• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Kedudukan dan Kewenangan KPK

Pasal 43 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 jo UU No 30 tahun 2002 menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dibentuk melalui undang-undang dan menjalankan tugas berdasarkan kewenangan yang melekat secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Alinea 14 penjelasan umum UU KPK jo Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No 30 tahun 2002 menjelaskan bahwa KPK dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara. Apabila dipandang perlu, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat membentuk per wakilan di daerah Provinsi.

Sebelum membahas mengenai kewenangan KPK, maka perlu diketahui asas-asas yang terdapat dalam UU Nomor 30 tahun 2002. Menurut Pasal 5 UU No 30 tahun 2002, asas-asas yang dimaksud adalah:24

a. Kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

23

Ibid., hal. 87 24

b. Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. Akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Kepentingan yaitu adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

e. Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK harus senantiasa berpedoman pada asas-asas tersebut. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut menjiwai setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.

Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah:

1. Dijelaskan dalam pasal 6 UU KPK bahwa tugas dari KPK adalah: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan negara. 2. KPK bertugas menetapkan status kepemilikan gratifikasi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dengan Keputusan Pimpinan KPK (Pasal 17 ayat (3) UU KPK);

3. Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada menteri Keuangan (Pasal 17 ayat (6) UU KPK);

4. KPK bertugas membentuk panitia seleksi untuk memilih Tim Penasihat KPK (Pasal 22 ayat (2) UU KPK);

5. KPK bertugas membuat keputusan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai KPK (Pasal 24 ayat (3) UU KPK);

6. KPK juga bertugas sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU KPK, yaitu antara lain:

a. Menetapkan kebijakan dan tata cara organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPK;

b. Mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada KPK;

Berdasarkan tugas-tugas seperti yang telah disebutkan, maka dapat diketahui bahwa tugas KPK tidak hanya melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, KPK juga bertugas melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi lain (huruf a dan b) dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan (huruf d) serta melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan (huruf e).

Beberapa program yang terkait dengan pencegahan, diantaranya menelaah peraturan yang berpotensi korupsi besar dan/atau yang menghambat pemberantasan korupsi.25 Kemudian memberikan perbaikan dan penyempurnaan berbagai aturan, sistem dan prosedur untuk meminimalkan terjadinya korupsi. Juga mengembangkan sistem pencatatan transaksi secara nasional yang memungkinkan dapat dideteksinya transaksi-transasi yang bersifat tidak biasa. 26

Wewenang KPK yang paling utama adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kewenangan-kewenangan tersebut merujuk pada ketentuan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain menurut UU No 30 Tahun 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kerangka kerja Logik Penyidikan27

25

Taufiqurrachman Ruki, Ketua KPK Menjawab 8 Pertanyaan, http://www.beritaindonesia.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2010

26 Ibid

sasaran

27

Kerangka Kerja Logik – Startegi Konisi Pemberantasan Korupsi: Kerangka kerja logic ini didesain meliputi beberapa asumsi dan indicator, yaitu: Tujuan (Goal), Ringkasan Narasi, Indikator Pengukuran, berbagai Asumsi, Maksud dan Tujuan, dan Outputs (hasil) (Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dari Logical Framework – Strategy Investigation; Final Report: The Establishment of the Corruption Erradiction Commision of Indonesia – Annex A; Grant ADB

yang ingin dicapai dalam penyidikan yaitu:

1. Penyidikan yang efektif menunjang penegakan hukum di Indonesia dan menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang beresiko tinggi dalam sector publik dan sektor pemerintah. Juga dalam hal ini menumbuh kembangkan kesadaran publik atas korupsi sebagai kejahatan yang beresiko tinggi;

2. Maksud dan tujuan tersebut adalah menyidik semua tuduhan korupsi secara efektif dengan mempertimbangkan penuntutan. Semua penyidikan akan didasarkan dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku dan berdasarkan integritas moral yang tinggi dari Penyidiknya

3. Berbagai Penyidikan dilaksanakan, dituntaskan atau ditutup secara efektif dan dilimpahkan pada bidang Penuntutan yang ada dan KPK juga harus menumbuhkan keseriusan dalam menuntaskan kasus yang tengah disidik sehingga tidak mengambang dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang ada.

4. Mengembangkan kapasitas intelegensia dan menyelenggarakan pelatihan kepada sleuruh staf penyidik dalam rangka untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia yang ada di KPK disamping juga meningktkan integritas moral bagi seluruh staf dan pimpinan serta pegawai KPK.

3381-INO; Departemen Kehakiman dan HAM Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Tahun 2002)

Pasal 3 UU No 30 tahu 2002 menyatakan bahwa: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sebagai suatu lembaga Negara yang bersifat independen, selain keberadaannya diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No 30 tahun 2002), KPK dalam menjalankan kewajiban, kewenangan28

1. UU No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

dan tugasnya terikat pada:

2. UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah ditambah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka KPK terikat pada yaitu KUHAP (UU No 8 Tahun 1981) ketentuan KUHP, UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 28 Tahun 1999 serta ketentuan hukum pidana lainnya.

Berdasarkan ketentuan ini KPK, tidak hanya terikat pada UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetapi juga dalam pelaksanaan prosedur kewenangannya KPK terikat pada Ketentuan KUHAP yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981, KUHP, dan Ketentuan Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 yang telah diadakan perubahan dengan UU No 30 Tahun 2002 tentang Peubahan Terhadap UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi serta undang-undang lainnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi.

28

Tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU No 30 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf c UU KPK);

2. Berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:29

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah);

Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif, bukan limitatif ataupun kumulatif.30

3. Dalam melaksankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang:31

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

29

Ibid,. Pasal 11 30

Taufiqurrachman Ruki, Ketua KPK Menjawab 8 Pertanyaan, http://www.beritaindonesia.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2010.

31

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa; h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak

hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti ke luar negeri;

i. Meminta bantuan Kepolisian dan Instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Ad. a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

Kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan merupakan kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Dalam hal ini KPK akan bekerjasama dengan Telkom (Perusahaan Telekomunikasi Indonesia) untuk menyadap berbagai identitas dan alamat para pelanggan telepon dari si tersangka yang dicurigai melakukan korupsi ataupun berupaya untuk menghilangkan pembicaraan rahasia yang dimilikinya.32 KPK dalam melakukan kewenangan penyidikannya dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dengan tujuan untuk memperoleh informasi baik dari saksi, ataupun pelapor maupun terdakwa itu sendiri. Pengertian penyadapan menurut UU No 36 Tahun 1999 adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi secara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.33

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan penyadapan adalah proses mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuannya.34

32

Final Report: Establishment of the Corruption Eradiction Commision of Indonesia; Grant ADB 3381-INO-Departemen Kehakiman dan HAM Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Tahun 2002 (Data Riset yang diterjemahkan)

33

Undang-Undang tentang Telekomunikasi, UU No. 36 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 154 Tahun 1999, TLN Nomor., Pasal 40

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi

ketiga), cet. 2 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 975

Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan orang lain tanpa sepengetahuannya dan seizin orang yang bersangkutan pada dasarnya

merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu dulu penggunaan rekaman sebagai hasil penyadapan tidak dapat digunakan dalam persidangan, karena alat bukti tersebut dianggap didapat secara melawan hukum dan bertentangan dengan due process of law .

Hasil penyadapan dan perekaman yang dilakukan oleh KPK dapat dijadikan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 jo Pasal 26A UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ketentuan yang tersebut terdapat pada Pasal 26A UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Alat bukti yang sah dalam bentuk petuinjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; atau

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, huruf , tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna

Kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan orang lain yang dimiliki oleh Penyidik KPK merupakan suatu terobosan mengingat sulitnya mencari alat bukti tanpa melakukan penyadapan. Kewenangan ini benar-benar dapat menjadi senjata ampuh bagi Penyelidik dan Penyidik KPK untuk dapat menangkap basah pelaku korupsi. Jika kewenangan ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, maka akan sangat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi.

Ad. b. Memerintahkan kepada Instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri

Istilah pelarangan seseorang untuk bepergian keluar negeri lebih dikenal dengan istilah “ cekal ”, dimana pihak imigrasi bekerjasama dengan KPK untuk melarang si tersangka koruptor untuk lari keluar negeri. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi KPK dalam menjalankan fungsinya dikarenakan di negara ini, hampir seluruh koruptor yang ada lari keluar negeri dan tidak dapat diproses hukum. Para tersangka biasanya lari ke negara yang tidak mempunyai perjanjian Ekstradisi antara negara Indonesia dan negara tersebut sehingga sulit untuk diproses hukum.

Kewenangan ini bukanlah hal yang baru dalam dunia penyidikan karena telah sering dilakukan oleh penyidik Kepolisian dan Kejaksaan untuk mencegah terjadinya tersangka atau terdakwa kabur keluar negeri. Namun saat itu proses untuk mencekal seseorang keluar negeri memakan waktu dan butuh birokrasi yang berbelit-belit. Seorang penyidik Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat langsung memerintahkan instansi pemerintahan, dalam hal ini keimigrasian, untuk melarang atau mencekal seseorang berpergian ke luar

negeri, malainkan harus melalui Surat Keputusan Jaksa Agung.35

Dalam pasal 64 Undang- Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Bank Sentral)

Yang kemudian surat tersebut disampaikan kepada pejabat keimigrasian untuk dilakukan pencekalan. Kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik KPK saat ini tidak lagi harus melalui keputusan Jaksa Agung, karena berdasarkan kewenangan ini penyidik KPK dapat memerintahkan langsung kepada pejabat keimigrasian untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri. Kewenangan yang diberikan tersebut berusaha untuk memangkas prosedur- prosedur yang yang memakan waktu yang sebenarnya tidak diperlukan. Hal ini merupakan suatu yang positif bagi dunia penegakan hukum kita. Dengan adanya pemangkasan jalur-jalur birokrasi yang tidak penting dan hanya membuang waktu dan tenaga maka penegakan hukum akan berjalan lebih baik. Bagi upaya pemberantasan korupsi sendiri hal demikian akan mencegah terjadinya pelarian para tersangka atau terdakwa kasus korupsi pergi keluar negeri.

Ad. c. Meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.

36

1. Penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perbankan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan

dinyatakan dalam tugas Penyelidikan dan Penyidikan menyatakan sebagai berikut:

35

Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No 9 Tahun 1992, LN Republik Indonesia No 33 tahun 1992, TLN No. 3474, pasal 11 ayat (1) huruf c jo ayat (2)

36

Remy Sjahdeni, Beberapa Pokok Pikiran dan Saran Sehubungan Dengan Amandemen

Undang-Undang Bank Indonesia, makalah diskusi untuk Tim Panel Amandemen Undang-Undang

terhadap tindak pidana yang menyangkut transaksi lembaga pembiayaan hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia;

2. Penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu dari Bank Indonesia;

3. Pejabat-pejabat tertentu dari Bank Indonesia yang ditunjuk untuk melaksanakan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan berdasarkan Keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia;

4. Pejabat dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) adalah penyidik sebagaimana sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tugasnya tidak hanya terbatas kepada melakukan tindakan penyidikan saja, tetapi sekaligus juga melakukan penyidikan; 5. Menyimpang dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) berdiri sendiri dalam melaksanakan tugasnya dan tidak boleh dicampuri atau dipengaruhi oleh pihak kepolisian dan pihak Kejaksaan Republik Indonesia.

Apabila mengacu pada pasal ini, maka KPK tidak dapat meminta keterangan dengan melakukan penyidikan langsung ke Bank Indonesia (hal ini apabila kasusnya adalah pejabat tinggi negara) untuk meminta keterangan mengenai keadaan keuangan tersangka. Penyidikan ini hanya dapat dilakukan apabila BI sendiri telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap

keuangan pejabat negara tersebut. Hal ini selalu dikaitkan dengan “kerahasian bank” yang menyulitkan tim penyidik dari KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap laporan keuangan yang diterima.

Akan tetapi apabila kita mengacu kepada Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan dimungkinkan penyidik KPK untuk bukan hanya memeinta keterangan tetapi juga melakukan penyidikan terhadap laporan keuangan yang diduga hasil korupsi. Hal ini dapat diperhatikan dalam pasal 42 dinyatakan bahwa:37

1. Untuk kepentingan per adilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada Bank;

2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung;

3. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebut nama dan jabatan Polisi, Jaksa, atau Hakim, nama tersangka, dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

Jadi pada ketentuan tersebut timbul permasalahan, apakah pimpinan KPK dapat sah dan diterima sebagai penyidik, dikarenakan adanya polisi dan

37

Lihat pasal 42 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-

jaksa sebagai penyidik dalam KPK. Apabila KPK tidak mempunyai kewenangan dalam penyidikan terhadap perbankan, KPK dalam kasus-kasus seperti ini dibatasi hanya punya kewenangan Supervisi, ini akan kembali pada kewenangan KPK dimana Pasal 8 ayat (1) dinyatakan:

Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan kewenangan publik.38

Setelah penyidik KPK mendapatkan informasi tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dari bank atau lembaga keuangan lainnya, yang diindikasikan sangat kuat bahwa rekening milik tersangka atau terdakwa merupakan hasil korupsi, maka Penyidik KPK berwenang untuk

Dalam hal ini, KPK tidak dapat melaksanakan kewenangannya dalam penyelidikan dan penyidikan dengan meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, KPK hanya mempunyai kewenangan Supervisi.

Dalam melaksakan wewenangnya yang diberikan oleh undang-undang diluar KUHAP, baik kejaksaan maupun KPK menimbulkan beberapa kritik dari berbagai kalangan masyarakat dan akademisi. Wewenang tersebut dianggap menimbulkan tumpang tindih antara lembaga-lembaga yang juga diberikan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oelh KUHAP. Ad. d. Memerintahkan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait

38

memerintahkan pihak bank atau pihak lembaga keuangan untuk memblokir rekening tersebut. Tujuannya adalah agar uang tersebut tidak dilarikan atau dipindahkan lagi, sehingga menjadi sulit untuk ditemukan.

Ad.e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasannya untuk memberhentikan tersangka dari jabatannya.

Pada umumnya perbuatan korupsi itu sangat berkaitan erat dengan penggunaan sarana kekuasaan jabatan. Biasanya seseorang yang telah dijadikan tersangka atau terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi tidak mau mundur dari jabatannya. Umumnya mereka berargumentasi bahwa kita harus menghormati asas praduga tak bersalah.

Dengan diberhentikannya sementara waktu terdakwa atau tersangka dari jabatannya dimaksudkan agar tersangka atau terdakwa dapat berkonsentrasi pada permasalahan yang dihadapi, serta dimaksudkan agar pemeriksaan perkara korupsi dapat berlangsung secara fair dan adil.

Ad.f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait.

Yang dimaksud dengan data kekayaan adalah seluruh informasi tentang keadaan kekayaan tersangka atau terdakwa baik itu berupa benda ber gerak, benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak berwujud. Selain itu Penyidik KPK juga berwenang untuk meminta kepada instansi yang terkait tanpa ada yang ditutup-tutupi. Selain itu penyidik KPK juga berwenang untuk meminta kepada instansi yang terkait untuk memberikan data

perpajakan tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi.

Dari data perpajakan tersangka atau terdakwa dapat diketahui berapa kekayaannya, serta perkembangan kekayaannya dari tahun ke tahun. Berdasarkan data-data tersebut dapat diketahui berapa besarnya kewajiban pajak yang seharusnya menjadi kewajiban tersangka, berapa yang sudah dibayar dan berapa yang “disembunyikan”. Berapa besar yang “disembunyikan” inilah yang seharusnya masuk ke kas negara, nemun disembunyikan atau digelapkan oleh tersangka atau terdakwa. Dalam penjelasan pasal 12 huruf f, yang dimaksud dengan tersangka atau terdakwa itu adalah baik perorangan maupun korporasi.

Ad.g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi, serta kensesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

Pengertian sementara tersebut bertujuan untuk menghindari timbulnya kerugian negara lebih lanjut akibat dari suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau akibat dari diberikannya suatu perizinan, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tujuan ini bermaksud untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, untuk

Dokumen terkait