• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Keotentikan Akta PPAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Problematika Keotentikan Akta PPAT"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

NAMA : PANTAS SITUMORANG

NIM : 067011122

PROGRAM : MAGISTER KENOTARIATAN

JUDUL TESIS : PROBLEMATIKA KEOTENTIKAN AKTA

PPAT

KOMISI PEMBIMBING :

KETUA : Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH

ANGGOTA : Prof.Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH,MS,CN

ANGGOTA : Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

HARI/TANGGAL : Rabu, 30 Januari 2008

JAM : 11.00 Wib s/d Selesai

TEMPAT : Ruang Seminar Magister Kenotariatan

Sekolah Pascasarjana USU Medan

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SEMINAR HASIL PENELITIAN

TESIS

OLEH :

PANTAS SITUMORANG

067011122/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PROBLEMATIKA KEOTENTIKAN

AKTA PPAT

Nama Mahasiswa : Pantas Situmorang Nomor Induk Mahasiswa : 067011122

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ketua

Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota

Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

Anggota Mengetahui :

Ketua Program Magister Kenotariatan

Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN NIP. 131 661 440

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

(5)

berkat rahmat dan karunia-Nya tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul

“Problematika Keotentikan Akta PPAT”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar

Nasution, SH,MH selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH,MS,CN dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum,

masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(6)

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum, Dr. Soleman Mantayborbir, SH, M.Hum, Bapak Dr. Imam Jauhari, SH, M.Hum, serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Bang Adi, dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.

5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

(7)

Josephine Verina Rouli Br Situmorang serta teman-teman yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

Medan, 22 Januari 2008 Hormat Saya

Penulis,

PANTAS SITUMORANG

(8)

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Konsepsi ... 27

G. Metode Penelitian ... 30

1. Sistem Penelitian ... 30

2. Metode Penelitian ... 31

3. Sumber Data ... 31

4. Alat Pengumpul Data ... 33

5. Analisa Data ... 33

BAB II PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG PPAT UNTUK MEMBUAT DAN MENGISI AKTA DALAM BENTUK BLANKO YANG DITETAPKAN MENTERI ... 35

(9)

BAB III PPAT SEBAGAI PEMBANTU KEPALA KANTOR

PERTANAHAN DALAM PENDAFTARAN TANAH ... 61

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ... 61

2. Produk Akta PPAT ... 89

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH PPAT DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN PROFESINYA.. 100

1. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Pembuatan Akta ... 100

2. Konsekwensi Terhadap Persyaratan Materil dan Formil Yang Bermasalah ... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117

(10)

A. Latar Belakang

Hampir semua negara di dunia ini menyebut dirinya sebagai negara hukum yang artinya segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat diatur dengan ketentuan hukum. Demikian juga Indonesia adalah negara hukum yang mana hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Di negara hukum ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Diantara ketiga unsur tersebut dalam perkembangannya adalah saling mempengaruhi dan salah satunya tidak boleh ditinggalkan. Kepastian hukum yang berarti adanya hak dan kewajiban serta akibat-akibatnya yang diatur oleh hukum.

Hukum Tanah Nasional kita terdiri atas suatu rangkaian peraturan-peraturan perundang-undangan, yang dibuat oleh penguasa, dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat, mengenai hal-hal yang belum mendapat pengaturan dalam hukum tertulis.1

Salah satu tujuan hukum Tanah Nasional adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah.

1

(11)

Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini merupakan landasan hukum pendaftaran tanah di Indonesia.

Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah, dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Tujuan utama pendaftaran tanah ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, dan untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang telah terdaftar serta untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.2

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

2

(12)

(maintenance).3 Dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, kecuali perubahan data melalui lelang, digunakan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai dasar untuk mendaftarkan perubahan data yang terjadi, untuk membuktikan bahwa benar-benar telah terjadi suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut.4 Akta tersebut harus merupakan akta otentik agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.5

Secara hukum, dalam pelaksanaan tugasnya, PPAT/Pejabat Umum pada dasarnya bertumpu pada kegiatan pembuatan akta yang serba formal-prosedural, meski disamping tugas tersebut ia dapat juga memberi nasehat hukum, dikatakan demikian karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari pihak-pihak yang memakai jasanya. Itulah sebabnya perjanjian dan ketetapan yang dibuat PPAT dalam bentuk akta merupakan perbuatan dari para pihak yang meminta jasanya untuk membuat pengesahan formal.6

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor : 10/1961 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Thn 1961 diatur mengenai Penjabat yang dimaksud dalam Pasal

Da’i Bachtiar, Kedudukan dan Fungsi Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dalam Pandangan

Polri, (Jakarta : Penerbit Renvoi, Juni 2003, hal. 22-23.

6

(13)

19 Peraturan Pemerintah Nomor : 10/1961 tersebut. Peraturan Menteri Agraria ini melahirkan suatu lembaga baru yaitu Penjabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah tersebut di atas diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan dilengkapi beberapa Pasal tertentu tentang PPAT di dalamnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT.

Pada prakteknya, akta sebagaimana dimaksud sebelumnya berbentuk blanko akta yang siap diisi oleh PPAT, dimana akta tersebut saat ini dicetak oleh Perum Peruri atas permintaan Badan Pertanahan Nasional dan diedarkan dengan menggunakan jasa PT. Pos Indonesia.

Menurut pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara tegas dinyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai atau pejabat umum yang berkuasa untuk di tempat dimana akta dibuatnya. Lebih lanjut Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan suatu akta otentik memberikan diantara pihak beserta ahli warisnya, atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

Menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata unsur-unsur yang menjadi akta otentik adalah :

- Bentuk akta yang ditentukan oleh Undang-Undang

(14)

- Tempat di mana ditentukan

Lebih lanjut Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapannya pegawai termasuk diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak.

Diantara hal-hal yang disebut sebagai bukti, peraturan perundang-undangan menentukan tulisan menjadi salah satu yang penting, karena dengan tulisan dapat kembali diingat, atau dipahami suatu peristiwa hukum yang sudah berlalu dan yang sedang dan yang akan datang.

Menurut peraturan perundang-undangan bukti tulisan terdiri dari 2 jenis yaitu tulisan dibawah tangan dan tulisan otentik. Tulisan dibawah tangan adalah tulisan yang dibuat oleh seseorang atau para pihak tanpa dicampuri oleh negara, sedangkan tulisan otentik adalah tulisan yang dibuat oleh atau para pihak atau seseorang dimana dalam hal pembuatannya negara ikut campur, yang mengatur syarat-syarat suatu tulisan menjadi otentik.

(15)

akibat-akibat hukumnya yang sekaligus diharapkan dapat mengurangi sengketa di kemudian hari.

Dalam perkembangan kehidupan manusia kebutuhannya akan tanah sangat meningkat, dimana satu sisi jumlah manusia semakin bertambah sementara sisi lain tanah yang dibutuhkan tidak bertambah malah semakin berkurang yang tentu hal ini dapat dan akan menimbulkan problematika baik pada penguasaan peralihan dan pembebanan atau hak-hak tanah.

Untuk menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atau satuan rumah susun (Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998).

Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan menggunakan formulir yang disediakan yang diatur dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yo Pasal 96 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997.

(16)

dalam Pasal 6, Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yo Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.

Hal inilah yang menarik minat penulis untuk melakukan penelitian mengenai problematika keotentikan Akta PPAT dengan mengkaji sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai akta tersebut, serta meneliti kedudukan PPAT selaku pejabat umum dalam pembuatan akta pertanahan ditinjau dari segi Hukum Tanah Nasional, khususnya tentang Pendaftaran Tanah, Hukum Pembuktian, Hukum Perdata dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia.

B. Permasalahan

Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah :

1. Apakah Akta PPAT yang dibuat dalam bentuk blanko atau formulir yang di tetapkan oleh Menteri memenuhi syarat sebagai akta otentik ?

2. Apakah PPAT yang tugas pokoknya membantu kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah memenuhi syarat sebagai pejabat yang membuat akta otentik ? 3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi PPAT dalam melaksanakan tugas dan

profesinya ?

C. Tujuan Penelitian

(17)

2. Untuk mengetahui apakah PPAT yang tugas pokoknya membantu kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah memenuhi syarat sebagai pejabat yang membuat akta otentik.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi PPAT dalam melaksanakan tugas dan profesinya.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dihasilkan yaitu : 1. Bersifat teoritis, yakni hasil penelitian sebagai bahan kajian lebih lanjut dalam

disiplin Ilmu Hukum Agraria dalam bidang pertanahan, khususnya dalam pembuatan akta PPAT dalam hal pendaftaran hak atas tanah.

2. Bersifat praktis, sebagai masukan kepada DPR, Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional, Camat, Notaris, PPAT dan Instansi terkait yang bertujuan untuk menentukan dan memperjelas kebijakan dan langkah-langkah guna kepastian hukum atas keotentikan akta PPAT dalam pendaftaran hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian

(18)

mengkaji tentang Problematika Keotentikan Akta PPAT belum pernah dilakukan oleh mahasiswa dan peneliti lainnya.

Demikian juga dari hasil penelusuran kepustakaan tersebut di atas, belum ada judul dan permasalahan yang mengangkat tentang Problematika Keotentikan Akta PPAT, maka dengan demikian penelitian ini adalah asli serta dapat dipertanggung-jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.7 Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.8 Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep.9 Menurut Snelbecker yang mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat

7

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 1994), hal. 80.

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1996), hal. 19.

9

(19)

diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.10 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.11

Dalam penelitian hukum12, adanya kerangka konsepsional dan landasan/ kerangka teoritis menjadi syarat yang penting. Di dalam landasan/kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka ajaran yang dalam bahasa Belanda disebut leerstelling.13

Landasan teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut.14 Dengan kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, atau

10

Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, (Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 34.

11

Burhan Ashshofa, op.cit., hal. 23.

12

Penelitian hukum itu sendiri menurut Peter Mahmud Marzuki adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Kencana, 2006), hal. 35.

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Ed. I, Cet. 7, (Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7.

14

(20)

pegangan teoritis dalam penelitian ini.15 Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teorinya diarahkan secara khas ilmu hukum.16

Penelitian ini berusaha untuk mememahami problematika keotentikan Akta PPAT secara yuridis dalam kaitannya dengan kegiatan Pendaftaran Tanah. Artinya memahami objek penelitian sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kepastian hukum dan sistematika peraturan perundang-undangan.

Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata ”acta” merupakan bentuk jamak dari kata ”actum” yang merupakan bahasa latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan.17 Selain itu pengertian akta sebagai surat yang memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah ”surat”, melainkan suatu perbuatan.

Menurut R. Subekti kata ”akta” pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan, melainkan ”perbuatan hukum”, yang berasal dari bahasa Perancis yaitu ”acte” yang artinya adalah perbuatan.18

15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 1994), hal. 80.

16

Hukum itu sendiri pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu, senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang tengang hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut pandang profesi keilmuwan mereka; rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka, dan sebagainya. Lihat Ahmad Ali,

Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : Penerbit Gunung Agung,

2002), hal. 9-10.

17

R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Penerbit Pradnya, 1980), halaman 9.

18

(21)

Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka dalam penulisan ini yang dimaksud dengan akta itu sendiri adalah dalam bentuk ataupun pengertian surat yang memang sengaja diperbuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

Sudikno Mertokusumo, menyebutkan akta adalah surat yang diberi tanda-tangan yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan-perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.19

Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut : ”Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”.

Pasal 1 Angka 7 UUJN menyatakan : ”Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.

R. Subekti, mengemukakan :

Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna”.20

19

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1979), halaman 106.

20

(22)

Syarat-syarat pembatalan dalam akta dapat diketahui dengan adanya syarat-syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni :21

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan. Akta otentik yang terutama memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.22

Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui, bahwa akta otentik haruslah dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, yang bentuknya ditentukan Undang-Undang dan adanya kewenangan dari pejabat yang bersangkutan dalam membuatnya. Dengan demikian, akta otentik itu terbagi 2 (dua) macam yaitu :

1. Akta relaas atau akta pejabat yaitu akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang menguraikan secara otentik suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Pejabat Umum itu sendiri, dibuat catatannya (aktanya) dan dalam hal ini Pejabat Umum membuat akta ditekankan pada jabatannya.

21

Mariam Darus Badrul Zaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 2001), halaman 73.

22

(23)

2. Akta Partij yaitu akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum, Pejabat Umum hanya menuangkan apa yang diceritakan dan atau meresumekan yang dikehendaki oleh para pihak ke dalam akta.

Akta otentik akan menjadi sah secara hukum apabila akta tersebut memenuhi persyaratan sebagai alat bukti dan mempunyai kekuatan pembuktian hukum yang sempurna, maksudnya adalah akta tersebut telah mempunyai kekuatan pembuktian keluar baik dalam bentuk formil maupun materil karena itu kedudukannya sama dengan Undang-Undang yaitu apabila suatu pihak mengajukan sebuah akta resmi maka apa yang tertulis di dalam akta itu harus dipercayai oleh Hakim. Kecuali jika ada bukti-bukti lawan yang mempunyai derajat atau nilai yang sama mempunyai kekuatan melumpuhkan.

Disamping mempunyai bukti sempurna, akta otentik mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak-pihak yang menandatangani akta ini. Sedangkan terhadap pihak ketiga, akta otentik mempunyai kekuatan bukti bebas.

Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti.23 Akta di bawah tangan ini berisi pernyataan maksud para pihak guna mewujudkan suatu perbuatan hukum yang oleh mereka dituliskan dengan tulisan sebagai pengganti atau lanjutan pernyataan lisan mereka.

23

(24)

Berbeda dengan akta otentik, maka akta di bawah untuk dijadikan bukti, antara para pihak yang melakukan kesepakatan perjanjian, misalnya surat perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu.

Hal ini berarti para pihak mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi, akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian itu diwajibkan untuk membuktikan kebenaran tentang penandatangan atau isi akta tersebut.

Untuk kekuatan pembuktian dari surat akta di dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat biasa itu dibuat oleh yang bersangkutan tetapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.

Oleh karena itu surat-surat yang sedemikian itu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan atau dapat juga dikesampingkan dan sama sekali tidak dipergunakan. Surat biasa agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya tergantung hakim sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1881 ayat (2) KUH Perdata.

(25)

mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam Perundang-undangan yang berlaku, yaitu antara lain KUH Perdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris.

Berdasarkan dengan hal ini, dapat dikemukakan bahwa suatu akta Pejabat Umum lahir dan tercipta karena :

1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar perbuatan hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik.

2. Atas dasar Undang-Undang yang menentukan agar untuk perbuatan hukum tertentu mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan diancam kebatalan jika tidak, misalnya dalam mendirikan suatu perseroan terbatas, harus dengan akta otentik.24

Pertimbangan perlunya dituangkan dalam bentuk akta otentik adalah untuk menjamin kepastian hukum guna melindungi pihak-pihak. Suatu akta yang memiliki karakter otentik, akta itu mempunyai daya bukti antar para pihak dan terhadap pihak ketiga yang berkaitan dengan pembuatan akta otentik itu.

Sehingga hal itu merupakan jaminan bagi para pihak bahwa perbuatan atau keterangan-keterangan yang dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.

Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut Pasal 1870 KUH Perdata adalah suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

24

(26)

Akta otentik juga memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa akta otentik sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian. Sebagaimana yang dikatakan oleh R. Subekti bahwa akta otentik merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.

Sebagai basis dalam menganalisis keotentikan akta PPAT mengacu kepada pelaksanaan politik pertanahan nasional Republik Indonesia yang diawali dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA). Pasal 19 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Repubik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.25 Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksud adalah suatu proses tata usaha dan tata cara untuk mencapai kepastian hukum yang sah tentang hak atas tanah26 yang merupakan kegiatan tata usaha negara di bidang pertanahan sebagai bagian dari tertib administrasi tata usaha negara. Pendaftaran tanah untuk saat ini dipusatkan pada Bagian Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan Bagian Pengukuran, serta Bagian Pemberian Hak yang dikelola oleh instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN).27

25

Kepastian Hukum merupakan syarat mutlak apabila dikehendaki supaya hukum itu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sedangkan keadilan merupakan pedoman bagi kebenaran isi hukum, Marhanis Abdul Hay, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita, 1981), hal. 15.

26

A.P. Parlindungan, op.cit., hal. 115.

27

(27)

Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai payung hukum dari kegiatan Pendaftaran Tanah.28 Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu merupakan norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan peraturan yang lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi yakni UUPA itu sendiri.29 Peraturan tersebut antara lain Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006

Kenyataannya, pada beberapa peraturan yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah tersebut yang terhimpun dalam suatu sistem hukum pertanahan banyak terjadi ketumpang tindihan antara peraturan tersebut satu sama lain baik sinkronisasinya secara vertikal maupun horizontal sehingga menimbulkan keragu-raguan akan kepastian hukum tersebut, padahal dalam suatu undang-undang ataupun peraturan, kepastian hukum meliputi dua hal yakni :

1. Kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal Undang-Undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut.

28

Dalam dunia keilmuwan dikenal adanya teori payung (grand-theory), teori tengah

(middle-range theory), lalu yang terendah adalah teori biasa yang dihasilkan oleh suatu ilmu. Sedang teori

hukum merupakan suatu hasil karya para pakar hukum tanpa mengacu pada suatu filsafat tertentu. Lihat Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 12, lihat juga Otje Salman yang menyebutkan bahwa Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsiap bagi keseluruhan teori yang lebih umum Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Cet. Pertama, (Bandung : Penerbit Refika Utama, 2004), hal. 23.

29

(28)

2. Kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodrege) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.30

Kalau suatu undang-undang sudah mempunyai kepastian hukum, bukan berarti tidak menimbulkan masalah dalam pelaksanaan hukumnya. Dalam pelaksanaan undang-undang inilah, kepastian hukum akan terlihat apakah memiliki daya mengikat kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, apakah kepastian hukum yang sudah tercipta dalam undang itu akan efektif ketika undang-undang dilaksanakan. Menurut teori hukum, berlakunya suatu kaedah hukum itu dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek yuridis, sosiologis dan filosofis.31

Salah satu kebijakan dasar penyelenggaraan sistem hukum dalam kaitannya dengan pembangunan hukum di Indonesia adalah persoalan kepastian hukum

(rechtszekerheid). Sistem hukum itu sendiri menurut Friedman hanya dapat berlaku

sempurna apabila memenuhi 3 (tiga) hal yang di dalamnya bekerja dengan baik, yaitu adanya peraturan, dimana peraturan tersebut dijalankan oleh organ/struktur yang benar, dan dapat efektif berjalan bila didukung oleh budaya hukum yang berlaku

30

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung : Penerbit Alumni, 2006), hal. 118.

31

(29)

dalam masyarakat.32 Ketiga aspek ini penting diterapkan dalam kaitannya dengan kegiatan pendaftaran tanah sehingga masyarakat, instansi/pejabat terkait merasa aman dan terlindungi dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah guna mencapai kepastian hukum.

Azas kepastian hukum (rechtszekerheid) itu sendiri juga menghendaki penghormatan terhadap hak yang diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara. Keputusan badan atau pejabat administrasi negara dalam hal ini haruslah memenuhi syarat materil (syarat-syarat kewenangan bertindak) dan syarat formil (syarat yang berkaitan dengan keputusan).33 Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah dua lembaga yang terlibat langsung dalam setiap kegiatan pendaftaran tanah tersebut.

Soerjono Soekanto berpendapat bagi kepastian hukum yang penting adalah peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan kepastian hukum. Dengan demikian kepastian hukum sebagai nilai selalu menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping.34 Dalam hukum harus ada keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum itu penting agar orang

32

Lihat L.M. Friedmann, What Is A Legal System : in American Law, (London : W. Northon 7 Company, 1984), hal 5-6, dalam M. Yamin, Disertasi, Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002, hal. 52-53.

33

Supandi, Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Peradilan Tata Usaha

Negara di Medan, Disertasi, Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara, Medan, 2005, hal. 27.

34

(30)

tidak bingung. Tapi keadilan dan kepastian hukum itu sendiri merupakan dua sisi dari satu mata uang.35

Muhammad Yamin berpendapat ”memperbaiki kepastian hukum, memang bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak terjadi sengketa”36 artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolok ukurnya, dengan demikian perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan yang dapat memberikan suatu kepastian hukum.

Pada sistem hukum di Indonesia berlaku sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, misalnya Keputusan Menteri Agraria bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yakni Keputusan Presiden bidang pertanahan yang mengacu kepada norma yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, kemudian norma yang lebih tinggi berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, demikian seterusnya sampai pada suatu

35

Jumly Ashiddiqie, Keadilan, Kepastian Hukum, dan Keteratura,

http://www.suarakaryaepline.com/, terakhir diakses pada 05 Juni 2007, 10:18:14.

36

(31)

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm) yang di Indonesia adalah Pancasila.37

Pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merapakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Mengutip pendapat R. Hermanses dalam buku Harun Al Rasyid mengatakan bahwa ”kadaster/pendaftaran tanah dalam arti yang modern dapat dirumuskan sebagai pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang seksama dari bidang-bidang tanah itu”.38

Sebagaimana Boedi Harsono mendefinisikan Pendaftaran Tanah yakni : Suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.39

Pendaftaran tanah bukan sekedar administrasi tanah, tetapi pendaftaran adalah memberikan hak atas tanah, artinya dengan terdaftarnya tanah seseorang, jika sekalipun negara membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, negara tidak

37

Lihat Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen dalam buku Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Cet. 11, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2003), hal. 25.

38

Harun Al Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-Peraturannya), (Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1987), hal. 84.

39

(32)

dapat lagi dengan serta merta mencabut hak atas tanah seseorang.40 Jadi pendaftaran tanah mempunyai arti yang penting berkenaan dengan hak keperdataan seseorang, bukan hanya sekedar suatu perbuatan administrasi belaka.41

Akan tetapi satu hal penting yang tidak bisa dipungkiri menurut Soeprapto dalam buku Harun Al Rasyid bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial sehingga pemilikan tanah tidak bersifat absolut yang tidak dapat diganggu gugat lagi yang berarti jika terjadi pertentangan kepentingan maka kepentingan umum harus diutamakan di atas kepentingan perorangan dalam batas-batas yang tidak menghilangkan kepentingan individu.42

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah melalui penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah serta menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap dengan memperhatikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Indonesia sebagai negara hukum dengan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi memiliki sistem hukum Negara Republik Indonesia. Sistem hukum Negara Republik Indonesia merupakan sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Salah satu tujuan dari penegakan hukum adalah menciptakan kepastian hukum. Kepastian hukum itu diperuntukkan bagi manusia

40

M. Yamin Lubis, op.cit., hal. 5.

41

Abdurrahman, op.cit., hal. 90.

42

(33)

bukan sebaliknya manusia diperuntukkan bagi kepastian hukum. Tanpa adanya kepastian hukum tidak mungkin kepentingan manusia terlindungi dan ketertiban tidak terwujud dalam masyarakat.

Pelaksanaan suatu undang-undang dapat dipaksakan oleh negara, tetapi dapat pula diterima atau diakui oleh masyarakat. Jadi, secara sosiologis, keefektifan suatu kepastian hukum yang tercantum dalam undang-undang apabila undang-undang tersebut sudah dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat. Apabila norma hukum dalam undang-undang itu belum pernah dilaksanakan atau dalam pelaksanaannya mengalami hambatan, tidak dapat dikatakan bahwa kepastian hukum telah berjalan secara sempurna. Dengan kata lain kepastian hukum merupakan suatu hal yang terletak pada substansi undang-undangnya, subjek penyeleggara yang terdiri dari aparatur pelaksana hukum, subjek penerima undang-undang atau warga masyarakat dan fasilitas yang disediakan untuk pelaksanaan undang-undang tersebut.43

Secara umum diterima prinsip bahwa segala peristiwa hukum yang belum mendapat pengaturan dalam undang-undang belum memiliki kepastian hukum. Sebaliknya, apabila peristiwa hukum itu telah mendapat pengukuhannya dalam undang-undang sudah dianggap memiliki kepastian hukum. Pemerintah telah banyak mengeluarkan produk perundang-undangan untuk mengatur kegiatan lalu lintas hukum baik yang bersifat publik maupun privat. Undang-undang itu sendiri diciptakan untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan memelihara ketertiban dalam masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, terjadi kontroversial

43

(34)

antara materi hukum yang menunjukkan adanya peningkatan. Sebaliknya, di pihak lain tidak diimbangi dengan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya.44

Dari pasal-pasal dalam UUPA yang berkaitan dengan pendaftaran tanah terlihat bahwa kegiatan pendaftaran tanah tersebut melibatkan Pemerintah dan masyarakat secara sinergis, jika Pemerintah diwajibkan menyelenggarakan pendaftaran tanah tanpa disertai kewajiban para pemegang hak untuk mendaftarkan haknya, maka kegiatan pendaftaran tanah tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Untuk dapat mewujudkan pendaftaran tanah terutama pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dibutuhkan data-data yang akurat dan otentik sebagai sumber pendaftaran tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu akta otentik yang dapat menjadi alat bukti yang berkenaan dengan perbuatan hukum, baik yang berupa peralihan ataupun pembebanan hak atas tanah.

Dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah tersebut dibutuhkan suatu jabatan tertentu yang dijalankan oleh seseorang yang berwenang menurut profesinya dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, yang membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu serta melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak milik atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Fungsi tersebut dijalankan berdasarkan

44

(35)

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan atas perintah Pasal 19 UUPA.

Ketentuan mengenai administrasi akta PPAT sebagaimana disebutkan pada Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor : 37/1998 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor : 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa akta PPAT dibuat sebanyak dua lembar asli, satu lembar disimpan di kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya. Akta otentik yang dibuat PPAT berfungsi sebagai alat bukti yang otentik di pengadilan.

(36)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.45 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.46

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum47, guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu :

Problematika berdasarkan pengertian dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia karangan Fahmi Idrus adalah masalah ataupun persoalan yang belum dapat dipecah atau yang menimbulkan masalah dan permasalahan.

45

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3.

46

Burhan Ashshofa, op.cit., hal. 28.

47

(37)

Peraturan tentang jabatan PPAT di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 (Diundangkan Dalam Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746) Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang berbunyi ”Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.

PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Menurut A.P. Parlindungan, PPAT sementara ini adalah Camat atau Kepala Desa tertentu untuk melaksanakan tugas PPAT, karena di daerah tersebut belum cukup PPAT.48

PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditunjuk membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Sebagaimana diketahui pada ketentuan PP 10 Tahun 1961 dikenal juga PPAT khusus yaitu pejabat di lingkungan BPN terutama untuk pembuatan akta peralihan hak-hak atas tanah yang berstatus HGU (PMDN 13 Tahun 1970).

48

(38)

Tugas PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukan suatu perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah/hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan atau pemeliharaan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Kewenangan PPAT untuk membuat akta terbatas pada 8 (delapan) jenis akta yang bentuknya telah ditetapkan, yaitu mengenai perbuatan hukum jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), Pembagian Hak Bersama, Pemberian HGB/HP atas tanah HM, Pemberian Hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris atau yang disingkat UUJN menyebutkan Notaris didefenisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tersebut.

Selanjutnya semua akta otentik yang merupakan kewenangan Notaris disebutkan dalam pasal 15 UUJN yakni :

(39)

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.”

Pendaftaran Tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 ayat (1) adalah : Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenal bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Akta Otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah : Akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.

Akta PPAT menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah : Akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bentuk isi dan cara pembuatannya diatur oleh Menteri.

G. Metode Penelitian

1. Sistem Penelitian

(40)

fakta atau Das Sein.49 Penelitian ini bersifat Deskriptif analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Problematika Keotentikan Akta PPAT.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif atau penulisan kepustakaan dengan pendekatan historis dan perundang-undangan (statute

approach) serta sinkronisasi vertikal dan horizontal dalam hukum positif di

Indonesia. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan menurut Soerjono Soekanto mencakup :

1. penelitian terhadap azas-azas hukum; 2. penelitian terhadap sistematik hukum;

3. penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal; 4. perbandingan hukum;

5. sejarah hukum50

3. Sumber Data

Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data sekunder.

Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

49

Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed. 2 Cet. 2, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2001), hal. 29.

50

(41)

dikodifikasikan dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah, dan hasil penelitian di bidang hukum.51

Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa : 1. UUD 1945

2. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Seperti KUH Perdata.

3. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan keotentikan akta yang dibuat oleh Pejabat Umum dan PPAT.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain : tulisan atau pendapat para pakar hukum terutama di bidang hukum perdata, perjanjian dan pembuatan akta.

c. Bahan hukum Tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain :

1. Kamus besar bahasa Indonesia 2. Ensiklopedia Indonesia

3. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah akta 4. Kamus hukum

51

(42)

5. Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

4. Alat Pengumpulan Data

Untuk melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat. Adapun alat pengumpulan data dimaksud antara lain :

1. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen ini dilakukan atas dokumen yang tersedia baik di perpustakaan maupun yang ada di lapangan yakni dokumen-dokumen yang berkaitan dengan akta maupun PPAT yang diperoleh dari studi lapangan dan sumber-sumber lainnya.

2. Pedoman wawancara, untuk mengambil data primer dari populasi dalam penelitian ini terutama terhadap sampel yang telah ditentukan yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan para pakar ataupun nara sumber yang menguasai tentang akta dan tugas-tugas PPAT.

5. Analisa Data

(43)

bahan-bahan hukum tertulis tersebut guna memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi. Selanjutnya terhadap data tersebut akan dilakukan analisis secara induktif kualitatif dengan menggunakan analisa logika hukum (content analysis).

Penulisan akan meneliti sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada serasi, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal akan dikaji apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur pembuatan akta Pejabat Umum dan akta PPAT tidak saling bertentangan dan serasi jika ditinjau dari sudut hierarki perundang-undangan tersebut. Secara horizontal akan dikaji sinkronisasinya dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat.52

52

(44)

MENTERI

1. Kedudukan Akta Sebagai Alat Bukti

a. Pengertian Akta Pada Umumnya

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Ia adalah salah satu alat bukti tertulis (surat) sebagaimana diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-305 Rbg dan pasal 1867-1894 BW.53

Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada etentuan pasal 1869 BW, dengan tujuan untuk mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu akta dengan yang lainnya.

Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf singkatan tanda tangan dianggap belum cukup.54

Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

53

Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Penerbit : Liberty, 1998), hal. 23.

54

(45)

undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut hal ini sesuai dengan Pasal 1874 BW, Staatsblad Nomor 29, Pasal 1, 286 Rbg. Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.

Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan sesuai dengan pasal 165 HIR, 1868 BW dan 285 Rbg. Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.55

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil atau formalitas causa dan fungsi alat bukti atau probationis causa. Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan huum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, arena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.56

55

Ibid., hal. 23.

56

(46)

Kekuatan pembuktian akta ini dibedakan menjadi tiga macam.

1. Kekuatan pembuktian lahir atau kekuatan pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, atau disebut acta publica probant

sese ipsa

2. Kekuatan pembuktian formil atau memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta 3. Kekuatan pembuktian materil atau memberikan kepastian tentang materi suatu

akta.57

b. Acte Ambtelijk

Acte ambtelijk dalam istilah lainnya disebut juga procesverbaal acte.

Pengaturan tentang akta ini dijumpai dalam pasal 165 HIR serta pasal 285 Rbg. 1868 BW. Acte Ambtelijk merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Inisiatif penerbitan akta ini tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Sebagai contoh daripada akta pejabat ini misalnya ialah berita acara yang dibuat oleh polisi atau panitera pengganti di persidangan.58

Selain dari Acte Ambtelijk dikenal pula partijakte atau akta yang dibuat oleh

para piha. Partijakte ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh dapat disebutkan akta notaris tentang jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Biasanya suatu partijakte diawali dengan kata-kata ”Pada

57

Ibid., hal. 23.

58

(47)

hari ini ... tanggal ... menghadap pada saya ..., notaris di ..., A dan B, yang menerangkan seperti berikut ...”.

Acte Ambtelijk merupakan akta otentik, yang menurut pasal 165 sebagaimana

ketentuan pasal 1868 BW, 285 Rbg) adalah : ”.... suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta”.59

Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu bahwa apa yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi dihadapannya, maka kekuatan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti daripada apa yang terjadi dihadapannya saja.

Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayainya pejabat tersebut, maka isi daripada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Menurut pasal 165 HIR (ps. 285 Rbg. 1870 BW) maka akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan

59

(48)

orang yang mendapat hak daripadanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Terhadap pihak ketiga akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa pernilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.

c) Akta Otentik

Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUH Perdata. Ia memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat atau dinyatakan di dalam akta ini.

Akta otentik sebagai alat bukti tertulis yang terkuat, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, hal ini sesuai dengan penjelasan umum Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.

Ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi Hakim itu merupakan “Bukti Wajib dan menjadi Keharusan” atau Verplicht Bewijs.

Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu.

Oleh karena itulah maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian, baik lahiriah, formil maupun material atau uitwendige, formiele en materiele bewijskracht.

d) Akta di Bawah Tangan

(49)

Dengan demikian akta dibawah tangan ini berlainan dengan akta otentik, sebab bilamana satu akta dibawah tangan dinyatakan palsu, maka yang menggunakan akta dibawah tangan itu sebagai bukti haruslah membuktikan bahwa akta itu tidak palsu.60

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian, baik lahiriah, formil maupun materiil atau uitwendige, formiele en materiele bewijskracht ?

Hal ini disebabkan karena kekuatan pembuktian lahiriah yang artinya :

- Akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik; mengingat sejak awal yaitu sejak adanya niat dari pihak (pihak-pihak) yang berkepentingan untuk membuat atau melahirkan alat bukti, maka sejak saat mempersiapkan kehadirannya itu telah melalui proses sesuai dan memenuhi ketentuan pasal 1868 KUH Perdata Jo UU No. 30/2004 atau dahulu Stbl 1860 Nomor 3 Reglement of notaris Ambt in Indonesia.61

- Kemampuan atau kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak ada pada akta/surat dibawah tangan (Vide pasal 1875 KUH Perdata).

Sedangkan kekuatan pembuktian formil adalah dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak, itulah kehendak pihak-pihak yang dinyatakan dalam akta itu oleh atau keterangan pejabat yang berwenang dalam menjalankan jabatannya.

Dalam arti formil akta otentik menjamin kebenaran :

60

Ng. Yudara, Notaris dan Permasalahannya, Pokok-Pokok Pemikiran di Seputar

Kedudukan dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta,

Penerbit : Renvoi. 10.34, tahun 2006), hal. 74.

61

(50)

- tanggal - tanda tangan - komparan dan - tempat akta dibuat62

Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya.

Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila sipenanda tangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.63

Kekuatan pembuktian materiil artinya bahwa secara hukum (yuridis) isi dari akta itu telah membuktikan keberadaannya sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang membuat atau menyuruh membuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (termasuk ahli warisnya atau orang lain yang mendapat hak darinya).

Inilah yang dinamakan sebagai ”Preuve Proconstituee” artinya akta itu benar mempunyai kekuatan pembuktian materiil.

Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam pasal 1870, 1871 dan 1875 KUH Perdata.

Oleh karena itulah, maka akta otentik itu berlaku sebagai alat bukti sempurna dan mengikat pihak atau pihak-pihak yang membuat akta itu.

62

Ibid., hal. 74.

63

(51)

Dengan demikian siapapun yang membantah kebenaran akta otentik sebagai alat bukti, maka ia harus membuktikan kebalikannya.

e) Perbedaan Pokok Akta Otentik dengan Akta di Bawah Tangan

Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, dan akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta di Bawah Tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KUH Perdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Perbedaan pokok antara akta otentik dan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil, maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dan sebagainya.

(52)

warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUH Perdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea materai.

Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian misalnya perjanjian jual beli tidak berarti perbuatan hukumnya atau perjanjian jual beli tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian.

Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

(53)

f) Fungsi Akta

Akta dapat mempunyai fungsi formil atau formalitas causa, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya atau bukan untuk sahnya suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Di sini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah pasal 1610 BW tentang perjanjian pemborongan, pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan pasal 1851 BW tentang perdamaian. Untuk itu semuanya disyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan dengan akta otentik antara lain ialah pasal 1171 BW tentang pemberian hipotik, pasal 1682 BW tentang schenking dan pasal 1945 BW tentang melakukan sumpah oleh orang lain.64

Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti atau probationis causa. Dari definisi yang telah diketengahkan di muka telah jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.65

Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Sampai berapa jauhkah akta mempunyai kekuatan pembuktian ? Tentang kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan :

1. Kekuatan pembuktian lahir

64

Zakaria Mahfuz, Akta Ambtelijk dan Fungsi Akta Otentik, (Jakarta, Penerbit : Pustaka Jaya, 2007), hal. 1.

65

(54)

Yang dimaksudkan dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya : yaitu bahwa surat yang tampaknya atau dari lahir seperti akta, dianggap atau mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil

Kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan ”Benarkah bahwa ada pernyataan ?”. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

3. Kekuatan pembuktian materil

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pertanyaan ”Benarkah isi pernyataan di dalam akta itu ?”. Jadi kekuatan pembuktian materil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.66

2. Kewenangan PPAT, Antara Membuat dan Mengisi Blanko / Formulir Akta

PPAT

Embrio institusi PPAT telah ada sejak tahun 1961 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah

66

(55)

dengan istilah penjabat saja. Bahwa yang dimaksud penjabat adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta.67

Pada awal kelahirannya PPAT tidak dikategorikan sebagai Pejabat Umum, tapi sebagai Penjabat saja. PPAT dikategorikan atau disebutkan sebagai Pejabat Umum awalnya berdasarkan Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.68

Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

Secara khusus keberadaan PPAT diatur Peraturan Pemerintah dalam nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PJPPAT), dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa : PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan

67

Habibie Adjie, Telaah Ulang : Kewenangan PPAT Untuk Membuat Akta, Bukan Mengisi

Blanko/Formulir Akta, (Jakarta, Penerbit : Renvoi 8.44, 2007), hal. 71.

68

Gambar

Tabel 1 Masalah yang dihadapi dalam Pembuatan Akta (N = 30)

Referensi

Dokumen terkait

Vaikka lehtien lukumäärässä ei ollut eroja pitkän päivän ja suuren valomäärän oloissa kasvaneiden kasvien välillä, versot olivat pidempiä pitkässä päivässä kuin

Sistem koloid merupakan heterogen yang tercampur dari dua zat atau lebih yang partikel tersebut berukuran koloid (fase terdispersi) tersebar merata dalam zat lain

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2006. tentang Forum Kewaspadaan

Karena metode ini biasanya pendidik mula-mula mengajarkan kata-kata dan kalimat- kalimat sederhana yang dapat dimengerti dan diketahui oleh peserta didik dalam bahasa

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan atau memberi gambaran tentang deviasi alur yang ada dalam film 99 Cahaya di

Hal ini berarti semakin baik tingkatan kompetensi menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam hal kebahagiaan dalam bekerja, kemampuan bekerjasama dalam tim,

Untuk mengetahui hubungan sanitasi dasar dan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada penghuni Rumah Susun Seruwai Kecamatan Medan Labuhan tahun 2016..

Pada Gedung One East Residence digunakan sistem ganda dengan rangka pemikul momen menengah mampu menahan paling sedikit 25 persen gaya gempa yang ditetapkan