosi pribadi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain dan mengembangkan hubungan dengan orang lain (dalam Monty P. Satiadarma & Fidelis E. Waruwu, 2003: 33).

(39)

Pentingnya kecerdasan emosional memberi kita rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat (Danah Zohar & Ian Marshall, 2007: 3). Kecerdasan emosi menyangkut cara kita berpikir asosiatif, terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan untuk menganali berbagai pola emosi. Dengan kecerdasan emosi kita dapat mengendalikan, mengola, mengontrol dan menerima perasaan atau emosi baik diri sendiri maupun orang lain. Jadi, kecerdasan emosi sangat berguna dan berpengaruh bagi kesuksesan seseorang, terutama bagi peserta didik. Dengan kecerdasan emosi dapat mengendalikan diri.

11. Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence)

Kecerdasan spiritual mulai diperkenalkan oleh pasangan suami isteri Danah Zohar dan Ian Marshall. Menurut mereka kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain (dalam Wahab & Umiarso, 2016: 49).

Dari pengertian tersebut, kecerdasan spiritual berarti kemampuan menghadapi berbagai persoalan dan menempatkan perilaku serta hidup dalam konteks yang lebih bermakna, luas dan kaya. Seperti yang dikatakan oleh Lieke J. Wisnubrata (2002: 19) dalam tulisannya pada buku “Kecerdasan Spiritual, Religiusitas yang Memerdekakan, dan Masyarakat Sejahtera”, bahwa kecerdasan spiritual berkaitan dengan cara berpikir kreatif, penuh insight, intuitive, rule making (membuat aturan), rule breaking (tekanannya bukan pada segi melanggar aturan atau hukum

(40)

yang ada, melainkan lebih kearah rule bending, karena ada suatu cara pemecahan yang lain; suatu alternatif pemecahan lain. Jadi, kecerdasan spiritual disebut juga

“Unitive Thinking” (menyatukan).

Kecerdasan spiritual tidak sama dengan agama. Meskipun mengandung kata spiritual. Kecerdasan spiritual lebih kepada kemampuan untuk menemukan makna dan menghasilkan nilai. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa (Danah Zohar & Ian Marshall, 2007: 8). Artinya bahwa adanya kecerdasan spiritual membantu membangun dan menyembuhkan jati diri secara utuh (intelektual, emosional, dan spiritual), mampu membedakan, memberi rasa moral. Kecerdasan spiritual juga berpengaruh pada hubungan, secara vertikal berhubungan dengan relasi dengan Tuhan Pencipta dan secara horizontal hubungan relasi dengan sesama dan alam semesta. Lebih lanjut Zohar dan Marshall mengatakan bahwa kecerdasan spiritual mampu memfasilitasi suatu dialog antara akal dan emosi, antara pikiran dan tubuh; menyediakan titik tumpu bagi pertumbuhan dan perubahan;

menyediakan pusat pemberi makna yang aktif dan menyatu bagi diri.

Kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner yang mencangkup sembilan kecerdasan merupakan varian dari kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ) serta pengaturan saraf ketiganya (Danah Zohar & Ian Marshall, 2007: 4). Artinya bahwa kecerdasan majemuk adalah bagian dari tak terpisah dari ketiga kecerdasan (IQ, EQ dan SQ). Gardner memberikan perspektif yang lebih kaya yang menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kecerdasan yang menonjol dan tidak hanya satu. Semua kecerdasan yang dimiliki dapat dikembangkan dan memiliki fungsi tersendiri. IQ, EQ atau SQ saling

(41)

berpengaruh. Misalnya saja, peserta didik yang memiliki IQ tinggi tetapi EQ dan SQ rendah, maka belum tentu orang tersebut bisa sukses, atau peserta didik yang memiliki EQ tinggi tapi IQ dan SQ rendah juga belum tentu berhasil, dan begitu pula sebaliknya. Jadi, kecerdasan majemuk merupakan bagian integral dari kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

C. Dampak Kecerdasan Majemuk

Keberadaan teori kecerdasan majemuk mampu memberikan dampak dan mendobrak sistem pendidikan yang ada, secara khusus dalam sistem pembelajaran.

Dalam buku Suparno mengenai “Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah” (2004: 51-64), menguraikan beberapa dampak dari keberadaan kecerdasan majemuk, sebagai berikut.

1. Kurikulum

Kurikulum dipahami sebagai semua pengalaman yang direncanakan untuk dialami siswa di dalam proses pendidikan. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancang secara sistematik atas dasar norma- norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan (Chomaidi & Salamah, 2018: 32). Dalam sebuah kurikulum berisi sebuah komponen pengembangan kurikulum berupa tujuan, isi, metode/strategi, dan evaluasi.

(42)

Dalam teori kecerdasan majemuk, pemilihan materi dilakukan lewat berbagai jenis kecerdasan yang ada. Cara terbaik untuk menyampaikan pengembangan kurikulum menggunakan teori kecerdasan majemuk ialah dengan berpikir tentang bagaimana seseorang dapat menterjemahkan materi yang akan diajarkan dari satu kecerdasan ke kecerdasan lainnya (Thomas Armstrong, 2013:

70). Terdapat tujuh langkah untuk membuat rencana pelajaran atau unit kurikulum dengan kecerdasan majemuk yaitu fokus pada tujuan atau topik tertentu, ajukan pertanyaan-pertanyaan kunci tentang kecerdasan majemuk, pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, bertukar pikiran, pilih aktivitas yang sesuai, atur rencana yang berurutan dan melaksanakan rencana tersebut.

2. Pembelajaran a. Guru

Model pembelajaran klasik yang dilakukan oleh guru dengan cara ceramah dan menjelaskan tidak dapat membantu peserta didik untuk belajar secara optimal.

Apalagi guru menjelaskan suatu materi dengan satu inteligensi yang sama.

Sehingga membuat peserta didik yang tidak sesuai dengan inteligensi tersebut tidak menangkap materi atau topik dengan baik. Maka, peran kecerdasan majemuk ialah membantu mengoptimalkan kecerdasan peserta didik dan membantu mereka belajar secara aktif berdasar kecerdasan yang menonjol.

b. Peserta Didik

Keberadaan kecerdasan majemuk membantu peserta didik belajar secara aktif serta meningkatkan prestasi belajar sesuai sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Dengan gaya belajar yang dimiliki, peserta didik akan merasa puas

(43)

terhadap proses pembelajaran. Misalnya saja, peserta didik yang memiliki kecerdasan musikal akan lebih mudah mempelajari sebuah materi jika disampaikan dengan cara musik, atau peserta didik yang memiliki kecerdasan interpersonal, akan lebih mudah mempelajari dan memahami materi jika disampaikan dengan cara bekerja kelompok. Selain itu juga peran kecerdasan majemuk difungsikan untuk membantu para peserta didik belajar untuk mengembangkan inteligensi yang dimiliki.

c. Pendekatan dan Peralatan Kelas

Di dalam proses pembelajaran perlu bervariasi, hal itu berkenaan dengan peserta didik yang juga memiliki tingkat kecerdasan yang benarekaragam. Maka, dengan pembelajaran yang bervariasi, berdampak pada ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran di dalam kelas. Untuk itu, sekolah harus mampu mengupayakan dan memaksimalkan fasilitas pembelajaran di sekolah, seperti musik, proyektor, video, ruang belajar kelompok, sarana olahraga, dan lain sebagainya.

3. Pengaturan Kelas

Untuk melaksanakan sebuah pembelajaran berdasar kecerdasan majemuk, akan memberikan dampak dalam pengaturan kelas. Kelas sering kali hanya diatur dalam satu kedudukan yang tetap atau satu arah. Tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik dalam menerima topik pembelajaran.

Misalnya, ruang kelas dapat diatur dengan bentuk lingkaran, persegi, dikosongkan, dan sebagainya. Hal itu membantu peserta didik untuk belajar secara bebas dan leluasa.

(44)

Selain pengaturan tempat duduk, pengaturan kelas juga tidak hanya dibatasi di dalam gedung sekolah. Tetapi, peserta didik perlu juga belajar di luar sekolah yang memungkinkan kecerdasan lain dapat berkembang. Misalnya saja, mengembangkan inteligensi naturalistik, inteligensi kinestetik-badani, dan kecerdasan lainnya yang membutuhkan pembelajaran di luar sekolah atau kelas.

4. Evaluasi

Menurut Gardner, evaluasi yang tepat haruslah juga menggunakan macam- macam inteligensi yang digunakan dalam pembelajaran. Evaluasi perlu menggunakan model yang memuat sembilan (9) jenis kecerdasan. Evaluasi yang paling sesuai dengan strategi kecerdasan majemuk ialah melihat performa peserta didik dalam kondisi real (nyata). Misal, pentas musik, teater, hitungan, kerja nyata, penyelesaian proyek, praktikum, diskusi, olahraga, dan sebagainya.

D. Kritik Terhadap Kecerdasan Majemuk

Teori kecerdasan majemuk yang di kembangkan oleh Gardner pada tahun 1983 menuai banyak tanggapan dan kritikan dari beberapa orang, terutama para ahli pendidikan dan psikologi. Dari awal, teori Gardner dianggap tidak berangkat dari penelitian lama, tetapi lebih kepada spekulatif. Adapun beberapa tanggapan atau kritik terhadap teori kecerdasan majemuk sebagaimana diungkapkan oleh Paul Suparno (2004: 125-130), yaitu:

1. Tanggapan Positif

Tanggapan positif diwarnai oleh mereka yang mendukung teori kecerdasan majemuk. Berkat teori ini banyak peserta didik yang dulunya tidak berkembang dan

(45)

kesulitan dalam belajar, sekarang justru bisa berkembang dengan baik dan mampu memahami suatu materi. Karena model pembelajaran kecerdasan majemuk lebih berpusat pada peserta didik dari pada guru. Hal itu juga memberikan pengaruh pada proses pembelajaran bersifat klasik. Hal yang sungguh menjadi perhatian utama ialah secara psikologis para peserta didik mengalami bahwa belajar itu sungguh menyenangkan karena menyesuaikan dengan tingkat inteligensinya.

2. Tanggapan Negatif

Sebagian besar, teori kecerdasan majemuk yang dipaparkan oleh Gardner dikritik oleh para ahli pendidikan. Adapun kritikan dari teori Gardner, sebagai berikut:

a. Teori multiple intelligences terlalu menekankan segi intelektual, dari pada perasaan, emosi dalam diri orang.

b. Teori MI bukanlah hal baru, sejak Plato hal ini sudah dipikirkan. Bagi mereka inteligensi musikal, visual, interpersonal, intrapersonal dan sebaginya merupakan kemampuan biasa bukan inteligensi (kecerdasan).

c. Pengertian Gardner tentang inteligensi kurang diartikan secara ketat dan baik.

Karena setiap waktu pasti akan memunculkan inteligensi baru. Bagi mereka, dari sembilan (9) kecerdasan yang ada, disebut inteligensi hanyalah verbal linguistik dan matematis-logis, sedangkan tujuh (7) kecerdasan yang lain hanyalah talenta atau bakat.

d. Teori Gardner kurang eksak (pasti/tentu), kurang saintifik (alamiah), dan terlalu membuka ruang debat.

e. Teori ini juga terlalu ideal, bahkan merupakan utopi (khayalan).

(46)

f. Kurang praktis dilapangan, karena teori ini hanya cocok dalam kelas yang jumlahnya sedikit dan tidak untuk kelas besar

(47)

BAB III

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH

Pada bagian bab ini penulis akan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Katolik di sekolah. Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan bagian integral dari Pendidikan Nasional dan bagian dari Katekese. Sehubungan dengan itu pada bab ini akan diuraikan pendidikan nasional;

katekese; hakikat PAK di sekolah yang meliputi: PAK sekolah sebagai bagian pendidikan nasional dan PAK sekolah sebagai bagian pendidikan iman; tujuan PAK di sekolah; ruang lingkup bahan PAK di sekolah; serta pendekatan PAK di sekolah.

A. Pendidikan Nasional

Pendidikan menjadi kebutuhan hidup bagi semua orang tanpa terkecuali..

Pendidikan membantu setiap orang menjadi pribadi yang berilmu dan berakhlak mulia. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal bab II pasal 3 dikatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Pendidikan perlu diarahkan untuk menghasilkan manusia hebat dengan mengembangkan potensi-potensi dalam diri peserta didik demi kepentingan

(48)

masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan akhir hidup manusia dan sekaligus kebaikan umum masyarakat. Anak-anak dan orang muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, memiliki rasa tanggungjawab, dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial (KHK, Kan. 795).

Pendidikan juga dipahami sebagai usaha bantuan orang dewasa yang diberikan kepada orang yang belum dewasa supaya mengalami perkembangan atau kedewasaan baik dari segi intelektual, sikap, keterampilan, spiritual, emosional, dan sebagainya yang berguna bagi dirinya. Penyelenggaraan pendidikan terdapat beberapa jalur, pertama pendidikan informal yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dalam keluarga dan lingkungan. Kedua, pendidikan formal yaitu pendidikan yang diselenggarakan di sekolah secara terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Ketiga, pendidikan nonformal yaitu pendidikan yang dilaksanakan di luar pendidikan formal.

Dengan demikian, pendidikan berarti sebuah usaha yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat maupun pemerintah lewat proses pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik supaya mengalami perkembangan kecakapan baik dari segi kognitif, afeksi, psikomotorik, keterampilan, spiritualitas serta emosi dalam suasana belajar yang mendukung. Singkatnya pendidikan mengarahkan dan membantu para peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dewasa menjadi dewasa, dan hal-hal lainnya.

(49)

B. Katekese

Katekese berasal dari bahasa Yunani “Catechein” (kata kerja) dan

“”Catechesis” (kata benda). Akar katanya ialah “kat” berarti keluar, ke arah luas dan “echo” berarti gema atau gaung. Maka, makna katekese berarti menggemakan secara meluas atau keluar. Dalam ajaran Agama Katolik yang digemakan atau diwartakan dalam katekese ialah Injil tentang Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah pewarta Kabar Gembira yang utama dan pertama. Ia mewartakan Kerajaan Allah, yang dirumuskan di dalam Injil sebagai Berita Gembira (PUK, Art. 34).

Dalam Catechesi Tradendae (CT. Art. 18) katekese merupakan pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa, khususnya mencangkup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.

Sedangkan menurut Thomas Groome (2010: 40), katekese berarti pembinaan atau menceritakan kembali cerita iman Kristen yang telah diberitahu. Katekese ialah pemakluman Sabda Allah, sebagai bentuk pewartaan. Dari pemahaman ini, katekese dipahami sebagai suatu tindakan atau usaha untuk mengajarkan kembali ajaran Kristiani kepada umat, agar umat mengalami kesatuan hidup dengan Kristus.

Katekese tidak lepas dari pewartaan Injil yang berisi tentang sabda Allah.

Sabda Allah adalah sumber katekese. Sabda itu ialah Yesus Kristus sendiri yang menjadi manusia dan bahwa suara-Nya terus bergema dalam Gereja dan di dunia melalui Roh Kudus (PUK, Art. 94). Maka, Sabda Allah harus memiliki nilai eksistensial artinya sungguh kena akan kenyataan hidup manusia. Berkatekese bukan hanya menafsirkan Injil yang terdapat dalam Kitab Suci dan tersalurkan

(50)

lewat ajaran Gereja tetapi menafsirkan pengalaman sesama, mengajak menggali arti hidup sedalam-dalamnya dalam konteks situasi peristiwa sehingga amanat Allah secara pribadi menyentuh dan mengundang kepatuhan imannya (Huber, 1981: 41).

Inti dalam katekese selalu terikat pada Yesus Kristus. Katekese diberikan untuk mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu (CT, Art. 20).

Lewat firman yang diwartakan, orang Katolik menerima pribadi Yesus Kristus, menyerahkan diri kepada-Nya lewat pertobatan, berusaha mengenal-Nya, mengikuti-Nya serta memberikan kesaksian dalam hidup sehari-hari.

Adisusanto (1995: 3) mengatakan katekese sebagai pendidikan iman.

Artinya katekese merupakan salah satu bentuk karya pewartaan Gereja dengan tujuan membantu umat beriman agar imannya semakin mendalam dan mereka semakin terlibat dalam hidup menggereja dan bermasyarakat baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pendidikan iman sebagai bagian dari katekese berusaha mendidik umat untuk semakin menghayati dan mendalami ajaran Kristus serta semakin mencintai dan mengenal-Nya.

Dalam pendidikan iman meliputi pengenalan akan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan untuk membawa manusia pada perubahan sikap dan tindakan sebagai jalan untuk bersatu dengan Kristus (Marinus Telaumbanua, 2005: 48).

Pendidikan iman sebagai bagian katekese memiliki sumber pesan utama yaitu sabda Allah. Sabda Allah yang terkandung dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci direnungkan dan dimengerti secara mendalam lewat perasaan iman seluruh umat Allah dengan bimbingan magisterium, dirayakan dalam Ekaristi, bersinar dalam

(51)

kehidupan Gereja teristimewa lewat kesaksian Kristiani oleh para kudus, dan diperdalam lewat riset teologis serta dinyatakan dalam nilai-nilai moral dan religius yang asli (PUK, Art. 95). Maka, Gereja harus merenungkan sabda Allah dengan semangat iman yang dalam, mendengarkannya dengan saleh, memeliharanya dengan cinta, dan menjelaskannya dengan setia (PUK, Art. 94).

Pelaksanaan katekese sebagai bagian pendidikan iman ada berbagai macam bentuk seperti katekese sakramental, katekese inisiasi, katekese umat (bagi kaum dewasa untuk segala umur), katekese sekolah, dan lain sebagainya. Namun, dari berbagai macam bentuk katekese yang paling pokok dalam pembahasan ini ialah katekese dalam lingkup sekolah yang terintegral ke dalam bentuk PAK di sekolah.

C. Hakikat Pendidikan Agama Katolik di Sekolah 1. PAK Sekolah sebagai bagian Pendidikan Nasional

Pendidikan Agama merupakan salah satu pendidikan formal. Artinya, pendidikan Agama menyediakan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan Agama di sekolah. Pendidikan Agama perlu terikat pada kurikulum pendidikan secara nasional. Tujuannya ialah berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Peraturan Pemerintah RI No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan).

Salah satu pendidikan Agama yang harus diselenggarakan di sekolah ialah Pendidikan Agama Katolik.

Gambar

Tabel 1. Survei Kecerdasan  No  Kecerdasan  Karakteristik Kecerdasan   1  Verbal-linguistik  ..
Tabel 2. Contoh Hasil Survei Kecerdasan  No  Peserta didik  Jenis Kecerdasan
Tabel 4. RPP Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk
Tabel 5. Survei Kecerdasan  No.  Siswa  Jenis Kecerdasan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, yang penulis maksud dengan judul “Penerapan Strategi Cooperative Learning Dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Panti Asuhan Muhammadiyah Berbasis

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap Manajemen Waktu Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Studi Komperasi

(1) Proses pembelajaran dengan model PBL berbasis etnomatematika pada materi segiempat dilaksanakan dengan membimbing siswa untuk membentuk pemahamannya mengenai segiempat

Hasil penelitian ini adalah pertama, proses pengembangan perangkat pembelajaran berbasis gamifikasi melalui Wordwall terdiri dari enam tahapan, yaitu (1) wawancara

Berdasarkan permasalahan yang ditemukan oleh peneliti di SD Kanisius Jomegatan, model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) perlu dicoba dalam proses pembelajaran

Media Bola Kecil Berwarna Pada Anak Kelompok A Tk Aisyiyah 26 Surabaya ” ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana Pendidikan Program Studi

Skripsi yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achievement Divison (STAD)

Mendeskripsikan contoh rancangan pembelajaran sejarah dengan menggunakan media audio visual yang bermuatan pendidikan karakter sebagai sarana pembelajaran sejarah untuk