• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.5. Kedekatan Hubungan ( Relationship Closeness)

Sebuah wawasan yang berguna untuk memahami sifat dasar dari

relationshipditawarkan oleh penelitian tentanginterpersonal relationship.Secara khusus, dalam bidang ini peneliti pemasaran telah memperkenalkan konsep kedekatan hubungan atau relationship closeness(Clark dan Lemay 2010). Dalam konteks tradisional dari interpersonal relationship, kedekatan hubungan didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana seorang individu dengan individu lainnya memiliki kesamaan atau kedekatan hubungan interpersonal atau konsep diri. Prespektif ini telah diajukan oleh Aron dan Aron (1986) dengan Self-Expansion Model. Model tersebut menunjukkan bahwa apabila seorang individu

memiliki kedekatan hubungan dengan individu lainnya maka mereka akan tergabung menjadi satu bagian konsep diri yang sama (Aron, Aron, dan Norman 2003; Aron, Norman, dan Aron 1998; Aron et al. 2000). Baru-baru ini, konsepkedekatan hubungan ini mulai diterapkan untuk menjelaskan kedekatan hubungan antara konsumen dengan produk atau merk(Reimann dan Aron 2009).

Donovan et al (2012) menjelaskan konsep kedekatan hubungan dalam konteks hubungan antara konsumen dengan merek. Secara konseptual, kedekatan hubungan dengan merek dapat didefinisikan sebagai sejauh mana seorang konsumen menganggap sebuah merek tertentu sebagai bagian dari dirinya sendiri (e.g., Escalas dan Bettman 2003; Park et al. 2010; Reimann dan Aron 2009). Dalam konteks sport marketing misalnya, seorang pendukung sebuah klub sepakbola yang memiliki kedekatan hubungan dengan merek klub sepakbola tersebut akan menganggap klub sepakbola tersebut sebagai bagian dari dirinya. Kekuatan perasaan keterikatan dengan merek selaras dengan kekuatan dorongan dalam diri konsumen untuk menampilkan perilaku yang positif terhadap merek (Parket al. 2010). Semakin kuat kedekatan hubungan tersebut, semakin kuat pula dorongan untuk menampilkan perilaku positif.

Kualitas hubungan awalnya disebut sebagai sebuat paket nilai berwujud yang menambah produk atau jasa dan hasilnya dalam pertukaran yang diharapkan antara pembeli dan penjual (Levitt, 1986). Kualitas kedekatan hubungan adalah membangun lebih tinggi keteraturan yang menggambarkan nilai konsumen yang melekat pada hubungan mereka terhadap penyedia layanan (Dorschet al., 1998). Mengacu pada persepsi konsumen dan evaluasi individu komunikasi penyedia

layanan dan perilaku yang melibatkan termasuk merangsang perasaan dan emosi (Crosbyet al.,1990; Dwyeret al.,1987).

2.1.6.Brand Transgressions

Transgresi merek didefinisikan sebagai pelanggaran implisit dan eksplisit atas norma hubungan yang relevan yang dilakukan oleh merek kepada konsumen yang memiliki kedekatan hubungan dengannya (Aaker, Fournier dan Brasel 2004). Beberapa penelitian memang menyodorkan bukti yang mendukung paradoks pemulihan layanan (service recovery paradox), yaitu konsep yang menjelaskan bahwa apabila konsumen menerima sebuah jasa yang mengecewakan kemudian memperoleh pemulihan layanan yang bagus, hubungan konsumen dengan jasa atau merek yang mengecewakan tersebut justru akan menguat setelah adanya pemulihan layanan itu (Maxham dan Netemeyer 2002). Pada kenyataannya, upaya pemulihan layanan seringkali tidak dapat memulihkan kekecewaan yang sudah lebih dulu terbentuk dan tidak dapat memperbaiki sikap dan persepsi konsumen terhadap merek yang mengecewakannya (Andreassen 2001). Ini menunjukkan bahwa paradoks pemulihan layanan jarang terjadi karena konsumen cenderung menyimpan amarah dan kekecewaan terhadap produk atau merek apabila mereka merasa dikecewakan (Andreassen 2001; Aron 2001).Brand transgression terjadi bila merek melakukan kegagalan atau memberikan kekecewaan pada konsumen yang telah memiliki kedekatan hubungan dengannya.

Brand transgressions adalah sesuatu yang merugikan pemasar karena dapat mengurangi niat pembelian (Smith and Bolton 1998; Tax, Brown, and

Chandrashekaran 1998), membuat konsumen menghindari suatu merek (Gregoire, Tripp and Legoux 2009), mengurangi kerelaan untuk memperjuangkan merek (Park et al. 2009), dan sering kali membuat pelanggan kecewa (Ariely 2007, Gregoire, Tripp and Legoux 2009). Dengan kata lain,brand transgressionsdapat merusak kedekatan hubungan dengan konsumen yang sudah dibangun dengan susah payah. Kemunculan brand transgressions juga merugikan konsumen, baik secara material maupun emosional. Kegagalan merek membuat konsumen merasa rugi karena telah mengeluarkan waktu, tenaga, dan biaya untuk merek yang dicintainya. Konsumen juga merasakan kekecewaan yang mendorongnya melakukan tindakan-tindakan pelampiasan emosi negatif yang mereka rasakan. Dalam konteks penelitian ini, brand transgression terjadi pada saat sebuah klub sepakbola tampil kurang baik sehingga kalah dalam pertandingan. Hal ini tentu membuat pendukungnya merasakan kerugian karena sudah mengeluarkan waktu, biaya, dan tenaga untuk menyaksikan pertandingan tersebut dan merasakan bahwa klub yang dicintainya tidak mampu memuaskan keinginannya.

2.1.7.Consumer Forgiveness

Fenomena yang menarik pada konteks sport marketing adalah bahwa konsumen merek olahraga sering menampilkan reaksi yang berbeda dari konsumen produk atau merek pada umumnya setelahbrand transgression terjadi. Konsumen pada umumnya akan melontarkan celaan-celaan dan mencoba mencari merek alternatif yang lebih mampu memuaskan kebutuhannya setelah brand transgression terjadi. Banyak penelitian sudah menemukan bahwa ketidakpuasan konsumen berpengaruh kuat pada keengganan konsumen melalukan pembelian

ulang di masa depan. Meskipun belum diteliti secara empiris, pendukung klub olahraga cenderung untuk tidak berpindah memuja klub lain meskipun klub yang dicintainya sering memberikan kekecewaan baginya. Para konsumen merek klub olahraga lebih cenderung untuk memaafkan kesalahan tersebut dan berharap klubyang dicintainya bisa tampil lebih baik di masa depan

Chung dan Beverland (2006), mengungkapkan bahwa konsep pengampunan (forgiveness) dapat diterapkan untuk konteks hubungan konsumen-dengan merek. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam konteks industri penerbangan telah menemukan bahwa konsumen yang memiliki kedekatan hubungan dengan pemasar cenderung memaafkan kesalahan yang dilakukan pemasar (Mattila, 2001). Diyakini bahwa pengalaman positif di masa lalu memberikanbuffer effect (efek penyangga) ketika kegagalan terjadi (Tax, Brown, and Chandrashekaran 1998). Namun, sebuah penelitian longitudinal menemukan bahwa hubungan antara merek dengan konsumennya justru memburuk setelah terjadinya kegagalan merek atautransgression(Aakeret al. 2004).

Sebagaimana dalam pemasaran jasa dinyatakan bahwa tidak ada sistem layanan yang sempurna yang tidak pernah memberikan kekecewaan (Mattila 2001), klub olahraga (termasuk sepakbola) juga tidak mungkin diharapkan untuk tampil sempurna secara konsisten sehingga kegagalan memuaskan pendukungnya menjadi sesuatu yang wajar terjadi. Konsep pengampunan (forgiveness) yang diajukan penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan atas tanggapan konsumen atau pendukung klub sepakbola yang berbeda dibandingkan tanggapan konsumen produk lain pada umumnya setelah kegagalan terjadi. Konsep

forgiveness memandang perilaku konsumen setelah mengalami kekecewaan dari perspektif kedekatan hubungan (relationship closeness) antara merek dengan konsumen (McCullough dan Worthington 1999;Fournier 1998).

McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) menerangkan pengampunan interpersonal (interpersonal forgiveness) sebagai kumpulan perubahan motivasi dimana seseorang menjadi (a) mengurangi motivasi untuk melakukan pembalasan terhadap partner melakukan kesalahan, (b) mengurangi motivasi untuk menghindari partner yang melakukan kesalahan, (c) termotivasi untuk melakukan hal-hal yang positif kepada partner yang melakukan kesalahan. Penjelasan ini menegaskan bahwa situasi dimana consumer forgiveness terjadi adalah dimana konsumen masih memiliki pilihan untuk tidak memaafkan atau meninggalkan merek yang telah melakukan kesalahan. Apabila konsumen dibatasi oleh hambatan untuk berpindah pada produk atau merek lain (switching barrier) sehingga ia tetap mengkonsumsi produk atau merek tersebut, hal itu tidak dapat disebut sebagaiforgiveness.

Dokumen terkait