• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kecukupan Modal

1. Pengertian Kecukupan Modal

Permodalan berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan terhadap kegiatan operasional, penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Modal yang dimiliki oleh suatu bank pada dasarnya harus cukup untuk menutupi seluruh risiko usaha yang dihadapi bank.

Untuk memastikan bahwa industri perbankan memiliki permodalan yang cukup dalam mendukung kegiatan usahanya, Bank Indonesia bertanggung jawab menentukan jumlah minimum permodalan yang harus dimiliki bank dan mengeluarkan ketentuan mengenai permodalan minimum (regulatory capital). Pemenuhanregulatory capital tersebut menjadi salah satu komponen penilaian dalam pengawasan bank yang tercermin dari pemenuhan rasio kecukupan modal.25 Kecukupan modal perbankan salah satunya diukur dengan Capital Adequacy Ratio (CAR).

25

Ferry N Idroes, Manajemen Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaaannya di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.66.

2. Capital Adequacy Ratio(CAR)

CAR adalah perbandingan antara total modal dengan aset tertimbang menurut risiko yang oleh Bank Indonesia diterjemahkan menjadi KPMM (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum).26 CAR dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Modal Bank CAR =

Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)

X 100%

BI menetapkan ketentuan modal minimum bagi perbankan sebagaimana ketentuan dalam standar Bank for International Settlements (BIS) bahwa setiap bank umum diwajibkan menyediakan modal minimum sebesar 8% dari total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).27 Adapun Klasifikasi tingkat CAR menurut Bank Indonesia secara rinci adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

Klasifikasi Tingkat CAR Menurut BI

Tingkat CAR Predikat

8% ke atas Sehat

6,4% - 7,9% Kurang Sehat di bawah 6,4% Tidak Sehat Sumber: www.bi.go.id

CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (pembiayaan, penyertaan, surat

26

Benyamin Molan,Glosarium Prentice hall untuk Manajemen dan Pemasaran, h.16.

27

berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal bank, disamping memperoleh dana- dana dari sumber- sumber di luar bank seperti dana masyarakat, pinjaman (utang), dan lain- lain. Dengan kata lain, CAR adalah rasio kinerja bank untuk menunjang aktiva yang mengandung risiko, misalnya pembiayaan yang diberikan.28

Rasio CAR merupakan alat pengukur kinerja keuangan bank. Selain itu, CAR juga menggambarkan kondisi perbankan diantaranya: a. Indikasi permodalan apakah telah memadai (adequate) untuk menutup

risiko kerugian yang timbul dari penanaman dana dalam aktiva-aktiva produktif karena setiap kerugian akan mengurangi modal. CAR mengukur kemampuan permodalan bank dalam mengantisipasi penurunan aktiva dan menutup kemungkinan terjadinya kerugian dalam pembiayaan. CAR yang tinggi mencerminkan semakin baiknya permodalan karena modal dapat digunakan untuk menjamin pemberian pembiayaan. CAR yang rendah mencerminkan bahwa permodalan bank kurang baik karena bank kurang mampu menutup kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pembiayaan.

b. Kemampuan membiayai operasional dan membiayai seluruh aktiva tetap dan inventaris bank. CAR yang tinggi menunjukkan cukupnya modal untuk melaksanakan kegiatan usahanya dan dapat melakukan pengembangan bisnis serta ekspansi usaha dengan lebih aman.

28

c. Kemampuan bank dalam meningkatkan profitabilitas. CAR yang tinggi menunjukkan bank tersebut memiliki tingkat modal yang cukup besar dalam meningkatkan cadangan kas yang dapat digunakan untuk memperluas pembiayaannya, sehingga akan membuka peluang yang lebih besar bagi bank untuk meningkatkan profitabilitas.

d. Ketahanan dan efisiensi perbankan. Bila CAR rendah, kemampuan bank untuk survivepada saat mengalami kerugian juga rendah. Modal sendiri cepat habis untuk menutup kerugian yang dialami dan akhirnya kelangsungan usaha bank menjadi terganggu.

3. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPRS

Berdasarkan PBI Nomor: 8/22/PBI/2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPRS, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Perhitungan modal pada BPRS adalah sebagai berikut:29

a. Modal inti terdiri dari modal disetor, agio saham, dana setoran modal, modal sumbangan, cadangan umum, cadangan tujuan, laba ditahan setelah diperhitungkan pajak, laba tahun lalu setelah diperhitungkan pajak, serta laba tahun berjalan setelah diperhitungkan taksiran pajak dan kekurangan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif paling

29

“Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/22/PBI/2006 Tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS)”, artikel diakses 24 Juli 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/37E4E7E8-9507-4788-86C3-533A57C17 BF4/11955/pbi_82207.pdf

tinggi 50%. Modal inti diperhitungkan dengan faktor pengurang berupagoodwill,disagio, rugi tahun lalu, dan rugi tahun berjalan. b. Modal pelengkap diperhitungkan paling tinggi 100% dari modal inti

yang terdiri dari selisih penilaian kembali aktiva tetap, cadangan umum dari Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif paling tinggi 1,25% dari ATMR, modal pinjaman (modal kuasi), dan investasi subordinasi paling tinggi sebesar 50% dari modal inti dengan memenuhi persyaratan tertentu.

Adapun perhitungan kebutuhan modal minimum pada BPRS adalah sebagai berikut:30

a. Melakukan penjumlahan ATMR, yaitu:

1) ATMR aktiva neraca (mengalikan nilai nominal aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko aktiva neraca tersebut).

2) ATMR aktiva administratif (mengalikan nilai nominal rekening administratif yang bersangkutan dengan bobot risiko aktiva administratif tersebut).

b. Jumlah kewajiban penyediaan modal minimum BPRS adalah 8% dari jumlah ATMR (ATMR aktiva neraca + ATMR aktiva administratif). c. Dihitung jumlah modal inti dan modal pelengkap.

30

“Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 9/14/Dpbs/2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPRS, Jakarta, 21 Juni 2007”, artikel diakses 24 Juli 2010 dari http:// www.bi.go.id/NR/rdonlyres/567A219D-023D-404C-A62F-4B253DD30040/12143/SENo914DP bSTgl21Juni2007.pdf.

d. Membandingkan jumlah modal dengan kewajiban penyediaan modal minimum tersebut sehingga dapat diketahui kelebihan atau kekurangan modal dari BPRS yang bersangkutan.

C. Efisiensi Operasional

1. Pengertian Efisiensi

Agar mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat, tuntutan konsumen yang meningkat dan pesatnya kemajuan teknologi informasi, maka pengelolaan bank secara efisien merupakan faktor penting untuk dapat terus bertahan. Efisiensi adalah “melakukan sesuatu secara tepat (do the things right)”. Efisiensi didefinisikan sebagai hubungan antara input dan output yang dihasilkan dengan sumber daya yang dipakai untuk melakukan aktivitas operasional. Bank dikategorikan efisien tergantung dari cara manajemen memproses input menjadi output.31

Efisiensi yang harus dilakukan perbankan adalah mengoptimalkan input yang ada agar manghasilkan output yang maksimal. Input pada perbankan syariah terdiri dari tiga pihak. Dana pihak pertama berasal dari dana para pemodal dan pemegang saham. Dana pihak kedua berasal dari pinjaman lembaga keuangan (bank dan bukan bank) dan pinjaman dari Bank Indonesia. Dana pihak ketiga berasal dari dana simpanan, tabungan, dan deposito. Setelah input terkumpul di bank, selanjutnya bank syariah

31

dapat menghasilkan output berupa penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan dan jasa. Jika terdapat dana yang tidak digunakan pada bank maka bank tetap harus memberikan bagi hasil kepada nasabah dan akhirnya akan mengurangi tingkat laba yang dihasilkan bank.

Bank yang dalam kegiatan usahanya tidak efisien akan mengakibatkan ketidakmampuan bersaing dalam mengerahkan dana masyarakat maupun dalam menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai modal usaha. Efisiensi pada perbankan terutama efisiensi biaya akan menghasilkan tingkat keuntungan yang optimal, penambahan jumlah dana yang disalurkan, biaya lebih kompetitif, peningkatan pelayanan kepada nasabah, keamanan dan kesehatan perbankan yang meningkat. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi perbankan adalah rasio BOPO. 2. Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

Rasio BOPO adalah perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. BOPO digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya.32 BOPO dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Beban Operasional BOPO =

Pendapatan Operasional

X 100%

32

Yang termasuk beban operasional adalah semua jenis biaya yang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha bank. Beban operasional terdapat dalam laporan laba rugi yang diperoleh dengan menjumlahkan biaya bagi hasil, biaya tenaga kerja, biaya umum dan administrasi, biaya Penyusutan dan Penyisihan Aktiva Produktif, biaya sewa gedung dan inventaris, dan sebagainya.33

Sedangkan yang termasuk pendapatan operasional adalah semua pendapatan yang merupakan hasil langsung dari kegiatan usaha bank yang benar- benar telah diterima. Pendapatan operasional didapat dalam laporan laba rugi yang diperoleh dengan menjumlahkan pendapatan jual beli, pendapatan sewa, pendapatan bagi hasil, pendapatan administrasi, dan pendapatan operasional lainnya yang terdiri dari provisi dan komisi serta dividen yang diterima dari saham yang dimiliki. Ketentuan tingkat BOPO menurut Bank Indonesia secara rinci adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3

Klasifikasi Tingkat BOPO Menurut BI

Tingkat BOPO Predikat

Di bawah 93,52% Sehat

93,52% - 94,72% Cukup sehat 94,72% - 95,92% Kurang sehat

Di atas 95,92% Tidak sehat Sumber: www.bi.go.id

33

Selain sebagai indikator kinerja dan kesehatan bank, efisiensi yang diwakili oleh rasio BOPO juga memberikan gambaran mengenai:

a. Kemampuan manajemen perbankan dalam mengelola sumber daya (aktiva) yang ada untuk menghasilkan keuntungan optimal. Semakin rendah BOPO maka semakin tinggi efisiensi operasional bank dalam penggunaan aktiva untuk menghasilkan laba.

b. Kemampuan bank dalam hal pengendalian biaya. Semakin rendah BOPO berarti semakin efisien bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya. Sebaliknya, tingginya BOPO mengindikasikan ketidakmampuan bank dalam mengatur dan mengendalikan biaya. c. Kemampuan bank dalam menghasilkan profitabilitas. BOPO yang

rendah mencerminkan tingginya kemampuan bank dalam menekan biaya operasional sehingga mampu mendorong naiknya profitabilitas. Sebaliknya, tingginya BOPO berarti tinggi pula beban yang ditanggung bank dan berimbas negatif terhadap laba yang didapat. d. Kemampuan bank dalam meminimalkan risiko operasional. Risiko

operasional berasal dari kerugian operasional bila terjadi penurunan keuntungan yang dipengaruhi oleh struktur biaya operasional bank dan kemungkinan terjadinya kegagalan atas jasa- jasa dan produk- produk yang ditawarkan oleh bank. Rendahnya BOPO menunjukkan tingginya kemampuan bank dalam meminimalkan risiko operasional.

Dokumen terkait