PENGARUH
RELATIONSHIP CLOSENESS
TERHADAP
CONSUMER FORGIVENESS
DAN
FUTURE BEHAVIORAL
INTENTIONS
PADA KLUB SEPAKBOLA INDONESIA
PERSIB BANDUNG
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN
DALAM MEMPEROLEH GELAR SARJANA MANAJEMEN
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
DIAJUKAN OLEH
AKBAR ADIWIJOYO
NIM:
041012090
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
Halaman Judul... i
Halaman Persetujuan... ii
Halaman Pernyataan... iii
Halaman Pernyataan Orisinalitas Skripsi... iv
Kata Pengantar... v
Abstrak... viii
Abstract... ix
Daftar Isi... x
Daftar Tabel... xiv
Daftar Gambar... xvi
Daftar Lampiran... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Permasalahan... 1
1.2. Perumusan Masalah... 7
1.3. Tujuan Penelitian... 7
1.4. Manfaat Penelitian... 8
1.5. Sistematika Skripsi... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1. Landasan Teori... 10
2.1.1 Konsep Pemasaran... 10
2.1.2 Pemasaran Holistik... 11
2.1.3 Pemasaran Hubungan (Relationship Marketing)... 13
2.1.4.Sport Marketing... 16
2.1.8.Future Behavioral Intentions... 22
2.2. Penelitian Sebelumnya... 24
2.2.1 Hubungan antaraRelationship Closenessdengan Consumer Forgiveness... 24
2.2.2. Hubungan antaraRelationship ClosenessdenganFuture Behavioral Intentions... 25
2.2.3. Hubungan antaraConsumer Forgivenessdengan Future Behavioral Intentions... 26
2.3. Penelitian Sebelumnya... 27
2.4. Model analisis... 28
BAB 3 METODE PENELITIAN... 30
3.1. Pendekatan Penelitian... 30
3.2. Identifikasi Variabel... 31
3.3. Definisi Operasional... 32
3.3.1.Relationship Closeness... 32
3.3.2.Consumer Forgiveness... 33
3.3.3.Future Behavioral Intentions... 33
3.4. Jenis dan Sumber Data... 34
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian... 35
3.6. Teknik Pengumpulan Data... 36
3.7. Teknik Analisis... 37
3.7.1. Uji Reliabilitas... 37
4.1. Gambaran Umum Subjek dan Objek Penelitian ... 46
4.2. Karakteristik Responden... 47
4.2.1. Gender Responden... 47
4.2.2. Usia Responden... 48
4.2.3. Profesi Responden... 48
4.2.4. Intensitas Menonton Persib Bandung... 49
4.2.5. Intensitas MembeliMerchandisePersib Bandung... 50
4.2.6. Mengikuti Viking Persib Club... 50
4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 51
4.3.1. Uji Validitas Internal... 51
4.3.2. Uji Reliabilitas Kuesioner... 52
4.4. Deskripsi Jawaban Responden... 53
4.4.1. VariabelRelationship Closeness... 54
4.4.2. VariabelConsumer Forgivenes... 55
4.4.3. VariabelFuture Behavioral Intentions..... 56
4.5. Analisis Hasil dan Pengujian Hipotesis... 57
4.5.1. AnalisisSructural Equation Modelling(SEM)... 57
4.5.1.1. Uji Asumsi SEM... 57
4.6. Measurement Model... 61
4.7. Structural Model... 65
4.7.1. Uji Goodness of Fit... 65
4.8. Uji Hipotesis... 66
Forgiveness... 70
4.13.2. PengaruhRelationship ClosenessterhadapFuture
Behavioral Intentions... 71
4.13.3 . PengaruhConsumer ForgivenessterhadapFuture
Behavioral Intentions... 72
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan... 73
5.2. Saran Penelitian... ... 74
5.2.1.Saran Bagi Pihak Manajemen Klub Persib
Bandung... 74
5.2.2. Saran Bagi Pihak Akademisi... 74
5.3. Kelemahan Penelitian... 75
DAFTAR PUSTAKA
Tabel 3.1 Goodness-of-fit indice ... 43
Tabel 4.1 Deskriptif Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 48
Tabel 4.2 Deskriptif Profil Responden Berdasarkan Umur... 48
Tabel 4.3 Deskriptif Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan... 49
Tabel 4.4 Deskriptif Profil Responden Berdasarkan Intensitas Menonton Pertandingan Persib Bandung... 49
Tabel 4.5 Deskriptif Profil Responden Berdasarkan Intensitas Membeli Merchandise Persib Bandung... 50
Tabel 4.6 Deskriptif Profil Responden Berdasarkan Member Viking Persib Club... 50
Tabel 4.7 Uji Validitas Kuesioner... 51
Tabel 4.8 Uji Reliabilitas Kuesioner... 52
Tabel 4.9 Kategori Rata-Rata Tanggapan Responden Pada Pernyataan Positif... 53
Tabel 4.10 Kategori Rata-Rata Tanggapan Responden Pada Pernyataan Negatif... 53
Tabel 4.11 Deskriptif Tanggapan Responden Mengenai Relationship Closeness... 54
Tabel 4.12 Deskriptif Tanggapan Responden Mengenai Consumer Forgiveness... 55
Tabel 4.16 UjiMultivariate Outlier... 60
Tabel 4.17 Uji Multikolinearitas... 61
Tabel 4.18 UjiConvergent ValiditydanReliability Construct VariabelRelationship Closeness...62
Tabel 4.19 UjiConvergent ValiditydanReliability Construct VariabelConsumer Forgiveness... 63
Tabel 4.20 UjiConvergent ValiditydanReliability ConstructVariabel Future Behavioral Intentions... 64
Tabel 4.21 UjiGoodness of FitPadaStructural Model... 66
Tabel 4.22 Uji Hipotesis... 67
Tabel 4.23 Pengaruh Tidak Langsung... 68
Tabel 4.24 Nilai R-Square... 69
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Data statistik penonton peserta klub ISL 2014... 4
Gambar 2.1. Bagan darimarketing conceptdari Evans dan Berman... 11
Gambar 2.2. Bagan dari konsepholistic marketing... 12
Gambar 2.3. Donovanet al(2012) dalam How close brand relationships influence forgiveness... 29
Gambar 4.1.Confirmatory ModelVariabelRelationship Closeness... 62
Gambar 4.2.Confirmatory ModelVariabelBrand Forgiveness... 63
Gambar 4.3.Confirmatory ModelVariabelFuture Behavioral Intentions... 64
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Kuesioner
Lampiran II Data Penelitian
Lampiran III Uji Stabilitas
Lampiran IV Uji Reabilitas
Lampiran V Distribusi Frekuensi Profil Responden
Lampiran VI Distribusi Frekuensi Jawaban Responden
Lampiran VII Deskriptif Statistik Jawaban Responden
Lampiran VIIIConfirmatory Model
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepakbola seringkali disebut sebagai olahraga yang paling populer di
dunia saat ini (Kuper 2006). Penggemar olahraga sepakbola biasanya sangat
antusias dengan klub yang disukainya karena menjadi penggemar klub adalah
sesuatu yang bisa memberi makna lebih pada kehidupan penggemarnya (Tapp,
2004) dan memerlukan praktik konsumsi yang berbeda (Holt, 1995). Penggemar
sangat penting untuk sebuah klub sepakbola karena mereka memberikan
kontribusi terbesar dari pendapatan klub; yang diwujudkan dalam bentuk
menghadiri pertandingan dan membeli tiket, membelimerchandise, dan menonton
pertandingan baik melalui televisi maupun internet. Selain itu fans juga
berkontribusi terhadap suasana di stadion, bagian dari identitas tim, dan terkadang
melakukan sesuatu hal yang atraktif dan kreatif sehingga mereka menarik untuk
orang lain dan sponsor ke dalam klub.
Seorang penggemar fanatik biasanya mengalami berbagai macam
peristiwa emosional selama hidupnya selain menang atau kalah dalam suatu
pertandingan. Peristiwa tersebut mungkin termasuk kejuaraan, promosi dan
degradasi, pertandingan melawan rival, partisipasi dalam kompetisi internasional,
dan berbagai macam kejadian maupun skandal seperti kebangkrutan tim,
Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pertandingan-pertandingan
olahraga sepakbola cukup tinggi; baik dalam pertandingan skala nasional maupun
internasional. Bahkan Indonesia disebut sebagai negara dengan pendukung
sepakbola paling fanatik ketiga di dunia setelah Inggris dan Indonesia (Astomo,
2012). Pertandingan-pertandingan liga sepakbola di Indonesia selalu dipenuhi
penonton yang merupakan para pendukung sepakbola yang merupakan para
pendukung tim yang sedang bertanding. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata tingkat
kepadatan stadion di Indonesia pada suatu pertandingan sepakbola yang bisa
mencapai 96% (Astomo, 2012). Para pendukung sepakbola tidak hanya
memenuhi stadion ketika pertandingan dilakukan di kandang sendiri, tetapi
terkadang juga menyaksikan klub sepakbolanya berlaga meskipun dilakukan di
kandang lawan. Manajer klub sepakbola harus memastikan bahwa citra klub
memungkinkan para pendukung untuk menampilkan ekspresi dan citra positif.
Hal tersebut memudahkan para pendukung tersebut untuk membangun hubungan
yang akrab dan erat dengan klub (Penders, 2007 p. 25).
Kebanyakan penggemar sepakbola biasanya mencurahkan dukungannya
pada klub tertentu. Alasan dukungan ini sangat bervariasi; bisa karena ikatan
emosional yang muncul karena kesamaan daerah asal, karena klub tersebut sering
menang dan memperoleh banyak gelar, ada yang suka karena permainannya yang
enak dilihat, ada yang karena klub tersebut merupakan tempat dimana pemain
idolanya bermain, dan lain-lain. Ikatan emosional bisa saja terbentuk karena klub
tersebut dekat secara geografis dengan para pendukungnya sehingga mereka dapat
tinggal di Surabaya menjadi penggemar Persebaya, yang menetap di Kediri
menjadi pendukung Persik, atau yang menetap di Bandung menjadi pendukung
Persib. Kedekatan emosional juga dapat terbentuk karena klub dianggap mewakili
daerah asal, identitas dan suku seorang penggemar yang harus selalu dijunjung
tinggi, contohnya seperti orang mendukung Persebaya karena mereka lahir dan
dibesarkan di Surabaya meski saat ini menetap di Jakarta atau orang-orang Sunda
mendukung klub Persib karena kesamaan etnis atau suku daerah.
Persib Bandung merupakan salah satu klub sepakbola nasional yang
memiliki basis suporter terbesar di Indonesia dengan jumlah follower Twitter
mencapai lebih dari 1 juta orang. Persib Bandung merupakan klub sepakbola
legendaris dan menjadi kebanggaan warga Bandung dan masyarakat Jawa Barat.
Pecinta klub ini menyebut diri mereka sebagai bobotoh (suporter Persib) dan
secara aktif dan konsisten mendukung Persib selama bertahun-tahun. Menurut
buku Asian Football Confederation terbitan tahun 1987, salah satu pertandingan
yang dijalani Persib pada babak final kompetisi Liga Perserikatan 1984-1985 yang
mempertemukan antara Persib Bendung melawan PSMS Medan dengan
keunggulan PSMS Medan melalui adu penalti 2-1 mencatat rekor jumlah
penonton terbanyak; sekitar 150.000 orang dan mayoritas pendukung Persib.
Rekor tersebut belum terpecahkan hingga kini. Jumlah penonton tersebut
fenomenal mengingat kapasitas kursi di Stadion Gelora Bung Karno saat itu
hanya berkisar 120.000 penonton. Catatan tentang begitu banyaknya jumlah
penonton di stadion itu juga membuktikan betapa kuatnya ikatan emosional antara
Kedekatan emosional (relationship closeness) dengan bobotoh dengan
klub sepakbola Persib tetap terjalin dengan kuat meskipun klub tersebut jarang
sekali meraih gelar juara dalam berbagai kompetisi Liga Utama di Indonesia.
Sebelum kemenangannya di Liga Utama Indonesia Super League 2014, Persib
menjuarai Liga Indonesia pada tahun 1995. Meskipun 19 tahun tidak pernah
meraih gelar juara, tetapi dukungan bobotoh tetap kuat. Fenomena ini
mengindikasikan bahwa para pendukung Persib tetap memaafkan klub sepakbola
kesayangannya tersebut meskipun mereka merasa kecewa atas kekalahan demi
kekalahan yang dialami.
Gambar 1.1 : Data statistik penonton peserta klub ISL 2014
Fenomena forgiveness atau kesediaan memaafkan ini tidak hanya terjadi
kompetisi 2014, Persik Kediri (yang pernah menjuarai Liga Indonesia sebanyak
dua kali)sering mengalami kekalahan, tidak memiliki pemain bintang, dan terjerat
dalam masalah pendanaan. Meskipun demikian, banyak pendukungnya yang tetap
mendukung dan menyaksikan di stadion. Bahkan menurut PT Liga Indonesia
jumlah penonton Persik di stadion menduduki peringkat 6 terbanyak dari 22 tim
yang berlaga di ISL. Tim-tim seperti Persela Lamongan, Persebaya, PSIS
Semarang juga mengalami situasi yang serupa di mana para pecintanya tetap
menunjukkan dukungan meskipun penampilan para klub tersebut sering
mengecewakan. Kesediaan para pendukung untuk memaafkan (consumer
forgiveness) penampilan para klub sepakbola pujaan yang mengecewakan dan
kesediaan untuk tetap mendukung klub tersebut merupakan aset yang sangat
bernilai bagi klub tersebut.
Menurut studi Donovanet al.,(2012), dengan pengampunan (forgiveness),
produk atau merek dapat berharap untuk terus menerima respon dan dukungan
dari partner (Donovan, 2012). Hal ini diperkuat oleh Aaker, Fournier and Brasel
(2004) secara empiris menunjukkan bahwa kualitas hubungan merek dengan
konsumen mempunyai efek yang signifikan terhadap kerelaan konsumen untuk
memaafkan kesalahan yang dilakukan merek. Hal ini membuat para pendukung
sepakbola dapat memaafkan timnya jika memperoleh kekalahan karena memiliki
hubungan kedekatan yang kuat.
Donovan et al., (2012) menunjukkan bahwa kedekatan hubungan
(relationship closeness) dengan merek menyebabkan kecenderungan konsumen
pendukung sepakbola yang memiliki kedekatan hubungan yang kuat selalu
berusaha untuk menyaksikan pertandingan walaupun tim yang mereka dukung
sedang menunjukkan penampilan yang mengecewakan. Hasil studi menunjukkan
bahwa consumer forgiveness berperan dalam pembentukan future behavioral
intentions. Donovan et al., (2012) menjelaskan bahwa kesediaan
memaafkanmerupakan keputusan emosional dan kognitif yang menghasilkan
netralisasi atas kekecewaan yang ditimbulkan oleh sebuah produk atau merek
sehingga sikap dan perilaku konsumen terhadap merek di masa depan tidak
dipengaruhi oleh kekecewaan tersebut. Dalam konteks hubungan konsumen
dengan klub sepakbola yang didukungnya,consumer forgivenessakan mendorong
pendukung klub sepakbola untuk tetap menghormati dan mencintai klubnya saat
terpuruk dan tetap berinteraksi mendukung klubnya di masa yang akan datang.
Penelitian ini mengamati bagaimana kedekatan hubungan emosional
(relational closeness) para pendukung klub sepakbola Persib Bandung
berpengaruh pada kesediaan mereka untuk memaafkan klub (consumer
forgiveness) untuk memaafkan kegagalan klub sepakbola kesayangan mereka dan
kesediaan untuk terus mendukung klub tersebut (future behavioral
intentions).Pemilihan pengamatan pada para pendukung klub sepakbola Persib
Bandung karena memiliki klub tersebut merupakan klub sepakbola dengan
penggemar terbanyak di Indonesia meskipun sudah 19 tahun tidak memperoleh
gelar juara apapun. Berdasarkan paparan yang tersaji diatas, penelitian ini
Forgiveness dan Future Behavioral Intentions Pada Klub Sepakbola Indonesia
Persib Bandung.
1.2. Perumusan Masalah
1. Apakahrelationship closeness dapat mempengaruhiconsumer forgiveness
pada klub sepakbola?
2. Apakah relationship closeness dapat mempengaruhi future behavioral
intentionspada klub sepakbola?
3. Apakah consumer forgiveness dapat mempengaruhi future behavioral
intentionspada klub sepakbola?
4. Apakah consumer forgiveness dapat memediasi pengaruh relationship
closenessterhadapfuture behavioral intentionspada klub sepakbola?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh kedekatan hubungan konsumen (relationship
closeness) terhadap kesediaan konsumen memaafkan kesalahan pada
merek atau produk (consumer forgiveness)
2. Untuk mengetahi pengaruh kedekatan hubungan konsumen (relationship
closeness) terhadap niat konsumen berperilaku (future behavior intentions)
3. Untuk mengetahui pengaruh kesediaan konsumen memaafkan kesalahan
pada merek atau produk (consumer forgiveness) terhadap niat konsumen
4. Untuk mengetahui mediasi consumer forgiveness pada pengaruh
relationship closeness terhadap niat berperilaku konsumen (future
behavior intentions)
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan kontribusi teoritis bagi pengembangan konsep perilaku
konsumen terutama yang berkaitan dengan relationship closeness,
consumer forgiveness, danbehavioral intentions
2. Dapat memberikan kontribusi manajerial bagi pelaku bisnis dan pemasar
tentang implikasi strategis kedekatan emosional danconsumer forgiveness
bagi pembentukan loyalitas konsumen.
1.5. Sistematika Penulisan Skripsi
Bab I: Pendahuluan
Bab ini membahasfenomena yang melatarbelakangi topik penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan skripsi.
Bab II: Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang digunakan sebagai
acuan dasar dalam melakukan penelitian, penelitian sebelumnya,
Bab III: Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan pendekatan penelitian, identifikasi variabel,
definisi operasional, jenis sumber data, prosedur penentuan sampel,
prosedur pengumpulan data, serta teknik analisis yang digunakan.
Bab IV: Hasil dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan gambaran umum penelitian, deskripsi hasil,
analisis uji statistik, pembuktian hipotesis, serta uraian hasil penelitian.
Bab V: Simpulan dan Saran
Bab ini menjelaskan simpulan yang ditarik dan penutup yang berisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Konsep Pemasaran
American Marketing Association (AMA) dalam Kotler dan Keller (2009 :
5), mendefinisikan pemasaran sebagai suatu fungsi organisasi dan serangkaian
proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan memberikan nilai pada
pelanggan dan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang
menguntungkan organisasi dan pemangku kepentingannya. Pemasaran adalah
istilah yang diberikan untuk kegiatan-kegiatan yang terjadi pada pertemuan antara
organisasi dan pelanggannya (Blythe, 2005:2). Penjelasan ini berasal dari konsep
asli dari pasar, dimana pembeli dan penjual akan datang bersama-sama untuk
melakukan transaksi (atau pertukaran) untuk saling menguntungkan mereka
(Blythe, 2005:2). Sedangkan tujuan dari semua aktivitas pemasaran adalah untuk
memfasilitasi pertukaran yang saling memuaskan diantara para pihak yang terlibat
(Cant et al, 2007 : 2). Evans & Berman (1995:13) menjelaskan inti konsep
pemasaran sebagai berikut :
Gambar 2.1 : Bagan darimarketing conceptdari Evans dan Berman
(1995:13)
Manajemen Pemasaran merupakan seni atau ilmu memilih, meraih,
mempertahankan, serta menumbuhkan pelanggan pasar sasaran dengan
menciptkan, menyalurkan, dan mengomunikasikan nilai pelanggan yang unggul
(Kotler dan Keller, 2012 :27). Sedangkan menurut Boyd dan Walker (1992:25),
manajemen pemasaran adalah proses menganalisa, merencanakan, melaksanakan,
mengoordinasikan, dan mengontrol program yang melibatkan konsepsi, kalkulasi
harga, promosi, dan pendistribusian produk, jasa dan gagasan yang didesain untuk
menciptakan dan mempertahankan pertukaran yang bermanfaat dengan target
pasar dengan tujuan mencapai tujuan organisasi.
2.1.2. Pemasaran Holistik
Konsep pemasaran holistik didasarkan pada pengembangan desain, dan
pengimplementasian program pemasaran, proses, dan aktivitas-aktivitas yang luas Consumer
Orientation:
Needs examined and satisfied
Integrated Efforts :
All activities coordinated
MARKETING
CONCEPT
Goal
Orientation :
dan saling bergantung satu sama lainnya (Kotler & Keller, 2012:40). Dengan
demikian, pemasaran holistik adalah suatu pendekatan yang berusaha untuk
mengintegrasikan ruang lingkup dan kompleksitas aktivitas pemasaran dari
banyak aspek.
Gambar 2.2 : Bagan dari konsepholistic marketing(Kotler & Keller, 2012:41)
Karakteristik paling umum dari konsep pemasaran holistik adalah integrasi
berbagai perspektif pemasaran dan penggunaan pemasaran internal (Faarup,
2010:27). Menurut pandangan Dhar et al (2008:472), pemasaran holistik
menganggap semua permasalahan berkaitan dengan aspek marketing, sehingga
pemahaman secara luas dan menyeluruh sangat penting.
2.1.3.Pemasaran Hubungan (Relationship Marketing)
Salah satu bagian dari konsep holistic marketing adalah relationship
marketing. Menurut Morgan dan Hunt (1994) relationship marketing mengacu
pada semua kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk menyediakan,
mengembangkan, dan memelihara pertukaran relasional yang sukses. Murphy et
al (2005) memberikan pandangan yang tak jauh berbeda, relationship marketing
merupakan aktivitas penciptaan, pemeliharaan, dan peningkatan hubungan yang
kuat dengan konsumen dan stokeholders lainnya. Relationship marketing
berorientasi pada hubungan jangka panjang.
Relationship marketing telah muncul sebagai alternatif pertukaran konsep
dasar marketing yang menekankan pengelolaan hubungan antara konsumen dan
perusahaan dalam jangka panjang (Arias, 1996). Palmatier (2008) menyatakan
bahwa Relationship Marketing adalah proses mengidentifikasi, mengembangkan,
memelihara, dan mengakhiri pertukaran relasional dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja. Oleh karena itu, strategi relationship marketing harus
menciptakan nilai lebih, bagi konsumen ataupun untuk pihak lain (Marzo-Navarro
et al, 2004). Basis dalam sebuah relationship yang dibangun oleh perusahaan
didasarkan pada asumsi (a) saling menguntungkan; (b) komitmen bersama; (c)
kepercayaan, dan (d) hubungan konektif (Shajahan, 2004:28). Menurut Baron et
al(2010:10), tujuan utama dalamrelationship marketingadalah untuk mendirikan
dan mempertahankan sekelompok konsumen profitable yang telah berkomitmen
kepada perusahaan. Selain itu, relationship marketing juga menaruh perhatian
dengan penekanan yang difokuskan pada perkembangan hubungan jangka
panjang dengan konsumen (Baron et al, 2010:10). Tujuan lainnya adalah
memberikanvalueuntuk konsumen dan pengukuran keberhasilannya berdasarkan
kepuasan konsumen dalam jangka panjang (Murphy et al, 2005). Value
merupakan faktor penting dalam relationship marketing, kemampuan perusahaan
dalam memberikan value yang tidak didapatkan di perusahaan lain dianggap
menjadi salah satu strategi keunggulan kompetitif yang paling sukses (Ravald &
Grönroos, 1996).
Telah dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari relationship marketing
adalah menempatkan penekanan pada usaha untuk mempertahankan pelanggan.
Hal tersebut disebabkan karena effort untuk menarik pelanggan baru bisa jadi
membutuhkancost yang lebih besar dibandingkan dengan biaya mempertahankan
pelanggan (Kotler & Keller, 2009:23). Statement Kotler & Keller (2009) tersebut
dipertegas oleh Kardeniz (2010) yang berpendapat bahwa dalam banyak kasus,
memang lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk terlibat dengan pelanggan
yang sudah ada dan meningkatkan loyalitas pelanggan, daripada mencoba untuk
menarik pelanggan baru. Perbedaan paling mencolok antara relationship
marketingdantransactional marketingadalah terletak pada orientasinya. Menurut
Kardeniz (2010), dapat dikatakan bahwa tujuan pemasaran transaksional adalah
untuk mendapatkan pelanggan, yang merupakan orientasi jangka pendek,
sedangkan tujuan hubungan pemasaran adalah untuk mendapatkan dan
mempertahankan pelanggan dalam jangka panjang. Dengan demikian,
kapabilitas dan sumber daya dari berbagai kelompok, sebagaimana pemahaman
yang baik mengenai tujuan, keinginan, dan kebutuhan pihak yang bersangkutan
untuk menciptakan hubungan timbal balik yang menguntungkan (Sheth &
Sisodia, 2006:303). Dengan kata lain, tiap kelompok konsumen bisa jadi
mendapat perlakuan yang berbeda tergantung dari kapabilitas, tujuan, keinginan,
dan kebutuhan kelompok konsumen tersebut.
Selain pemahaman mengenai keinginan konsumen,relationship marketing
juga memerlukan kemampuan komunikasi yang baik. Andersen (2001)
berpendapat, dalam hubungan pemasaran, komunikasi memainkan peran sentral
dalam memberikan pemahaman tentang niat dan kemampuan pertukaran partner
kita, sehingga hal tersebut kemudian membentuk dasar bagi pengembangan
hubungan. Menurut Ndubisi (2007), komunikasi dalam relationship marketing
maksudnya adalah menjaga kontak dengan konsumen yang dianggap bernilai,
memberikan layanan jasa berupa penyampaian informasi yang terpercaya dan
secara berkala, dan secara pro-aktif melakukan komunikasi jika terjadi suatu
masalah. Ndubisi (2007) menambahkan, jika komunikasi diantara
organisasi/perusahaan dan konsumennya itu berjalan dengan efektif, maka akan
tercipta hubungan yang lebih baik dan konsumen pun akan semakin loyal. Dengan
menambah value tersebut kepada konsumen, perusahaan mencoba meningkatkan
kepuasan konsumen sehingga ikatan diantara perusahaan dan konsumen menguat
2.1.4.Sport Marketing
Sport Marketing adalah aplikasi spesifik dari prinsip-prinsip pemasaran
dan proses untuk produk olahraga dan pemasaran produk non olahraga melalui
asosiasi dengan olahraga (Shank, 2009). Shank berpendapat dalam olahraga telah
diasumsikan bahwa tujuan utama pertandingan adalah untuk menghibur dan
memuaskan kebutuhan pelanggan. Dengan demikian dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa antara olahraga dan pemasaran memiliki sebuah kesamaan
yaitu dalam hal memberikan kepuasan pada pelanggan sebagai tujuan utamanya.
Seorangsport marketer harus mengidentifikasikan apa saja kebutuhan dan
keinginan yang dapat dipuaskan melalui proses pertukaran. Kotler dan Keller
(2012) menyatakan bahwa proses pertukaran adalah proses mendapatkan produk
yang diinginkan dari seseorang dengan menawarkan sesuatau sebagai balasannya.
Beberapa hal yang didapat oleh sport consumer dalam hal ini yang membayar
biaya keanggotaan atau biaya masuk antara lain adalah interaksi sosial, aktifitas
fisik, kesehatan, kebugaran serta hiburan. Misalnya bagi seseorang yang telah
memiliki kartu keanggotaan suatu klub sepakbola akan memiliki fasilitas dan
mendapatkan prioritas untuk dapat menyaksikan pertandingan secara langsung di
stadion tempat klub tersebut bermain. Tidak hanya itu saja, para anggota tersebut
juga mendapatkan potongan harga pada saat membeli merchendaise klub
sepakbola tersebut.
Pemasaran dalam bidang olahraga dianggap semakin penting karena
menjadi salah satu bagian paling penting dan universal di berbagai negara.
Perkembangan dalam industri olahraga dapat dilihat dengan kehadiran penonton
yang semakin banyak dalam beberapa pertandingan olahraga. Di Indonesia sendiri
sepakbola merupakan olahraga paling banyak diminati dan disaksikan oleh
masyarakat. Terbukti dari rata-rata kehadiran penonton pada setiap pertandingan
sepakbola di stadion mencapai 96% (Astomo, 2012). Liputan media juga turut
menunjukkan perkembangan industri olahraga baik di Indonesia maupun di
berbagai negara lainnya. Terbukti saat ini semakin banyak media yang memuat
berita khusus olahraga, terutama sepakbola. Di Indonesia sendiri saat ini sudah
terdapat beberaoa majalah, tabloid dan koran yang dikhususkan hanya memuat
berita olahraga khususnya sepakbola. Dari jumlah pegawai yang terlibat dalam
industri olahraga juga dapat membuktikan betapa besarnya industri olahraga
berkembang.
2.1.5. Kedekatan Hubungan (Relationship Closeness)
Sebuah wawasan yang berguna untuk memahami sifat dasar dari
relationshipditawarkan oleh penelitian tentanginterpersonal relationship.Secara
khusus, dalam bidang ini peneliti pemasaran telah memperkenalkan konsep
kedekatan hubungan atau relationship closeness(Clark dan Lemay 2010). Dalam
konteks tradisional dari interpersonal relationship, kedekatan hubungan
didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana seorang individu dengan individu
lainnya memiliki kesamaan atau kedekatan hubungan interpersonal atau konsep
diri. Prespektif ini telah diajukan oleh Aron dan Aron (1986) dengan
memiliki kedekatan hubungan dengan individu lainnya maka mereka akan
tergabung menjadi satu bagian konsep diri yang sama (Aron, Aron, dan Norman
2003; Aron, Norman, dan Aron 1998; Aron et al. 2000). Baru-baru ini,
konsepkedekatan hubungan ini mulai diterapkan untuk menjelaskan kedekatan
hubungan antara konsumen dengan produk atau merk(Reimann dan Aron 2009).
Donovan et al (2012) menjelaskan konsep kedekatan hubungan dalam
konteks hubungan antara konsumen dengan merek. Secara konseptual, kedekatan
hubungan dengan merek dapat didefinisikan sebagai sejauh mana seorang
konsumen menganggap sebuah merek tertentu sebagai bagian dari dirinya sendiri
(e.g., Escalas dan Bettman 2003; Park et al. 2010; Reimann dan Aron 2009).
Dalam konteks sport marketing misalnya, seorang pendukung sebuah klub
sepakbola yang memiliki kedekatan hubungan dengan merek klub sepakbola
tersebut akan menganggap klub sepakbola tersebut sebagai bagian dari dirinya.
Kekuatan perasaan keterikatan dengan merek selaras dengan kekuatan dorongan
dalam diri konsumen untuk menampilkan perilaku yang positif terhadap merek
(Parket al. 2010). Semakin kuat kedekatan hubungan tersebut, semakin kuat pula
dorongan untuk menampilkan perilaku positif.
Kualitas hubungan awalnya disebut sebagai sebuat paket nilai berwujud
yang menambah produk atau jasa dan hasilnya dalam pertukaran yang diharapkan
antara pembeli dan penjual (Levitt, 1986). Kualitas kedekatan hubungan adalah
membangun lebih tinggi keteraturan yang menggambarkan nilai konsumen yang
melekat pada hubungan mereka terhadap penyedia layanan (Dorschet al., 1998).
layanan dan perilaku yang melibatkan termasuk merangsang perasaan dan emosi
(Crosbyet al.,1990; Dwyeret al.,1987).
2.1.6.Brand Transgressions
Transgresi merek didefinisikan sebagai pelanggaran implisit dan eksplisit
atas norma hubungan yang relevan yang dilakukan oleh merek kepada konsumen
yang memiliki kedekatan hubungan dengannya (Aaker, Fournier dan Brasel
2004). Beberapa penelitian memang menyodorkan bukti yang mendukung
paradoks pemulihan layanan (service recovery paradox), yaitu konsep yang
menjelaskan bahwa apabila konsumen menerima sebuah jasa yang mengecewakan
kemudian memperoleh pemulihan layanan yang bagus, hubungan konsumen
dengan jasa atau merek yang mengecewakan tersebut justru akan menguat setelah
adanya pemulihan layanan itu (Maxham dan Netemeyer 2002). Pada
kenyataannya, upaya pemulihan layanan seringkali tidak dapat memulihkan
kekecewaan yang sudah lebih dulu terbentuk dan tidak dapat memperbaiki sikap
dan persepsi konsumen terhadap merek yang mengecewakannya (Andreassen
2001). Ini menunjukkan bahwa paradoks pemulihan layanan jarang terjadi karena
konsumen cenderung menyimpan amarah dan kekecewaan terhadap produk atau
merek apabila mereka merasa dikecewakan (Andreassen 2001; Aron 2001).Brand
transgression terjadi bila merek melakukan kegagalan atau memberikan
kekecewaan pada konsumen yang telah memiliki kedekatan hubungan dengannya.
Brand transgressions adalah sesuatu yang merugikan pemasar karena
Chandrashekaran 1998), membuat konsumen menghindari suatu merek (Gregoire,
Tripp and Legoux 2009), mengurangi kerelaan untuk memperjuangkan merek
(Park et al. 2009), dan sering kali membuat pelanggan kecewa (Ariely 2007,
Gregoire, Tripp and Legoux 2009). Dengan kata lain,brand transgressionsdapat
merusak kedekatan hubungan dengan konsumen yang sudah dibangun dengan
susah payah. Kemunculan brand transgressions juga merugikan konsumen, baik
secara material maupun emosional. Kegagalan merek membuat konsumen merasa
rugi karena telah mengeluarkan waktu, tenaga, dan biaya untuk merek yang
dicintainya. Konsumen juga merasakan kekecewaan yang mendorongnya
melakukan tindakan-tindakan pelampiasan emosi negatif yang mereka rasakan.
Dalam konteks penelitian ini, brand transgression terjadi pada saat sebuah klub
sepakbola tampil kurang baik sehingga kalah dalam pertandingan. Hal ini tentu
membuat pendukungnya merasakan kerugian karena sudah mengeluarkan waktu,
biaya, dan tenaga untuk menyaksikan pertandingan tersebut dan merasakan bahwa
klub yang dicintainya tidak mampu memuaskan keinginannya.
2.1.7.Consumer Forgiveness
Fenomena yang menarik pada konteks sport marketing adalah bahwa
konsumen merek olahraga sering menampilkan reaksi yang berbeda dari
konsumen produk atau merek pada umumnya setelahbrand transgression terjadi.
Konsumen pada umumnya akan melontarkan celaan-celaan dan mencoba mencari
merek alternatif yang lebih mampu memuaskan kebutuhannya setelah brand
transgression terjadi. Banyak penelitian sudah menemukan bahwa ketidakpuasan
ulang di masa depan. Meskipun belum diteliti secara empiris, pendukung klub
olahraga cenderung untuk tidak berpindah memuja klub lain meskipun klub yang
dicintainya sering memberikan kekecewaan baginya. Para konsumen merek klub
olahraga lebih cenderung untuk memaafkan kesalahan tersebut dan berharap
klubyang dicintainya bisa tampil lebih baik di masa depan
Chung dan Beverland (2006), mengungkapkan bahwa konsep
pengampunan (forgiveness) dapat diterapkan untuk konteks hubungan
konsumen-dengan merek. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam konteks industri
penerbangan telah menemukan bahwa konsumen yang memiliki kedekatan
hubungan dengan pemasar cenderung memaafkan kesalahan yang dilakukan
pemasar (Mattila, 2001). Diyakini bahwa pengalaman positif di masa lalu
memberikanbuffer effect (efek penyangga) ketika kegagalan terjadi (Tax, Brown,
and Chandrashekaran 1998). Namun, sebuah penelitian longitudinal menemukan
bahwa hubungan antara merek dengan konsumennya justru memburuk setelah
terjadinya kegagalan merek atautransgression(Aakeret al. 2004).
Sebagaimana dalam pemasaran jasa dinyatakan bahwa tidak ada sistem
layanan yang sempurna yang tidak pernah memberikan kekecewaan (Mattila
2001), klub olahraga (termasuk sepakbola) juga tidak mungkin diharapkan untuk
tampil sempurna secara konsisten sehingga kegagalan memuaskan pendukungnya
menjadi sesuatu yang wajar terjadi. Konsep pengampunan (forgiveness) yang
diajukan penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan atas tanggapan
konsumen atau pendukung klub sepakbola yang berbeda dibandingkan tanggapan
forgiveness memandang perilaku konsumen setelah mengalami kekecewaan dari
perspektif kedekatan hubungan (relationship closeness) antara merek dengan
konsumen (McCullough dan Worthington 1999;Fournier 1998).
McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) menerangkan pengampunan
interpersonal (interpersonal forgiveness) sebagai kumpulan perubahan motivasi
dimana seseorang menjadi (a) mengurangi motivasi untuk melakukan pembalasan
terhadap partner melakukan kesalahan, (b) mengurangi motivasi untuk
menghindari partner yang melakukan kesalahan, (c) termotivasi untuk melakukan
hal-hal yang positif kepada partner yang melakukan kesalahan. Penjelasan ini
menegaskan bahwa situasi dimana consumer forgiveness terjadi adalah dimana
konsumen masih memiliki pilihan untuk tidak memaafkan atau meninggalkan
merek yang telah melakukan kesalahan. Apabila konsumen dibatasi oleh
hambatan untuk berpindah pada produk atau merek lain (switching barrier)
sehingga ia tetap mengkonsumsi produk atau merek tersebut, hal itu tidak dapat
disebut sebagaiforgiveness.
2.1.8.Future Behavioral Intentions
Tujuan utama para pemasar adalah untuk memahami, memprediksi dan
mempengaruhi perilaku konsumen. Sebelum berperilaku, seseorang seringkali
mengembangkan keinginan berperilaku berdasarkan kemungkinan tindakan yang
akan dilakukan. Keinginan berperilaku dapat didefinisikan sebagai keinginan
konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu. Jadi konsumen dapat
Minor, 2002 : 322) jika konsumen juga berminat pada produk yang ditawarkan.
Pemasar seringkali mampu mengidentifikasi pola perilaku konsumennya,
kemudian mengestimasikan pembelian secara nyata.
Niat yang ada pada diri konsumen mampu memotivasi mereka melakukan
perilaku yang diinginkan. Perilaku seseorang ditentukan oleh adanya niat atau
keinginan untuk melakukan sesuatu atau yang bersifat behavioral intention(Peter
dan Olson, 2000). Sementara Sheth et al., (1999:411), menyatakan bahwa niat
yang dimiliki seseorang menunjukkan seberapa besar kemungkinan
ditampilkannya perilaku tertentu oleh orang tersebut. Apabila niat yang dimiliki
oleh konsumen tersebut kuat, maka dia akan berusaha mencapai tujuan dalam
memenuhi niatnya.
Menurut Garbarino dan Johnson (1999), future intentions adalah niat
pembelian pelanggan di masa yang akan datang, apakah akan terus berhubungan
dengan perusahaan tersebut ataukah meninggalkannya dan beralih pada
perusahaan lain. Future intentions yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu
pada definisi future behavioral intentions oleh Zeithaml dkk., (1996) “the
importance of measuring future behavioral intentions of customers to assess their
potential to remain with or leave the organization”.
Kepuasan dan kualitas jasa dapat mempengaruhi behavioral intentions
pelanggan, apabila kualitas jasa tinggi (sesuai/melampaui persepsi pelanggan)
maka akan tercipta behavioral yang favorable, namun sebaliknya jika kualitas
jasa rendah maka behavioral intentions yang tercipta akan unfavorable.
pelanggan, apabila akan tetap berhubungan (remain) atau justru meninggalkan
(defect) dari perusahaan (Zeithamis dkk., 1996).
Menurut Zeithami dkk., (1996), ketika konsumen memuji suatu
perusahaan, menyampaikan preferensi untuk perusahaan tersebut melebihi yang
lainnya, meningkatkan volume pembelian mereka atau setuju membayar harga
jasa, mereka menunjukkan perilaku bahwa mereka mempunya ikatan dengan
perusahaan. Peneliti saat ini menawarkan suatu bukti bahwa kepuasan konsumen
dan/atau kualitas servis mempunyai persepsi positif mempengaruhi niat untuk
berperilaku dengan cara tersebut. Pelanggan yang puas akan berniat untuk tetap
loyal pada perusahaan, pelanggan akan bersedia untuk terikat dan berinteraksi
dengan perusahaan di masa yang akan datan, selain itu keterlibatan pelanggan
akan semakin meningkat. Pelanggan juga akan semakin meluangkan
waktu/kehadirannya di masa yang akan datang, atau mendonorkan uangnya untuk
perusahaan (Gabriano dan Johnson 1999).
2.2. Hubungan Antar Variabel
2.2.1 Hubungan antaraRelationship ClosenessdenganConsumer Forgiveness
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kedekatan hubungan
antara konsumen dengan merek membantu konsumen memaafkan kesalahan yang
dilakukan oleh merek tersebut (Fincham 2000; McCulloghet al.1997, Finkelet al
2002; Hoyt et al. 2005). Penelitian psikologi interpersonal menjelaskan bahwa
partner dalam sebuah hubungan dekat memiliki kesediaan lebih besar untuk
Wieselquist et al.,1999). Ikatan emosional yang kuat antar partner dalam sebuah
hubungan juga ditemukan sebagai salah satu faktor yang membuat
individu-individu dalam hubungan tersebut berusaha untuk memaafkan kesalahaan yang
terjadi agar hubungan yang terjalin bisa bertahan (Hazan and Shaver 1994).
Semakin kuat kedekatan interpersonal, semakin kuat pula niat individu dalam
memberikan pengampunan (forgiveness) (Fincham, 2000; Finkel et al., 2002).
Dalam konteks pemasaran, Aaker, Fournier and Brasel (2004) menunjukkan
bahwa dalam konteks pemasaran, kualitas hubungan merek dengan konsumen
mempunyai efek yang signifikan terhadap kerelaan konsumen untuk memaafkan
kesalahan yang dilakukan oleh merek. Hubungan yang intim antara merek dengan
konsumen mendorong konsumen untuk memaafkan kesalahan yang terjadi agar
hubungan dengan merek yang dicintainya dapat bertahan (Fournier 1998).
Berdasarkan penjelasan di atas, diajukan hipotesis berikut ini:
H1:Relationship closenessberpengaruh positif terhadapconsumer forgiveness.
2.2.2. Hubungan antara Relationship Closeness dengan Future Behavioral
Intentions
Peneliti consumer studies telah menemukan hasil yang konsisten bahwa
kedekatan hubungan merek dengan konsumen dapat membantu mempercepat
pemulihan kekecewaan yang terjadi setelah merek gagal memberikan kepuasan
(Tax, Brown, dan Chandrashekaran, 1998). Konsumen yang memiliki kedekatan
hubungan yang lebih tinggi dengan merek menunjukkan kecenderungan lebih
besar untuk menampilkan perilaku positif terhadap merek di masa mendatang.
tinggi dan kualitas kedekatan menghasilkan evaluasi yang lebih menguntungkan
setelah terjadinya kegagalan. Keengganan untuk mencari obyek lain untuk dicintai
juga memberikan hambatan untuk berpindah bagi konsumen yang sudah menjalin
hubungan dekat dengan sebuah merek tertentu (Fournier, 1998). Donovan (2012)
menunjukkan bahwa hubungan kedekatan merek menyebabkan konsumen
membentuk niat merek yang positif di masa mendatang. Mengacu pada
pernyataan tersebut, dapat diduga bahwa para pendukung klub sepakbola yang
memiliki kedekatan hubungan yang kuat dengan klub sepakbola yang dicintainya
akan memiliki kecenderungan niat berperilaku yang positif di masa mendatang.
Berdasarkan penjelasan di atas, diajukan hipotesis berikut ini:
H2 : Relationship closeness berpengaruh positif terhadapfuture behavioral
intentions.
2.10.3 Hubungan antara Consumer Forgiveness dengan Future Behavioral
Intentions
Donovan et al., (2012) mendefinisikan pengampunan sebagai netralisasi
dari pelanggaran terhadap merek atau produk yang melakukan kesalahan. Seorang
individu yang memberikan maaf (forgiveness) akan mampu menetralkan emosi
negatif yang dihasilkan dari kekecewaan yang diberikan oleh merek yang
disukainya. Penetralan emosi ini penting agar hubungan yang terjalin di masa
mendatang tidak terganggu oleh emosi negatif tersebut. Bagi pendukung klub
sepakbola, memaafkan kesalahan klub yang mereka cintai akan memudahkan
Semakin kuat kesediaan konsumen untuk memberikan maaf kepada merek yang
melakukan kesalahan, semakin besar kecenderungan konsumen untuk
menampilkan perilaku positif terhadap merek di masa mendatang (McCullough
dan Worthington 1999;Fournier 1998). Sebaliknya, keengganan memberikan
maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh merek akan mendorong pada
keengganan untuk menunjukkan perilaku positif pada merek di masa mendatang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, diajukan hipotesis berikut ini:
H3:Brand forgivenessberpengaruh positif terhadapfuture behavioral intentions.
2.3. Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini merupakan adaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh
Donovan et al. (2012) yang berjudul “How close brand relationships influence
forgiveness”. Penelitian tersebut mengeksplorasi pengaruh hubungan brand
relationship closeness pada brand forgiveness, dan pengaruh brand forgiveness
pada brand behaviors setelah brand transgression. Penelitian tersebut menguji
secara empiris pengaruhrelationship denganforgiveness denganbehavior model.
Penelitian ini menemukan bahwa (a) kedekatan brand relationshipsmemudahkan
konsumen memberikan maaf pada merek yang melakukan pelanggaran atau
kesalahan, (b) forgiveness berpengaruh positif pada future behavioral intentions
pasca kegagalan merek, dan (c) forgiveness memediasi pengaruh close brand
relationshippadafuture brand intentions.
Persamaan penelitian Donovan et al. (2012) dengan penelitian ini adalah
closeness, dan future behavioral intentions. Perbedaan di antara keduanya adalah
bahwa penelitian Donovan et al. (2012) tidak hanya berfokus pada future brand
intentions tetapi juga mengamati purchased after failure untuk mengetahui
perilaku pembelian konsumen pasca kegagalan merek. Penelitian ini tidak
mengamati perilaku pembelian pasca kegagalan melainkan hanya niat berperilaku
di masa depan. Perbedaan juga ada pada konteks penelitian yang diamati, di mana
penelitian ini mengamati konsumen pendukung klub sepakbola sedangkan
Donovan et al (2012) mengamati konsumen yang menggunakan produk sepatu
olahraga dengan brand “Nike”, yang didapatkan dengan desain sepatu yang bagus
dan inovatif tetapi konsumen tidak merasa nyaman selagi menggunakannya
karena desain tersebut ternyata mengurangi kenyamanan bagai pemakainya, tetapi
Donovan et al (2012) menemukan bahwa kebanyakan yang membeli sepatu baru
memiliki perasaan emosional dan kedekatan terhadap Nike. Ketika konsumen
mengalami kegagalan merek, walaupun sebagian dari mereka mengalami cedera.
Sebagian konsumen memaafkan kegagalan Nike. Sedangkan pada penelitian kali
ini, penulis meneliti tentang konsumen. Perbedaan konteks ini diharapkan
memberikan temuan yang berharga.
2.4. Model Analisis
Model analisis pada penelitian ini dirancang dengan merujuk pada studi
yang dilakukan oleh Donovan et al. (2012). Dalam kajian teori yang telah
dilakukan, model penelitian ini mengidentifikasikan bahwa kedekatan hubungan
berpengaruh terhadap kesediaan mereka memaafkan (forgiveness) Persib Bandung
saat menunjukkan kinerja yang tidak memuaskan dan kesediaan mereka untuk
terus mendukung klub yang mereka cintai tersebut di masa mendatang (future
behavioral intentions). Berdasarkan hipotesis yang telah diajukan pada bagian
sebelumnya, berikut ini adalah model penelitian yang digunakan.
Gambar 2.3 Sumber: Donovanet al(2012) dalam How close brand relationships influence
forgiveness Brand
Relationship
Closeness
Consumer
Forgiveness
Future Behavioral
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Menurut Curwin & Slater (2002), pendekatan kuantitatif merupakan
pendekatan penelitian yang menggunakan angka statistik untuk membantu
menjelaskan, mendeskripsikan, dan menjawab permasalahan dalam penelitian.
Menurut Stangor (2010), pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan penelitian
deskriptif yang menggunakan pengukuran formal, seperti kuesioner, yang mana
didesain untuk dijadikan subjek pada statistical analysis. Penggunaan pendekatan
kuantitatif juga memungkinkan seorang peneliti untuk membangun sebuah model
penelitian yang berisikan poin pemikiran terhadap permasalahan tertentu (Curwin
& Slater, 2002).
Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas. Menurut Malhotra (1993),
penelitian kausalitas merupakan tipe penelitian yang tujuan utamanya adalah
untuk mendapatkan bukti mengenai hubungan sebab akibat diantara variabel
independen (yang mempengaruhi) dan variabel dependen (yang dipengaruhi). Hal
tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang berusaha untuk mengetahui
variabel-variabel yang berpengaruh terhadap relationship closeness, consumer
3.2. Identifikasi Variabel
Menurut Stangor (2010:67), variabel merupakan atribut yang dianggap
dapat menerima value yang berbeda diantara orang-orang atau di waktu dan
tempat yang berbeda. Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang akan dianalisis
dan diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Variabel eksogen, merupakan variabel yang tidak dipengaruhi oleh
variabel lain didalam model (Hairet al, 2010:637). Secara visual, variabel
eksogen tidak digambarkan menerima arah panah (one-headed arrow)dari
arah variabel lain didalam model (Hairet al, 2010:637). Variabel eksogen
juga disebut dengan variabel independen. Dalam penelitian ini, yang
termasuk dalam variabel eksogen adalahRelationship Closeness(X).
2. Variabel endogen, merupakan variabel yang telah mendapat pengaruh dari
satu atau beberapa variabel lain didalam model (Hair et al, 2010:637).
Dalam model, variabel endogen digambarkan sebagai variabel yang
menerima arah anak panah dari variabel eksogen (Hair et al, 2010:637).
Ada dua jenis variabel endogen, yaitu :
a. Variabel endogen intervening, yaitu variabel yang dipengaruhi oleh
variabel prediktor (eksogen) dan kemudian selanjutnya mempengaruhi
variabel endogen dependen (Stangor, 2010:172). Dalam penelitian ini,
yang menjadi variabel endogen interveningnya adalahForgiveness(Z).
b. Variabel endogen dependen. Dalam hal penelitian ini yang menjadi
3.3. Definisi Operasional
Menurut Stangor (2011), istilah definisi operasional adalah pernyataan
yang tepat tentang bagaimana sebuah variabel konseptual berubah menjadi
variabel yang terukur dan spesifik. Sedangkan menurut Cooper & Schindler
(2001), definisi operasional adalah definisi yang dinyatakan dengan tujuan untuk
menentukan kriteria pengukuran atau pengujian secara spesifik. Definisi yang
spesifik ini harus jelas agar siapapun yang menggunakannya juga akan memiliki
pengertian yang sama (Cooper & Schindler, 2001). Selain itu, pemberian definisi
operasional juga memberikan kemudahan bagi peneliti selanjutnya dalam
melakukan replikasi penelitian (Stangor, 2010).
3.3.1.Relationship Closeness
Penelitian ini mendefinisikan relationship closeness sebagai penilaian
tentang kedekatan hubungan pendukung klub sepakbola Persib Bandung dengan
klub sepakbola Persib Bandung tersebut. Kedekatan hubungan (relationship
closeness) diukur dengan menggunakan indikator yang diadopsi dari Donovan et
al. (2012) yang terdiri dari:
a. Hubungan terhadap Persib Bandung adalah sesuatu yang diinginkan.
b. Memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Persib Bandung.
c. Hubungan dengan Persib Bandung memenuhi tujuan.
d. Kedekatan dengan Persib Bandung sesuai dengan harapan.
3.3.2.Consumer Forgiveness
Penelitian ini mengadaptasi Donovan et al. (2012) dalam mendefinisikan
variabel consumer forgiveness sebagai kesediaan pendukung Persib Bandung
untuk memberikan maaf kepada klub sepakbola Persib Bandung atas kekecewaan
yang diberikan klub tersebut kepada mereka. Untuk mengukur variabel ini,
digunakan item-item pertanyaan yang diadaptasi dari penelitian Enright (2005)
sebagai berikut:
a. Tetap mendukung Persib Bandung walau sering mengalami kekalahan.
b. Peduli pada Persib Bandung pada saat terpuruk.
c. Menolak mendukung Persib Bandung jika terus mengalami kekalahan
(reverse)
d. Tetap menjagokan Persib Bandung walau sering mengalami kekalahan.
e. Enggan mendukung Persib Bandung di saat terpuruk (reverse)
f. Merasa Persib Bandung layak dihormati walau di saat terpuruk.
g. Merasa jengkel saat Persib Bandung sering mengalami kekalahan.
3.3.3.Future Behavioral Intentions
Penelitian ini mengadaptasi Donovan et al. (2012) dalam mendefinisikan
Future Behavioral Intentions sebagai niat pendukung Persib Bandung untuk tetap
memberikan dukungan pada klub sepakbola Persib Bandung di masa yang
mendatang. Variabel ini diukur dengan menggunakan 6 item pernyataan yang
a. Bersedia untuk tetap berinteraksi dengan Persib Bandung di masa yang
akan datang.
b. Akan meningkatkan keterlibatan pada kegiatan yang berhubungan dengan
Persib Bandung.
c. Akan meluangkan waktu lebih banyak dengan Persib Bandung
dibandingkan dengan klub sepakbola lainnya.
d. Lebih suka mendukung Persib Bandung dibandingkan klub lainnya.
e. Jika memperoleh uang, uang tersebut akan digunakan untuk membeli
atribut Persib Bandung.
f. Selalu memilih Persib Bandung untuk menyalurkan hobi menonton
pertandingan sepakbola
Skor dapat diketahui dengan menghitung jawaban yang diberikan
responden melalui kuesioner. Seluruh indikator penelitian diukur dengan
menggunakan skala Likert 5 tingkat; di mana 1 = Sangat Tidak Setuju (STS); 2 =
Tidak Setuju (TS); 3 = Netral (N); 4 = Setuju (S); 5 = Sangat Setuju (SS).
3.4. Jenis dan Sumber Data
1. Sumber data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner.
2. Sumber data sekunder yang diperoleh melalui kajian telaah literatur,
seperti jurnal,textbook, website, dan sumber pustaka lainnya yang masih
3.5.Populasi dan Sampel Penelitian
Cooper & Schindler (2001:163) menjelaskan bahwa populasi merupakan
seluruh total elemen yang akan peneliti gunakan sebagai subjek penelitian untuk
mengambil kesimpulan; sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi yang
dipilih oleh peneliti yang dianggap merepresentasikan keseluruhan populasi.
Populasi pada penelitian ini adalah para pendukung Persib Bandung di seluruh
Indonesia.
Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
non-probability sampling, yaitu dengan judgement sampling. Judgement sampling
(yang sering dikenal sebagai purposive sampling) merupakan metode penetapan
sampling dimana peneliti memilih sampelnya berdasarkan kriteria tertentu
(Cooper & Schindler, 2001:163). Metode ini dipilih karena tidak semua elemen
dalam populasi memilki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Kriteria
sampel yang dipilih adalah para pendukung Persib Bandung di seluruh Indonesia
yang pernah menyaksikan pertandingan Persib Bandung secara langsung di
stadion Si Jalak Harupat tanggal 22 Oktober dan 2 November 2014. Tanggal 22
Oktober dan 2 November 2014 dipilih karena pada periode tersebut Persib
Bandung sering melakukan pertandingan di Bandung sehingga memudahkan
peneliti untuk memperoleh responden dalam jumlah cukup. Mengacu pada
rekomendasi Hair et al (2010:662), jumlah sampel yang digunakan dalam
3.6.Teknik Pengumpulan Data
Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data untuk mendapatan
informasi yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Studi Pendahuluan; dilakukan untuk mengetahui fansclubsepakbola mana
yang layak dan relevan untuk dijadikan obyek penelitian, dan mencoba
untuk mengamati perilaku pendukung Persib dalam mendukung Persib.
2. Studi Kepustakaan; dilakukan dengan mempelajari literatur, jurnal, dan
sumber pustaka lainnya yang terkait dengan permasalahan dan tujuan
penelitian, serta mempelajari teori-teori yang menunjang dan berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi untuk membantu dalam penyusunan
alat pengumpulan data.
3. Studi Lapangan; dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner dengan
berisi seperangkat pertanyaan yang telah disusun secara sistematis.
Penyebaran form kuesioner ini seluruhnya dilakukan via offline.
Kuesioner ini diberikan kepada pendukung Persib Bandung yang
menyaksikan pertandingan Persib Bandung di stadion Si Jalak Harupat
sebelum pertandingan berlangsung. Hasil jawaban responden dalam
kuesioner tersebut selanjutnya akan dikumpulkan hingga mencapai target
3.7.Teknik Analisis
3.7.1. Uji Reliabilitas
Reliabilitas dalam pengukuran variabel merujuk pada pengertian sejauh
mana pengukuran tersebut terbebas darirandom error. Satu cara langsung dalam
menentukan reliabilitas dalam variabel yang telah diukur adalah mengukur
variabel tersebut lebih dari sekali (Stangor, 2010:91). Menurut Stangor (2010:91),
ada 4 jenis reliabilitas, yaitu : (1) test-retest reliability – merujuk pada sejauh
mana nilai yang dihasilkan dalam pengukuran yang sama, dijalankan pada waktu
berbeda, berkaitan satu-sama lain; (2) equivalet-forms reliability – merujuk pada
sejauh mana nilai yang dihasilkan mirip, namun tidak identik, pengukuran
dilakukan dalam dua waktu berbeda, berkaitan satu-sama lain; (3) internal
consistency – merujuk pada sejauh mana nilai yang dihasilkan item pada skala
berkaitan satu sama lain. reliabilitas ini biasanya diukur dengan menggunakan
koefisienalpha;dan (4)interrater reliability – merujuk pada sejauh manaratings
dari satu atau lebih penilaian berkaitan satu-sama lain. Karena penelitian ini
menguji korelasi diantara variabel, maka uji reliabititas yang digunakan adalah
internal consistency reliability, yaitu dengan menggunakan koefisien alpha
Cronbach. Morgan & Griego (1998:125) mengatakan, koefisien alpha ini paling
sering digunakan peneliti karena koefisien ini mampu menyediakan ukuran
reliabilitas yang bisa didapatkan dengan satu kali uji kuesioner. Menurut Malhotra
(1993:308), koefisien alpha variasinya mulai dari 0 sampai 1. Agar item
penelitian bisa dianggap reliabel, koefisien alpha harus diatas 0,60 (Malhotra,
3.7.2. Uji Validitas
Sebuah pengujian memiliki validitas jika pengujian tersebut mengukur apa
yang memang seharusnya diukur (Allen & Yen, 2002:95). Pendapat lain
disampaikan Malhotra (1993:309), uji validitas mengukur sejauh mana perbedaan
skor skala yang diamati mencerminkan perbedaan sebenarnya antara objek-objek
pada karakteristik yang sedang diukur dibandingkan kesalahan sistematik atau
randomnya. Terdapat dua tahap uji validitas dalam penelitian ini, yaitu uji
validitas internal dan validitas konvergen.
1. Validitas internal merujuk pada pengertian apakah pengaruh yang diamati
pada unit uji disebabkan oleh variabel yang mempengaruhinya (Malhotra,
1993:225). Dengan kata lain, validitas internal digunakan untuk mengukur
ada tidaknya korelasi indikator di dalam satu variabel atau indikator dalam
variabel saling berkaitan. Pada program SPSS, teknik pengujian yang
sering digunakan para peneliti untuk uji validitas adalah menggunakan
Pearson product moment correlation. Validitas internal ditunjukkan
dengan adanya korelasi atau dukungan terhadap item total (skor total), yang nilainya ≥ 0,30 (Solimun, 2002:5). Perhitungan dilakukan dengan
cara mengkorelasikan antara skor item dengan skor total item. Suatu
pernyataan dianggap valid jika nilai pengukurannya ≥ 0,30. Dan
sebaliknya, pernyataan tidak bisa dianggap valid jika nilainya ≤ 0,30
2. Validitas konvergen mengukur sejauh mana indikator dari konstruk
spesifik menyatu atau berbagi proporsi yang tinggi dari varians yang
sama (Hair et al, 2006:771). Dengan kata lain, validitas konvergen
mengukur seberapa kuat indikator atau dalam istilah SEM disebut
variabel manifes, merupakan pembentuk dari variabel latennya. Validitas
konvergen diolah dengan bantuan software AMOS. Menurut Hair et al
(2006:797), validitas konvergen dikatakan baik apabila nilai pengukuran ≥ 0,5.
3.7.3. Structural Equation Model (SEM)
Teknik analisis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Structural Equation Modelling (SEM). Menurut Hair et al (2010:634), SEM
merupakan teknik analisis multivariate dengan menggabungkan aspek dari
analisis faktor dan multiple regressionyang memungkinkan peneliti untuk secara
simultan menguji serangkaian variabel-variabel yang berkaitan. Pada model SEM,
hubungan kausalitas antar variabel dapat ditentukan secara lebih lengkap. Analisis
model SEM dalam penelitian ini akan dilakukan dengan bantuansoftwareAMOS.
Dalam menggunakan SEM, terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi
dalam pengumpulan data. Asumsi-asumsinya adalah sebagai berikut :
1. Ukuran Sampel
Dalam SEM, ada beberapa rekomendasi dari Hair et al (2010:662) terkait
dengan banyaknya jumlah sampel yang dibutuhkan, yaitu : (1) ukuran sampel
minimum 150 untuk model terdiri dari sedikitnya 7 konstruk; (3) ukuran sampel
minimum 500 untuk model yang konstruknya dalam jumlah besar. Karena
penelitian ini menggunakan 200 sampel, maka bisa dikatakan asumsi pertama
telah terpenuhi.
2. Normalitas Data
SEM mensyaratkan data terdistribusi normal atau dapat dianggap
berdistribusi normal. Distribusi normal adalah dasar untuk statistik inference
klasik yang berbentuk lonceng dan simetris. Distribusi normal mengukur pusat
kecenderungan yang semuanya identik (Hair et al, 2006:400). Nilai statistik yang
digunakan untuk menguji normalitas adalah z-value yang dapat dilihat pada tabel
z dengan tingkat kepercayaan 99% atau signifikansi 1%, yaitu antara -2,58 dan
+2,58. Pada tabelassessment of normality, nilai kritis (cr) yang lebih besar +2,58
atau lebih kecil dari -2,58 (pada tingkat 0,01) untuk skewness dan kurtosis akan
menolak asumsi normalitas (data tidak normal. Nilai kritis (cr) multivariate juga
harus berada antara -2,58 dan +2,58 untuk memenuhi asumsi normalitas
multivariat (Hairet al, 1998 : 73).
3. Outlier
Hair et al (2006:173) menjelaskan bahwa outlier adalah data yang
perbedaanya menyipang jauh dari data-data yang lain sehingga dapat
menyebabkan hasil analisis terhadap suatu data tidak mencerminkan hasil yang
sebenarnya. Outlier juga dikenal dengan sebutan nilai ekstrim. Pengujian outlier
secara univariat dilakukan dengan menggunakan nilai z pada tiap indikator yang
rentang -3,00 sampai +3,00. Jika diluar rentang tersebut, maka data tersebut bisa
dianggap outlier. Sedangkan pengujian outlier multivariate dapat dilakukan
dengan kriteria mahalobis distance pada tingkat p < 0,001. Mahalobis distance
dievaluasi dengan menggunakan chi-square pada derajat bebas sebesar jumlah
variabel yang digunakan dalam penelitian. Jika mahalobis distance lebih besar
dari nilaichi-square, maka observasi tersebut dianggap outlier.
4. Multikolinieritas
Asumsi terakhir yang harus dipenuhi dalam SEM adalah multikolinieritas.
Lehmann (1989:529), berpendapat salah satu problem paling umum yang sering
ditemui dalam regresi adalah hasil dari kuatnya hubungan timbal balik diantara
variabel independen. Asumsi multikolinieritas mengharuskan tidak adanya
korelasi yang sempurna atau besar diantara variabel-variabel independen. Nilai
korelasi antara variabelobservedyang tidak diperbolehkan adalah sebesar 0,7 atau
lebih (Lehmann, 1989:530).
Menurut Hair et al (2010:654), terdapat enam langkah dalam permodelan
SEM, yaitu :
1. Pengembangan Model Berbasis Teori
SEM tidak menciptakan suatu hubungan kausalitas, tapi hanya sebatas
membenarkan atau tidak sebuah hubungan kausalitas. Oleh karena itu, model
2. Mengembangkanpath diagramuntuk menunjukkan hubungan kausalitas
Setelah model dikembangkan berdasarkan pijakan teori yang kuat, model tersebut
selanjutnya diterjemahkan ke dalam diagram jalur (path diagram) dengan tujuan
agar memudahkan kita untuk menentukan hubungan kausalitas diantara konstruk
dan variabel.
3. Konversipath diagramke dalam serangkaian persamaan
Rangkaian persamaan itu pada hakikatnya terbagi menjadi 2 bagian yaitu
persamaan model pengukuran (factor loading) dan persamaan model structural
(structural model).Langkah berikutnya adalah memilih jenis input (kovarians atau
korelasi) yang seseuai dengan penelitian. Karena penelitian ini menguji hubungan
kausalitas, maka input kovarians yang dipilih. Sedangkan teknik untuk estimasi
model menggunakan teknik estimasimaximum likelihood,karena estimasi ukuran
sampel penelitian ini yang berjumlah 100-200 responden. Estimasi terhadap
model dilakukan dengan menggunakan bantuan software AMOS.
4. Menguji validitas pengukuran model.
Proses selanjutnya menguji pengukuran validitas model. Pengukuran validitas
model tergantung pada (1) penetapan tingkat penerimaan pada goodness-of-fit
untuk pengukuran model dan (2) menemukan bukti spesifik dari validitas
konstruk.Goodness-of-fit mengindikasikan seberapa baik model yang telah
ditetapkan reproduce matriks kovarian yang diamati diantara indikator item.
Validitas konstruk mengindikasikan sejauh mana rangkaian variabel yang diukur
5. Menetapkan structural model
Menetapkan structural model sangat penting dalam mengembangkan model SEM.
Tahap ini merupakan proses penetapan struktural model dengan menempatkan
korelasi dari satu konstruk ke konstruk lain berdasarkan teoritis model yang
diajukan. Dengan kata lain, output dari tahap ini adalah masing-masing hipotesis
merepresentasikan kolerasi spesifik yang harus ditentukan. Ini akan menjadi
pengujian dari keseluruhan teori, termasuk pengukuran hubunga indikator ke
konstruk ataupun hubungan struktural yang di-hipotesis-kan diantara konstruk.
6. Evaluasi Model
Langkah akhir meliputi effort untuk menguji validitas struktural model dan
hubungan hipotesa secara teoritis yang dikenal dengan ”Goodness-of-Fit Indice”
seperti pada tabel berikut:
Goodness-of-Fit Index Cut-off Value
X2-Chi-squary Diharapkan kecil
RMSEA 0,03 ≤ 0,08
GFI ≥ 0,90
AGFI ≥ 0,90
CMIN/DF ≤ 2,00
TLI ≥ 0,95
CFI ≥ 0,90
Keterangan :
a. X2-Chi-squary
Statistik chi-square (χ2) merupakan alat uji paling fundamental untuk
mengukur overall fit sebuah model. Semakin kecil nilai chi-square,
semakin baik sebuah model (Hairet al, 2006:746).
b. The Root Mean Square Error of Approximation(RMSEA)
Karena nilai Chi-Square sangat sensitif. Kriteria RMSEA digunakan
untuk mengompensasi Chi-Square dengan sampel besar. Nilai RMSEA
antara 0,03 hingga 0,08 direkomendasikan sebagai standar agar model
dapat diterima (Hairet al, 2006:748).
c. Goodness-of-Fit Index(GFI)
Indeks ini menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel dalam rentang 0 hingga. Nilai GFI ≥ 0,90 sudah
dianggap baik (Hairet al, 2006:747).
d. Adjusted Goodness-of-Fit Index(AGFI).
Kriteria AFGI merupakan penyesuaian dari GFI terhadap degree of
freedom. Nilai AGFI ≥ 0,90 direkomendasikan agar model diterima
(Hairet al, 2006:750).
e. The Minimum Sampel Discrepancy Function/ Degree of Freedom
(CMIN/DF)
CMIN/DF merupakan nilai X2-Chi-square dibagi dengan degree of freedom-nya. Nilai CMIN/DF ≤ 2,00 menunjukkan model sudah bisa