• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

E. Kecerdasan Spiritual

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kecerdasan berawal dari kata benda

(nomina) “Cerdas” yang berawalan “Ke-, dan berakhiran -an” sehingga menjadi

kecerdasan” yang berarti “sempurnaperkembanganakalbudinya, tajampikiran,

pandai”.13

Selain itu, dalam Kamus Lengkap Inggeris- Indonesia, Indonesia-

Inggeris dijelaskan “educated, clever, inteligent”, yang berarti “cerdas”.14 Simpulnya, bahwa kecerdasan adalah seseorang yang mempunyai kepandaian atau berpendidikan.

12

Drs. M. Lutfi, MA, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 6.

13

Drs. Tri Rama K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Karya Agung), h. 112.

14

Prof. Drs. S. Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggeris- Indonesia- 316 hal Indonesia- Inggeris – 332 hal, (Bandung: Penerbit Hasta, Cetakan Ke-16), h. 65.

Secara (etimologi) bahasa “Spiritual/‘spiritual” - (‘Spiritjual), dalam

bahasa Inggris diartikan sebagai “rohani, intelektuil”.15 Spiritual menurut kamus Webster (1963) kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa Latin “spiritus” yang berarti napas dan kata kerja “spirare” yang berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.16

Kemudian secara (terminologi) istilah pengertian spiritual banyak pendapat para tokoh di antaranya adalah:17

1. Schreurs mendefenisikan spiritualitas sebagai hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

2. Elkins menunjuk spiritualitas sebagai cara individu memahami keberadaan maupun pengalaman dirinya. Bagaimana individu

15

Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 207.

16

Ibid, h. 288.

17

Dr. Abdul Jalil, M. EI, Spiritual Enterpreneurship Transformasi Spiritualitas Kewirausahaan, (Yogyakarta: LkiS Cemerlang, 2013), h. 23.

memahami keberadaan maupun pengalamannya dimulai dari kesadarannya mengenai adanya realitas transenden (berupa kepercayaan kepada Tuhan, ataupun yang dipersepsikan individu sebagai sosok transenden) dalam khidupan, dan dicirikan oleh nilai-nilai yang dipegangnya.

3. Maslow mendefenisikan spiritualitas sebagi sebuah tahapan aktualisasi diri, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendahhatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas. Pengalaman spiritual adalah peak

experience, plateau, dan farthest reaches of human nature.18

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kepandaian seseorang berhubungan dengan Tuhan melalui rohaninya atau intelektuilnya, karena dalam spiritualitas itu sendiri mencakup perasaan, sikap, pemikiran, dan sebagainya, yang kemudian bisa diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk realisai kepada Tuhan. Spiritualitas juga adalah sebagai bentuk pengalaman batin seseorang yang meninggalkan kesan dan pesan yang mendalam. Spiritualitas merupakan bagian esensial dalam unsur kehidupan manusia, karena dengan spiritualitas menjadi penentu dalam perjalanan hidup manusia, baik secara vertikal maupun horizontal.

Sebagai bukti bahwa kecerdasan spiritual merupkan hal yang amat penting dalam kehidupan, sebagaimana telah diketahui berdasarkan ilmu

18

Dr. Abdul Jalil, M. EI, Spiritual Enterpreneurship Transformasi Spiritualitas Kewirausahaan, (Yogyakarta: LkiS Cemerlang, 2013), h. 24.

pengetahuan dalam Islam, begitu juga dalam ilmu pengetahuan Barat. Dalam ilmu pengetahuan Islam dan Barat selalu dijelaskan tentang metode yang bersifat ilmiah dan non ilmiah. Namun, spirtualitas merupakan wilayah yang hanya bisa dicapai dengan metode non ilmiah dan merupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan.

Menurut Nashori (2002: 84-107), ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya bekerja pada wilayah yang teramati (observable area), tapi juga bekerja pada wilayah yang terpikirkan (conceivable area) dan wilayah yang tidak terpikirkan (unconceivable area). Hal ini memaksa dirinya untuk membuat secara garis besar metode-metode psikologi Islam sebagai berikut:19

a. Metode keyakinan

Sumber yang sah dan harus diyakini adalah wahyu ilahi, yaitu Al-Qur’an al-karim dan Hadis. Dari dua pokok rujukan ini kemudian berupaya untuk menangkap pesan-pesan psikologis yang terkandung, baik dari segi kandungan materi (matan) atau dari segi sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul) dan sebab turunnya Hadis (asbab al-wurud).

b. Metode rasionalisasi

Manusia harus menggunakan rasio sambil menyadari keterbatasannya. Kerelatifan rasio harus dijadikan landasan bahwa rasio dapat menangkap hal-hal yang berbentuk (tipu muslihat), perencanaan atau

19

Rafy Safuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Mansuia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 39.

strategi, dan koreksi. Fritjof Schoun mengatakan bahwa rasionalisme itu keliru bukan karena ia berupaya untuk mengekspresikan realitas secara rasional, sejauh hal itu memungkinkan. Akan tetapi karena ia berupaya merangkul seluruh realitas ke dalam alam rasio, seakan-akan hal ini sesuai dengan prinsip segala sesuatu.

c. Metode ilmiah

Meneliti (observe) hal-hal yang dibatas oleh ruang lingkup benda-benda yang bersifat indrawi (observable fact). Menurut M. D. Dahlan, metode ilmiah terdiri atas metode deskriptif dan metode eksperimen. Termasuk metode deskriptif adalah observasi dan riset korelasional. Di bawah ini dipaparkan contoh metode ilmiah.20

(1) Metode observasi (2) Riset korelasional (3) Metode eksperimental (4) Metode fenomenologi d. Metode non ilmiah21

(1) Metode ototritas. Sumber otoritas yang dapat dijadikan rujukan

adalah Nabi, Sahabat, Tabi’in, Tabi’uttabi’in, para wali dan alim

ulama, juga orang-orang yang memilki ilmu pengetahuan dan mengalami suatu peristiwa penting dalam hidupnya dapat juga

20

Rafy Safuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Mansuia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 40.

21

dijadikan sumber pengetahuan untuk mengetahui realitas yang tidak tampak oleh mata.

(2) Metode intuisi. Tiga alasan menggunakan metode ini. Yang

pertama, banyak digunakan orang dan efektif bagi mereka yang

bergelut di dunia spiritual. Yang kedua, dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara objektif. Yang

ketiga, dapat dipelajari oleh siapa pun dengan usaha yang intens

dan terbimbing. Puncak dari pendalaman metode ini adalah ketersingkapan (kasyaf) dan keterbukaan (futuh). Contoh teladan kenabian adalah Nabi Khidir (mampu melihat waktu yang akan datang) dan Nabi Yusuf (membuka rahasia mimpi) keduanya menggunakan mata batin.

(3) Metode eksperimen spiritual. Metode ini mengedepankan rasa

(dzauq) dan penghayatan (wijdan). Semakin tinggi tingkat

sensivitas seseorang, maka ia akan semakin mudah merasakan getaran dan kondisi kejiwaan makhluk yang ada disekitarnya.22

Psikologi islami tidak diam pada sebatas pemahaman hakikat sesuatu, tapi lebih menekankan pada aktivitas merasakan dan mengalami. Kedua unsur inilah yang sebenarnya dicari dari pengkajian ilmu tentang jiwa.

Metode eksperimen dalam metode non ilmiah di atas sebagai salah satu bukti bahwa spiritual itu merupakan hal non ilmiah, namun merupakan hal yang

22

Rafy Safuri, M. Si, Psikologi Islam Tuntunan Jiwa Mansuia Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 42.

mendasar dalam kehidupan manusia. Ilmu rasa dan penghayatan adalah suatu hal yang mudah dipahami dan dijelaskan tapi sulit untuk dapat dirasakan oleh setiap orang, karena rasa harus dicapai melalui kedekatan kepada sang pemberi rasa, yakni Allah SWT. Jika seseorang sudah memakan berbagai jenis makana tapi rasa kenyang belum ia dapatkan, maka ada faktor yang menyebabkannya tidak kenyang, yaitu ia belum diberi rasa oleh Allah, sehingga ia tidak merasakan bahwa makanan yang ia makan adalah nikmat dari Allah yang harus disyukuri dan dinikmati dengan sebaik mungkin.

Dokumen terkait