• Tidak ada hasil yang ditemukan

mengenai : Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia.

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG KEPALA DAERAH, yang terdiri dari : Kewenangan Daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah, Syarat-Syarat Pencalonan Kepala Daerah, Tugas dan Wewenang Kepala Daerah

BAB IV : IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 5/ PUU-V/ 2007, yang secara khusus membahas tentang : Ketentuan Beracara di Mahkamah Konstitusi, Pengujian Terhadap UU No 32 Tahun 2004 Dalam Hal Calon Kepala Daerah Independen, Putusan Mahkamah Konstitusi

dalam Pengujian Ketentuan Calon Kepala Daerah Independen (No. 5 / PUU-V / 2007).

BAB V : PENUTUP, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran

BAB II

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Sejarah Pembetukan Mahkamah Konstitusi 1. Sebelum Perubahan UUD 1945

Sebelum perubahan UUD 1945 kekuasaan kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebagai berikut.

Pasal 24, yang berbunyi:

1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang,

2. Susunan dan kekuasaan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang

Pasal 25, yang berbunyi:

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Dari kedua ketentuan ini dapat dilihat bahwa:

a. Kekuasaan kehakiman meliputi badan-badan kehakiman, jenis tingkatannya, susunan dan kekuasaannya, acara dan tugasnya, yang seluruhnya akan diatur dengan undang-undang;

b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, bebas dari kekuasaan pemerintah, yang berarti telah dianut asas peradilan yang bebas dan tidak memihak sebagai salah satu prasyarat bagi sebuah negara hukum.

Perintah UUD 1945 agar kekuasaan kehakiman itu lebih lanjut diatur dengan undang-undang telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan dikeluarkannya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan di Indonesia7, sebagai berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan -Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951).

2. Untuk melaksanakan UU No 14 Tahun 1970 yang merupakan undang-undang pokok telah dikeluarkan beberapa undang-undang pelaksanaannya, yaitu: a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981 No. 76); b. Undang-Undang Republik Indonesia NO. 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung (lembaran Negara RI Tahun 1985 No. 73, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3316);

7

Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Sekretriat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal 112-113.

c. Undang-Undang Republik Inonesia No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara RI Tahun1986 No. 20, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3327);

d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun1986 No. 77, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3344);

e. Undang-Undang Republik Indonesia No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 49)

f. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Sebagai usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dilakukan perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang isinya segala urusan mengenai peradilan, baik menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap yaitu: Mahkamah Agung dan sudah dilaksanakan paling lambat 5(lima) tahun sejak diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999.8

Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001) antara lain telah

8

Ibid, Hal 113.

melakukan perubahan tehadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dari semula hanya terdiri dari dua pasal (Pasal 24 dan 25) menjadi lima pasal, yaitu: Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Perubahan ini telah memasukkan ketentuan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula hanya tercantum dalam penjelasan UUD1945 dan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ke dalam Pasal 24, sehingga berbunyi sebagai berikut:

a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

c. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Sebagai akibat perubahan pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, maka telah dikeluarkan beberapa undang-undang terkait dengan kekuasaan kehakiman yaitu:

2. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4316) untuk melaksanakan perintah Pasal24C ayat (6) UUD 1945;

3. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.8, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4358) untuk menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun1999 tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1970

4. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9, Tambahan Lembaran Negara RI No.4359) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945;

5. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 NO. 34, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4379) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD1945; 6. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 35, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4380) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945;

7. UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4415) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945.

Perubahan tersebut menunjukkan bahwa jaminan konstitusional atas prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman semakin kuat, demikian pula eksistensi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung telah mendapat jaminan konstitusional (semula hanya dimuat dalam undang-undang). Perubahan Pasal 24 juga tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai “single top authority” dalam kekuasaan kehakiman, karena kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Negara Republik Indonesia setelah perubahan UUD1945 didasarkan atas 4 hal yaitu:

a. Sebagai implikasi atau pelaksanaan paham konstitusionalisme

Paham konstitusionalisme adalah: paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan . Paham ini memiliki 2(dua) makna:

1. Konsep negara hukum, bahwa kewibawaan hukum secara umum mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan melakukan kontrol terhadap politik.

2. Hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negarapun dibatasi oleh konstitusi, kekuasaan inipun hanya memperoleh legitimasi dari konstitusi.9 b. Mekanisme “check and balance”

Sebagai salah satu ciri pemerintahan yang baik, ditandai dengan adanya mekanisme check and balance sehingga tidak terjadi kerancuan dalam hal

9

Soetandyo Wignojosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan

Permasalahannya, Elsam Huma, Jakarta, 2003, Hal. 405.

pengujian undang-undang. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman akan mewujudkan mekanisme check and balance dalam penyelenggaraan negara yang baik.

c. Penyelenggaraan Negara Yang Bersih

Sistem pemerintahan yang baik menggambarkan penyelenggaraan negara yang bersih, transparan, dan partisipatif dari semua pihak. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas pemerintah.

d. Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia

Kekusaan yang tidak terkontrol dari lembaga-lembaga tinggi negara dapat menyebabkan tindakan yang merugikan pihak-pihak tertentu sehingga menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Pembentukan Mahkamah Konstitusi yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bertugas untuk menjaga penyelenggaraan negara tetap pada prinsip demokrasi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia.

Dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 18 UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Hakim Konstitusi berjumlah 9(sembilan) hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) guna untuk mengawal konstitusi dan menafsirkan konstitusi (the guardian of constitution and the interpreter of constitution). Sebagaimana

dalam Pasal 18 UUD 1945, 3(tiga) hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung, 3(tiga) hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, dan 3(tiga) hakim konstitusi diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat,kemudian ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Hal ini disebabkan karena sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersinggungan langsung dengan kepentingan ketiga unsur lembaga tersebut. Untuk kelancaran pelaksanaan kekuasaan kehakiman menuju peradilan yang modern, sembilan hakim konstitusi tersebut dibantu oleh sekretariat jenderal dan kepaniteraan

B. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia 1. Tugas Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah:

a. merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman; b. merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan

c. sebagai penegak hukum dan keadilan.

Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan

juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), Mahkamah Konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).

Atas dasar tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut, maka visi dan misi Mahkamah Konstitusi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Visi Mahkamah Konstitusi :

Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.10 2. Misi Mahkamah Konstitusi:

a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya.11

b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.12 Dengan visi dan misi dalam melaksanakan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menjadi salah satu lembaga negara yang dapat mengayomi masyarakat maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD1945.

2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Untuk mengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menangani perkara-perkara ketatanegaraan tertentu sebagaimana

10

Abdul Mukhtie Fadjar, op.cit, hal. 119.

11

Ibid.

12

Ibid.

tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) yaitu: a. Menguji undang-undang tehadap UUD 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara; c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;

e. Memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari hukum acara umum untuk semua kewenangan Mahkamah Konstitusi14 dan hukum acara khusus untuk setiap kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dilengkapi lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) sesuai dengan ketentuan Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara rinci adalah sebagai berikut:

a. Pengujian undang-undang terhadap UUD1945

Pengujian undang-undang terhadap UUD1945 diatur dalam pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi dan telah dilengkapi dengan PMK No. 06/PMK/2005.Subyek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah:

1. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk orang yang mempunyai kepentingan sama;

2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;

3. Badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan yaitu hak/ kewenangan yang diberikan oleh UUD1945.

Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undang-undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD1945, dan pengujian secara materiil, yaitu apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Hasil putusannya terdiri dari: dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, dan tidak diterima.

b. Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara

Memutus sengketa kewenangan konsitusional lembaga negara diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sedangkan termohonnya adalah lembaga negara yang mengambil kewenangan lembaga negara lainnya. Obyek sengketa adalah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.

Memutus pembubaran partai politik diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya adalah Pemerintah, sedangkan termohonnya adalah partai poitik yang dimohonkan dibubarkan. Alasan pembubaran adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan parpol yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Jika permohonan dikabulkan, parpol yang bersangkutan dibatalkan pendaftarannya sebagai badan hukum pada pemerintah.

d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Memutus perselisihan hasil pemilu diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Mahkamah Konstitusi dengan PMK No. 04/PMK/2004 dan No. 05/PMK/2004. Pemohonnya adalah:

1. perorangan peserta pemilu DPD; 2. partai politik peserta pemilu;

3. pasangan Calon Presiden/ Calon Wakil Presiden peserta pemilu presiden dan wakil presiden.

Termohonnya adalah Komisi Pemilihan Umum.

e. Impeachment DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Diatur dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya adalah DPR yang disetujui oleh 2/3 dari minimal 2/3anggota DPR yang hadir. Alasan impeachment antara lain:

1. Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum karena pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan melakukan perbuatan tercela;

2. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pendapat DPR terbukti atau tidak terbukti sehingga apabila terbukti dapat ditindaklanjuti oleh DPR.

C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia

1. Presiden

Kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden diatur dan ditentukan dalam Bab III UUD 1945 yang mengatur berbagai aspek mengenai presiden dan lembaga kepresidenan, termasuk rincian kewenangan yang dimiliki presiden dalam memegang kekuasaan pemerintah. Hal-hal yang berkaitan dengan Presiden terutama dalam bidang eksekutif ini telah banyak mengalami perubahan setelah amandemen UUD 1945.

Sesuai dengan prinsip amandemen UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip check and balances, maka terjadi beberapa perubahan yang berkaitan dengan Presiden yaitu:

a. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, tidak lagi memegang memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang telah bergeser ke

tangan DPR, melainkan hanya berhak mengajukan RUU ke DPR,

memberikan persetujuan bersama dengan DPR dan mengesahkan RUU menjadi undang-undang;

b. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik;

c. Masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode;

d. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden;

e. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR;

f. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR;

g. Penegasan hak-hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara harus dengan persetujuan atau pertimbangan DPR;

h. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK, Hakim Agung, anggota Komisi Yudisial harus dengan persetujuan DPR;

i. Presiden berwenang membentuk dewan pertimbangan sebagai pengganti DPA yang dihapuskan;

j. Dalam pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur dengan undang-undang, tidak bebas seperti sebelum amandemen UUD 1945.

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Anggota DPR berjumlah 550 orang. Keanggotaan DPR diresmikan berdasarkan Keputusan Presiden, anggota DPR berdomisili di ibukota

negara Republik Indonesia. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Anggota DPR mempunyai hak yaitu: a. Mengajukan rancangan undang-undang; b. Mengajukan pertanyaan;

c. Menyampaikan usul dan pendapat; d. Memilih dan dipilih;

e. Membela diri;

f. Imunitas, yaitu hak anggota DPR untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat-rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

g. Protokoler, yaitu hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan berkaitan dengan jabatannya dalam acara-acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya;

h. Keuangan dan administratif.

Anggota DPR mempunyai kewajiban: a. Mengamalkan Pancasila;

b. Melaksanakan UUD 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

c. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; d. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara

e. Memperhatikan upaya peningkatan kesehjateraan rakyat;

f. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

g. Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Sebelum amandemen UUD 1945, sistem dan pelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. DPR dikategorikan sebagai salah lembaga tinggi negara.

b. Seluruh anggota DPR merupakan anggota MPR,dan susunan keanggotaannya akan diatur dengan undang-undang;

c. Tidak ada ketentuan konstitusional tentang cara rekrutmen anggota DPR, sehingga dalam paktek Orde Baru ada anggota DPR yang dipilih melalui pemilu dan ada anggota DPR yang diangkat oleh Presiden;

d. Kewenangan DPR adalah memberi persetujuan atas UU, APBN, pernyataan perang, perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;

e. Kekuasaan membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) bukan ditangan DPR, melainkan di tangan Presiden, sedangkan DPR hanya berwenang memberi persetujuan.

Setelah terjadinya amandemen UUD 1945 di Indonesia, sistem dan pelembagaan DPR juga mengalami perubahan yaitu:

a. Anggota DPR dipilih melalui pemilu;

b. DPR memegang kekusaan membentuk undang-undang;

d. DPR memiliki kewenangan:

1. Mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR setelah ada putusan MK;

2. Memberikan persetujuan atas UU bersama Presiden;

3. Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;

4. Persetujuan calon hakim agung atas usulan Komisi Yudisial, persetujuan pengangkatan calon anggota Komisi Yudisial, memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pengangkatan duta, menerima penempatan duta negara lain, dan pemberian amnesti dan abolisi, memlih calon anggota BPK,dan mengusulkan tiga orang calon hakim konstitusi kepada Presiden. Fungsi utama dari DPR adalah dalam pembentukan undang-undang sebagai sebuah produk hukum yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Normanya harus mengatur tentang fakta dan tidak bersifat relatif; b. Perintah-perintahnya tidak merancukan substansi pokok;

c. Tidak bersifat alternatif; d. Mempunyai manfaat nyata;

e. Tidak menggoyahkan sendi-sendi dasar dan hakikat permasalahan yang diatur; f. Tidak menggoyahkan keadilan;

g. Dapat diukur kemungkinan diterapkannya.

Prinsip yang dianut dalam model pembagian kekuasaan (division or disyribution of power) sebelum amandemen UUD 1945 adalah prinsip kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Dari MPR inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya.

Sebaliknya dalam UUD 1945 setelah diamandemen, kedaulatan rakyat dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang diberikan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and balance. Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di tangan MPR, tetapi Majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yaitu DPR dan DPD. Cabang kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden dan Wakil Presiden. Cabang kekuasaan yudikatif berada di tangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain.

Pergeseran atau perubahan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terjadi seiring dengan amandemen UUD 1945, antara lain pergeseran dari supremasi eksekutif ke supremasi legislatif, dari pembagian kekuasaan (division of power) ke prinsip pemisahan kekuasaan (separation of

power) dan check and balance, sehingga dari segi kelembagaan semua lembaga negara berkedudukan sederajat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.13

Lembaga-lembaga yang memiliki tiga kekuasaan kenegaraan tersebut diletakkan pada pengaturan yang setara dan mempunyai hubungan saling mengendalikan dalam rangka menjamin tegaknya hukum dan terwujudnya demokrasi. Kedudukan MPR sebagai lembaga yang sederajat dengan lembaga-lembaga lain, menyebabkan terhapusnya kedudukan MPR sebagai lembaga-lembaga tertinggi negara yang mempunyai kewenangan menguji berbagai produk politik, atau dengan dengan tindakan-tindakan yang bersifat kebijakan politik. Hal inilah yang menjadi alasan konstitusional perlu ada institusi khusus untuk menguji substansi hukum sebagai politik hukum (recht politik) atau political law. Oleh karena itu, maka dibutuhkan sebuah institusi baru yaitu Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena pentingnya prinsip kesetaraan dan kemerdekaan lembaga-lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan dalam UUD 1945, maka mekanisme hubungan satu sama lainnya sangat perlu diatur menurut prinsip-prinsip hukum. Jika timbul sengketa dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya masing-masing, diperlukan lembaga pemutus menurut UUD

Dokumen terkait