• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN HUKUM GRATIFIKASI SEKS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Bab VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum

GRATIFIKASI SEKS DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

B. KEDUDUKAN HUKUM GRATIFIKASI SEKS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Dalam perundang-undangan dikenal objek pemberian atau janji adalah “sesuatu”. Kata sesuatu berarti segala sesuatu benda maupun bukan benda yang mempunyai nilai, harga, kegunaan yang menyenangkan pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima suap. Benda di sini bisa berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Apabila objek yang diberikan itu adalah benda berwujud, maka makna memberikan di sini adalah menyerahkan dengan mengalihkan kekuasaan atas benda tersebut kedalam kekuasaan orang yang menerima untuk dimiliki atau dinikmati atau digunakan sesuai dengan maksud pemberian itu. Akan tetapi jika pemberian itu bukan benda berwujud seperti pekerjaan, fasilitas, jasa dan lain-lain, maka yang beralih bukan bendanya, tapi penguasaan atas benda tak berwujud itu.133

Menurut Adami Chazawi yang dikutip dari Marjane Termorhuizen (1998:150) Sesungguhnya pada pasal 209 KUHP yang rumusannya diadopsi ke dalam pasal 5, pada pasal 418 (rumusannya diadopsi ke dalam pasal 11) dan pasal 419 KUHP (rumusannya diadopsi ke dalam pasal 12 huruf a, b). Unsur/ kata memberi (sesuatu) dalam pasal 5 itu maupun kata/ unsur memberi hadiah berasal dari kata yang sama yaitu gift yang asal katanya geven artinya memberi (belanda) yang dari sudut bahasa artinya pemberian atau hadiah, berarti gift bukan kata kerja melainkan kata benda. Dalam pasal 5 gift diadopsi ke dalam bahasa Indonesia

133

dengan memberikan sesuatu (memberikan adalah kata kerja, dan sesuatu adalah objeknya, artinya merupakan kata benda) yang lebih sesuai dengan kata gift, karena di dalam memberikan sesuatu sudah terkandung unsur perbuatan memberikan (kata kerja) dan terkandung pula objeknya yakni sesuatu (kata benda). Sedangkan kata gift yang semula dalam pasal 418 KUHP diadopsi ke dalam pasal 11 dengan kata hadiah ditambah kata memberi sehingga menjadi “memberi hadiah”. Kalau kita kembali pada pengertian sesuatu dalam unsur memberikan sesuatu dalam pasal 5, maka sesuatu itu tidak saja berupa benda atau kebendaan, tetapi juga segala sesuau pemberian yang tidak semata-mata bersifat atau dapat dinilai dengan uang, tetapi bernilai bagi yang menerima. Misalnya suatu jasa, suatu pekerjaan, suatu kemudahan, suatu fasilitas yang dimasukkan dalam pengertian gratifikasi pasal 12B. Inilah pengertian yang sebenarnya dari “sesuatu” dalam unsur memberikan atau menjanjikan menurut pasal 5. Sedangkan pengertian menurut tata bahasa, hadiah lebih mengacu pada pengertian benda atau kebendaan yang bernilai uang. Contoh konkret menerima sesuatu yang tidak mungkin sama artinya dengan menerima hadiah, namun masuk dalam pengertian 11 atau pasal 12 huruf a (jika si penerima hadiah mengetahui atau patut menduga hadiah itu diberikan akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya). Misalnya, seorang berurusan dengan seorang pegawai negeri yang doyan wanita, orang tersebut menyodorkan seorang wanita cantik untuk ditiduri dengan menyediakan fasilitas di sebuah hotel ketika si pejabat ini rapat dinas selama tujuh hari di suatu kota. Hal itu sukar disebut menerima hadiah. Sungguh sulit diterima akal apabila perbuatan

menerima sodoran seorang wanita cantik itu disebut menerima hadiah, tetapi dapat diterima jika dengan kalimat menerima sesuatu. Karena menerima sesuatu pengertiannya lebih luas dari sekedar menerima hadiah.oleh karena itu menerima hadiah di sini harus diartikan secara luas, jangan diartikan secara sempit sehingga dapat mencakup pengertian seperti menerima sodoran wanita cantik tadi.134

Dalam Pasal 209 KUHP, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Dalam putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung di Belanda) tanggal 25 april 1916, NJ 1916, menyatakan “memberikan suatu hadiah dalam pasal ini mempunyai pengertian yang lain dari sekedar memberikan sesuatu karena kemurahan hati. Pemberian tersebut meliputi setiap penyerahan sesuatu yang mempunyai nilai

bagi orang lain, dengan maksud seperti disebutkan dalam pasal ini”.135 Menurut

Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi), putusan tersebut ingin menegaskan bahwa suap tidak mungkin diberikan karena kemurahan hati semata dan unsur bernilai atau tidaknya sesuatu tidaklah diukur dari pihak pemberi ataupun penerima tetapi menurut penilaian orang lain. Hal ini menjawab bantahan-bantahan tentang tidak bernilainya sebuah pemberian bagi pejabat tertentu yang memiliki kekayaan dalam jumlah yang besar. Yang termasuk sesuatu dalam pasal tersebut sangatlah luas, baik benda berwujud atau tidak berwujud, termasuk juga hak asasi kekayaan intelektual ataupun fasilitas

134

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hal. 170-171

135

P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 309

seperti fasilitas bermalam di hotel berbintang. Definisi dalam pasal tersebut mirip dengan definisi gratifikasi yang sangat luas, yang dapat mencakup “fasilitas lainnya” termasuk gratifikasi seksual. Dengan demikian, selain pasal 12B UU Tipikor, gratifikasi seksual dapat dijerat dengan pasal 5 dan pasal 12 huruf a dan huruf b UU Tipikor sepanjang memenuhi unsur pasal tersebut.136

Dalam hukum pidana Islam sebelumnya telah dijelaskan bahwa gratifikasi adalah perbuatan yang dilaknat oleh Allah, hal ini didasarkan atas hadits Nabi saw. sebagai berikut:

ﺎﻤﮭﻨﯿﺑ ﻰﺸﺋاﺮﻟاو ﻰﺸﺗﺮﻤﻟاو ﻰﺷاﺮﻟا ﷲا ﻦﻌﻟ : ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ “Nabi bersabda: Allah melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap, dan orang yang berada diantara keduanya”.

Sangat penting bagi para pejabat dan pegawai yang bekerja mengumpulkan sedekah, zakat, jizyah dan bentuk-bentuk pajak tahunan lainnya yang ditentukan oleh pemerintah. Agar mereka tidak menerima bantuan dalam bentuk apa pun karena hal demikian ini merupakan bentuk perbuatan yang mengarah kepada suap atau risywah, yang bertujuan untuk mendapatkan bantuan, baik karena membayar pajak penuh atau karena mendapat hasil tambahan di luar yang telah ditentukan. Rasulullah SAW. mengutus Abdullah bin al-Luthbiyyah azdi untuk mengumpulkan zakat dari suku bani sulaim. Ketika pembayaran itu sudah diserahkan, Abdullah berkata: jumlah sebanyak ini sudah terkumpul sebagai zakat dan sisanya yang lain diberikan dalam bentuk sedekah. Mendengar

136

Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014

ini, Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila engkau duduk di rumah orang tuamu sampai datang seseorang memberimu sedekah, bila kamu benar-benar jujur”.137

Pemberian seperti ini tidak dapat diterima, dan bila semuanya diberikan maka harta itu harus dimasukkan ke Bayt al-Mal. Orang beriman yang taat tidak akan memberi dan tidak akan menerima bantuan apa pun selama tugasnya sebagai pegawai. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalid bin Walid menetapkan jizyah tahunan terhadap penduduk Hirah di Syria. Penduduk Hirah ini sangat terkesan dengan kearifan orang-orang islam dan hubungan serta sikap yang baik mereka sehingga mereka memaksa mengirimkan hadiah kepada Abu Bakar. Ketika sangat sulit bagi Khalid memberitahu mereka agar tidak memberi hadiah yang mereka inginkan itu. Pada akhirnya Khalid menerima hadiah tersebut dan kemudian diperhitungkannya sebagai bagian pajak wajib hingga mengurangi jumlah pembayaran jizyah yang sebenarnya karena telah dibayarkan sebelumnya. Kemudian Khalid mengirimkannya ke Bayt al-mal. Khalifah Umar bin Khatthab juga mengirim pesan-pesan kepada semua gubernurnya sebagai berikut:

ﻰﺷاﺮﻟا ﻦﻣ ﺎﮭﻧﺈﻓ ﺎﯾاﺪﮭﻟاو ﻢﻛﺎﯾا “Waspadalah dengan hadiah, sebab hal ini merupakan bagian dari suap”.

Pernyataan Khalifah Umar bin Khatthab itu benar bila kita hubungkan dengan pandangan masyarakat sekarang. Risywah dewasa ini agaknya telah merajalela dan dijadikan sebagai kedok hadiah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz

137

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 505

yang saleh benar-benar menolak pemberian dalam bentuk apa pun. Seseorang berkata kepadanya, bahwa Rasulullah biasa menerima hadiah, lalu dia menjawab:

ﺔﯾﻻ ﻮﻠﻟ ﺎﻨﯿﻟا بﺮﻘﺘﯾ ﻦﺤﻧو ﮫﺘﯿﻟ ﻮﻟﻻ ﮫﺗﻮﺒﻨﻟ ﮫﯿﻟا بﺮﻘﺘﯾ نﺎﻛ ﮫﻧﻷ ةﻮﺷر ﺎﻨﻟو ﺔﯾﺪھ ﮫﻟ ﺖﻧﺎﻛ “Baginya itu adalah hadiah, tetapi bagi kami hal itu adalah suap karena umat menghendaki dekat dengan beliau berkat kenabian beliau bukan karena kekuasaan beliau, sementara mereka ingin dekat kepada kami karena kekuasaan kami”.

Dengan kata lain, Nabi SAW. pernah menerima hadiah, lalu diberikan kepada orang miskin. Orang-orang yang membawakan hadiah kepada beliau itu tidak mempunyai motif keuntungan diri sendiri. Sementara itu, dalam kasus para penguasa akhir-akhir ini, maksud pemberian itu tidak lebih dari tujuan pemberian yang tidak benar dan zalim. Namun demikian, tidak ada larangan untuk saling memberi dan menerima antara teman dan kerabat. Menurut Hadits Nabi SAW., hadiah itu akan membantu menghilangkan kebencian dan makin bertambah kecintaan dan kasih sayang. Rasulullah SAW, juga bersabda: “Saling memberi hadiah itu akan menambah rasa cintamu”. Pengambilan hadiah oleh pegawai pemerintah karena dalam proses pembebasan kewajiban mereka adalah tidak dibenarkan menurut syari’ah. Nabi mengingatkan “akan datang suatu masa di mana Risywah diangap halal bagi masyarakat melalui hadiah dan pembunuhan

melalui teguran”.138

Dalam kisah tersebut Allah melaknatnya dan hukumnya haram, apa lagi dalam hal menerima suap dalam bentuk pelayanan seksual, tentunya Islam secara tegas melarangnya, karena hal ini termasuk ke dalam perbuatan zina, karena setiap

138

hubungan kelamin di luar nikah termasuk perbuatan zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak.139 Hal ini didasarkan pada ayat al-qur’an sebagai berikut:

                

“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

                                         

dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,

niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (QS. Al-Furqan: 68)140

Menurut M. Abduh Malik (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) gratifikasi seks dalam hukum Islam termasuk ke dalam jarimah zina.141 karena dalam istilah syara’, zina ialah persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui vagina di luar nikah dan bukan nikah syubhat.142 Jadi, dalam hukum pidana Islam kedudukan hukum gratifikasi seks sangatlah dilaknat Allah, perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah risywah dengan cara jarimah zina. yang kategorinya termasuk perbuatan dosa besar.

139

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Hal. 3 140

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal. 18-19 141

Hasil diskusi mata kuliah Muqaranah Madzahib Fiqh Fil Jinayah pada selasa, 26 November 2013

142

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Hal. 25