• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Anak yang dilahirkan Akibat Surrogate Mother

Dalam dokumen BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS (Halaman 44-52)

1.2. Hasil Penelitian

1.3.2. Kedudukan Hukum Anak yang dilahirkan Akibat Surrogate Mother

Di Indonesia, kedudukan anak di atur dalam ketentuan-ketentuan Bab IX Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawianan), di

mana dalam ketentuan Pasal 42 UU Perkawinan mengatur anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dilihat dari rumusan Pasal 42 UU Perkawinan tersebut dapat di maknai bahwa jika seorang anak terlahir diluar perkawinan mak anak tersebut digolongkan sebagi anak luar kawin. Penitipan janin menggunakan ibu pengganti Surrogate Mother menimbulkan beberapa permasalahan tentang harkat ayah dan ibu serta harkat hubungan hukum antara orang tua dan anak. Permasalahan lain adalah mengenai hubungan hukum anak yang dikandung dan dilahirkan oleh ibu pengganti dengan ayah biologisnya. Begitu pula jika ibu pengganti bersuami permasalahan hubungan hukum antara suami dari ibu pengganti dengan anak yang dikandung oleh istrinya akan muncul. Adanya permasalahan untuk menentukan hubungan hukum antara orang tua pemilik benih dengan anak yang dikandung oleh ibu pengganti beraibat pada penentuan status hukum anak tersebut.

Maka dapat dilihat dari sudut Hukum Islam, masalah ibu pengganti Surrogate Mother tidak dapat dilepaskan dari norma-norma dalam Hukum Kekeluargaan Islam, Hukum Perkawinan, dan Hukum Kewarisan Islam. Hal tersebut diakrenakan perbutan ini melibatkan subjek hukum yang diikat oelh lembaga hukum yaitu perkawinan sepasang suami istri yang ingin mendapatkan anak. Maka dapat diuraikan akibat hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan sewa menyewa Rahim dengan menggunakan ibu pengganti Surrogate Mother. Akibat hukum dalam hukum kekeluargaan Agama Islam hanya mengakui hubungan darah atau ikatan perkawinan sebagai landasan bagi keluarga. Jika perbuatan penitipan janin pada Rahim ibu pengganti dihalalkan maka dapat menimbulkan kekacauan

pada konsep keluarga dan hubungan kekeluargaan atau kekerabatan yang diatur secara jelas dalam Hukum Islam. Dalam ajaran Islam sudah ditetapkan suatu konsep dasar bahwa yang dinamakan ibu adaalah wnaita yang melahirkan dan ayah adalah suami dari ibu yang memiliki benih anak yang bersangkutan. Anak adalah hasil dari perkawinan yang sah antara ibu dan ayah. Oleh karena itu, akibat dari sewa menyewa Rahim dnegan menggunakan ibu pengganti ini adaah kedudukan ayah dan ibu menjadi jelas. Akibat yang paling menonjol dari perutan ini adalah rusaknya harkat seoarang ibu dan ayah serta adanya ketidakpastian pada status hukum seorang anak.

Anak yang lahir dari suatu perjanjian surrogate mother tentu akan menimbulkan sedikit kebingungan dalam menentukan siapa orang tua dari anak yang lahir dari perjanjian tersebut. Ada beberapa kombinasi orang tua yang dapat terjadi pada perjanjian ibu pengganti surrogate mother, diantaranya:39

a. 2 orang tua: si pemberi sel telur yang menjadi ibu kandung adalah sama serta ayah kandung tanpa ikatan pernikahan;

b. 3 orang tua: si pemberi sel telur dan yang menjadi ibu kandung, ayah kandung, dan istri dari sang ayah kandung; atau

c. 5 orang tua: si pemberi sel telur, pemberi sperma, ibu kandung, ayah angkat, dan ibu angkat.

Jika merujuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini untuk mengetahui apakah status anak yang dilahirkan dari perjanjian Surrogate

Mother tentunya harus melihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) khususnya dalam Pasal 42 menyatakan bahwa:

”anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah’.

Terkait dengan anak yang lahir dari ibu pengganti Surrogate Mother, maka apabila dihubungkan dengan peraturan diatas akan terjadi status seperti berikut:

1. Apabila anak itu dilahirkan dari ibu pengganti Surrogate Mother yang terikat perkawinan (mempunyai suami) maka anak tersebut akan berkedudukan sebagai anak sah dari ibu pengganti tersebut dan suaminya.

2. Apabila anak itu lahir dari ibu pengganti Surrogate Mother yang tidak terikat dalam perkawinan, maka anak tersebut akan berkedudukan sebagai anak luar kawin dari ibu pengganti tersebut.

Untuk melihat golongan anak dari Surrogate Mother sebagia anak sah atau tidak sah, maka harus dilihat dulu status perkawinan dari ibu pengganti Surrogate

Mother diantaranya:40

a. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui, bila status ibu pengganti adalah gadis atau janda, maka anak yang dilahirkan adalah :anak di luar perkawinan yang tidak diakui”, yaitu anak yang dilahirkan karena zina,

yaitu akibat dari perhubungan suami atau istri dengan laki-laki atau perempuan lain.

b. Anak sah, bila status wanita Surrogate Mother terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami-istrinya yang di sewa rahimnya, sampai si bapak (suami dari wanita surrogate mother) menyatakan “tidak” berdasarkan Pasal 251, 252, dan 253 KUHPerdata dengan pemerikasaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan atas Pasal 44 ayat (1) UU Perkawinan.

Maka dapat di lihat dari uraian diatas dan terkait dengan UU Perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa apabila anak itu dilahirkan dari wanita Surrogate Mother yang terikat dalam perkawinan maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak sah dari wanita tersebut dan suaminya, namun apabila anak itu lahir dari wanita Surrogate Mother yang tidak terikat dalam perkawinan, maka anak tersebut akan berkedudukan sebagai anak luar kawin dari wanita tersebut. Dalam hukum positif Indonesia khususnya terkait anak yang lahir dari perjanjian Surrogate Mother ditinjau dari UU No.01 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat disimpulkan bahwa anak yang lahir dari perjanjian Surrogate Mother merupakan anak sah dari Surrogate Mother atau ibu penggantinya tersebut dan bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih di Rahim Surrogate Mother.

Maka adanya sewa rahim juga berdampak pada anak yang dilahirkan. Akibat hukum yang dapat terhadap anak hasil sewa rahim dari ibu pengganti Surrogate Mother ini adalah terhadap status anak dan hak waris anak. Apabila

status anak hasil dari sewa rahim dengan ibu penggati Surrogate Mother dikaitkan dengan pengertian mengenai anak sah dan tidak sah, dilihat dari status perkawinan yang menjadi ibu pengganti surrogate mother maka.

a. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui

Bila status wanita Surrogate Mother adalah gadis atau janda, maka anak yang dilahirkan adalah “anak diluar perkawinan yang tidak diakui”, yaitu akibat dari perhubungan suami atau istri dengan laki-laki atau perempuan.

b. Anak sah

Bila status wanita Surrogate Mother terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami istri yang disewa rahimya, sampai bapak (suami dari wanitayang menajadi ibu pengganti) mengatakan “tidak” berdasarkan Pasal 251, 252 dan 253 KUHPerdata dengan pemeriksaan darah dan DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan ayat (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.

Maka menurut Hukum Islam akibat anak yang dilahirkan dari ibu pengganti Surrogate Mother yaitu hukum haram yang terdapat sewa rahim dapat ditinjau dari beberapa segi diantaranya dari segi sosial dapat menarik taraf kehidupan seperti hewan dan pencampuran nasab dari segi etika, bahwa memasukan benih di dalam

perempuan lain hukumnya haram berdasarkan hadis nabi serta dari seorang wanita ibu pengganti menimbulkan hilangnya sifat keibuan dan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Adanya perselisihan dan perdebatan yang bisa seperti ini bertentangan dengan tujuan dan maksud syariat Islam berupa menciptakan kestabilan, ketentraman dan menghilangkan pertikain atau membatasinya pada skala sekecil mungkin.

Maka suami istri salah satu dari keduanya dianjurkan untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, demi membantu mereka dalam mewujudkan kelahiran anak. Namun, disyaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga diantara mereka. Dan ibu pengganti Surrogate Mother kemungkinan membawa penyakit-penyakit dari ibu pengganti Surrogate Mother seperti kesehatannya bisa jadi dari kuman dan virus yang mana akan mengubah serba sedikit genetic bayi. Disamping sebab kesehatan emosi ibu pngganti juga harus diketahui apakah ia benar ikhlas atau pun terpaksa menjadi ibu pengganti Surrogate Mother. Emosi yang tidak stabil akan menggangu emosi anak yang dikandung, selain itu, ibu pengganti juga harus diberikan rawatan sepenuhnya sebelum mengandung dan selepas mengandung. Ibu pengganti Surrogate Mother yang sakit melahirkan anak, kemungkinan akan menyebabkan emosinya terus terganggu, dengan beban pikiran bahwa anaknya itu akan diberikan kepada orang, setiap ibu mempunyai perasaan yang tersendiri dan tidak pernah ada ibu yang tidak menyayanginya anaknya.

Jika dikaitkan dengan hukum positif Indonesia dalam membahas status hukum anak yang dilahirkan melalui ibu pengganti Surrogate Mother, yaitu

berdasarkan pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berisi pengertian anak sah belum meliputi kedudukan anak tersebut. Dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Maka berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat dianalogikan bahwa anak yang dilahirkan melalui ibu pengganti surrogate mother tetap menjadi anak sah dari Ibu pengganti. Karena anak tersebut dilahirkan oleh ibu pengganti dan setiap ibu pengganti adalah orang yang sudah pernah menikah, dan si anak lahir ketika pasangan suami istri tersebut masih terikat dalam perkawinan.

Dalam Komplilasi Hukum Islam, pada Pasal 99 dinyatakan bahwa anak yang sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan

oleh istri tersebut.

Jika melihat ketentuan pada huruf (a) Pasal tersebut, maka hal tersebut sama dengan ketentuan Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka bisa ditarik kesimpulan yang sama, namun jika melihat ketentuan huruf (b) Pasal tersebut, maka anak yang dilahirkan melalui Surrogate Mother tidak dapat menjadi anak sah dari pasangan suami istri pemilik benih atau orang tua genetis. Karena anak tersebut dilahirkan melalui proses pembuahan di luar rahim dan dilahirkan

oleh si istri, melainkan oleh wanita ibu pengganti Surrogate Mother yang bukan istrinya.

Berdasarkan rumusan rekayasa manusia ini maka perlu dibahas beberapa kegiatan di bidang kedokteran yang berhubungan dengan pencegahan dan pengobatan penyakit serta perencanaan keturunan. Banyak sekali berbagai permasalahan yang pada dewasa ini sedang marak dibicarakan khusunya dalam bidang kedokteran, dalam hal ini yang berkaitan dengan cara untuk memperoleh keturunan. Dalam pandangan Islam, rahim wanita mempunyai kehormatan yang tinggi dan bukan barang hinaan yang boleh disewa atau diperjual belikan, karena rahim adalah anggota manusia yang mempunyai hubungan yang kuat dengan naluri dan perasaan semasa hamil berbeda dengan tangan dan kaki yang digunakan untuk bekerja dan seumpama yang tidak melibatkan perasaan. Lebih-lebih lagi ia termasuk dalam lingkungan yang diharamkan karena manusia tidak berhak menyewakan rahimnya yang akan melibatkan penentuan nasab. Selain itu, wasilah mendapat anak adalah hak Allah SWT dan menyewa rahim termasuk pada bagian farji sedangkan hukum asal dari farji adalah haram.

Dengan adanya praktik ibu pengganti Surrogate Mother yang dilakukan oleh masyarakat, menimbulkan banyak persoalan-persoalan hukum, yang harus direspon oleh semua pihak. Berdasarkan hal tersebut, maka kita perlu melihat bagaimana sesungguhnya Surrogate Mother tersebut dalam konteks hukum positif di Indonesia.

Dalam dokumen BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS (Halaman 44-52)

Dokumen terkait