• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI

A. Tunagrahita

3. Klasifikasi Tunagrahita beserta Karakteristiknya

Disabilitas tunagrahita memiliki klasifikasi khusus berdasarkan tingkat ke- cerdasan (IQ). Di setiap klasifikasi menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.

Terdapat 2 skala umum yang dipakai untuk menunjukkan klasifikasi, yakni skala Binet dan skala Weschler (Wikasanti, 2014:66).

Klasifikasi beserta karakteristik penyandang tunagrahita ialah sebagai berikut:

a. Tunagrahita ringan

Menurut Wikasanti (2014:63), penyandang tunagrahita ringan memiliki IQ 68-52 menurut skala Binet atau IQ 69-55 menurut skala Weschler. Mereka disebut kelompok mampu didik karena mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Selain itu, mereka dapat dilatih meningkatkan life skill, kemampuan bersosialisasi, dan lain-lain.

Karakteristik yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita ringan adalah mengalami kesulitan dalam mengingat yang dilihat dan didengar karena mengalami masalah persepsi. Lancar dalam berbicara namun kebanyakan kurang perbendaharaan kata. Mereka sulit berpikir abstrak, tapi tetap dapat mengikuti kegiatan akademik. Mereka sulit melakukan penyesuaian sosial sesuai umur yang disebabkan oleh usia mental dengan usia kronologinya tidak sesuai (Wikasanti, 2014:14). Selain itu, mereka kesulitan dalam merencanakan masa depan dan suka berbuat kesalahan. Dari segi fisik, penyandang tunagrahita ringan tampak seperti orang pada umumnya.

Jika dididik dengan baik, penyandang tunagrahita ringan dapat Level

Tunagrahita

IQ

Skala Binet Skala Weschler

Ringan 68-52 69-55

Sedang 51-36 54-40

Berat 32-19 39-25

Sangat Berat <19 < 24

dimungkinkan untuk mencari nafkah sendiri, bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan secara sistematis dan terintruksi. Selain itu, perkembangan kognitif dan mental mereka akan setara dengan manusia berusia 12 tahun.

b. Tunagrahita sedang

Wikasanti (2014:64) menjelaskan bahwa penyandang tunagrahita sedang memiliki IQ 51-36 menurut skala Binet atau IQ 54-40 menurut skala Weschler. Mereka disebut kelompok latih karena mereka masih mampu dilatih untuk mandiri, dan mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, misalnya mandi, berpakaian, makan, minum, dan melindungi diri sendiri dari bahaya yang mengancam. Mereka juga mampu dilatih melakukan tanggung jawab sederhana, misalnya bersih-bersih, merawat hewan dan tumbuhan, dan pekerjaan rumah tangga sederhana.

Karakteristik yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita sedang adalah sangat kesulitan dalam pembelajaran akademik (membaca, menulis, berhitung) walaupun ada yang dapat menulis namanya sendiri atau alamat rumahnya.

Latihan mengurus diri sendiri secara terus-menerus dapat memampukan penyandang tunagrahita untuk menolong dirinya sendiri dalam hidup sehari-hari (Ratih & Afin, 2013:47). Penyandang tunagrahita sedang masih dapat bekerja di tempat terlindung (sheltered workshop). Perkembangan kognitif dan mental mereka akan setara

dengan manusia berusia 7 tahun.

c. Tunagrahita berat

Menurut Wikasanti (2014:65), tunagrahita berat dapat dibagi lagi menjadi 2, yakni tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat memiliki IQ sekitar 32-12 menurut skala Binet dan sekitar 39-25 menurut skala Weschler. Tunagrahita sangat berat memiliki IQ < 19 menurut skala Binet dan < 24 menurut skala Weschler. Penyandang tunagrahita berat berkemungkinan mengalami komplikasi neurologis (celebral palsy), epilepsi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan metabolis yang melibatkan sistem syaraf pusat.

Mereka tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan di dalam keseluruhan hidupnya, mereka membutuhkan orang lain untuk merawat dan menjaga mereka (perihal mandi, berpakaian, makan, minum, dan sebagainya).

Penyandang tunagrahita kelompok ini sulit dilatih untuk melakukan pekerjaan sederhana dan sulit menerima materi pembelajaran, berhubung tingkat IQ yang hanya kurang dari 39 (Wikasanti, 2014:16-17). Pencapaian terbaik yang mungkin dapat diperoleh penyandang tunagrahita berat ialah dapat berjalan dan membersihkan diri sendiri. Kemampuan mental yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita berat yakni setara dengan orang yang usianya kurang dari tiga tahun.

4. Pandangan Gereja Katolik tentang Penyandang Tunagrahita

Sebelum Paus Yohanes Paulus II mulai memimpin Gereja pada 1978, Gereja telah menyumbang pemahaman positif mengenai bagaimana memandang penyandang disabilitas, termasuk tunagrahita. Kehadiran Henri. J.M. Nouwen (1932-1996) dan Jean Vanier (1928-2019) merupakan tokoh gereja sekaligus penyumbang terbesar dalam memberi pemahaman positif tentang disabilitas.

Nouwen (1989:43) memberi wejangan bahwa penyandang disabilitas ialah

"sungguh-sungguh sesama kita". Selanjutnya, beliau berpesan bahwa kita perlu mempunyai sikap belarasa terhadap penyandang disabilitas agar tidak ada lagi

"jarak" karena belas kasihan ataupun paham eksklusivisme akibat keterbatasan yang mereka miliki. Nouwen juga menambahkan bahwa "Melalui belarasa, kita mampu untuk merasakan kerinduan untuk memberikan kehidupan karena kita tahu bahwa kita dapat melakukan hal itu" (hal. 44).

Vanier (2014:1) mengatakan bahwa “Penyandang disabilitas telah mengajarkan visi yang baru dan lebih mendalam tentang kemanusiaan”. Vanier mengakui bahwa para penyandang disabilitas banyak mengajarkan tentang siapakah manusia, apa kebutuhan terdalam manusia, dan arti sejati menjadi manusia. Terinspirasi dari simposium Paus Yohanes Paulus II “Dignity and Right of Disabled People” yang tertulis pada tahun 2004, Vanier (2014:4-5) mengatakan bahwa:

Penyandang disabilitas adalah saksi istimewa kemanusiaan yang dapat mengajarkan tentang cinta yang dapat menyelamatkan kita; mereka dapat menjadi pewarta dunia yang baru, tidak lagi didominasi oleh kekuatan, kekerasan, dan agresi. Namun karena cinta, solidaritas, dan penerimaan, sebuah dunia baru yang ditransfigurasi oleh Cahaya Kristus, Putra Allah yang telah menjelma, yang disalibkan dan bangkit bagi kita.

Pandangan ini mau mengubah cara pandang dan pemahaman manusia zaman kini akan ketidakmampuan untuk bersahabat dengan para penyandang disabilitas.

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia art. 33 mengungkapkan bahwa kehadiran para penyandang dsabilitas merupakan kehadiran Allah sendiri yang ingin menguji komitmen GerejaNya dalam menunjukkan belas kasih dalam menerima orang lain dan untuk membantu orang yang rapuh menjadi sepenuhnya.

Kepedulian Gereja Indonesia terhadap pada penyandan disabilitas ditunjukkan oleh beberapa Kongregasi Religius dan juga Komunitas Regular; yakni para Bruder Karitas (FC), para Suster Cinta Kasih Putri Maria & Yosef (PMY), dan para Suster dari Kongregasi Institut Sekulir Asosiasi Lembaga Misinaris Awam (ALMA). Adapun komunitas regular seperti RKS (Rumah Kasih Sayang) yang letaknya di Yogyakarta. Tidak hanya itu, kepedulian dan persahabatan dengan kaum difabel dipererat pada saat penerimaan sakramen inisiasi umat berkebutuhan khusus (UBK) pada 12 Desember 2018 di Gereja St. Antonius Padua Kotabaru dan 12 Desember 2019 di Paroki Kristus Raja Baciro.

B. Pendidikan Umum Penyandang Tunagrahita

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal mengacu pada struktur pendidikan yang sistematis dan berjenjang, dimulai dari tingkat dasar, tingkat menengah, hingga tingkat perguruan tinggi. Pendidikan nonformal ialah

pendidikan di luar pendidikan formal dan dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal yakni pendidikan yang dilaksanakan dalam lingkungan dan keluarga, contohnya Pendidikan iman atau katekese.

Dalam subbab ini, penulis akan menjelaskan secara teoretis mengenai pendidikan bagi tunagrahita secara formal di sekolah khusus, dimulai dari tujuan pendidikan tunagrahita, prinsip pendidikan tunagrahita, model behavioral sebagai model pendidikan tunagrahita, dan strategi pelaksanaan pembelajaran serta penyusunan kurikulum bagi penyandang tunagrahita. Teori-teori dasar tentang pendidikan khusus tunagrahita (tujuan, prinsip, strategi) menjadi dasar dalam menyusun model katekese khusus tunagrahita, dan proses pelaksanaannya mengikuti prinsip model behavioral.

Pendidikan bagi tunagrahita, baik formal, nonformal, dan informal dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir menjadi lebih baik. Berdasarkan apa yang penulis pelajari dari data-data wawancara mengenai pendidikan tunagrahita, pendidikan juga mampu mendidik jiwa mereka menjadi lebih berkembang. Pendidikan mampu menumbuhkan dan mengokohkan iman, mengembangkan kemampuan motorik, menyehatkan mental, dan menumbuhkan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar, bahkan masyarakat luas.

1. Tujuan Pendidikan Tunagrahita

PP 72/1991 bab II dalam Wikasanti (2014:148) mengungkapkan tujuan pendidikan anak tunagrahita sebagai berikut:

a. Dapat mengembangkan potensinya dengan sebaik-baiknya. Anak penyandang tunagrahita harus dibantu untuk mencapai tingkat tersebut, sehingga ia dapat mengembangkan potensinya, dan memiliki kecakapan yang berarti dan berguna untuk bekal hidupnya.

b. Dapat menolong diri (makan, mandi, berpakaian dan sebagainya).

Untuk itu, mereka harus dilatih secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, misalnya berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat (memiliki penghasilan sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam tingkat yang sederhana).

c. Memiliki kehidupan lahir batin yang layak seperti memiliki rasa kepercayaan diri, dapat membaca dan menulis secara sederhana, mempunyai hobi sesuai dengan kemampuan, bergaul dengan teman sebaya dan orang lain.

2. Prinsip Pendidikan Tunagrahita

Menurut Marthan (2007: 182-184 dalam Arifah 2014: 51), pendidikan bagi penyandang tunagrahita memiliki tiga prinsip yang harus dipahami pendidik penyandang tunagrahita, yakni:

a. Prinsip kasih sayang

Penyandang tunagrahita mengalami kesulitan dalam hal intelektual dan kesulitan memahami informasi yang didapatkan, meskipun itu mudah.

Menghadapi masalah itu, guru perlu ekstra sabar dan penuh kasih sayang, serta tidak memaksakan materi pelajaran kepada siswa tunagrahita karena mereka mudah frustasi.

b. Prinsip keperagaan

Penyandang tunagrahita mengalami kesulitan berpikir abstrak, maka guru perlu menghadapkan siswa pada pengalaman langsung dengan bantuan alat peraga. Pengalaman langsung yang dimaksud ialah pengalaman hidup sehari-hari siswa tunagrahita.

c. Prinsip habilitasi

Guru perlu menemukan dan mengembangkan potensi anak (habilitasi) dan mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi dengan baik (rehabilitasi).

3. Model Behavioral sebagai Model Pendidikan Tunagrahita

Dalam melaksanakan pendidikan, seorang pendidik memerlukan model pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya serta menyesuaikan dengan kondisi siswa. Model behavioral merupakan salah satu model pendidikan yang berpusat pada tingkah laku siswa. Model behavioral lahir dari teori psikologi belajar behavioristik. Menurut Wikasanti (2014:150), model behavioral ialah “suatu model pembelajaran yang didasarkan pada urutan tahapan belajar yang ketat dan menggunakan penguatan (reinforcement) untuk mendapatkan tingkah laku yang dapat diamati.” Nahar (2016:65) mengungkapkan bahwa model behavioral ingin melakukan pengujian dan pengamatan pada tingkah laku, apakah ada perubahan atau tidak. Dalam pengamatan tingkah laku, yang diamati lebih dalam ialah stimulus dan respon, karena apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan tanggapan yang diberikan siswa (respon) dapat diamati dan diukur (Putrayasa, 2013:42 dalam Nahar, 2016:66). Kesimpulannya, model belajar behavioral ialah suatu model yang ingin memahami tingkah laku manusia yang didasarkan pada urutan tahapan belajar yang ketat dan menggunakan penguatan (reinforcement).

Menurut Darmawan & Wahyudin (2018:11), tiga implementasi model behavioral pada pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Guru memberi perhatian terhadap tingkah laku belajar peserta didik.

b. Modifikasi tingkah laku peserta didik yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai reinforcement pendukung.

c. Penerapan prinsip pembelajaran individual terhadap pembelajaran klasikal.

Imron (1996:3) dan Joyce, Weil, dan Calhoun (2009:40) menambahkan bahwa model behavioral diimplementasikan dengan kontrol instrumental dari lingkungan melalui pembiasaan tingkah laku, pengkondisian, peniruan, dan pengulangan untuk menguasai suatu materi.

Model pembelajaran behavioral banyak dipakai sebagai model pembelajaran tunagrahita. Menurut Wikasanti (2014:153), model behavioral dipakai agar kegiatan pembelajaran siswa tunagrahita dapat berlangsung sesuai dengan tahapan belajar yang telah disusun oleh guru secara ketat sejalan dengan tingkat kemampuan siswa secara individu. Selain itu, penguatan (reinforcement) yang diberikan guru kepada siswa tunagrahita dapat meningkatkan peran siswa tunagrahita dalam kegiatan pembelajaran. Delphie (2006:59&70) mengungkapkan alasan lain, yakni agar kemampuan mental dalam proses belajar-mengajar lebih banyak diarahkan pada perilaku yang bersifat lahiriah (overt behavior) guna menggali perilaku tertutup (covert behavior). Selain itu, Delphie mengatakan bahwa pendidikan behavioral untuk siswa tunagrahita diperlukan agar meningkatkan kemampuan fungsional hidup (fisik, mental, sosial). Pelaksanaan model behavioral dalam katekese khusus penyandang tunagrahita dipakai untuk mendukung proses pembelajaran iman.

4. Strategi Pelaksanaan Pembelajaran dan Penyusunan Kurikulum Bagi Penyandang Tunagrahita

Strategi pembelajaran yang klasik dan biasa dipakai untuk orang normal tidak mampu menaikkan kemampuan intelegensi penyandang tunagrahita, karena mereka memiliki kemampuan intelegensi yang rendah (IQ <70). Karenanya, Santrock (2008) dalam Wikasanti (2014:14) mengusulkan strategi pembelajaran untuk penyandang tunagrahita yang terdiri dari 12 unsur, yaitu:

a. Membantu anak retardasi mental untuk berlatih menentukan pilihan personal dan determinasi diri jika dimungkinkan.

b. Selalu ingat fungsi mental anak. Tingkat fungsi mental anak-anak tunagrahita biasanya lebih rendah ketimbang anak lain di kelas umum.

Jika guru memulai pada satu level pengajaran dan anak tidak merespon secara efektif maka turunkan level pengajarannya.

c. Sesuaikan instruksi pengajaran dengan kebutuhan anak.

d. Berikan contoh konkret dari setiap konsep. Gunakan instruksi pengajaran yang jelas dan sederhana.

e. Berikan anak retardasi mental kesempatan untuk melatih apa yang telah mereka pelajari. Minta anak retardasi mental untuk mengulangi beberapa konsep yang telah mereka pelajari sampai mereka menguasainya.

f. Perhatikan rasa penghargaan diri si anak. Jangan membanding-bandingkan dengan anak normal lainnya.

g. Hindari prasangka negatif terhadap kemampuan belajar anak.

h. Sadari bahwa anak retardasi mental bukan hanya memiliki kebutuhan akademik, tetapi juga membutuhkan bantuan untuk meningkatkan keterampilan perawatan diri dan keterampilan sosial.

i. Cari dukungan sumber daya. Gunakan asisten guru atau sukarelawan yang berkompeten untuk membantu mendidik anak retardasi mental.

j. Pertimbangkan untuk menggunakan strategi analisis perilaku.

Langkah-langkah yang tepat dalam menerapkan analisis perilaku akan membantu guru menggunakan penguatan positif secara efektif pada anak retardasi mental.

k. Jika mengajar di kelas menengah, lakukan evaluasi untuk keahlian vokasional yang dibutuhkan siswa retardasi mental untuk mendapatkan pekerjaan.

l. Libatkan orangtua sebagai mitra mendidik anak.

Strategi penyusunan kurikulum pendidikan tunagrahita juga perlu diperhatikan. Berdasarkan penjelasan dari Mangunsong, dkk. (1998:122), strategi penyusunan kurikulum tunagrahita sesuai dengan klasifikasi ialah sebagai berikut:

a. Tunagrahita ringan:

Isi kurikulum kuantitatif untuk tunagrahita ringan setara dengan isi kurikulum kuantitatif siswa normal. Namun untuk kualitatifnya, isi kurikulum untuk tunagrahita ringan lebih sedikit daripada siswa normal. Lalu isi kurikulumnya dapat ditambah dengan berbagai latihan keterampilan.

b. Tunagrahita menengah:

Isi kurikulum tunagrahita menengah (baik kualitatif maupun kuantitatif) lebih rendah daripada isi kurikulum siswa normal dan bobot latihan keterampilan disarankan lebih banyak.

c. Tunagrahita berat:

Orientasi isi pengajaran pada lingkungan sekitarnya dan diberikan penekanan pada latihan keterampilan dasar seperti latihan gerakan tertentu, latihan mengurus diri sendiri, dan sebagainya. Selain itu, strategi kurikulum tunagrahita berat memerlukan terapi terintegrasi, karena penyandang tunagrahita berat pada umumnya mengalami

“multiple disability” sehingga perlu pelayanan profesionalisme tambahan yang sesuai dengan disabilitas penyerta yang dimilikinya.

C. Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita

Setelah membahas tentang pendidikan umum penyandang tunagrahita, penulis akan membahas konsep dasar katekese. Teori katekese khusus penyandang tunagrahita dipakai untuk memahami dasar-dasar katekese khusus penyandang tunagrahita.

1. Pengertian tentang Katekese Khusus Penyandang Tunagrahita

Katekese adalah sebuah kegiatan mendidik iman Katolik. Kata “katekese”

berasal dari bahasa yunani “katekeo,” yang artinya mengajar secara lisan atau memberitahu. Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II yang berjudul Catechesi Tradendae tentang katekese masa kini memberikan pengertian katekese secara gamblang, yakni:

Pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18).

Menurut Dokumen Direktorium Kateketik Umum (DKU) no. 17, katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda yang bertujuan untuk membuat iman umat menjadi hidup, berdasar, dan aktif. Dalam lingkup pastoral Gereja, katekese ialah karya Gereja yang menghantarkan kelompok ataupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU 21). Katekese dianggap sebagai tugas paling penting di dalam Gereja (CT 1). Kristus sendirilah yang menyerahkan tugas itu kepada para Rasul dan pengganti-pengganti mereka dengan berkata, “ajarlah segala bangsa melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:20).

Dalam Kis 2:42 dinyatakan bahwa, jemaat Gereja Perdana selalu bertekun dalam pengajaran para Rasul dalam persekutuan, selain memecahkan roti dan berdoa.

Melalui pengajaran Para Rasul, iman Gereja Perdana dapat bertumbuh berkat sabda Tuhan, lalu merayakan Sabda itu dalam Perayaan Ekaristi serta bersaksi secara nyata di tengah masyarakat sebagai wujud cinta kasih Allah (CT 10).

Katekese memiliki sifat yang khas, yakni sifat kristosentris. Sifat kristosentris merupakan sifat katekese yang berpusat pada Kristus dan mewartakan Kristus sendiri. Paus Yohanes Paulus II telah menerangkan artinya sebagai berikut, “bukan untuk menyampaikan ajarannya sendiri, atau entah ajaran seorang guru lain, melainkan ajaran Yesus Kristus, Kebenaran yang diajarkan-Nya, atau lebih cermat lagi: Kebenaran yang tak lain ialah Dia sendiri.” (CT 6)

Dari semua definisi katekese ini, kita dapat merumuskannya dalam satu kalimat. Katekese adalah kegiatan mengajar atau mendidik iman setiap jemaat Katolik dalam suatu persekutuan, berlangsung secara sistematis dan organis mengenai pribadi Yesus dan ajaran kebenaran-Nya sehingga mereka dapat memiliki iman yang dewasa, aktif, dan mengakar pada Kristus sendiri.

Dalam konteks disabilitas, katekese memiliki ‘wajah’ perhatian kepada kaum difabel. Menurut Paus Fransiskus dalam pidato untuk para peserta Konferensi dan Promosi Evangelisasi Baru pada hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican, katekese mampu menemani perjalanan iman dan hidup penyandang disabilitas, di tengah kekurangan perhatian dan dukungan. Selain itu, katekese menjadi sebuah pendukung dan pendorong mereka yang difabel agar berpartisipasi dengan seluruh warga Gereja untuk merayakan pelbagai perayaan liturgi, khususnya Liturgi Minggu. Katekese hendak mendorong seluruh umat Kristiani untuk saling terbuka dan mendukung para difabel untuk hadir dalam segala

perayaan liturgi dan sakramen, agar mereka dapat bertemu dengan Tuhan Yesus yang bangkit dan juga bertemu dengan sesama kaum beriman. Perjumpaan itulah yang menjadi sumber harapan dan keberanian dalam perjalanan hidup yang sulit.

Dari pidatonya dalam konferensi evangelisasi baru tersebut, Paus Fransiskus berharap agar kita, Gereja Allah, dapat belajar untuk mengatasi rasa ketidaknyamanan dan ketakutan yang terkadang kita rasakan terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, Paus Fransiskus berharap agar kita bahu-membahu mencari dan menciptakan alat yang tepat guna sehingga tidak ada yang kekurangan dukungan rahmat Allah.

2. Tujuan Katekese

Katekese atau pendidikan iman Kristiani tentu memiliki tujuan. Dokumen Catechesi Tradendae 20 menjelaskan secara rinci tujuan khas katekese, yakni:

a) Mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, merangsangnya, dan dari hari ke hari memekarkan serta memantapkan umat beriman Kristen, muda maupun tua.

b) Mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu.

c) Mendewasakan iman dan mengusahakan diri makin mengenal Yesus yang menjadi tumpuan kepercayaannya, mengerti “misteri”-Nya, Kerajaan Allah yang diwartakan oleh-Nya, tuntunan atau janji dalam amanat injil-Nya, serta jalan kepada Yesus sendiri.

d) Menyelami sabda Allah secara mendalam.

Mengenai tujuan katekese untuk mendalami misteri cinta kasih Allah, CT 5 telah mengungkapkan secara lebih terperinci, yakni:

Katekese mencakup arti mengajak sesama mendalami Misteri dalam segala dimensinya: “untuk menunjukkan kepada semua orang makna rencana yang terkandung dalam misteri…bersama dengan segala orang kudus memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus…mengenal kasih itu yang melampaui segala pengetahuan…(dan

dipenuhi) dalam segala kepenuhan Allah.” (Ef 3:9, 18-19) Katekese bukan saja menghubungkan umat dengan Yesus Kristus, melainkan mengundangnya untuk memasuki persekutuan hidup yang mesra dengan-Nya. Hanya Dialah yang dapat membimbing kita kepada cinta kasih Bapa dalam Roh, dan mengajak kita ikut serta menghayati hidup Tritunggal Kudus.

Dari semua pemahaman mengenai tujuan katekese, dapat disimpulkan bahwa tujuan katekese adalah membantu peserta katekese untuk mengenal Allah lebih dalam, memahami rencana misteri kasih Allah dalam hidup manusia dan dalam hidup Kristus, serta menumbuhkan iman. Tentu saja, tujuan-tujuan ini akan dapat dicapai berkat bantuan rahmat Allah sendiri (CT 20).

Dalam konteks disabilitas, katekese memiliki tujuan yang unik. Paus Fransiskus dalam pidato untuk para peserta Konferensi dan Promosi Evangelisasi Baru pada hari Sabtu, 21 Oktober 2017 di Clementine Hall, Vatican, mengungkapkan bahwa katekese, dengan cara tertentu, dipanggil untuk menemukan dan menguji kongruensi/kesamaan dari bentuk-bentuk disabilitas sehingga setiap orang dengan kelebihannya atau keterbatasannya dapat bertemu dengan Yesus dan dengan penuh kepercayaan menyerahkan diri kepada-Nya. Bagi Paus Fransiskus, tidak ada batasan fisik atau mental yang dapat menjadi penghalang untuk mengalami perjumpaan mesra ini, karena wajah Kristus bersinar di setiap hati manusia. Selain itu, katekese juga dapat menjadi wadah berbagi kekayaan makna hidup dan spiritualitas dari kaum difabel kepada seluruh umat Gereja Katolik dan masyarakat. Seruan Apostolik Pascasinode “Amoris Laetitia” dari Paus Fransiskus art. 47 menambahkan tujuan katekese umat berkebutuhan khusus, yakni:

Bersama dengan keluarga berkebutuhan khusus serta komunitas Kristiani berkumpul untuk menemukan tindakan dan bahasa baru, bentuk-bentuk baru pemahaman dan identitas dalam menyambut dan memberikan perhatian terhadap misteri kerapuhan hidup manusia.

Jadi, katekese menjadi pendukung dan semangat bagi keluarga yang memiliki anggota penyandang disabilitas untuk menemukan cara-cara yang tepat untuk berbagi semangat beriman Kristiani, tentu dengan komunitas Kristiani yang sesuai.

Tidak hanya itu, iman dari setiap umat Allah dapat diteguhkan oleh pewartaan kesaksian hidup dan spiritualitas yang dihidupi oleh kaum difabel.

3. Subjek yang dituju oleh Katekese

Katekese ialah pembinaan iman bagi seluruh umat dari berbagai penjuru, perbedaan umur dan juga status. Katekese juga berlaku bagi kaum disabilitas. Hal itu telah dijelaskan secara gamblang oleh Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae 41. Beliau mengungkapkan bahwa para penyandang disabilitas juga berhak mengenal misteri iman yang terkandung dalam kehidupan Yesus selama di dunia dan juga kehidupan si penyandang disabilitas itu

Katekese ialah pembinaan iman bagi seluruh umat dari berbagai penjuru, perbedaan umur dan juga status. Katekese juga berlaku bagi kaum disabilitas. Hal itu telah dijelaskan secara gamblang oleh Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae 41. Beliau mengungkapkan bahwa para penyandang disabilitas juga berhak mengenal misteri iman yang terkandung dalam kehidupan Yesus selama di dunia dan juga kehidupan si penyandang disabilitas itu