• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik. Oleh:"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM

LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH

SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN PENYANDANG TUNAGRAHITA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

Oleh:

Elisabeth Aryunida Pungkasanti NIM: 161124005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

(2)

ii S K R I P S I

MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN

PENYANDANG TUNAGRAHITA

Oleh:

Elisabeth Aryunida Pungkasanti

NIM: 161124005

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

Dr. Ignatius L. Madya Utama, S.J., M.M. 8 Juni 2021

(3)

iii S K R I P S I

MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH

SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN PENYANDANG TUNAGRAHITA

Dipersiapkan dan ditulis oleh Elisabeth Aryunida Pungkasanti

NIM: 161124005

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada 8 Juli 2021

dan dinyatakan memenuhi syarat.

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Nama Tanda tangan

Ketua : Dr. B.A Rukiyanto, SJ.

Sekretaris : F.X Dapiyanta, SFK, M.Pd .

Anggota : 1. Dr. Ignatius L. Madya Utama, S.J., M.M.

: 2. C. Paulina Sianipar, S.Pd., M.Si., M.Ed.

: 3. Patrisius Mutiara Andalas, SJ., S.S., S.TD.

Yogyakarta, 8 Juli 2021

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si.

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada para Pembina Iman Penyandang Tunagrahita

dan segenap Umat Penyandang Tunagrahita Demi pertumbuhan iman

Bersama Gereja Indonesia dan Dunia

(5)

v MOTTO

“Jawab Yesus: Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan- pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”

(Yohanes 9:3)

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Juli 2021 Penulis,

Elisabeth Aryunida Pungkasanti

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama : Elisabeth Aryunida Pungkasanti NIM : 161124005

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan wewenang kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk karya ilmiah penulis yang berjudul MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN PENYANDANG TUNAGRAHITA beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian, penulis memberikan hak kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di media internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin maupun memberikan royalti kepada penulis selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 30 Juli 2021 Yang menyatakan,

Elisabeth Aryunida Pungkasanti

(8)

viii ABSTRAK

Ada banyak penyandang disabilitas di Gereja Katolik ini, termasuk tunagrahita.

Mereka juga bagian dari anggota Tubuh Kristus, namun kebanyakan dari mereka tidak mendapatkan pelayanan Gereja seperti umat kebanyakan. Begitu banyak pertimbangan untuk melibatkan umat difabel dalam katekese, hingga tidak jarang menganggap mereka cukup di rumah saja karena akan sangat mengganggu suasana katekese atau dalam perayaan sakramen. Syukur kepada Allah, berkat satu poin dalam ARDAS Keuskupan Agung Semarang (KAS) tahun 2016-2020 dan juga Visi Uskup KAS, yakni membela dan memihak pada kaum difabel, pelayanan Gereja bagi kaum difabel mulai digiatkan. Hasilnya ialah diselenggarakannya penerimaan sakramen inisiasi pada akhir 2018 dan 2019. Harapan Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung KAS, adalah setiap umat difabel juga dapat mengalami perjumpaan dengan Allah dan menerima janji keselamatan Allah. Bapa Suci Paus Fransiskus dalam konferensi dan promosi evangelisasi baru pada hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican, mengungkapkan bahwa Kristus memanggil setiap orang untuk berkatekese secara kontekstual dan kreatif, sehingga setiap orang (bahkan yang mengalami kekurangan fisik/mental) dapat bertemu dengan Tuhan Yesus sendiri, menyerahkan iman kepada-Nya, serta mewartakan Kristus melalui keterbatasannya. Berangkat dari fenomena katekese yang terjadi di dalam Gereja saat ini, penulis menyumbangkan sebuah skripsi berdasarkan hasil penelitian berjudul “MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH

SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN PENYANDANG

TUNAGRAHITA.” Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengambil bentuk penelitian desain. Penulis melaksanakan penelitian dan menganalisis data secara kualitatif, lalu hasil analisis dipakai untuk merancang sebuah model katekese khusus penyandang tunagrahita. Penelitian ini memiliki empat aspek utama, yakni Pendidikan Umum Penyandang Tunagrahita, Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita, Penyandang Tunagrahita, dan Perkembangan Iman Sintetis- Konvensional menurut James Fowler. Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Hasil analisis data menghasilkan model katekese khusus penyandang tunagrahita.

Kata-kata kunci: penyandang tunagrahita, model katekese, katekese khusus penyandang tunagrahita

(9)

ix ABSTRACT

There are many people with disability in the Catholic Church, including people with mental retardation. They are also members of the body of Christ. But most of them do not receive the Church’s services like other members of the Church. So many considerations are given to involve people with disability in catechesis, with end result that they are not allowed to get involved both in the catechesis and in the sacramental celebrations. People afraid that they might disturb the atmosphere of the catechesis as well as the sacramental celebrations. But thanks be to God for one point in the ARDAS of Semarang Archdiocese (2016-2020) and a vision of the Semarang Archdiocese Bishop which state that the Church needs to defend and stand at the side of disabled people. The result was the disabled members of the Church were allowed to receive sacrament of initiation at the end of 2018 and 2019.

His excellency Robertus Rubiyatmoko, the bishop of Semarang Archdiocese, hopes that every people with disability can experience an encounter with God and accept God’s promise of salvation. The Holy Father, Pope Francis, at the conference and promotion of new evangelization on Saturday, 21 October 2017, at Clementine Hall, Vatican, expressed that Jesus Christ calls everyone to do catechesis contextually and creatively, so everyone (even those with physical or mental limitations) can meet Him and surrender their faith to Him, and proclaim Christ through one’s limitations. Departing from the catechetical phenomenon that occurs in the Church this time, the author wants to contribute an undergraduate thesis based on a survey entitled “SPECIAL MODEL OF CATECHESIS FOR PEOPLE WITH MENTAL RETARDATION BASED ON EXTRAORDINARY GENERAL EDUCATION AT SECONDARY LEVEL AS THE CHURCH’S EFFORT TO IMPROVE THE FAITH OF PEOPLE WITH MENTAL RETARDATION.” This survey is a qualitative one which takes the form of design research, which means that the author conducts a survey and analyzes the data qualitatively, then the results of the analysis are used to design a special catechesis model for mental retardation. This survey has four aspects: mental retardation, general education for mental retardation, catechesis for mental retardation, and the development of conventional synthetic faith according to James Fowler. The author used in-depth interview technique for collecting data. The result of data analysis helps the writer to design a special model of catechesis for people with mental retardation.

Keywords: Mental Retardation, model of catechesis, special model of catechesis for mental retardation.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perkenananNya untuk dapat menyelesaikan skripsi berjudul MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN PENYANDANG TUNAGRAHITA.

Skripsi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis akan tiadanya pengadaan katekese khusus penyandang tunagrahita di paroki. Tidak hanya katekese, pelayanan liturgi khusus penyandang tunagrahita masih terdengar asing.

Menurut hemat penulis, umat berkebutuhan khusus (UBK) juga merupakan bagian dari anggota Tubuh Kristus dan mereka juga punya hak untuk mendapatkan pelayanan Gereja yang sama seperti anggota Gereja lainnya. Terlebih lagi Kristus telah memanggil mereka untuk berjumpa dengan-Nya, menyerahkan diri, dan mewartakan Kristus melalui keterbatasannya. Maka dari itu, penulis berharap bahwa dengan adanya skripsi tentang katekese khusus penyandang tunagrahita dapat menginspirasi para katekis di paroki untuk berani terlibat dalam perkembangan iman umat berkebutuhan khusus (UBK) serta dapat membantu mereka untuk berjumpa dengan Kristus Sang Penyelamat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak semata-mata merupakan hasil usaha dari penulis sendiri, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik dalam bentuk materi maupun semangat, yaitu:

1. Dr. Ignasius L. Madya Utama, S.J., M.M., selaku dosen pembimbing utama yang selalu sabar, mendorong dan memotivasi penulis dalam pengerjaan skripsi.

2. C. Paulina Sianipar, S.Pd., M.Si., M.Ed. selaku dosen penguji II sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah bersedia memberikan saran dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

(11)

xi

3. Patrisius Mutiara Andalas, SJ., S.S., S.TD. selaku dosen penguji III yang telah bersedia memberikan saran dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Br. Cornel, FC dari SLB C Karya Bhakti Purworejo selaku partisipan 1, yang bersedia untuk diwawancarai secara mendalam dan memvalidasi internal model katekese khusus penyandang tunagrahita.

5. Sr. Patricia, PMY dari SLB B/AG Hellen Keller Indonesia selaku partisipan 2, yang bersedia untuk diwawancarai secara mendalam dan memberi dukungan positif terhadap skripsi ini.

6. Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr selaku Vikep Kategorial Keuskupan Agung Semarang, promotor pelaksanaan penerimaan sakramen inisiasi umat berkebutuhan khusus pada 2018 dan 2019, sekaligus partisipan 3 yang telah bersedia diwawancarai secara mendalam dan mendukung penulisan skripsi ini.

7. Orangtua, teman-teman seperjuangan penulisan skripsi, serta teman seperjalanan rohani penulis yang telah mendorong dan menarik penulis agar tetap bersemangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

8. Semua pihak yang telah memberi saran, kritik, dan motivasi pada saat pengerjaan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap segala saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dan pemanfaatan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 30 Juli 2021 Penulis,

Elisabeth Aryunida Pungkasanti

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II. KAJIAN TEORI ... 9

A. Tunagrahita ... 10

1. Pengertian Tunagrahita ... 10

2. Penyebab Tunagrahita ... 11

3. Klasifikasi Tunagrahita beserta Karakteristiknya ... 13

3. Pandangan Gereja tentang Penyandang Tunagrahita ... 17

B. Pendidikan Umum Penyandang Tunagrahita... 18

1. Tujuan Pendidikan Tunagrahita ... 19

2. Prinsip Pendidikan Tunagrahita ... 20

3. Model Behavioral sebagai Model Pendidikan Tunagrahita ... 21

4. Strategi Pelaksanaan Pembelajaran dan Penyusunan Kurikulum Bagi Penyandang Tunagrahita ... 23

C. Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita ... 25

1. Pengertian tentang Katekese Khusus Pernyandang Tunagrahita .... 25

2. Tujuan Katekese ... 27

(13)

xiii

3. Subjek yang dituju oleh Katekese ... 29

4. Tugas dan Peranan Katekese ... 30

D. Teori Perkembangan Iman Menurut James Fowler ... 30

E. Kerangka Berpikir ... 39

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Konsep dan Fokus Penelitian ... 45

C. Lingkup Penelitian ... 47

D. Strategi dan Metode Penelitian ... 47

E. Desain Penelitian ... 48

F. Partisipan Penelitian ... 49

G. Tempat dan Waktu Penelitian ... 50

H. Teknik Pengumpulan Data ... 51

I. Kisi-kisi Instrumen Wawancara ... 52

J. Validasi Penelitian ... 58

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Pengantar ... 62

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 62

1. Profil Partisipan ... 62

2. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 63

a. Pelaksanaan Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita ... 64

b. Proses Pembuatan Model Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita ... 76

c. Perkembangan Iman Penyandang Tunagrahita menurut James Fowler ... 81

C. Penyusunan Model Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita beserta Pengaplikasiannya dalam Satuan Pendampingan Katekese (SP) ... 84

D. Hasil Validasi Internal Model Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita ... 84

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Simpulan... 87

B. Keterbatasan & Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(14)

xiv LAMPIRAN

Lampiran I : Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (1)

Lampiran II : Instrumen Wawancara Mendalam ... (2)

Lampiran III : Hasil Wawancara Mendalam 1 ... (6)

Lampiran IV : Hasil Wawancara Mendalam 2 ... (24)

Lampiran V : Hasil Wawancara Mendalam 3 ... (40)

Lampiran VI : Susunan Model Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita... (50)

Lampiran VII : Contoh Lembar Satuan Pelaksanaan (SP) Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita ... (52)

Lampiran VIII : Surat Pengantar Validasi Model Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita ... (54)

Lampiran VI : Lembar Validasi Model Katekese Khusus Tunagrahita ... (56)

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Dokumen Gereja

AL : Amoris Laetitia, Seruan Apostolik Pascasinode Paus Fransiskus kepada para uskup, imam dan diakon, kaum religius, pasangan kristiani yang telah menikah, dan semua umat beriman tentang Kasih dalam Keluarga, 19 Maret 2016.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.

DKU : Direktorium Kateketik Umum.

B. Singkatan-Singkatan Lain

ARDAS KAS : Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang.

IQ : Intellegent Quotient atau tingkat kecerdasan.

KAS : Keuskupan Agung Semarang.

khusus penyandang tunagrahita dan autis.

KLMTD : Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir, Difabel.

RKS : Rumah Kasih Sayang, sebuah organisasi pendidikan dan terapi.

SLB B-AG : Sekolah Luar Biasa, khusus penyandang tunarungu dan tunaganda.

SLB C : Sekolah Luar Biasa, khusus penyandang tunagrahita.

SMP : Sekolah Menengah Pertama.

(16)

xvi SP : Satuan Pendampingan.

UBK : Umat Berkebutuhan Khusus.

UUD : Undang-Undang Dasar.

WHO : World Health Organization.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa.

Manusia dianggap sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur martabatnya, bahkan segambar dengan Tuhan. Di dunia ini, ada manusia yang terlahir sempurna, baik secara fisik, mental, kognitif, maupun sosial, namun tidak sedikit pula manusia yang terlahir dengan memiliki satu atau lebih kekurangan dalam kesempurnaannya.

Manusia yang terlahir dengan memiliki satu atau lebih kekurangan dalam kesempurnaannya disebut sebagai penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki kekurangan secara fisik, kognitif, mental, atau sosial, sehingga ia tidak dapat beradaptasi dengan sempurna seperti orang lain pada umumnya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengungkapkan:

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Pengertian disabilitas juga diungkapkan secara singkat oleh World Health Organization (WHO), yaitu “umbrella term, covering impairments, activity limitations, and participation restrictions,” yang diterjemahkan sebagai “sebuah istilah yang mencakup kekurangan, keterbatasan beraktivitas, dan keterbatasan dalam berpartisipasi.” Disabilitas mengartikan ketidakmampuan atau keterbatasan

(18)

dalam berpikir, berperilaku, dan merasakan sesuatu, sehingga sulit dalam berinteraksi dan berpartisipasi dengan lingkungan.

Menurut pengamatan penulis, masyarakat saat ini sudah memiliki kepedulian terhadap kaum difabel dan menyediakan fasilitas hidup yang memadai bagi mereka.

Buktinya adalah jalan dengan model timbul untuk penyandang tunanetra, kursi angkutan umum khusus penyandang disabilitas, dan toilet umum khusus untuk para penyandang disabilitas yang mungkin selalu kesulitan dalam menggunakan toilet umum. Sekolah dan perawatan khusus untuk para penyandang disabilitas pun sudah banyak ditemui. Di beberapa gereja Katolik sendiri, sudah ada fasilitas khusus untuk para penyandang disabilitas.

Namun ada satu hal yang belum banyak ditemukan sebagai fasilitas bagi para penyandang disabilitas, yakni pendidikan iman atau katekese bagi mereka.

Walaupun mereka memiliki keterbatasan dalam hal memahami agama, namun mereka dapat menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan mereka sehari- hari. Para penyandang disabilitas juga termasuk ciptaan Tuhan yang memiliki hak untuk mendapatkan hal yang sama dengan orang pada umumnya, tentu dengan cara mereka sendiri.

Proses awal mula dari seseorang menjadi bagian dari Gereja Katolik adalah proses pembaptisan. Melalui baptis, orang dapat bersatu dengan Allah dan sesama kaum beriman Katolik. Persatuan antara manusia dengan Allah merupakan kehendak Allah, tetapi prosesnya tidak berhenti pada pembaptisan. Ada satu masa lagi yang paling penting namun kebanyakan diabaikan atau dilupakan, yakni masa mistagogi. Masa mistagogi adalah masa terakhir sesudah baptis yang berjalan

(19)

selama beberapa pekan. Masa mistagogi disebut dengan pendidikan iman berkelanjutan karena pada masa ini, para baptisan baru menjalani pemantapan iman dengan mendalami liturgi, iman Katolik, Gereja, dan pelayanan. Biasanya tergantung kebijakan masing-masing Keuskupan.

Namun bagi penulis, pendidikan iman berkelanjutan ini tidak hanya berlaku bagi para baptisan baru. Masa ini juga berlaku bagi penulis dan pembaca semua, Gereja Allah. Tiga alasan akan pentingnya pendidikan iman berkelanjutan telah disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae no. 19, yakni: 1) bayi atau anak kecil yang dibaptis 0 tahun belum memiliki rasa terikat eksplisit secara pribadi dengan Yesus Kristus; 2) baptis dewasa dikarenakan menunggu persetujuan orangtua untuk menjalani iman secara Katolik atau karena menggunakan hak untuk menetapkan agama secara mandiri; 3) para remaja dan orang muda yang menikmati masa muda namun tetap merasa bimbang untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yesus Kristus walaupun sudah menerima baptis dan pengajaran tentang sakramen-sakramen Gereja. Maka, pendidikan iman berkelanjutan berperan memperbarui iman dan pemahamannya, serta mengingatkan setiap umat Katolik untuk terus bergiat dalam Kristus melalui doa, pengajaran, dan pelayanan agar luput dari godaan-godaan iman untuk ragu dan meninggalkan iman Katolik (CT 19).

Katekese bagi penyandang disabilitas menjadi katekese baru dalam Gereja.

Menurut pandangan penulis, selama ini katekese bagi penyandang disabilitas hanya bermuara di dalam komunitas atau kelompok penyandang disabilitas saja. Kini saatnya katekese tersebut meluas hingga setiap katekis di paroki mampu

(20)

mengajarkan pengetahuan iman kepada setiap orang berkebutuhan khusus. Umat berkebutuhan khusus maupun pendampingnya tidak perlu kuatir lagi akan hak-hak para penyandang disabilitas yang seharusnya dapat diperoleh dari Gereja, setara dengan orang pada umumnya.

Penulis merasa, tidak semua umat berkebutuhan khusus tergabung dalam komunitas peduli disabilitas, juga di bidang pendidikan dan moral hidup.

Pendidikan yang didapatkan hanyalah pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa), setelah itu berhenti. Pendidikan agama dan moral hidup juga otomatis berhenti saat sudah lulus SLB. Orangtua atau wali kebanyakan hanya sebatas merawat mereka agar tetap sehat dan tercukupi kebutuhan primernya. Penulis juga menyadari bahwa selama penulis ke gereja untuk ikut Perayaan Ekaristi ataupun kegiatan gereja, penulis belum pernah menemukan orang berkebutuhan khusus juga terlibat di dalamnya, padahal semua orang sama di mata Tuhan dan penyandang disabilitas itu juga ciptaan-Nya. Maka, Gereja perlu meluaskan salah satu sifatnya, yakni terbuka. Terbuka bagi penyandang disabilitas dan menyediakan ‘tempat’ yang sama seperti orang lain pada umumnya, agar mereka tidak merasa minder dan merasa diakui juga.

Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia dari Paus Fransiskus artikel 33 juga menekankan hal yang serupa mengenai kesanggupan para katekis dan paroki dalam membangun persaudaraan dengan umat berkebutuhan khusus:

Kehadiran mereka yang memiliki kebutuhan khusus adalah sebuah tanda dari Roh Kudus. Ini adalah situasi paradigmatik, artinya bertindak sebagai ujian terhadap komitmen kita dalam menunjukkan belas kasih dalam menerima orang lain dan untuk membantu orang yang rapuh menjadi sepenuhnya.

(21)

Kata-kata ini hendaknya menjadi sebuah refleksi bagi penulis, para katekis, Paroki, dan juga seluruh umat Gereja mengenai sikap kita terhadap umat yang memiliki kebutuhan khusus, yakni apakah kita sudah turut melaksanakan kasih persaudaraan sejati dan saling menumbuhkan di antara mereka.

Baru-baru ini Gereja berani menerimakan Sakramen Inisiasi (sakramen Baptis, Ekaristi, Krisma) dan merayakan Perayaan Ekaristi khusus UBK (umat berkebutuhan khusus). Gereja Katolik daerah Yogyakarta sendiri telah menerimakan Sakramen Inisiasi bagi UBK pada 12 Desember 2018 di Gereja Katolik St. Antonius Padua, Kotabaru, Yogyakarta dan pada 12 Desember 2019 di Gereja Katolik Kristus Raja, Baciro, Yogyakarta. Peristiwa itu membuat haru seluruh umat, baik dari pihak yang berkebutuhan khusus, orangtua, pendamping, dan Gereja karena mereka merasa dianggap sebagai anggota Gereja Kristus secara penuh dan dapat merasakan sarana penghayatan iman yang sama seperti apa yang diterima orang lain pada umumnya. Dalam khotbah perayaan Ekaristi berkebutuhan khusus yang diadakan di Gereja St. Antonius Padua Kotabaru, Uskup Agung dari Keuskupan Agung Semarang (KAS) yakni Mgr. Robertus Rubiatmoko, Pr., mengatakan bahwa mereka juga perlu dipertemukan dengan Allah melalui orang- orang yang bersedia membaktikan diri untuk mendampingi mereka dalam hal penghayatan iman. Menurut kesaksian dari pihak UBK ataupun dari orangtua/pendamping UBK, pengajaran iman dan pelayanan rohani untuk UBK seharusnya selalu ada di dalam setiap Paroki, karena mereka memiliki rahmat terselubung dalam diri mereka. Kehadiran para UBK mampu mempersatukan anggota keluarga, dan orangtua/pendamping UBK berharap agar iman para UBK

(22)

diperhatikan juga, tidak hanya untuk orang biasa.

Berkaitan dengan katekese khusus penyandang disabilitas, Paus Yohanes Paulus II menganjurkan adanya katekese untuk kaum disabilitas. Beliau mengatakan bahwa kaum disabilitas berhak mengenal “misteri iman” yang terjadi di dalam hidup mereka (CT. 41). Bapa Suci Paus Fransiskus, dalam konferensi dan promosi evangelisasi baru pada hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican (www.vatican.va), mengatakan bahwa Kristus memanggil setiap orang untuk berkatekese secara kontekstual dan kreatif, sehingga setiap orang (bahkan yang mengalami kekurangan fisik/mental) dapat bertemu dengan Tuhan Yesus sendiri dan menyerahkan iman kepada-Nya. Yesus memancarkan kepribadian-Nya yang penuh belas kasih kepada semua orang dengan keadaan apa pun. Beliau juga mengungkapkan bahwa para penyandang disabilitas ialah katekis yang handal dan efektif bagi perkembangan iman Gereja, dengan cara dan keterbatasan yang mereka miliki. Katekese untuk penyandang disabilitas itu sesungguhnya diperlukan karena mereka berhak untuk mengenal pribadi Yesus sendiri dan menjadikan mereka sebagai katekis paling handal dan efektif melalui sikap hidup dan keterbatasannya.

Berkaca pada permasalahan katekese yang muncul itu, penulis menyadari bahwa kaum disabilitas (khususnya tunagrahita) juga berhak untuk ‘bertemu dengan Allah yang telah mencintainya lebih dahulu’ dan mengalami Allah sendiri dalam penghayatan iman. Penulis juga percaya bahwa meskipun penyandang tunagrahita memiliki keterbatasan dalam berpikir, mereka tetaplah manusia yang dapat berakhlak baik dan memahami pribadi Allah dengan caranya sendiri.

Karenanya, penulis terdorong untuk menulis skripsi berjudul “MODEL

(23)

KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS

PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT MENENGAH

SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN PENYANDANG

TUNAGRAHITA.”

B. Rumusan Masalah

Berikut rumusan permasalahan yang mencakup seluruh isi dari penulisan ini:

1. Bagaimana cara berkatekese dengan umat penyandang tunagrahita?

2. Bagaimana cara membuat model katekese yang sesuai dengan penyandang tunagrahita, sehingga dapat membantu mereka mengembangkan iman?

3. Pada tahap perkembangan iman macam apakah yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita setelah menerima katekese?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Memahami cara berkatekese dengan umat penyandang tunagrahita.

2. Menciptakan model katekese yang sesuai dengan kemampuan penyandang tunagrahita, sehingga dapat membantu mereka mengembangkan imannya.

3. Mengetahui tahap perkembangan iman yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita, agar para katekis dapat menyesuaikan katekesenya dengan keadaan nyata penyandang tunagrahita.

(24)

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi berdasarkan penelitian tentang model katekese bagi penyandang tunagrahita ini memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis:

a. Menjadi sumbangan katekese yang berarti bagi para pendamping katekese penyandang tunagrahita.

b. Menginspirasi mahasiswa Pendidikan Keagamaan Katolik yang akan mengerjakan Tugas Akhir agar dapat mengembangkan model katekese khusus penyandang tunagrahita secara lebih baik.

2. Manfaat praktis:

a. Penulis dapat memahami cara berkatekese dengan penyandang tunagrahita.

b. Penyandang tunagrahita dapat merasakan dampak baik dari katekese.

c. Menjadi inspirasi baru bagi Paroki dalam berkatekese, sehingga terbuka untuk pelayanan katekese bagi penyandang disabilitas, terutama penyandang tunagrahita.

(25)

BAB II KAJIAN TEORI

Pada bab II ini, penulis akan menyampaikan kajian teori tentang Umat Penyandang Tunagrahita, Pendidikan Umum Tunagrahita, Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita, dan Perkembangan Iman Penyandang Tunagrahita.

Kajian teori yang pertama ialah penyandang tunagrahita. Isi penjelasan teori tentang penyandang tunagrahita ialah mengenai penyandang tunagrahita, penyebab terjadinya tunagrahita, karakteristik penyandang tunagrahita, dan klasifikasi penyandang tunagrahita, dan pandangan Gereja Katolik tentang penyandang tunagrahita.

Kajian teori yang kedua ialah Pendidikan Umum Tunagrahita. Isi dari kajian teori ini adalah prinsip pendidikan tunagrahita, model behavioral sebagai model yang tepat bagi penyandang tunagrahita, dan strategi pendidikan tunagrahita. Teori tentang pendidikan umum tunagrahita ini perlu diutarakan karena penulis akan menggunakan dasar-dasar pendidikan agama Katolik di SLB C (tunagrahita) sebagai pegangan dalam mengerjakan sebuah model katekese yang baru. Alasan lainnya adalah model katekese atau pendidikan iman untuk penyandang tunagrahita di lingkungan Gereja belum tercipta.

Kajian teori yang ketiga adalah tentang katekese khusus penyandang tunagrahita. Isi dari kajian teori yang ketiga ialah pelaksanaan katekese khusus penyandang tunagrahita dan pelaku katekese khusus penyandang tunagrahita.

Kajian teori yang keempat ialah teori perkembangan iman menurut James

(26)

Fowler. Isi teori yang akan diterangkan penulis ialah tentang tahap-tahap perkembangan iman yang selalu dialami oleh manusia pada umumnya. Pendidik iman penyandang tunagrahita tentu memiliki harapan bagi penyandang tunagrahita, yakni iman yang semakin bertumbuh. Kiranya teori enam tahap perkembangan iman menurut James Fowler ini dapat menjadi pedoman bagi para pendamping iman penyandang tunagrahita dalam mendampingi pendidikan iman penyandang tunagrahita hingga tahap-tahap perkembangan iman yang ingin dicapai.

A. Tunagrahita

1. Pengertian Tunagrahita

Tunagrahita atau retardasi mental adalah salah satu jenis disabilitas yang mengarah pada kemampuan intelektual dan mental seseorang jauh di bawah IQ rata-rata. Alfa (2019, Oktober 14, para. 4) mengungkapkan bahwa IQ penyandang tunagrahita berada di bawah rata-rata normal, yakni kurang dari 80. Menurut Wikasanti (2014:12), penyandang tunagrahita adalah mereka yang memiliki tingkat kecerdasan jauh di bawah orang-orang dengan tingkat kecerdasan normal sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Boyle & Scanlon (2010:11) mengungkapkan bahwa penyandang tunagrahita adalah orang dengan fungsi kognitif (pemahaman, penalaran, pemikiran abstrak, dan ingatan) yang terganggu.

American Assosiation on Mental Deficiency (AAMD) dalam Ratih & Afin (2013:45) menambahkan bahwa penyandang tunagrahita adalah ketidakmampuan fungsi intelektual, secara umumnya lamban, yaitu memiliki IQ kurang dari 84, muncul sebelum usia 16 tahun, dan disertai dengan hambatan dalam perilaku adaptif. Perilaku adaptif berfokus pada perilaku sehari-hari, pemenuhan harapan

(27)

masyarakat dan lingkungan tempat tinggal, serta kemampuan mengatasi secara efektif keadaan yang tengah terjadi dalam lingkungan masyarakatnya (Rochyadi, 2010:43 dalam Wulandari, 2016: 55).

Dari seluruh pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyandang tunagrahita adalah orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) di bawah orang pada umumnya, yakni kurang dari 80-84 dan muncul sebelum usia 16 tahun, sehingga mengalami kelambanan atau gangguan dalam fungsi kognitif (pemahaman, penalaran, pemikiran abstrak, dan ingatan) serta mengalami hambatan dalam berperilaku adaptif (perilaku sehari-hari, pemenuhan harapan masyarakat dan lingkungan tempat tinggal, dan kemampuan mengatasi keadaan yang tengah terjadi).

Penyandang tunagrahita memiliki banyak istilah. Wikasanti (2014:12) mengungkapkan istilah-istilah seperti retardasi mental (mental retardation), keterbelakangan mental (mentally retarded), kekurangan mental (mental deficiency), disabilitas mental (mental defective), dan down syndrome termasuk dalam sebutan untuk penyandang tunagrahita.

2. Penyebab Tunagrahita

Penyebab seseorang menjadi penyandang tunagrahita tentu beragam, seperti faktor genetika, faktor kehamilan, pasca kehamilan, faktor lingkungan, dan faktor keturunan. Menurut Ratih & Afin (2013:48-49), faktor umum penyebab disabilitas tunagrahitaadalah:

a. Faktor genetis atau keturunan yang berasal dari gen ayah dan ibu.

b. Faktor metabolisme dan gizi buruk. Hal ini terjadi saat ibu sedang hamil

(28)

atau menyusui.

c. Infeksi dan keracunan yang dapat terjadi saat kehamilan. Infeksi rubella dan sipilis dinyatakan sebagai dua faktor yang membawa dampak buruk bagi perkembangan janin, termasuk terjadinya tunagrahita.

d. Proses kelahiran. Terdapat beberapa proses kelahiran yang menggunakan alat bantu semacam tang atau catut untuk menarik kepala bayi karena sulit keluar. Proses ini dapat melukai otak bayi dan berkemungkinan mengalami tunagrahita.

e. Lingkungan buruk, di antaranya lemahnya ekonomi dan kurangnya pendidikan sehingga keadaan kehamilan dan masa menyusui menjadi kurang optimal. Penanganan dan pengasuhan yang tidak baik juga menyebabkan adanya beberapa masalah seperti tunagrahita.

Mengenai penyebab tunagrahita yang terjadi karena faktor genetika, kehamilan, dan saat kelahiran, Wikasanti (2014:47-55) mengungkapkan hal itu secara lebih terperinci, yakni:

a. Faktor genetik

Anak yang mengalami retardasi mental atau tunagrahita memiliki kelainan yang terletak pada gonosom dan autosom (trisomi kromosom).

Kelainan ini ditularkan dari orangtua ke anak.

b. Faktor Prenatal

Penyebab utama anak menjadi tunagrahita ialah dari virus campak, virus rubella, syphilis, virus toxoplasmosis, diabetes, cacar, keracunan yang berupa gravidity syndrome, janin yang terkena trauma dan zat

(29)

radioaktif, dan juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai obat- obatan (napza), dan perokok berat.

c. Faktor Natal

Penyebab ketunagrahitaan pada anak ialah di saat proses melahirkan terlalu lama sehingga dapat mengakibatkan bayi kekurangan oksigen dan tulang panggul ibu yang terlalu kecil sehingga beresiko otak anak terjepit dan timbul pendarahan otak (anoxia). Selain itu, proses kelahiran menggunakan alat bantu beresiko mengakibatkan ketunagrahitaan pada anak.

d. Faktor Postnatal

Penyebab utamanya di saat anak mengalami kekurangan nutrisi, busung lapar, demam tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, dan radang selaput otak (meningitis).

Kesimpulan dari semua penjelasan mengenai penyebab orang mengalami tunagrahita dikarenakan faktor genetik dari orangtua, kekurangan gizi, alasan kesehatan yang terjadi pada saat pre-natal, natal, dan post-natal, dan alasan lingkungan hidup.

3. Klasifikasi Tunagrahita beserta Karakteristiknya

Disabilitas tunagrahita memiliki klasifikasi khusus berdasarkan tingkat ke- cerdasan (IQ). Di setiap klasifikasi menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.

Terdapat 2 skala umum yang dipakai untuk menunjukkan klasifikasi, yakni skala Binet dan skala Weschler (Wikasanti, 2014:66).

(30)

Klasifikasi beserta karakteristik penyandang tunagrahita ialah sebagai berikut:

a. Tunagrahita ringan

Menurut Wikasanti (2014:63), penyandang tunagrahita ringan memiliki IQ 68-52 menurut skala Binet atau IQ 69-55 menurut skala Weschler. Mereka disebut kelompok mampu didik karena mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Selain itu, mereka dapat dilatih meningkatkan life skill, kemampuan bersosialisasi, dan lain-lain.

Karakteristik yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita ringan adalah mengalami kesulitan dalam mengingat yang dilihat dan didengar karena mengalami masalah persepsi. Lancar dalam berbicara namun kebanyakan kurang perbendaharaan kata. Mereka sulit berpikir abstrak, tapi tetap dapat mengikuti kegiatan akademik. Mereka sulit melakukan penyesuaian sosial sesuai umur yang disebabkan oleh usia mental dengan usia kronologinya tidak sesuai (Wikasanti, 2014:14). Selain itu, mereka kesulitan dalam merencanakan masa depan dan suka berbuat kesalahan. Dari segi fisik, penyandang tunagrahita ringan tampak seperti orang pada umumnya.

Jika dididik dengan baik, penyandang tunagrahita ringan dapat Level

Tunagrahita

IQ

Skala Binet Skala Weschler

Ringan 68-52 69-55

Sedang 51-36 54-40

Berat 32-19 39-25

Sangat Berat <19 < 24

(31)

dimungkinkan untuk mencari nafkah sendiri, bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan secara sistematis dan terintruksi. Selain itu, perkembangan kognitif dan mental mereka akan setara dengan manusia berusia 12 tahun.

b. Tunagrahita sedang

Wikasanti (2014:64) menjelaskan bahwa penyandang tunagrahita sedang memiliki IQ 51-36 menurut skala Binet atau IQ 54- 40 menurut skala Weschler. Mereka disebut kelompok latih karena mereka masih mampu dilatih untuk mandiri, dan mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, misalnya mandi, berpakaian, makan, minum, dan melindungi diri sendiri dari bahaya yang mengancam. Mereka juga mampu dilatih melakukan tanggung jawab sederhana, misalnya bersih- bersih, merawat hewan dan tumbuhan, dan pekerjaan rumah tangga sederhana.

Karakteristik yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita sedang adalah sangat kesulitan dalam pembelajaran akademik (membaca, menulis, berhitung) walaupun ada yang dapat menulis namanya sendiri atau alamat rumahnya.

Latihan mengurus diri sendiri secara terus-menerus dapat memampukan penyandang tunagrahita untuk menolong dirinya sendiri dalam hidup sehari-hari (Ratih & Afin, 2013:47). Penyandang tunagrahita sedang masih dapat bekerja di tempat terlindung (sheltered workshop). Perkembangan kognitif dan mental mereka akan setara

(32)

dengan manusia berusia 7 tahun.

c. Tunagrahita berat

Menurut Wikasanti (2014:65), tunagrahita berat dapat dibagi lagi menjadi 2, yakni tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat memiliki IQ sekitar 32-12 menurut skala Binet dan sekitar 39-25 menurut skala Weschler. Tunagrahita sangat berat memiliki IQ < 19 menurut skala Binet dan < 24 menurut skala Weschler. Penyandang tunagrahita berat berkemungkinan mengalami komplikasi neurologis (celebral palsy), epilepsi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan metabolis yang melibatkan sistem syaraf pusat.

Mereka tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan di dalam keseluruhan hidupnya, mereka membutuhkan orang lain untuk merawat dan menjaga mereka (perihal mandi, berpakaian, makan, minum, dan sebagainya).

Penyandang tunagrahita kelompok ini sulit dilatih untuk melakukan pekerjaan sederhana dan sulit menerima materi pembelajaran, berhubung tingkat IQ yang hanya kurang dari 39 (Wikasanti, 2014:16-17). Pencapaian terbaik yang mungkin dapat diperoleh penyandang tunagrahita berat ialah dapat berjalan dan membersihkan diri sendiri. Kemampuan mental yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita berat yakni setara dengan orang yang usianya kurang dari tiga tahun.

(33)

4. Pandangan Gereja Katolik tentang Penyandang Tunagrahita

Sebelum Paus Yohanes Paulus II mulai memimpin Gereja pada 1978, Gereja telah menyumbang pemahaman positif mengenai bagaimana memandang penyandang disabilitas, termasuk tunagrahita. Kehadiran Henri. J.M. Nouwen (1932-1996) dan Jean Vanier (1928-2019) merupakan tokoh gereja sekaligus penyumbang terbesar dalam memberi pemahaman positif tentang disabilitas.

Nouwen (1989:43) memberi wejangan bahwa penyandang disabilitas ialah

"sungguh-sungguh sesama kita". Selanjutnya, beliau berpesan bahwa kita perlu mempunyai sikap belarasa terhadap penyandang disabilitas agar tidak ada lagi

"jarak" karena belas kasihan ataupun paham eksklusivisme akibat keterbatasan yang mereka miliki. Nouwen juga menambahkan bahwa "Melalui belarasa, kita mampu untuk merasakan kerinduan untuk memberikan kehidupan karena kita tahu bahwa kita dapat melakukan hal itu" (hal. 44).

Vanier (2014:1) mengatakan bahwa “Penyandang disabilitas telah mengajarkan visi yang baru dan lebih mendalam tentang kemanusiaan”. Vanier mengakui bahwa para penyandang disabilitas banyak mengajarkan tentang siapakah manusia, apa kebutuhan terdalam manusia, dan arti sejati menjadi manusia. Terinspirasi dari simposium Paus Yohanes Paulus II “Dignity and Right of Disabled People” yang tertulis pada tahun 2004, Vanier (2014:4-5) mengatakan bahwa:

Penyandang disabilitas adalah saksi istimewa kemanusiaan yang dapat mengajarkan tentang cinta yang dapat menyelamatkan kita; mereka dapat menjadi pewarta dunia yang baru, tidak lagi didominasi oleh kekuatan, kekerasan, dan agresi. Namun karena cinta, solidaritas, dan penerimaan, sebuah dunia baru yang ditransfigurasi oleh Cahaya Kristus, Putra Allah yang telah menjelma, yang disalibkan dan bangkit bagi kita.

(34)

Pandangan ini mau mengubah cara pandang dan pemahaman manusia zaman kini akan ketidakmampuan untuk bersahabat dengan para penyandang disabilitas.

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia art. 33 mengungkapkan bahwa kehadiran para penyandang dsabilitas merupakan kehadiran Allah sendiri yang ingin menguji komitmen GerejaNya dalam menunjukkan belas kasih dalam menerima orang lain dan untuk membantu orang yang rapuh menjadi sepenuhnya.

Kepedulian Gereja Indonesia terhadap pada penyandan disabilitas ditunjukkan oleh beberapa Kongregasi Religius dan juga Komunitas Regular; yakni para Bruder Karitas (FC), para Suster Cinta Kasih Putri Maria & Yosef (PMY), dan para Suster dari Kongregasi Institut Sekulir Asosiasi Lembaga Misinaris Awam (ALMA). Adapun komunitas regular seperti RKS (Rumah Kasih Sayang) yang letaknya di Yogyakarta. Tidak hanya itu, kepedulian dan persahabatan dengan kaum difabel dipererat pada saat penerimaan sakramen inisiasi umat berkebutuhan khusus (UBK) pada 12 Desember 2018 di Gereja St. Antonius Padua Kotabaru dan 12 Desember 2019 di Paroki Kristus Raja Baciro.

B. Pendidikan Umum Penyandang Tunagrahita

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal mengacu pada struktur pendidikan yang sistematis dan berjenjang, dimulai dari tingkat dasar, tingkat menengah, hingga tingkat perguruan tinggi. Pendidikan nonformal ialah

(35)

pendidikan di luar pendidikan formal dan dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal yakni pendidikan yang dilaksanakan dalam lingkungan dan keluarga, contohnya Pendidikan iman atau katekese.

Dalam subbab ini, penulis akan menjelaskan secara teoretis mengenai pendidikan bagi tunagrahita secara formal di sekolah khusus, dimulai dari tujuan pendidikan tunagrahita, prinsip pendidikan tunagrahita, model behavioral sebagai model pendidikan tunagrahita, dan strategi pelaksanaan pembelajaran serta penyusunan kurikulum bagi penyandang tunagrahita. Teori-teori dasar tentang pendidikan khusus tunagrahita (tujuan, prinsip, strategi) menjadi dasar dalam menyusun model katekese khusus tunagrahita, dan proses pelaksanaannya mengikuti prinsip model behavioral.

Pendidikan bagi tunagrahita, baik formal, nonformal, dan informal dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir menjadi lebih baik. Berdasarkan apa yang penulis pelajari dari data-data wawancara mengenai pendidikan tunagrahita, pendidikan juga mampu mendidik jiwa mereka menjadi lebih berkembang. Pendidikan mampu menumbuhkan dan mengokohkan iman, mengembangkan kemampuan motorik, menyehatkan mental, dan menumbuhkan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar, bahkan masyarakat luas.

1. Tujuan Pendidikan Tunagrahita

PP 72/1991 bab II dalam Wikasanti (2014:148) mengungkapkan tujuan pendidikan anak tunagrahita sebagai berikut:

(36)

a. Dapat mengembangkan potensinya dengan sebaik-baiknya. Anak penyandang tunagrahita harus dibantu untuk mencapai tingkat tersebut, sehingga ia dapat mengembangkan potensinya, dan memiliki kecakapan yang berarti dan berguna untuk bekal hidupnya.

b. Dapat menolong diri (makan, mandi, berpakaian dan sebagainya).

Untuk itu, mereka harus dilatih secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, misalnya berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat (memiliki penghasilan sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam tingkat yang sederhana).

c. Memiliki kehidupan lahir batin yang layak seperti memiliki rasa kepercayaan diri, dapat membaca dan menulis secara sederhana, mempunyai hobi sesuai dengan kemampuan, bergaul dengan teman sebaya dan orang lain.

2. Prinsip Pendidikan Tunagrahita

Menurut Marthan (2007: 182-184 dalam Arifah 2014: 51), pendidikan bagi penyandang tunagrahita memiliki tiga prinsip yang harus dipahami pendidik penyandang tunagrahita, yakni:

a. Prinsip kasih sayang

Penyandang tunagrahita mengalami kesulitan dalam hal intelektual dan kesulitan memahami informasi yang didapatkan, meskipun itu mudah.

Menghadapi masalah itu, guru perlu ekstra sabar dan penuh kasih sayang, serta tidak memaksakan materi pelajaran kepada siswa tunagrahita karena mereka mudah frustasi.

b. Prinsip keperagaan

Penyandang tunagrahita mengalami kesulitan berpikir abstrak, maka guru perlu menghadapkan siswa pada pengalaman langsung dengan bantuan alat peraga. Pengalaman langsung yang dimaksud ialah pengalaman hidup sehari-hari siswa tunagrahita.

(37)

c. Prinsip habilitasi

Guru perlu menemukan dan mengembangkan potensi anak (habilitasi) dan mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi dengan baik (rehabilitasi).

3. Model Behavioral sebagai Model Pendidikan Tunagrahita

Dalam melaksanakan pendidikan, seorang pendidik memerlukan model pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya serta menyesuaikan dengan kondisi siswa. Model behavioral merupakan salah satu model pendidikan yang berpusat pada tingkah laku siswa. Model behavioral lahir dari teori psikologi belajar behavioristik. Menurut Wikasanti (2014:150), model behavioral ialah “suatu model pembelajaran yang didasarkan pada urutan tahapan belajar yang ketat dan menggunakan penguatan (reinforcement) untuk mendapatkan tingkah laku yang dapat diamati.” Nahar (2016:65) mengungkapkan bahwa model behavioral ingin melakukan pengujian dan pengamatan pada tingkah laku, apakah ada perubahan atau tidak. Dalam pengamatan tingkah laku, yang diamati lebih dalam ialah stimulus dan respon, karena apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan tanggapan yang diberikan siswa (respon) dapat diamati dan diukur (Putrayasa, 2013:42 dalam Nahar, 2016:66). Kesimpulannya, model belajar behavioral ialah suatu model yang ingin memahami tingkah laku manusia yang didasarkan pada urutan tahapan belajar yang ketat dan menggunakan penguatan (reinforcement).

Menurut Darmawan & Wahyudin (2018:11), tiga implementasi model behavioral pada pembelajaran adalah sebagai berikut:

(38)

a. Guru memberi perhatian terhadap tingkah laku belajar peserta didik.

b. Modifikasi tingkah laku peserta didik yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai reinforcement pendukung.

c. Penerapan prinsip pembelajaran individual terhadap pembelajaran klasikal.

Imron (1996:3) dan Joyce, Weil, dan Calhoun (2009:40) menambahkan bahwa model behavioral diimplementasikan dengan kontrol instrumental dari lingkungan melalui pembiasaan tingkah laku, pengkondisian, peniruan, dan pengulangan untuk menguasai suatu materi.

Model pembelajaran behavioral banyak dipakai sebagai model pembelajaran tunagrahita. Menurut Wikasanti (2014:153), model behavioral dipakai agar kegiatan pembelajaran siswa tunagrahita dapat berlangsung sesuai dengan tahapan belajar yang telah disusun oleh guru secara ketat sejalan dengan tingkat kemampuan siswa secara individu. Selain itu, penguatan (reinforcement) yang diberikan guru kepada siswa tunagrahita dapat meningkatkan peran siswa tunagrahita dalam kegiatan pembelajaran. Delphie (2006:59&70) mengungkapkan alasan lain, yakni agar kemampuan mental dalam proses belajar-mengajar lebih banyak diarahkan pada perilaku yang bersifat lahiriah (overt behavior) guna menggali perilaku tertutup (covert behavior). Selain itu, Delphie mengatakan bahwa pendidikan behavioral untuk siswa tunagrahita diperlukan agar meningkatkan kemampuan fungsional hidup (fisik, mental, sosial). Pelaksanaan model behavioral dalam katekese khusus penyandang tunagrahita dipakai untuk mendukung proses pembelajaran iman.

(39)

4. Strategi Pelaksanaan Pembelajaran dan Penyusunan Kurikulum Bagi Penyandang Tunagrahita

Strategi pembelajaran yang klasik dan biasa dipakai untuk orang normal tidak mampu menaikkan kemampuan intelegensi penyandang tunagrahita, karena mereka memiliki kemampuan intelegensi yang rendah (IQ <70). Karenanya, Santrock (2008) dalam Wikasanti (2014:14) mengusulkan strategi pembelajaran untuk penyandang tunagrahita yang terdiri dari 12 unsur, yaitu:

a. Membantu anak retardasi mental untuk berlatih menentukan pilihan personal dan determinasi diri jika dimungkinkan.

b. Selalu ingat fungsi mental anak. Tingkat fungsi mental anak-anak tunagrahita biasanya lebih rendah ketimbang anak lain di kelas umum.

Jika guru memulai pada satu level pengajaran dan anak tidak merespon secara efektif maka turunkan level pengajarannya.

c. Sesuaikan instruksi pengajaran dengan kebutuhan anak.

d. Berikan contoh konkret dari setiap konsep. Gunakan instruksi pengajaran yang jelas dan sederhana.

e. Berikan anak retardasi mental kesempatan untuk melatih apa yang telah mereka pelajari. Minta anak retardasi mental untuk mengulangi beberapa konsep yang telah mereka pelajari sampai mereka menguasainya.

f. Perhatikan rasa penghargaan diri si anak. Jangan membanding- bandingkan dengan anak normal lainnya.

g. Hindari prasangka negatif terhadap kemampuan belajar anak.

h. Sadari bahwa anak retardasi mental bukan hanya memiliki kebutuhan akademik, tetapi juga membutuhkan bantuan untuk meningkatkan keterampilan perawatan diri dan keterampilan sosial.

i. Cari dukungan sumber daya. Gunakan asisten guru atau sukarelawan yang berkompeten untuk membantu mendidik anak retardasi mental.

j. Pertimbangkan untuk menggunakan strategi analisis perilaku.

Langkah-langkah yang tepat dalam menerapkan analisis perilaku akan membantu guru menggunakan penguatan positif secara efektif pada anak retardasi mental.

k. Jika mengajar di kelas menengah, lakukan evaluasi untuk keahlian vokasional yang dibutuhkan siswa retardasi mental untuk mendapatkan pekerjaan.

l. Libatkan orangtua sebagai mitra mendidik anak.

(40)

Strategi penyusunan kurikulum pendidikan tunagrahita juga perlu diperhatikan. Berdasarkan penjelasan dari Mangunsong, dkk. (1998:122), strategi penyusunan kurikulum tunagrahita sesuai dengan klasifikasi ialah sebagai berikut:

a. Tunagrahita ringan:

Isi kurikulum kuantitatif untuk tunagrahita ringan setara dengan isi kurikulum kuantitatif siswa normal. Namun untuk kualitatifnya, isi kurikulum untuk tunagrahita ringan lebih sedikit daripada siswa normal. Lalu isi kurikulumnya dapat ditambah dengan berbagai latihan keterampilan.

b. Tunagrahita menengah:

Isi kurikulum tunagrahita menengah (baik kualitatif maupun kuantitatif) lebih rendah daripada isi kurikulum siswa normal dan bobot latihan keterampilan disarankan lebih banyak.

c. Tunagrahita berat:

Orientasi isi pengajaran pada lingkungan sekitarnya dan diberikan penekanan pada latihan keterampilan dasar seperti latihan gerakan tertentu, latihan mengurus diri sendiri, dan sebagainya. Selain itu, strategi kurikulum tunagrahita berat memerlukan terapi terintegrasi, karena penyandang tunagrahita berat pada umumnya mengalami

“multiple disability” sehingga perlu pelayanan profesionalisme tambahan yang sesuai dengan disabilitas penyerta yang dimilikinya.

(41)

C. Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita

Setelah membahas tentang pendidikan umum penyandang tunagrahita, penulis akan membahas konsep dasar katekese. Teori katekese khusus penyandang tunagrahita dipakai untuk memahami dasar-dasar katekese khusus penyandang tunagrahita.

1. Pengertian tentang Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita

Katekese adalah sebuah kegiatan mendidik iman Katolik. Kata “katekese”

berasal dari bahasa yunani “katekeo,” yang artinya mengajar secara lisan atau memberitahu. Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II yang berjudul Catechesi Tradendae tentang katekese masa kini memberikan pengertian katekese secara gamblang, yakni:

Pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18).

Menurut Dokumen Direktorium Kateketik Umum (DKU) no. 17, katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda yang bertujuan untuk membuat iman umat menjadi hidup, berdasar, dan aktif. Dalam lingkup pastoral Gereja, katekese ialah karya Gereja yang menghantarkan kelompok ataupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU 21). Katekese dianggap sebagai tugas paling penting di dalam Gereja (CT 1). Kristus sendirilah yang menyerahkan tugas itu kepada para Rasul dan pengganti-pengganti mereka dengan berkata, “ajarlah segala bangsa melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:20).

Dalam Kis 2:42 dinyatakan bahwa, jemaat Gereja Perdana selalu bertekun dalam pengajaran para Rasul dalam persekutuan, selain memecahkan roti dan berdoa.

(42)

Melalui pengajaran Para Rasul, iman Gereja Perdana dapat bertumbuh berkat sabda Tuhan, lalu merayakan Sabda itu dalam Perayaan Ekaristi serta bersaksi secara nyata di tengah masyarakat sebagai wujud cinta kasih Allah (CT 10).

Katekese memiliki sifat yang khas, yakni sifat kristosentris. Sifat kristosentris merupakan sifat katekese yang berpusat pada Kristus dan mewartakan Kristus sendiri. Paus Yohanes Paulus II telah menerangkan artinya sebagai berikut, “bukan untuk menyampaikan ajarannya sendiri, atau entah ajaran seorang guru lain, melainkan ajaran Yesus Kristus, Kebenaran yang diajarkan-Nya, atau lebih cermat lagi: Kebenaran yang tak lain ialah Dia sendiri.” (CT 6)

Dari semua definisi katekese ini, kita dapat merumuskannya dalam satu kalimat. Katekese adalah kegiatan mengajar atau mendidik iman setiap jemaat Katolik dalam suatu persekutuan, berlangsung secara sistematis dan organis mengenai pribadi Yesus dan ajaran kebenaran-Nya sehingga mereka dapat memiliki iman yang dewasa, aktif, dan mengakar pada Kristus sendiri.

Dalam konteks disabilitas, katekese memiliki ‘wajah’ perhatian kepada kaum difabel. Menurut Paus Fransiskus dalam pidato untuk para peserta Konferensi dan Promosi Evangelisasi Baru pada hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican, katekese mampu menemani perjalanan iman dan hidup penyandang disabilitas, di tengah kekurangan perhatian dan dukungan. Selain itu, katekese menjadi sebuah pendukung dan pendorong mereka yang difabel agar berpartisipasi dengan seluruh warga Gereja untuk merayakan pelbagai perayaan liturgi, khususnya Liturgi Minggu. Katekese hendak mendorong seluruh umat Kristiani untuk saling terbuka dan mendukung para difabel untuk hadir dalam segala

(43)

perayaan liturgi dan sakramen, agar mereka dapat bertemu dengan Tuhan Yesus yang bangkit dan juga bertemu dengan sesama kaum beriman. Perjumpaan itulah yang menjadi sumber harapan dan keberanian dalam perjalanan hidup yang sulit.

Dari pidatonya dalam konferensi evangelisasi baru tersebut, Paus Fransiskus berharap agar kita, Gereja Allah, dapat belajar untuk mengatasi rasa ketidaknyamanan dan ketakutan yang terkadang kita rasakan terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, Paus Fransiskus berharap agar kita bahu-membahu mencari dan menciptakan alat yang tepat guna sehingga tidak ada yang kekurangan dukungan rahmat Allah.

2. Tujuan Katekese

Katekese atau pendidikan iman Kristiani tentu memiliki tujuan. Dokumen Catechesi Tradendae 20 menjelaskan secara rinci tujuan khas katekese, yakni:

a) Mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, merangsangnya, dan dari hari ke hari memekarkan serta memantapkan umat beriman Kristen, muda maupun tua.

b) Mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu.

c) Mendewasakan iman dan mengusahakan diri makin mengenal Yesus yang menjadi tumpuan kepercayaannya, mengerti “misteri”-Nya, Kerajaan Allah yang diwartakan oleh-Nya, tuntunan atau janji dalam amanat injil-Nya, serta jalan kepada Yesus sendiri.

d) Menyelami sabda Allah secara mendalam.

Mengenai tujuan katekese untuk mendalami misteri cinta kasih Allah, CT 5 telah mengungkapkan secara lebih terperinci, yakni:

Katekese mencakup arti mengajak sesama mendalami Misteri dalam segala dimensinya: “untuk menunjukkan kepada semua orang makna rencana yang terkandung dalam misteri…bersama dengan segala orang kudus memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus…mengenal kasih itu yang melampaui segala pengetahuan…(dan

(44)

dipenuhi) dalam segala kepenuhan Allah.” (Ef 3:9, 18-19) Katekese bukan saja menghubungkan umat dengan Yesus Kristus, melainkan mengundangnya untuk memasuki persekutuan hidup yang mesra dengan- Nya. Hanya Dialah yang dapat membimbing kita kepada cinta kasih Bapa dalam Roh, dan mengajak kita ikut serta menghayati hidup Tritunggal Kudus.

Dari semua pemahaman mengenai tujuan katekese, dapat disimpulkan bahwa tujuan katekese adalah membantu peserta katekese untuk mengenal Allah lebih dalam, memahami rencana misteri kasih Allah dalam hidup manusia dan dalam hidup Kristus, serta menumbuhkan iman. Tentu saja, tujuan-tujuan ini akan dapat dicapai berkat bantuan rahmat Allah sendiri (CT 20).

Dalam konteks disabilitas, katekese memiliki tujuan yang unik. Paus Fransiskus dalam pidato untuk para peserta Konferensi dan Promosi Evangelisasi Baru pada hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican, mengungkapkan bahwa katekese, dengan cara tertentu, dipanggil untuk menemukan dan menguji kongruensi/kesamaan dari bentuk-bentuk disabilitas sehingga setiap orang dengan kelebihannya atau keterbatasannya dapat bertemu dengan Yesus dan dengan penuh kepercayaan menyerahkan diri kepada-Nya. Bagi Paus Fransiskus, tidak ada batasan fisik atau mental yang dapat menjadi penghalang untuk mengalami perjumpaan mesra ini, karena wajah Kristus bersinar di setiap hati manusia. Selain itu, katekese juga dapat menjadi wadah berbagi kekayaan makna hidup dan spiritualitas dari kaum difabel kepada seluruh umat Gereja Katolik dan masyarakat. Seruan Apostolik Pascasinode “Amoris Laetitia” dari Paus Fransiskus art. 47 menambahkan tujuan katekese umat berkebutuhan khusus, yakni:

Bersama dengan keluarga berkebutuhan khusus serta komunitas Kristiani berkumpul untuk menemukan tindakan dan bahasa baru, bentuk-bentuk baru pemahaman dan identitas dalam menyambut dan memberikan perhatian terhadap misteri kerapuhan hidup manusia.

(45)

Jadi, katekese menjadi pendukung dan semangat bagi keluarga yang memiliki anggota penyandang disabilitas untuk menemukan cara-cara yang tepat untuk berbagi semangat beriman Kristiani, tentu dengan komunitas Kristiani yang sesuai.

Tidak hanya itu, iman dari setiap umat Allah dapat diteguhkan oleh pewartaan kesaksian hidup dan spiritualitas yang dihidupi oleh kaum difabel.

3. Subjek yang dituju oleh Katekese

Katekese ialah pembinaan iman bagi seluruh umat dari berbagai penjuru, perbedaan umur dan juga status. Katekese juga berlaku bagi kaum disabilitas. Hal itu telah dijelaskan secara gamblang oleh Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae 41. Beliau mengungkapkan bahwa para penyandang disabilitas juga berhak mengenal misteri iman yang terkandung dalam kehidupan Yesus selama di dunia dan juga kehidupan si penyandang disabilitas itu sendiri. Mereka berhak untuk mendapatkan pelayanan Gereja yang selama ini didapatkan oleh orang-orang Katolik pada umumnya, misalnya sakramen inisiasi, pelbagai sakramen, asalkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Dalam CT 41, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa para pembina iman bagi penyandang disabilitas perlu diapresiasi usahanya, karena usaha mereka yang tidak mudah dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi pada saat membimbing iman orang-orang berkebutuhan khusus. Beliau juga mengapresiasi organisasi-organisasi yang telah membaktikan diri dalam pembinaan itu dan layak mendapatkan dukungan lebih demi tercapainya tujuan katekese, yakni memahami misteri Allah yang terkandung dalam kisah Allah dan kisah Allah dalam hidup

(46)

keseharian manusia.

4. Tugas dan Peranan Katekese

Katekese tentu memiliki peranan dan tugasnya dalam Gereja. Katekese sangat berperan bagi pertumbuhan iman umat. Katekese berperan untuk membukakan hati umat terhadap sabda Allah dan membangkitkan iman yang sedang lesu agar timbul pertobatan dan sikap penyerahan kepada Allah (CT 19). Jika katekese dijalankan dengan baik, katekese dapat membangkitkan semangat untuk memberikan kesaksian tentang iman umat, menyalurkan semangat beriman Kristiani kepada anak-anak, mengenalkan semangat Kristiani kepada sesama, dan mengabdi kepada masyarakat dengan caranya sendiri berdasarkan semangat beriman Kristiani (CT 24).

Katekese juga memiliki tugas dan perannya sendiri bagi penyandang disabili- tas. Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia dari Paus Fransiskus mengungkapkan beberapa hal tentang peranan katekese. Katekese dapat menjadi tanda perhatian Gereja bagi kaum difabel dan bekerja sama dengan keluarga kaum difabel mampu menyatakan kesaksian iman mendalam tentang kesetiaan terhadap anugerah kehidupan kepada segenap umat dan dunia (AL 47). Selain itu, katekese dapat mempererat persaudaraan dan kasih, serta pelayanan kepada para difabel di tengah ketidakpedulian, ketakutan, dan ketidaktahuan cara bersosialisasi dengan mereka.

D. Teori Perkembangan Iman Menurut James Fowler

Iman adalah suatu tanggapan manusia atas cinta kasih Allah yang selalu me-

(47)

nyertai perziarahan hidupnya. Dalam iman, manusia mempercayai bahwa Allah ialah pencipta manusia dan segala makhluk hidup di bumi, dan Allah pula yang melimpahkan berkat dan cinta-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya. Dalam iman pula, manusia mengungkapkan betapa agung dan mulia-Nya Allah bekerja menghidupi manusia. Iman juga memampukan manusia ikut serta dalam karya penyelamatan Allah yang masih terus berlangsung di dunia saat ini. Pengungkapan iman dapat melalui nyanyian, doa, karya tulis, kegiatan-kegiatan keagamaan, serta perwujudan iman yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari atau hidup bermasyarakat.

Menurut pandangan Kitab Suci, iman merupakan karunia Allah yang menyelamatkan hidup manusia (Ef 2:8). Di sebut sebagai karunia Allah karena iman lahir dari pewahyuan Allah kepada manusia yang menyelamatkan, memberi kasih dan juga pengharapan. Harapan dan kasih juga merupakan karunia Allah, hanya yang paling besar di antaranya adalah kasih (1 Kor 13:13).

Berkaitan dengan perkembangan iman, James Fowler dalam Shelton (1987:55-61) menjelaskan secara rinci enam tahap perkembangan iman, yakni:

a. Tahap I: Iman Proyektif Intuitif (hlm. 55-56)

Iman Proyektif Intuitif dialami oleh anak-anak berumur 4 sampai 8 tahun. Pada tahap ini, anak-anak berpedoman pada orangtua sebagai sumber otoritas dalam masalah-masalah agama. Selain itu, simbol dan imajinasi dipakai anak-anak sebagai penggambaran akan kenyataan hidup dan iman. Kesulitan pada tahap ini ialah sulit menentukan sebab akibat, melepaskan kenyataan dari khayalan, dan memahami urutan berbagai peristiwa. Tantangan yang muncul untuk naik ke tahap iman

(48)

Mitis Literal ialah mengembangkan pemusatan perhatian yang lebih sadar mengenai masa depan.

b. Tahap II: Iman Mitis Literal (hlm.56-57)

Iman Mitis Literal dialami oleh anak berusia 6 sampai 7 tahun hingga 11 sampai 12 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai mengarahkan diri pada realitas dunia dan belajar membedakan antara kenyataan dengan khayalan. Karakteristik kemampuan kognitif dan pengetahuan iman di tahap ini yaitu bersifat konkret operasional, yang berdampak pada belum mampu berabstraksi dan berefleksi. Oleh karena itu, mereka membutuhkan cerita dongeng atau hal-hal yang dekat dengan hidup mereka, dan juga figur orang dewasa (orangtua, guru, pemuka agama) agar mampu mengarahkan hidupnya dalam perkara beragama dan bermoral.

Berkaitan dengan kemampuan di dalam hal beragama dan bermoral, anak-anak mulai mengerti sebab dan akibat dari sebuah perilaku yang akan/sudah dilakukan, atau hubungan timbal balik dalam hidup sosial. Anak mulai mengerti bahwa Tuhan sebagai pribadi yang baik dan tidak dipersoalkan. Namun, keadaan dunia yang sering tidak pasti membuat mereka sering melibatkan diri dalam kepercayaan dan upacara keagamaan, karena itulah jalan teraman mereka. Dengan tantangan yang dihadapi itu, mereka telah siap masuk ke tahap iman selanjutnya yaitu tahap Iman Sintetis Konvensional.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif yang dilihat dari hasil belajar siswa, maka peneliti mengadakan tes hasil

Pada variabel kebijakan hutang diperoleh angka t hitung sebesar 10,544 lebih besar daripada angka t tabel sebesar 1,979, memiliki arti bahwa secara parsial kebijakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki sistem full day school tidak akan menimbulkan stres akademik pada siswa jika konsep full day school diterapkan dengan

Tujuan dar penulisan skripsi adalah untuk melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikanya Program Studi Akuntansi (S1) dan memperoleh

The biggest problem in pronuncing English words is do not know the correct pronunciation.. Yes, my English pronunciation is

Penelitian skripsi yang berjudul ” Pendongeng Cilik dalam Cerita Rakyat Cindelaras ” disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana Program

ANALISIS KADAR LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN CADMIUM (Cd) PADA IKAN MUJAIR ( Oreochromis mossambicus ) DI SUNGAI TAMBAKi. OSO KECAMATAN WARU KABUPATEN SIDOARJO DAN

dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko