• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Akta Sebagai Alat Bukti

Dalam dokumen Problematika Keotentikan Akta PPAT (Halaman 44-70)

BAB II PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG PPAT

1. Kedudukan Akta Sebagai Alat Bukti

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Ia adalah salah satu alat bukti tertulis (surat) sebagaimana diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-305 Rbg dan pasal 1867-1894 BW.53

Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada etentuan pasal 1869 BW, dengan tujuan untuk mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu akta dengan yang lainnya.

Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf singkatan tanda tangan dianggap belum cukup.54

Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

53

Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Penerbit : Liberty, 1998), hal. 23.

54

undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut hal ini sesuai dengan Pasal 1874 BW, Staatsblad Nomor 29, Pasal 1, 286 Rbg. Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan sesuai dengan pasal 165 HIR, 1868 BW dan 285 Rbg. Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.55

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil atau formalitas causa dan fungsi alat bukti atau probationis causa. Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan huum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, arena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.56 55 Ibid., hal. 23. 56 Ibid., hal. 23.

Kekuatan pembuktian akta ini dibedakan menjadi tiga macam.

1. Kekuatan pembuktian lahir atau kekuatan pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, atau disebut acta publica probant

sese ipsa

2. Kekuatan pembuktian formil atau memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta 3. Kekuatan pembuktian materil atau memberikan kepastian tentang materi suatu

akta.57

b. Acte Ambtelijk

Acte ambtelijk dalam istilah lainnya disebut juga procesverbaal acte.

Pengaturan tentang akta ini dijumpai dalam pasal 165 HIR serta pasal 285 Rbg. 1868 BW. Acte Ambtelijk merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Inisiatif penerbitan akta ini tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Sebagai contoh daripada akta pejabat ini misalnya ialah berita acara yang dibuat oleh polisi atau panitera pengganti di persidangan.58

Selain dari Acte Ambtelijk dikenal pula partijakte atau akta yang dibuat oleh

para piha. Partijakte ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh dapat disebutkan akta notaris tentang jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Biasanya suatu partijakte diawali dengan kata-kata ”Pada

57

Ibid., hal. 23.

58

hari ini ... tanggal ... menghadap pada saya ..., notaris di ..., A dan B, yang menerangkan seperti berikut ...”.

Acte Ambtelijk merupakan akta otentik, yang menurut pasal 165 sebagaimana

ketentuan pasal 1868 BW, 285 Rbg) adalah : ”.... suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta”.59

Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu bahwa apa yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi dihadapannya, maka kekuatan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti daripada apa yang terjadi dihadapannya saja.

Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayainya pejabat tersebut, maka isi daripada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Menurut pasal 165 HIR (ps. 285 Rbg. 1870 BW) maka akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan

59

orang yang mendapat hak daripadanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Terhadap pihak ketiga akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa pernilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.

c) Akta Otentik

Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUH Perdata. Ia memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat atau dinyatakan di dalam akta ini.

Akta otentik sebagai alat bukti tertulis yang terkuat, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, hal ini sesuai dengan penjelasan umum Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.

Ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi Hakim itu merupakan “Bukti Wajib dan menjadi Keharusan” atau Verplicht Bewijs.

Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.

Oleh karena itulah maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian, baik lahiriah, formil maupun material atau uitwendige, formiele en materiele bewijskracht.

d) Akta di Bawah Tangan

Akta dibawah tangan bagi Hakim merupakan Bukti Bebas karena akta dibawah tangan ini baru mempunyai kekuatan bukti materiil setelah dibuktikan kekuatan formilnya. Sedang kekuatan pembuktian formilnya baru terjadi, bila pihak-pihak yang bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu.

Dengan demikian akta dibawah tangan ini berlainan dengan akta otentik, sebab bilamana satu akta dibawah tangan dinyatakan palsu, maka yang menggunakan akta dibawah tangan itu sebagai bukti haruslah membuktikan bahwa akta itu tidak palsu.60

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian, baik lahiriah, formil maupun materiil atau uitwendige, formiele en materiele bewijskracht ?

Hal ini disebabkan karena kekuatan pembuktian lahiriah yang artinya :

- Akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik; mengingat sejak awal yaitu sejak adanya niat dari pihak (pihak-pihak) yang berkepentingan untuk membuat atau melahirkan alat bukti, maka sejak saat mempersiapkan kehadirannya itu telah melalui proses sesuai dan memenuhi ketentuan pasal 1868 KUH Perdata Jo UU No. 30/2004 atau dahulu Stbl 1860 Nomor 3 Reglement of notaris Ambt in Indonesia.61

- Kemampuan atau kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak ada pada akta/surat dibawah tangan (Vide pasal 1875 KUH Perdata).

Sedangkan kekuatan pembuktian formil adalah dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak, itulah kehendak pihak-pihak yang dinyatakan dalam akta itu oleh atau keterangan pejabat yang berwenang dalam menjalankan jabatannya.

Dalam arti formil akta otentik menjamin kebenaran :

60

Ng. Yudara, Notaris dan Permasalahannya, Pokok-Pokok Pemikiran di Seputar

Kedudukan dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta,

Penerbit : Renvoi. 10.34, tahun 2006), hal. 74.

61

- tanggal - tanda tangan - komparan dan - tempat akta dibuat62

Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya.

Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila sipenanda tangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.63

Kekuatan pembuktian materiil artinya bahwa secara hukum (yuridis) isi dari akta itu telah membuktikan keberadaannya sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang membuat atau menyuruh membuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (termasuk ahli warisnya atau orang lain yang mendapat hak darinya).

Inilah yang dinamakan sebagai ”Preuve Proconstituee” artinya akta itu benar mempunyai kekuatan pembuktian materiil.

Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam pasal 1870, 1871 dan 1875 KUH Perdata.

Oleh karena itulah, maka akta otentik itu berlaku sebagai alat bukti sempurna dan mengikat pihak atau pihak-pihak yang membuat akta itu.

62

Ibid., hal. 74.

63

Dengan demikian siapapun yang membantah kebenaran akta otentik sebagai alat bukti, maka ia harus membuktikan kebalikannya.

e) Perbedaan Pokok Akta Otentik dengan Akta di Bawah Tangan

Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, dan akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta di Bawah Tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KUH Perdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Perbedaan pokok antara akta otentik dan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil, maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dan sebagainya.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli

warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUH Perdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea materai.

Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian misalnya perjanjian jual beli tidak berarti perbuatan hukumnya atau perjanjian jual beli tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian.

Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi materai dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permateraian dapat dilakukan belakangan.

f) Fungsi Akta

Akta dapat mempunyai fungsi formil atau formalitas causa, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya atau bukan untuk sahnya suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Di sini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah pasal 1610 BW tentang perjanjian pemborongan, pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan pasal 1851 BW tentang perdamaian. Untuk itu semuanya disyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan dengan akta otentik antara lain ialah pasal 1171 BW tentang pemberian hipotik, pasal 1682 BW tentang schenking dan pasal 1945 BW tentang melakukan sumpah oleh orang lain.64

Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti atau probationis causa. Dari definisi yang telah diketengahkan di muka telah jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.65

Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Sampai berapa jauhkah akta mempunyai kekuatan pembuktian ? Tentang kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan :

1. Kekuatan pembuktian lahir

64

Zakaria Mahfuz, Akta Ambtelijk dan Fungsi Akta Otentik, (Jakarta, Penerbit : Pustaka Jaya, 2007), hal. 1.

65

Yang dimaksudkan dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya : yaitu bahwa surat yang tampaknya atau dari lahir seperti akta, dianggap atau mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil

Kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan ”Benarkah bahwa ada pernyataan ?”. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

3. Kekuatan pembuktian materil

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pertanyaan ”Benarkah isi pernyataan di dalam akta itu ?”. Jadi kekuatan pembuktian materil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.66

2. Kewenangan PPAT, Antara Membuat dan Mengisi Blanko / Formulir Akta PPAT

Embrio institusi PPAT telah ada sejak tahun 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah

66

dengan istilah penjabat saja. Bahwa yang dimaksud penjabat adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta.67

Pada awal kelahirannya PPAT tidak dikategorikan sebagai Pejabat Umum, tapi sebagai Penjabat saja. PPAT dikategorikan atau disebutkan sebagai Pejabat Umum awalnya berdasarkan Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.68

Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

Secara khusus keberadaan PPAT diatur Peraturan Pemerintah dalam nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PJPPAT), dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa : PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan

67

Habibie Adjie, Telaah Ulang : Kewenangan PPAT Untuk Membuat Akta, Bukan Mengisi

Blanko/Formulir Akta, (Jakarta, Penerbit : Renvoi 8.44, 2007), hal. 71.

68

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.69

Berdasarkan isi aturan hukum yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi wewenang membuat akta PPAT otentik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa membuat adalah menciptakan, melakukan, mengerjakan (KBBI, 1998, hal. 148). Dengan demikian PPAT mempunyai kewenangan menciptakan, membuat, mengerjakan, melakukan, membuat sendiri akta (PPAT) yang menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut di atas dengan bentuk yang ditentukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 juncto Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, yaitu akta jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian Hak Guna Bangunan atau Hang Pakai atas Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.70

Kewenangan PPAT untuk membuat akta yang merupakan mutlak kewenangan PPAT menjadi contradictio in terminis, manakala kita menghubungkan kewenangan tersebut dengan Pasal 38 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 96 ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa pembuatan akta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 ayat 1 dan ayat 2

69

Ibid., hal. 71.

70

harus menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang disediakan. Menurut pasal ini bahwa akta yang dimaksud dalam bentuk formulir/blangko yang sudah disediakan.71

Perlu mendapat kajian yaitu mengenai formulir. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa formulir adalah lembar isian atau surat isian. Dengan kata lain formulir adalah lembaran yang harus diisi oleh yang bersangkutan sesuai dengan maksud dan tujuannya yang sudah disediakan oleh pihak lain.72

Dengan membandingkan kedua istilah tersebut, maka akan terdapat perbedaan pengertian yang signifikan, kewenangan PPAT membuat akta adalah menciptakan, melakukan, mengerjakan sendiri akta PPAT, bukan mengisi formulir atau blangko. Oleh karena itu mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Berdasarkan pengertian tersebut jika PPAT masih mengisi formulir atau blangko membuktikan telah terjadi kesalah kaprahan dan penyesatan dalam memahami dan menerapkan kewenangan PPAT sesuai tataran hukum yang benar.73

Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam mengimplementasikan kewenangannya hanya mengisi blangko atau formulir yang bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, dimana blangko atau formulir ditetapkan oleh Menteri dan bukan oleh Undang-Undang. Dalam aturan hukum yang mengatur

71

Ibid., hal. 71.

72

Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta, Penerbit : Gramedia, 1998), hal. 279.

73

keberadaan BPN yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 10 tahun 2006 bertujuan untuk membina PPAT.

PPAT lahir secara atributif ataupun delegatif dari kewenangan BPN, dengan kata lain, PPAT lahir dari kewenangan BPN, oleh karena itu PPAT adalah sub ordinasi BPN atau pelimpahan dari sebahagian tugas dan kewenangan BPN yang dikerjakan atau dilaksanakan oleh PPAT dengan kewenangan membuat akta-akta tanah yang kewenangan tersebut adalah kewenangan BPN. Dengan demikian tugas yang dilaksanakan oleh BPN terhadap PPAT berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN nomor 1 tahun 1988, sebagai berikut :

a. Menyiapkan bahan perumusan kebijaksanaan teknis dalam rangka bimbingan, pengendalian, pengembangan PPAT, serta penyaringan PPAT yang akan diangkat.

b. Menyiapkan bahan perumusan kebijaksanaan teknis dalam rangka pengangkatan dan pemberhentian PPAT serta penilaian atas pelaksanaan tugasnya.74

Dengan demikian sudah saatnya PPAT untuk kembali melakukan kewenangan tersebut sebagaimana pengertian membuat akta sebagaimana tersebut di atas, dan BPN ataupun pihak lainnya untuk segera menghentikan kegiatannya melakukan pencetakan formulir akta-akta PPAT, yang hanya meraih dan mengeruk

74

keuntungan dari kegiatan menjual formulir-formulir akta PPAT, yang telah dilakukannya sejak keberadaan PPAT tahun 1961.75

Bahkan lebih parah lagi kekosongan formulir akta PPAT tersebut dimanfaatkan oleh Kantor Wilayah BPN yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut difotocopy, dan fotocopynya harus diketahui/dilegalisir oleh salah satu Kepala Seksi pada Kanwil BPN tersebut, dan sudah tentu legalisir tersebut tidak gratis, setidaknya harus ada biaya sama dengan biaya membeli formulir akta PPAT di kantor pos setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar dan penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada aturan hukum yang bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisir fotocopy akta PPAT tersebut.

Sebagai jalan keluar dalam praktek untuk mempermudah penerapan kewenangan PPAT tersebut, yaitu membuat akta, dan agar ada keseragaman dari segi isi secara umum, para PPAT dapat menyalih atau mengetik ulang ke atas kertas HVS yang selama ini dilakukan Notaris dari contoh isi akta PPAT yang sudah ada, hal ini untuk mempermudah kantor Pertanahan setempat memeriksa dan menindah lanjuti akta tersebut sesuai dengan kewenangan Kantor Pertanahan setempat. Dan akta yang

Dalam dokumen Problematika Keotentikan Akta PPAT (Halaman 44-70)

Dokumen terkait