• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Pembuatan Akta

Dalam dokumen Problematika Keotentikan Akta PPAT (Halaman 109-120)

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH PPAT

1. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Pembuatan Akta

Seperti telah diuraikan di atas bahwa akta yang dominan dibuat oleh PPAT adalah akta Jual Beli dan akta yang dominan tersebutlah yang cenderung menimbulkan masalah. Pertanyaan selanjutnya adalah permasalahan apa yang selalu dihadapi dalam pembuatan akta.

Terhadap permasalahan ini, pendapat PPAT bermacam-macam tergantung pada kasus posisi yang dihadapi masing-masing, seperti permasalahan syarat materil berupa subyek atau obyek, syarat formil dan lain-lain, sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut :

Tabel 1

Masalah yang dihadapi dalam Pembuatan Akta (N = 30)

No. Jenis Masalah F

1. Syarat materil (subyek dan obyek) 14

2. Syarat Formil 13

3. Lain-lain 3

Jumlah 30

Berdasarkan data tersebut terlihat syarat materil dan syarat formil hampir sama angkanya dalam memberi andil terjadinya masalah dalam pembuatan akta, yaitu masalah yang menyangkut syarat materil sebanyak 14 PPAT (46%) dan syarat formil sebanyak 13 PPAT (43%) dan hanya 3 (tiga) PPAT (10%) yang menyatakan faktor lain-lain di luar syarat materil dan syarat formil yang menjadi masalah dalam pembuatan akta.

Syarat materil dalam hal subyek/komparannya antara lain manipulasi status dan identitas pemegang hak atau harta warisan yang masih dalam kepemilikan bersama diakui salah seorang ahli waris sebagai hak pribadinya atau komponen masih dibawah umur, atau surat kuasa sudah berakhir namun dijadikan dasar perbuatan hukum peralihan haknya dan sebagainya.

Syafnil Gani mengatakan bahwa tidak adanya peraturan hukum yang mengatur secara tegas tentang batas usia minimal dewasa, merupakan salah satu hal yang menimbulkan kesulitan bagi PPAT untuk membuat akta PPAT sehari-hari. Dimana untuk keamanan PPAT dari tuntutan hukum, dipedomani ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, yaitu seorang baru dianggap tahap bertindak sendiri dalam hukum kalau sudah berumur 21 tahun dan/atau telah pernah kawin, sehingga banyak penghadap yang telah mencapai usia genap 18 tahun yang terpaksa ditolak oleh PPAT. Padahal dalam 47 UU No. 1/1974 memberi hak bagi setiap orang yang telah berusia genap 18 tahun untuk bertindak dalam hukum.56

56

Wawancara dengan Sekretaris Ikatan Notaris/PPAT Jawa Barat, Bandung, di Medan, Oktober 2003, yang dikutip dari Draf Laporan Penelitian Evaluasi Produk-produk Akta PPAT yang

Syarat materil dalam hal obyeknya antara lain tanah yang masih dalam status sengketa dibuatan aktanya, misalnya sertipikat sedang digugat di pengadilan namun tidak disampaikan informasi mengenai sengketanya kepada Kantor Pertanahan, ketika di “cek bersih” ternyata lolos, begitu hendak dibalik nama, petugas pengadilan mengeksekusinya.

Permasalahan yang terjadi di Kota Bandung berkenaan dengan “cek bersita” ini, melipti tiga hal. Pertama, pengecekan dilaksanakan setelah pembuatan akta ; kedua, permohonan pengecekan dilaksanakan bukan oleh PPAT yang akan membuat akta PPAT yang bersangkutan ; dan ketiga, jangka waktu pengecekan dengan penandatanganan akta PPAT terlalu lama, sehingga dimungkinkan pada saat pendaftaran ada perubahan data di Buku Tanah.57

Dari sudut persyaratan formilnya, antara lain kelengkapan berkas seperti bukti identitas, bukti setoran PPh atau BPHTB. Bukti identitas contohnya foto copy KTP tidak dilampirkan atau tidak bisa dibaca atau hampir berakhir masa berlakunya. Bukti Setoran PPh atau BPHTB biasanya karena dipalsukan, tidak dibayar atau kurang bayar. Masalah yang paling dominan dan aktual sekarang ini adalah bukti setoran BPHTB yang dipalsukan atau tidak dibayar.

Bukti setoran PPh dan BPHTB sepintas lalu termasuk ke dalam syarat formal, namun menurut Notaris/PAT Syafnil Gani, pada dasarnya bukan merupakan syarat

Menimbulkan Masalah Pertanahan, (Medan : Penerbit Program Magister Kenotariatan SPs US, 2003), hal. 79.

57

Wawancara dengan Gembira Perangin-angin, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung, di Bandung Oktober 2003.

formal dalam pembuatan akta tetapi merupakan syarat tambahan (supplement), karena sebenarnya persoalan perbuatan hukum peralihan hak seperti jual beli merupakan satu masalah tersendiri dan pembayaran pajak merupakan masalah tersendiri pula, tetapi karena di negara kita masih dominan kepentingan politik daripada penegakan hukum, maka terjadilah intervensi undang-undang perpajakan terhadap perbuatan hukum peralihan hak. Tetapi walau bukti setoran PPh atau BPHTB tersebut merupakan syarat supplement, namun hal itulah yang banyak menimbulkan potensi konflik dari proses pembuatan akta.58

Sementara hal lain di luar syarat materil dan syarat formil yang merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pembuatan akta antara lain adalah saksi yang mangkir atau pihak ketiga yang tiba-tiba menggugat keabsahan kepemilikan atas tanah dimaksud atau adanya putusan pengadilan baik yang amarnya menyatakan pembatalan akta (kewenangan peralihan tata usaha negara) maupun menyatakan perbuatan hukum peralihan haknya tidak syah atau tidak mempunyai kekuatan hukum (kewenangan peradilan umum/perdata).

Secara lebih terperinci produk akta PPAT yang menimbulkan masalah atau terjadi penyimpangan pembuatan akta karena menyangkut syarat materil (baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan persyaratan) atau hal-hal lain dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Penyimpangan terhadap syarat materil

Penyimpangan terhadap syarat materil ini dapat dilihat antara lain karena :

58

a) Komparan atau salah satu penghadap dalam akta PPAT adalah anak di bawah umur atau belum berusia 21 tahun

Misalnya dua orang datang menghadap kepada PPAT bermaksud melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah (jual beli). Pihak pertama (penjual) membawa sertipikat tanah dan dokumen lain yang dipersyaratkan. Setelah diteliti oleh PPAT, ternyata sertipikat tersebut masih terdaftar atas nama orang tuanya yang sudah meninggal dunia dan belum dibalik nama kepada semua ahli waris yang berhak, sedang salah satu ahli waris ternyata masih ada di bawah umur, sementara pihak kedua (pembeli) juga masih berumur 20 tahun.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa cakap melakukan tindakan menurut hukum (bekwaam) adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau telah pernah melangsungkan perkawinan sesuai dengan Pasal 330 KUH Perdata dan Stablaat 1931 No. 54 serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997.

b) Pemberi kuasa yang disebutkan dalam komparasi akta PPAT telah meninggal dunia.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa salah satu sebab berakhirnya suatu kuasa adalah karena meninggalnya pemberi kuasa sebagaimana ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata.

c) Penerima kuasa bertingkat dalam komparasi akta PPAT tidak dengan akta subsitusi.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa sifat pemberi kuasa adalah persetujuan, maka penerima kuasa tidak dibenarkan bertindak melampaui persetujuan dalam kuasa yang diterimanya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1719 KUH Perdata.

d) Salah satu pihak (pihak kedua dalam komparan akta hibah) bertindak atas dasar kuasa lisan untuk dan atas nama penerima hibah.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa hibah (schenking) merupakan penyerahan murni secara Cuma-Cuma yang di dalamnya ada unsur kewajiban penerima hibah kepada pemberi hibah. Contohnya kewajiban penerima hibah menafkahi pemberi hibah sebagaimana maksud Pasal 1688 angka 3 KUH Perdata, maka penyerahan dalam bentuk hibah harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari penerima hibah secara tegas sesuai ketentuan Pasal 1683 KUH Perdata.

e) Pihak Pertama dalam komparasi akta PPAT tidak disertai dengan persetujuan dari yang berhak memberi persetujuan, meliputi :

e.1. Istri melakukan perbuatan mengalihkan/menjaminkan hak atas tanah kepunyaan bersama tanpa persetujuan suami. Begitu juga ada sebaliknya suami melakukan perbuatan mengalihkan/menjaminkan hak atas tanah kepunyaan bersama tanpa persetujuan istri.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan tanpa ada perjanjian kawin, maka terjadilah harta bersama, dengan demikian antara suami dengan istri dalam melaukan perbuatan

hukum terhadap hak atas tanah harus dengan persetujuan kedua belah pihak sebagaimana ketentuan Pasal 119 KUH Perdata.

e.2. Salah seorang atau beberapa orang pengurus perseroan melakukan perbuatan mengalihkan/menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari pesero yang ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Begit juga ada salah seorang atau beberapa orang pengurus yayasan melakukan perbuatan hukum mengalihkan/menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari pengurus yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar yayasan bersangkutan.

Sesuai dengan ketentuan bahwa wewenang pengurus perseroan untuk melakukan perbuatan mengalihkan/menjaminkan hak atas tanah harus memenuhi Pasal 11 anggaran dasar perseroan bersangkutan, begitu juga wewenang pengurus yayasan yang harus memenuhi ketentuan anggaran dasar yayasan yang bersangkutan.

f) Komparan menyuruh masukkan keterangan palsu ke dalam Akta PPAT dengan maksud menggunakan akta itu dan seolah-olah keterangan itu cocok dengan hal yang sebenarnya, sehingga dapat mendatangkan kerugian kepada pihak lain.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk

memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUH Pidana.

b. Penyimpangan terhadap syarat formil

Penyimpangan terhadap syarat formil ini dapat dilihat antara lain karena : a) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan atau Pajak

Penghasilan (PPh) tidak dibayar atau palsu atau kurang bayar.

Misalnya BPHTB yang tidak dibayar pada saat penandatanganan akta, terjadi ketika seorang PPAT membuat akta atas perbuatan hukum jual beli hak atas tanah pada tanggal 15 Pebruari 2003, ternyata tanda bukti pelunasan BPHTB tercantum tanggal 7 Maret 2003. Hal ini berarti PPAT yang bersangkutan telah menandatangani akta peralihan hak tanpa terlebih dahulu meminta bukti pembayaran BPHTB.

Contoh BPHTB yang palsu, terjadi ketika seorang PPAT menandatangani akta jual beli karena kepadanya telah diperlihatkan foto copy bukti setoran BPHTB, tanpa diteliti ulang tentang kebenaran dari foto copy SSB BPHTB tersebut ke instansi pajak (PBB), ternyata informasi dalam foto copy SSB tersebut tidak benar (palsu), sehingga akta tersebut tidak dapat didaftarkan. Atau contoh BPHTB yang kurang bayar, terjadi ketika seorang PPAT menandatangani akta jual beli tanggal 15 Januari dan kepadanya ditunjukkan

bukti setoran BPHTB yang diterbitkan pada 5 Januari 2003 dengan didasarkan pada perhitungan SPPT PBB tahun 2002, padahal sejak tanggal 2 Januari 2003 sudah terbit SPPT PBB tahun 2003. Sementara dalam SPPB PBB tahun 2003 telah terjadi kenaikan angka/nilai perolehan obyek pajak sebagaimana dituangkan dalam SPPT PBB tahun 2003, sehingga ketika akta tersebut hendak didaftarkan ke Kantor Pertanahan, akta yang bersangkutan tidak dapat didaftarkan karena terdapat kurang bayar pada BPHTB disesuaikan dengan data SPT PBB tahun terakhir.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa wajib pajak harus membayar melunasi pajaknya pada saat akta peralihan hak atas tanah dibuat dan ditandatangani para pihak dan saksi-saksi dihadapan PPAT, atau PPAT dilarang menandatangani Akta PPAT apabila kepadanya tidak diserahkan bukti pelunasan BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 2, 4, 6 dan 9 UU No. 21 tahun 1997 jo. Pasal 20 UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

b) Pembuatan Akta oleh PPAT tidak dibuat sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997, meliputi :

b.1. tulisan lembar kesatu akta PPAT tidak dicoret b.2. tahun akta tidak sama dengan tahun penghadap b.3. kedudukan PPAT diisi dengan nama jabatan Notaris

b.5. Komparan selaku wali/pengampu tidak menyebutkan persetujuan dari pengadilan/instansi berwenang

b.6. jenis, nomor, luas hak atas tanah dan nomor surat ukur tidak diisi atau salah tulis

b.7. letak tanah tidak diisi atau salah tulis

b.8. nilai jual beli atau nilai hak tanggungan tidak diisi atau salah tulis b.9. tulisan dalam angka nilai jual beli atau nilai nominal, tidak sama dengan

tulisan dalam hurufnya

b.10. nilai harga jual yang ditulis dalam Akta Jual Beli tidak sama dengan nilai harga jual beli yang ditulis dalam pengikatan jual beli

b.11. nilai nominal yang ditulis dalam akta Hak Tanggungan tidak sama dengan nilai nominal yang ditulis dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

b.12. Akta PPAT tidak ditandatangani oleh pihak kesatu dan atau pihak kedua dan atau saksi-saksi dan atau oleh PPAT

b.13. Akta PPAT tidak dibubuhi materai dan atau cap PPAT b.14. Salinan Akta Hak Tanggungan tidak diparaf oleh PPAT

b.15. ruang kosong yang tidak terpakai dalam blanko akta tidak dicoret

b.16. sebelum akta PPAT dibuat dan ditandatangani, sertipikat hak atas tanah tidak dichek terlebih dahulu di Kantor Pertanahan

b.17. Pendaftaran akta PPAT di Kantor Pertanahan melewati waktu yang ditentukan tanpa disertai alasan yang dapat diterima

b.18. Pendaftaran akta peralihan hak atas tanah terdapat di atas tanah Hak Pengolahan (HPI), tidak disertai ijin dari pemegang HPL yang bersangkutan

b.19. Dokumen pendukung permohonan pendaftaran akta PPAT tidak dilampirkan atau kurang lengkap, meliputi : surat permohonan, KTP, Surat Kuasa, Anggaran Dasar Perseroan, Anggaran Dasar Yayasan, Surat Roya, Cessie, Surat Kematian, Surat Keterangan Waris, Surat Risalah Lelang, Surat Wasiat, Surat Keputusan/ Penetapan Pengadilan yang sesuai kebutuhan.

Dalam hal pembuatan akta yang tidak dibuat sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat formil pembuatan akta ini, merupakan kekurang cermatan PPAT dalam membuat akta, karena sesungguhnya akta PPAT secara formil telah disediakan dalam bentuk blanko oleh Badan Pertanahan Nasional dan PPAT hanya diberi tugas untuk mengisinya dengan data mengenai perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tersebut antara lain mengenai subyek dan obyeknya serta memastikan tanggal pembuatan/penandatanganan akta, kebenaran tanda tangan para pihak termasuk isi aktanya setelah dibacakan isi akta itu kepada para pihak.

Bila hal-hal tersebut di atas tidak dilaksanakan, seperti tidak dilakukan pencoretan terhadap kata/kalimat yang tidak perlu atau tidak sesuai dengan informasi/data yang sebenarnya, maka dapat dikatakan akta PPAT tidak dibuat secara cermat dan kemungkinan isi akta tidak terlebih dahulu dibacakan kepada para penghadap sebelum akta ditandatangani.

Menurut Syafnil Gani, kekurang telitian dalam pengisian akta PPAT ini biasanya dilakukan oleh PPAT yang mendapat akta yang banyak. Dimana PPAT yang bersangkutan mempercayakan saya sepenuhnya kepada pegawainya, dan PPAT hanya tinggal menandatangani saja akta tersebut.59

Dalam dokumen Problematika Keotentikan Akta PPAT (Halaman 109-120)

Dokumen terkait