• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.4 Kecukupan Luasan Area Lahan Basah Buatan

Teknologi lahan basah buatan menggunakan sistem aliran bawah permukaan

(subsurface flow wetland) dinilai paling sesuai untuk pengolahan limbah domestik

karena tidak adanya kontak langsung dengan kolom air dan atmosfer yang memungkinkan banyaknya jentik nyamuk dan timbulnya bau apabila limbah dalam kondisi tergenang, hal ini menjadikan sistem ini aman bagi perspektif kesehatan (Suswati dan Wibisono 2013).

Tangahu dan Warmadewanthi (2001) menyatakan bahwa pengolahan air limbah dengan sistem lahan basah buatan lebih dianjurkan karena beberapa alasan berikut:

Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri termasuk logam berat.

Efisiensi pengolahan tinggi mencapai 80%.

Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah dan tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi.

Alasan lain yang lebih teknis dikemukakan oleh Haberl dan Langergraber (2002) bahwa berdasarkan pendekatan teknis maupun efektifitas biaya, sistem

wetland lebih banyak dipilih dengan alasan sebagai berikut:

Sistem wetlands seringkali pembangunannya lebih murah dibandingkan dengan alternatif sistem pengolahan limbah yang lainnya.

Biaya operasional dan pemeliharaan yang rendah dan waktu operasionalnya secara periodik, tidak perlu secara kontinyu.

Sistem wetlands mempunyai toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi debit air limbah.

Mampu mengolah air limbah dengan berbagai perbedaan jenis polutan maupun konsentrasinya.

Memungkinkan untuk pelaksanaan pemanfaatan kembali dan daur ulang

(reuse and recycling) dari air limbah tersebut.

Lebih jauh Haberl dan Langergraber (2002) menambahkan bahwa proses eliminasi polutan dalam air limbah terjadi melalui proses secara fisik, kimia dan biologi yang cukup komplek yang terdapat dalam asosiasi antara media, tumbuhan dan mikroorganisme, antara lain:

Pengendapan untuk zat padatan tersuspensi. Filtrasi dan pretisipasi kimia pada media. Transformasi kimia.

Adsorpsi dan pertukaran ion dalam permukaan tanaman maupun media.

Transformasi dan penurunan polutan maupun nutrien oleh mikroorganisme maupun tanaman.

Mengurangi mikroorganisme pathogen.

Metode Reed digunakan untuk mengestimasi luas lahan yang diperlukan untuk mengolah limbah cair berdasarkan beban cemaran yang masuk ke lingkungan, yaitu berdasarkan nilai BOD yang ada dalam air limbah. Mitchel (1998) menyatakan bahwa metode reed digunakan untuk mengestimasi kebutuhan area untuk menurunkan nilai BOD.

Berdasarkan hasil analisis parameter pencemar selama penelitian, diketahui bahwa penurunan BOD tertinggi terjadi pada hari ke-14 berkisar antara 95 hingga

99%. Pengukuran kecukupan luasan area lahan basah buatan dilakukan untuk mengestimasi berapa luas area yang diperlukan untuk mengolah air limbah domestik yang paling optimal berdasarkan nilai BOD yang ada. Atas pertimbangan tersebut, maka perhitungan luasan area lahan basah buatan di lakukan menggunakan data pada hari ke-14 dimana pada hari ke-14 terjadi penurunan nilai BOD yang tertinggi (maksimal) dibanding hari ke-0, hari ke-28 maupun hari ke-42.

Di bawah ini adalah grafik penurunan BOD pada hari ke-14 dimana terjadi penurunan maksimal pada teknologi lahan basah buatan sistem aliran bawah permukaan selama penelitian (Gambar 11).

Gambar 11. Grafik penurunan BOD pada hari ke-14

Kecukupan luas area untuk lahan basah buatan dihitung menggunakan metode reed dimana desain sistem tersebut dipublikasikan pertama kali menggunakan model kinetik (Reed et al. 1995). Sebelumnya, aplikasi metode Reed untuk mengestimasi luasan area lahan basah buatan digambarkan melalui

“Panduan penggunaan Free Water Surface Constructed Wetland untuk mengolah

limbah perkotaan” (Siracusa dan La Rosa 2006). Luasan area lahan basah buatan yang optimal untuk mengolah air limbah domestik juga diperlukan agar aplikasi teknologi lahan basah buatan lebih maksimal diterapkan baik rumah tunggal maupun secara terpusat di area permukiman warga.

Adapun rumus untuk menghitung luasan area lahan basah buatan menggunakan metode reed adalah sebagai berikut :

dnv K C C Q A T i / ) ln( 0 Keterangan :

A : Luas area lahan basah buatan (m2) Q : debit air pada influen (m3 d-1)

Ci : Konsentrasi polutan pada influent (mg L-1) Co : Konsentrasi polutan pada effluent (mg L-1) d : Kedalaman air pada lahan basah buatan (m)

KT : Konstanta pada temperatur pada lahan basah buatan per hari ( 0C) nv : Porositas media (%)

Untuk mencari KT menggunakan persamaan sebagai berikut : 20 20 w T T K K Keterangan :

KT : Konstanta laju temperatur air pada lahan basah buatan (d-1) K20 : Konstanta laju pada 20 0C (temperatur referensi)

Tw : Temperatur lahan basah buatan

: Konstanta koefisien temperatur (20 0C)

Nilai konstanta hukum kinetik pertama pada 20 0C dan koefisien temperatur ( ) tergantung pada penurunan polutan. Adapun nilai tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Adapun hasil perhitungan estimasi lahan basah buatan pada masing-masing perlakuan pada hari ke-14 adalah sebagai berikut :

C. indica dengan debit air limbah 15 L d-1 (A1B1)

Diketahui : Q = 0.01 m3 d-1 Ci = 506 mg L-1 Co = 18.3 mg L-1 d = 0.26 m nv = 0.25 Tw = 26 0C Dihitung : A Jawab : Kr = 0.67 qr = 1.06 KT = 0.96 A = 1.56 m2 t = 3.45 d

C. indica dengan debit air limbah 30 L d-1 (A1B2)

Diketahui : Q = 0.01 m3 d-1 Ci = 506 mg L-1 Co = 18.63 mg L-1 d = 0.26 m nv = 0.25 Tw = 26 0C Dihitung : A Jawab : Kr = 0.67 qr = 1.06 KT = 0.96 A = 1.55 m2

t = 3.43 d

H. psittacorum dengan debit air limbah 15 L d-1 (A2B1)

Diketahui : Q = 0.03 m3 d-1 Ci = 506 mg L-1 Co = 4.2 mg L-1 d = 0.26 m nv = 0.25 Tw = 26 0C Dihitung : A Jawab : Kr = 0.67 qr = 1.06 KT = 0.96 A = 2.25 m2 t = 4.98 d

H. psittacorum dengan debit air limbah 30 L d-1 (A2B2)

Diketahui : Q = 0.03 m3 d-1 Ci = 506 mg L-1 Co = 18.42 mg L-1 d = 0.26 m nv = 0.25 Tw = 26 0C Dihitung : A Jawab : Kr = 0.67 qr = 1.06 KT = 0.96 A = 1.55 m2 t = 3.44 d

Berdasarkan hasil perhitungan estimasi kecukupan luas area lahan buatan menggunakan sistem aliran bawah permukaan maka dapat diketahui bahwa pada hari ke-14 dengan beban cemaran BOD sebesar 506 mg L-1 pada inlet, pada perlakuan menggunakan tanaman C. indica dengan debit air limbah 15 L d-1 (A1B1) dimana kandungan BOD pada outlet sebesar 18.30 mg L-1, maka diperlukan luas lahan sebesar 1.56 m2 dengan waktu detensi 3 hari. Pada perlakuan menggunakan tanaman C. indica dengan debit air limbah 30 L d-1 (A1B2), dengan jumlah kandungan BOD pada outlet sebesar 18.63 mg L-1 diperlukan luas lahan sebesar 1.56 m2 dengan waktu detensi 3 hari.

Pada perlakuan menggunakan tanaman H. psittacorum dengan debit air limbah 15 L d-1 (A2B1) dengan jumlah kandungan BOD pada outlet sebesar 4.20 mg L-1 maka diperlukan luas lahan sebesar 2.25 m2 dengan waktu detensi 5 hari dan pada perlakuan menggunakan tanaman H. psittacorum dengan debit air limbah 30 L d-1 (A2B2) dengan kandungan BOD pada outlet sebesar 18.42 mg L-1 maka diperlukan luas lahan sebesar 1.55 m2 dengan waktu detensi 3 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar nilai BOD yang terdapat dalam air limbah, maka diperlukan luas area lahan basah buatan yang lebih besar untuk mengolah air limbah serta waktu detensi yang lebih lama.

Berdasarkan hasil uji pendahuluan nilai debit air limbah harian dari rumah tinggal dengan rata-rata penghuni sebanyak 4 orang adalah sebesar 0.45 m3 d-1 atau sejumlah 450 L d-1. Dengan kata lain, debit air limbah harian per-orang di area penelitian adalah sebesar 112.5 L d-1. Berdasarkan nilai tersebut jika disimulasikan dengan persamaan yang ada untuk kecukupan luasan area lahan basah buatan skala rumah tangga dengan debit air limbah pada inlet 506 mg L-1 dan nilai BOD pada outlet sebesar 4.2 mg L-1 maka dibutuhkan luas lahan sebesar 8.27 m2 dan waktu retensi kurang lebih 5 hari.

Supradata (2005) menyatakan bahwa tingkat permeabilitas dan konduktivitas hidrolis media sangat berpengaruh terhadap waktu detensi air limbah, dimana waktu detensi yang cukup akan memberikan kesempatan kontak antara mikroorganisme dengan air limbah.

Hidayah dan Aditya (2010) menyatakan bahwa efisiensi penyisihan kandungan air limbah bergantung pada konsentrasi dan lamanya waktu penahanan air limbah dalam lahan basah, selain itu ketersediaan oksigen menjadi faktor yang penting dalam proses biologis pada pengolahan limbah. Jika oksigen di sekitar akar tercukupi maka keberadaan mikroorganisme yang berperan dalam menguraikan limbah juga semakin besar. Khiatuddin (2003) menyatakan bahwa penurunan kandungan BOD dalam proses lahan basah buatan sangat membutuhkan ketersediaan oksigen yang cukup yang nantinya melewati sela-sela tanah dan akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme di sekitar akar tanaman untuk menguraikan bahan organik dalam air limbah.

Dokumen terkait