• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Skripsi yang berjudul “MODEL KATEKESE KHUSUS PENYANDANG TUNAGRAHITA BERBASIS PENDIDIKAN UMUM LUAR BIASA TINGKAT

MENENGAH SEBAGAI UPAYA GEREJA MEMAJUKAN IMAN

PENYANDANG TUNAGRAHITA” memiliki tiga tujuan penulisan, yakni:

1. Memahami cara berkatekese dengan umat penyandang tunagrahita.

2. Menciptakan model katekese yang sesuai dengan kemampuan penyandang tunagrahita, sehingga dapat membantu mereka mengembangkan imannya.

3. Mengetahui tahap perkembangan iman yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita, agar para katekis dapat menyesuaikan katekesenya dengan keadaan nyata penyandang tunagrahita.

Penulisan skripsi ini dibuat untuk menjawab tiga permasalahan, yakni:

1. Bagaimana cara berkatekese dengan umat penyandang tunagrahita?

2. Bagaimana cara membuat model katekese yang sesuai dengan penyandang tunagrahita, sehingga dapat membantu mereka mengembangkan iman?

3. Tahap perkembangan iman macam apa yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita setelah menerima katekese?

Skripsi ini menerapkan penelitian kualitatif yang mengambil bentuk penelitian desain. Penerapan penelitian kualitatif bertujuan untuk membahas sesuatu hal yang baru dalam bidang katekese Gereja, yakni katekese khusus umat penyandang tunagrahita. Karena katekese khusus umat penyandang tunagrahita ialah sesuatu yang baru dalam bidang katekese Gereja, maka penulis juga merancang sebuah model katekese khusus umat penyandang tunagrahita agar dapat membantu membantu para guru/katekis paroki dalam mengembangkan iman umat penyandang tunagrahita.

Berdasarkan apa yang penulis pelajari dalam literatur, wawancara mendalam, pengolahan data, praktik model katekese khusus penyandang tunagrahita dan validasinya, ada tiga temuan yang dapat dijadikan sebagai simpulan:

Pertama, penyandang tunagrahita (ringan dan sedang) mampu menerima katekese khusus penyandang tunagrahita. Hal itu dibuktikan dari hasil wawancara mendalam dengan seluruh partisipan (lih. Bab IV hlm. 62-63 tentang biodata partisipan) dan praktik model katekese khusus penyandang tunagrahita.

Penyandang tunagrahita ringan dapat menerima materi katekese yang telah disederhanakan dan disajikan dengan bahasa teologi yang sederhana pula.

Penyandang tunagrahita sedang kebanyakan sangat sulit mencerna materi katekese yang diberikan, namun mereka masih dapat mengikuti katekese dengan cara bermain sambil belajar. Penyandang tunagrahita berat tidak dapat mengikuti kegiatan katekese karena ia memiliki tingkat kecerdasan dibawah 40 sehingga tidak mampu mencerna materi katekese atau permainan sehubungan dengan materi katekese.

Langkah-langkah katekese khusus penyandang tunagrahita mengikuti langkah-langkah mengajar pendidikan agama Katolik di SLB C, yakni dimulai dengan doa pembuka, apersepsi, inti katekese, evaluasi (tugas pribadi/kelompok, tes kecil, ataupun permainan), dan doa penutup. Dalam langkah-langkah katekese yang ketiga dan keempat, katekis dapat menerapkan model behavioral, yakni dengan memberikan penguat positif atas perbuatan atau perkataan yang benar/dikehendaki oleh guru. Penguatan positif dapat berupa barang-barang rohani (dalam konteks katekese) atau pujian. Selain memberikan penguatan positif, katekis dapat mengajaknya bermain yang mendukung katekese, misalnya bermain puzzle, mewarnai, menggambar, menempel, gerak lagu, dan permainan mudah lainnya.

Temuan yang pertama ini melaksanakan tujuan penulisan skripsi dan tujuan penelitian kualitatif, serta menjawab permasalahan skripsi yang pertama.

Kedua, model katekese khusus penyandang tunagrahita dapat diciptakan untuk membantu pelaksanaan katekese di paroki. Model katekese khusus penyandang tunagrahita diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan umum penyandang tunagrahita pada “Bab II” hlm. 18-24. Dari teori-teori tersebut dan analisis data pada “Bab IV” hlm. 76-81, ditemukan empat unsur dalam penyusunan model katekese khusus penyandang tunagrahita, yakni tujuan, materi, sarana, dan langkah-langkah. Selanjutnya, proses pelaksanaan katekese tersebut mengikuti proses pembelajaran model behavioral sesuai yang diutarakan oleh Wikasanti (2014:153) dan Delphie (2006:59&70) pada “Bab II” hlm. 22.

Setelah seluruh rangkaian model katekese khusus penyandang tunagrahita selesai dikerjakan, dibuatlah satuan pendampingan (SP); dan rangkaian model

tersebut harus melalui proses validasi. Proses validasi yang penulis pilih ialah proses validasi internal. Mengenai model katekese khusus penyandang tunagrahita, pengaplikasian model katekese dalam bentuk SP, dan hasil validasi internal dapat dilihat dalam lembar Lampiran VI hingga Lampiran VII pada halaman (50) sampai dengan (53). Dengan demikian, temuan yang kedua ini menjadi pelaksanaan tujuan penulisan skripsi yang pertama dan pelaksanaan tujuan penelitian desain. Tidak hanya itu, temuan yang kedua ini menjawab rumusan masalah yang kedua.

Temuan yang ketiga, iman penyandang tunagrahita mampu berkembang setelah diberikan katekese khusus penyandang tunagrahita. Tahap perkembangan iman menurut James Fowler yang dapat dicapai oleh penyandang tunagrahita adalah tahap iman Mitis Literal hingga Sintetis Konvensional. Hal itu disimpulkan berdasarkan hasil pembelajaran penulis tentang enam tahapan iman menurut James Fowler (Shelton, 1987:57-59), hasil wawancara dengan seluruh partisipan (mengenai anggota partisipan, lih. Bab IV hlm. 62-63), dan seminar online via Zoom yang berjudul “Biarkan Anak-Anak itu datang Pada-Ku: Diskusi tentang Pelayanan Pastoral bagi Anak Berkebutuhan Khusus” pada hari Kamis, 3 Desember 2020, pukul 16.00-17.30 WIB.

Tahap iman Mitis Literal hingga Sintetis Konvensional yang dialami oleh penyandang tunagrahita ialah hidup mereka menjadi baik dalam pikiran, moral, dan perbuatan (mengamalkan kasih secara sederhana, mau membersihkan diri sendiri sebagai bentuk cinta kepada Tuhan, dan sebagainya), lalu memiliki kesadaran akan sesuatu yang baik jika dilakukan dan dampaknya (yang akhirnya menjadi sebuah inisiatif, dan juga membangun sikap mandiri), serta mampu menerima dirinya

sendiri. Harapan-harapan lainnya dari pendidik iman Katolik ialah penyandang tunagrahita semakin teredukasi perihal iman Katolik dan aura hidup mereka tampak tenang. Dari temuan ini, penulis telah melaksanakan tujuan penulisan skripsi yang ketiga. Temuan ini juga menjawab rumusan permasalahan yang ketiga.

B. Keterbatasan dan Saran

Penulis akan menyampaikan keterbatasan dan saran sesuai dengan tiga simpulan di atas. Keterbatasan dan saran tersebut akan disampaikan pada peneliti selanjutnya dan Paroki-Paroki.

1. Bagi Penelitian Selanjutnya:

a. Karena kasus pandemi Covid-19 pada April 2020 sedang meningkat, terdapat pembatasan perjumpaan dengan penyandang tunagrahita di Asrama SLB C Karya Bhakti, Purworejo. Penulis tidak diijinkan untuk bertemu dengan mereka. Akibatnya, penulis tidak dapat melaksanakan observasi awal ataupun wawancara mendalam dengan penyandang tunagrahita untuk mengetahui kondisi para penyandang tunagrahita.

Menanggapi kekurangan tersebut, penulis menyarankan agar dilakukan observasi awal dan wawancara mendalam dengan penyandang tunagrahita.

b. Hanya satu jenjang sekolah SLB C yang penulis pilih, yakni tingkat menengah dengan tingkat usia sekitar 10-13 tahun, padahal terdapat umat penyandang tunagrahita dengan beragam usia di dalam Gereja.

Maka, penulis berharap agar terdapat penelitian lanjutan dengan

jenjang sekolah SLB C yang berbeda agar dapat melengkapi informasi untuk mendesain model katekese khusus penyandang tunagrahita dengan tingkat umur yang berbeda.

c. Penulis tidak menemukan penelitian tentang hubungan antara perkembangan iman menurut James Fowler dengan perkembangan iman penyandang tunagrahita. Harapan penulis ialah adanya bahasan khusus mengenai tahap-tahap perkembangan iman dengan pertumbuhan iman penyandang tunagrahita.

d.

Prosedur mendesain sebuah model seperti yang diterangkan pada “Bab III” hal. 49-50 tidak penulis ikuti dengan ketat. Selain itu, penulis tidak memperhitungkan waktu dengan baik sehingga ada langkah-langkah yang tidak dilaksanakan. Penulis berharap agar peneliti selanjutnya dapat memperhatikan dengan baik langkah-langkah mendesain sebuah model katekese khusus penyandang tunagrahita dan melaksanakan prosedur tersebut dengan baik agar hasil yang didapatkan juga baik.

e. Penulis tidak mengadakan evaluasi pelaksanaan katekese khusus penyandang tunagrahita dengan penyandang tunagrahita disebabkan oleh kurangnya waktu dan keterbatasan dalam perjumpaan dengan mereka (dikarenakan kasus pandemi Covid-19 sedang naik pada bulan Mei 2021). Penulis berharap agar peneliti berikutnya melakukan evaluasi atas pelaksanaan katekese tersebut.

2. Bagi Paroki:

a. Penulis melihat bahwa baru beberapa paroki melaksanakan pelayanan iman bagi umat berkebutuhan khusus, khususnya penyandang tunagrahita. Pelayanan iman yang dapat diberikan, misalnya Perayaan Ekaristi, penerimaan sakramen inisiasi, dan pelayanan katekese khusus penyandang tunagrahita. Penulis mengusulkan agar seluruh paroki melaksanakan pelayanan tersebut.

b. Penulis berharap agar dengan adanya model katekese khusus penyandang tunagrahita dapat memberikan gambaran tentang katekese khusus penyandang tunagrahita, yang dapat dilakukan di setiap paroki.

Penulis mendorong segenap tim katekis paroki mulai bergerak

melayani orang-orang difabel, khususnya penyandang tunagrahita.

DAFTAR PUSTAKA

Address Of His Holiness Pope Francis To Participants In The Conference Organized By The Pontifical Council For Promoting New Evangelization.

(2017). Diunduh dari http://www.vatican.va/content/francesco/en/

speeches/2017/october/documents/papa-francesco_20171021_convegno-pcpne.html pada 4 Desember 2019.

Alfa. (2019). Tingkatan IQ Tertinggi, Terendah, hingga Rata-rata Manusia.

Diunduh dari https://blogs.itb.ac.id/wikia/berapa-iq-tertinggi-manusia/ pada 1 Mei 2021.

Anggito, Albi & Setiawan, Johan. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif.

Sukabumi: Jejak.

Boyle, Joseph & Scanlon, David. (2010). Methods and Strategies for Teaching Students with Mild Disabilities: A Case-Based Approach. Canada: Cengage Learning.

Charles M., Shelton. (1987). Spiritualitas Kaum Muda: Bagaimana Mengenal dan Mengembangkannya. Yogyakarta: Kanisius.

Darmawan, Deni & Wahyudin, Dinn. (2018). Model Pembelajaran di Sekolah.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Delphie, Bandi. (2006). Pembelajaran Anak Tunagrahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi (Child with Development Impairment). Bandung: Refika Aditama.

Effendi, Mohammad. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Hendry. (2011). Teori Locus of Control. Diunduh dari https://teorionline.wordpress.com/2011/06/28/teori-locus-of-control/ pada 22 Mei 2020.

Hidayat, Anwar. (2012). Penelitian Kualitatif: Penjelasan Lengkap. Diunduh dari https://www.statistikian.com/2012/10/penelitian-kualitatif.html pada 27 Mei 2020.

Imron, Ali. (1996). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Joice, Bruce. Marsha Weil. & Emily Calhoun. (2009). Models of Teaching: Model-model Pembelajaran. Penerjemah: A. Fawaid & A. Mirza. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Konferensi Waligereja Indonesia. (2007). Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius.

Listiati, Ingrid. (2018) Iman dan Pengabulan Doa. Diunduh dari https://www.katolisitas.org/iman-dan-pengabulan-doa/ pada 19 Desember 2020.

Mangunsong, Frieda. (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Depok:

LPSP3 UI Nusa Indah.

Marwanto, Y. (2016). Mimpi Pastoral Umat Berkebutuhan Khusus. Diunduh dari https://majalah.hidupkatolik.com/2016/07/03/971/mimpi-pastoral-umat-berkebutuhan-khusus-2/ pada 17 Oktober 2019.

NN. (2013). Locus of Control. Diunduh dari https://www.edglossary.org/locus-of-control/ pada 22 Mei 2020.

Nouwen, Henri J.M. (1989). Yang Terluka Yang Menyembuhkan: Pelayanan dalam Masyarakat Modern. Penerjemah: Christina, R. Hardiyanto, & I. Suharyo.

Yogyakarta: Kanisius

Paus Fransiskus. (2016). Anjuran Apostolik Pasca Sinode Paus Fransiskus

“Amoris Laetitia” tentang sukacita kasih. Penerjemah: Komisi Keluarga KWI & Couple of Christ Indonesia. Jakarta: Obor.

Paus Fransiskus. (2016). Anjuran Apostolik Paus Fransiskus “Evangelii Gaudium”

tentang sukacita injil. Penerjemah: F.X. Adisusanto & B. Harini Tri Prasasti.

Jakarta: Obor.

Paus Yohanes Paulus II. (2016). Anjuran Apostolik “Catechesi Tradendae” tentang katekese masa kini. Penerjemah: R. Hardawiryana. Jakarta: Obor.

Putri Pratiwi, Ratih & Murtiningsih, Afin. (2013). Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Retno Wulandari, Dyah. (2016). Strategi Pengembangan Perilaku Adaptif Anak Tunagrahita melalui Model Pembelajaran Langsung. Pendidikan Luar Biasa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 51-66.

Rusdi, M. (2018). Penelitian Desain dan Pengembangan Pendidikan. Depok:

Rajawali Pers.

Sugiarto, Eko. (2015). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis.

Yogyakarta: Suaka Media.

Sugiarto. (2018). 248 Penyandang Disabilitas Dibaptis di Gereja Kotabaru.

Diunduh dari https://www.suaramerdeka.com/news/baca/152497/248-penyandang-disabilitas-dibaptis-di-gereja-kotabaru pada 4 Desember 2019.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sukadari, H. (2019). Model Pendidikan Inklusi dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Tjasmini, Mimin & Chandra Z., M. (2012). Peran Guru Pembimbing Khusus (GPK) dalam Pembinaan Perilaku Adaptif Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Inklusi. JASSI_Anakku, 11(1), 61-68. Diunduh dari https://ejournal.upi.edu/index.php/jassi/article/view/4001 pada 18 Juli 2021.

Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Jakarta: Bumi Aksara.

Vanier, Jean. (2014). What Have People With Learning Disabilities Taught Me?

Diunduh dari https://humanumreview.com/uploads/pdfs/Vanier-2014-Issue-Three.pdf pada 18 Juli 2021.

WHO. (2011). World Report on Disability. Switzerland: WHO Press.

Wignyanta, Thom & Lege, Lukas. (1971). Direktorium Kateketik Umum. Ende:

Nusa Indah

Wikasanti, Esthy. (2014). Mengupas Terapi bagi Para Tuna Grahita: Retardasi Mental sampai Lambat Belajar. Yogyakarta: Maxima.

(1) LAMPIRAN I

SURAT PERMOHONAN IJIN PENELITIAN

(2) LAMPIRAN II

INSTRUMEN WAWANCARA MENDALAM

A. Pengertian Tunagrahita a. Menurut para ahli

1. Menurut Bruder/Suster, siapakah penyandang tunagrahita?

b. Istilah penyebutan tunagrahita

2. Menurut Bruder/Suster, sebutan atau istilah apa sajakah yang mengungkapkan penyandang tunagrahita?

B. Penyebab Tunagrahita

a. Faktor kesehatan selama kehamilan, kelahiran, dan pasca kelahiran.

1. Menurut Bruder/Suster/Romo, sejauh manakah obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu hamil, atau perlakuan medis pada saat kehamilan/kelahiran/pasca kelahiran, ataupun penyakit fisik yang dialami ibu hamil (bahkan tunagrahita turunan) dapat mengakibatkan ketunagrahitaan pada anak yang ada di kandungnya?

b. Faktor lingkungan hidup.

2. Menurut Bruder/Suster/Romo, sejauh manakah situasi psikologis yang terjadi pada saat kehamilan/ kelahiran/ pasca kelahiran, maupun dalam lingkungan keluarga/masyarakat yang dapat memicu ketunagrahitaan pada anak?

C. Karakteristik Tunagrahita a. Fisik

1. Karakteristik fisik apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita?

b. Kognitif

2. Karakteristik kognitif apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita?

c. Mental

3. Karakteristik mental apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita?

d. Psikomotorik

4. Karakteristik psikomotorik apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita?

(3) e. Sosial

5. Karakteristik sosial apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita?

D. Klasifikasi Tunagrahita a. Ringan

1. Ciri-ciri apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita ringan?

b. Sedang

2. Ciri-ciri apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita sedang?

c. Berat

3. Ciri-ciri apakah yang dimiliki oleh penyandang tunagrahita berat?

E. Prinsip Umum Pendidikan Tunagrahita a. Kasih sayang

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, bagaimana penerapan sikap kasih sayang dalam pembelajaran agama Katolik dapat menumbuhkan diri siswa tunagrahita?

b. Keperagaan

2. Alat-alat peraga apa sajakah yang dapat dipakai untuk membantu pembelajaran agama Katolik khusus tunagrahita?

c. Habilitasi

3. Bagaimana cara guru mengajar sekaligus mengembangkan potensi dan kemampuan siswa tunagrahita yang belum berfungsi dengan baik?

F. Model Pendidikan Umum Tunagrahita a. Model behavioral

1. Bagaimana implikasi model behavioral bagi penyandang tunagrahita dalam pelaksanaan pembelajaran?

G. Strategi Pendidikan Umum Tunagrahita a. Strategi pengajaran secara umum

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, tips atau strategi apa sajakah yang sesuai dalam melaksanakan pembelajaran agama Katolik bagi siswa tunagrahita?

b. Strategi pengajaran menurut klasifikasi

2. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, tips atau strategi sesuai klasifikasi apakah yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran agama Katolik khusus tunagrahita?

(4)

H. Pelaksanaan Katekese Khusus Tunagrahita a. Tujuan katekese

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, apakah tujuan katekese khusus penyandang tunagrahita?

b. Materi katekese

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, dari berbagai tema yang dibahas dalam Kitab Suci, tema Kitab Suci manakah yang dapat didalami oleh penyandang tunagrahita?

2. Materi katekese apa sajakah yang selalu Bruder/ Suster/ Romo berikan bagi penyandang tunagrahita?

c. Langkah pelaksanaan katekese

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, bagaimana cara mengajarkan Kitab Suci kepada penyandang tunagrahita?

2. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, bagaimana cara mengajarkan materi sakramen-sakramen Gereja beserta praktiknya kepada penyandang tunagrahita?

d. Manfaat katekese

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, apakah manfaat dari pendidikan iman Katolik bagi penyandang tunagrahita?

e. Upaya pengembangan katekese

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, upaya apakah yang seharusnya dilakukan Gereja untuk mendukung pertumbuhan iman penyandang tunagrahita melalui katekese?

2. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, upaya mengembangan iman Katolik apakah yang seharusnya dilakukan Gereja untuk meningkatkan partisipasi umat penyandang tunagrahita dan orangtua/ wali-nya melalui katekese?

I. Karakteristik Pelaku Katekese a. Umat tunagrahita

1. Bagaimana tanggapan Bruder/ Suster/ Romo mengenai pidato Paus Fransiskus dalam Konferensi Promosi Evangelisasi Baru pada tanggal 21 Oktober 2017, yang mengungkapkan bahwa umat disabilitas merupakan katekis sejati melalui keterbatasannya?

b. Orangtua/wali

2. Berdasarkan pengamatan Bruder/ Suster/ Romo, bagaimanakah peran orangtua penyandang tunagrahita dalam mendidik iman anaknya?

(5) c. Katekis

3. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, bagaimana sikap atau perilaku katekis yang patut dicontoh oleh penyandang tunagrahita?

d. Pastor paroki

4. Sejauh manakah Romo mendukung pendidikan dan perkembangan iman penyandang tunagrahita?

J. Tahap Perkembangan Iman Sintetis-Konvensional bagi Penyandang Tunagrahita

a. Pengetahuan dan penghayatan yang telah diinternalisasikan oleh penyandang tunagrahita

1. Menurut Bruder/ Suster/ Romo, Sejauh mana para penyandang tunagrahita telah menginternalisasikan pengetahuan dan penghayatan imannya sesudah diadakan katekese untuk mereka?

b. Pengetahuan dan penghayatan iman yang diharapkan katekis bagi penyandang tunagrahita

2. Tahap pengetahuan dan penghayatan iman apakah yang diharapkan Bruder/ Suster/ Romo bagi penyandang tunagrahita?

(6)

LAMPIRAN III

HASIL WAWANCARA MENDALAM 1

Nama : Br. Cornel, FC (P1)

Tempat Perutusan : SLB C Karya Bakti, Purworejo Pekerjaan : Guru agama Katolik (sementara)

Waktu wawancara : Rabu, 12 Agustus 2020, pk. 09.30 – 11.30

Penulis : Menurut Bruder, siapakah penyandang tunagrahita?

Br. Cornel, FC : Anak yang menyandang tunagrahita ialah anak berkekurangan daya pikir atau daya intelektual atau yang biasa disebut dengan imbesil. Jadi siapa saja yang terlibat dalam hal itu karena keturunan, atau waktu kecil kurang diterima kehadirannya oleh orang tua, dan juga mungkin karena suntikan yang memiliki dosis tinggi, dan juga mendapat kurang perhatian dari orangtua. Penolakan dari orangtua dapat mengakibatkan anak menyandang tunagrahita atau tunamental.

Br. Cornel, FC : Ada yang disebabkan oleh obat, darah tinggi, atau waktu anak mengalami panas tinggi, ada suntikan, lalu step, itu juga dapat mengakibatkan tunagrahita. Bisa juga karena jatuh pada waktu ibu mengandung atau pada waktu anak masih kecil.

Penulis : Apakah tunagrahita itu menurun dari orangtua yang menyandang tunagrahita kepada anaknya?

Br. Cornel, FC : Tidak, karena ada anak pertama yang menyandang tunagrahita, namun anak keduanya tidak. Itu semua tergantung dari kondisi dari saat ia dikandung atau kondisi orang tua secara fisik dan psikologis, misalnya ada pertengkaran rumah tangga. Kecuali kalau ada gen antar saudara menikah dengan saudara. Saya banyak melihat keadaan itu. Maka dari itu, sesama saudara seharusnya tidak boleh menikah karena akan rentan akan kelainan, entah tunagrahita, idiot, dll.

Penulis : Bagaimana jika ada anak yang lahir dengan sehat walafiat, namun dalam perjalanan waktu mengalami tanda-tanda ketunagrahitaan?

(7)

Br. Cornel, FC : Bisa. Jadi misalnya orangtuanya pisah atau pegatan tanpa tanggungjawab pada saat anak lahir. Jadi orangtua kurang mencintai anaknya, atau bapaknya yang tidak mau mencintai anaknya, dapat rentan seperti itu.

Penulis : Menurut pengalaman Bruder selama melayani penyandang tunagrahita, bagaimana dengan sikap penerimaan orangtua, jika ternyata mereka memiliki anak yang menyandang tunagrahita?

Br. Cornel, FC : ya ada juga yang menerima, dan ada juga yang tidak menerima. Namun setelah saya melakukan kunjungan dan pendekatan, pada akhirnya orangtua sadar bahwa anak merupakan titipan Tuhan, maka orangtua harus tanggungjawab. Tidak bisa orangtua mengingkari anak dan menolak anak, karena kalau demikian berarti menolak perintah Tuhan.

Penulis : Apakah ada orangtua yang langsung melempar tanggungjawab merawat anaknya yang menyandang tunagrahita ke asrama SLB-nya Bruder, lalu ditinggal?

Br. Cornel, FC : Ya, ada. Seperti si Indro itu. Bahkan sekarang orangtuanya Indro tidak kembali kesini lagi. Pernah sih sekali sebelum mereka tidak pernah kembali lagi kesini, mereka sempat mengunjungi anaknya, Indro. Lalu tidur di asramanya Indro. Saat bapaknya sedang tidur, Indro mengencingi wajahnya.

Untunglah saya berada disana. Saya merasa ada sesuatu dengan bapaknya Indro, dan betul, terjadilah demikian. Indro mengencingi wajah bapaknya. Sesudah itu, orangtua Indro tidak pernah kembali lagi asrama SLB C ini, dan saya juga akhirnya kehilangan jejak mereka. Saya sudah 3 kali pergi ke Cirebon untuk membicarakan secara baik-baik dengan mereka, namun tiada hasil. Akhirnya saya yang harus mereka dibawah normal. Karena ada tunagrahita ringan, sedang, dan berat. Kalau yang berat itu, tidak bisa apa-apa. Kalau yang sedang itu bisa nyapun cuci-cuci, tapi harus didampingi. Yang ringan harus diarahkan semisal “ini harus dicuci, ini harus dibersihkan”. Kalau yang berat itu tidak bisa berdiri sendiri, segalanya membutuhkan pendamping, mulai dari mandi, makan, sikat gigi, bahkan dibangunkan juga. Memang mereka bangun, tapi tetap harus diarahkan.

Penulis : Bagaimana dengan terapi psikologis penyandang tunagrahita?

Br. Cornel, FC : Untuk terapinya, kita mengadakan kegiatan agar pikirannya bergerak, entah dengan menghitung, bersih-bersih lingkungan, mandi, sikat gigi.

(8)

Itu semua termasuk terapi, agar nantinya bisa mandiri. Orangtua itu senang, waktu pertama kali datang ke SLB ini, sikat gigi tidak bisa, mandi tidak bisa. Namun setelah berkunjung lagi, mereka bangga dan senang, “ohh anakku udah mandi, bisa gosok gigi, dan juga bisa pegang sendok makan sendiri”. Tapi kita kita bisa memaksa anak, harus sesuai dengan kemampuan mereka. Misal kalau ada teori yang sulit bagi anak, ya kita turunkan tingkat kesulitannya, kita cari soal yang lebih mudah.

Penulis : Saya menemukan literature tentang cara berbicara penyandang tunagrahita adalah membeo. Bagaimana maksudnya, Bruder?

Br. Cornel, FC : Membeo itu kan tidak jelas, orang-orang sulit memahami apa kata mereka. Kadang bicara sendiri, tidak ada artinya, hanya membeo saja.

Seperti Indro itu, ngomong tapi tidak tahu artinya, seing bicara sendiri, tidak tahu artinya, ngomong dengan siapa, ditujukan dengan siapa tidak tahu.

Penulis : Bagaimana cara memahami perkataan mereka, Bruder?

Br. Cornel, FC : Cara memahami pembicaraan anak, kalau saya cenderung

Br. Cornel, FC : Cara memahami pembicaraan anak, kalau saya cenderung