Hamonangan P. Sidauruk : Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar 1945” (Study Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/ Puu-V/2007),
Skripsi
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-tugas
Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
HAMONANGAN P. SIDAURUK NIM. 040 200 151
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
PROGARAM KEKHUSUSAN: HUKUM TATA NEGARA
Disetujui oleh:
KETUA DEPARTEMEN HTN
ARMANSYAH, SH, M.Hum NIP. 131569409
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
ARMANSYAH, SH, M.Hum AHMAD SIREGAR, SH
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
kasih-Nya yang senantiasa berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG UNDANG DASAR 1945 (STUDY KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/ PUU-V/2007)”.
Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada maha guru-maha guru yang telah menurunkan ilmu yang sangat
berguna dalam hidup penulis. Terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Suhaidi, SH, M. H., Bapak Syafrudin, SH, M. Hum, dan Bapak
Muh. Husni, SH, M. H., selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan
Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Armansyah, SH, M. H selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I
yang telah banyak memberi masukan dan membimbing penulis dalam
4. Bapak Ahmad Siregar, SH, M, H selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberi masukan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
5. Ibu Aflah, SH, M. Hum selaku Dosen Wali penulis yang telah banyak
membantu penulis selama masa perkuliahan ini;
6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan ini.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan dapat disusun tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak. Skripsi ini ada hanya karena kasih, karena
dorongan semangat, dan yang terutama karena doa dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis, kepada Ayahanda: K. Sidauruk,
SH dan Ibunda: R. Tambunan, Spd yang telah memenuhi segala sesuatu yang
penulis butuhkan selama ini, yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan
nasehat-nasehat yang sangat berguna untuk penulis. Tiada kata maupun
perbuatan yang dapat kubuat untuk membalas semua ini.
2. Untuk saudara-saudaraku Parlin dan Agnes yang telah banyak memberikan
perhatian dan dukungan moril kepadaku selama ini.
3. Terima kasih untuk semua keluarga besar yang selama ini selalu mendukung
penulis. Terima kasih kepada amangboru, Namboru, Inangtua, Uda, Inanguda,
dan sepupu di Siantar, Amangboru dan Namboru di limapulu, Amangboru dan
Pakam, Inangtua di Kupang, B’Ranto, B’Ratno, B’ Rio, B’Erwan, K’Lince,
K’ Ida, B’Gudman, Ance, Yuni, Ari, Angel dll
4. Teman-teman dari Markas Besar Dipanegara: P’T, B’Fredy, B’Edy, B’Popoy,
B’Onda, B’ Handoko, B’ Ian, B’Rudy, B’Audy, B’Jasmen, B’Terbit,
B’Parlan, B’Marga, B’Leo, B’Darta, B’Ameng, B’Manutar, B’ Anton,
B’Tolop, B’Fery, B’Maafdi, B’Erwin, B’Bobok, B’Paulus, B’Thomas,
B’Eliot, Hendra, Monang kecil, Roni, Togu, Niel, Junisbon, Richi, David dan
Gibeon. Terima kasih untuk kebersamaan yang kita jalani selama ini
5. Teman-teman di Wamar: Markos, B’Frans, Urip, B’ Philip, Travel, Winca,
Julu, Ronal, Joni, Asas, Coky, B’Santony, Hedra Dolphy, Leo, Babao, Rafael,
Don, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu.
Terima Kasih untuk kebersamaan kita selama ini.
6. Rekan-rekan seperjuangan (stb’2004): Panataran, Budi, Alex, luhut, Mawan,
Surya, Daus, Fahrozi, Danil, Semy, Angga, Tota, Hotma, Miranda, Cristina,
Trisnawati, Maeka, Maria, Picenk, Wina, Yuli, Indah dan teman-teman lain
yang tidak dapat saya sebut satu persatu. Terima kasih untuk perhatiannya.
7. Keluarga Besar KMK Khususnya Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
8. Keluarga besar GMNI khususnya keluarga besar Fakultas Hukum USU.
9. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini,
untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik
yang membangun untuk kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Terima
kasih.
Medan, September 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia... 15
B. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia ... 22
C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia ... 27
BAB III KEPALA DAERAH SEBAGAI PENYELENGGARA PEMERINTAH DAERAH A. Kewenangan Daerah dalam Melaksanakan Otonomi Daerah ... 36
B. Syarat-Syarat Pencalonan Kepala Daerah ... 43
C. Tugas dan Wewenang Kepala Daerah ... 51
A. Ketentuan Beracara di Mahkamah Konstitusi ... 55
B. Pengujian Terhadap UU No. 32 Tahun 2004 Dalam Hal
Calon Kepala Daerah Independen ... 64
C. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Ketentuan
Calon Kepala Daerah Independen (No. 5/PUU-V/2007) ... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan lahirnya
Lembaga-Lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah
satu lembaga Negara yang baru adalah Mahkamah Konstitusi yang mempunyai
tugas dan wewenang yang diatur lebih khusus dalam Undang-Undang No. 24
Tahun 2003. Salah satu implementasi tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi
adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh
Pemohon, dimana putusannya bersifat final dan mengikat.
Salah satu contoh Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi adalah
Putusan Nomor 5/PUU-V/2007, dimana Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian secara materiil beberapa pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 terhadap
UUD 1945 berkaitan dengan calon kepala daerah Independen. Ketentuan selama
beracara di Mahkamah Konstitusi dan akibat dari Putusan Mahkamah Konstitusi
ini dapat dijadikan contoh dalam penegakkan keadilan di Indonesia yang tidak
berpihak kepada siapapun. Hal ini disebabkan hakim konstitusi tidak terikat
terhadap pihak manapun karena 3 (tiga) hakim konstitusi diangkat oleh Presiden,
3 (tiga) hakim konstitusi diangkat oleh Mahkamah Agung dan 3 (tiga) hakim
konstitusi diangkat oleh DPR sehingga kedudukannya berada ditengah-tengah
(netral).
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan
diantara lembaga-lembaga negara. Ketidakseimbangan ini terlihat dari corak
kekuasaan Presiden yang berlebihan dan absolut. Hal ini diperparah dengan tidak
berfungsinya lembaga-lembaga negara lainnya sebagaimana mestinya. Hal ini
pada akhirnya melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi
krisis multidimensional pada hampir semua aspek kehidupan. Hal ini
membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air.
Pada awal bergulirnya gerakan reformasi, tekad untuk memberantas segala
bentuk penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi,
dan nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan, ternyata belum diikuti dengan
langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam
Pada akhirnya sebagai reaksi dari tuntutan reformasi yang semakin
kencang disuarakan oleh masyarakat, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mengeluarkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004, yang memuat beberapa hal penting
dalam hal arah kebijakan di bidang hukum, diantaranya:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk
terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi
hukum dan tegaknya negara huku;
2. Menegakkan hukum secara konsistenuntuk lebih menjamin kepastian hukum,
keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi
manusia;
3. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh
penguasa dan pihak manapun.1
Reformasi pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, tidak terkecuali dalam bidang
hukum dan politik. Perubahan tersebut seakan telah membawa Negara Republik
Indonesia ke alam yang lebih demokratis dan konstitusional.
Demokratisasi dan Konstitusionalisme telah menjadi semangat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan 2 (dua) hal tersebut
haruslah diawali dengan perubahan terhadap konstitusi yang merupakan dasar
pijakan bagi negara demokrasi konstitusional.
Sebelum dilakukan amandemen, Undang-Undang Dasar 1945
mekanisme check and balance, sehingga melumpuhkan kontrol yudisial terhadap
pelaksanaan kekusaan, yang berakibat pada pelaksanaan kekuasaan yang
1
Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Tahun1999 - 2004
sentralistik dan otoriter.
Pada akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang
demokratis dan konstitusional, dibutuhkan lembaga yang memiliki kewenangan
untuk melakukan kontrol yudisial (judicial control) terhadap penyelenggaraan
negara yaitu Mahkamah Konstitusi.
Amandemen Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945
melalui perubahan ketiga, yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) pada sidang tahunan MPR tahun 2001, akhirnya menyepakati
pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebuah lembaga baru yang sudah
lama ditunggu-tunggu oleh kalangan pakar hukum tata negara, mengingat
eksistensinya dipandang sangat urgen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal
ini sebagai bentuk komitmen dan political wiil pemerintah, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan seluruh komponen bangsa untuk
memperbaiki problem-problem dan penyimpangan-penyimpangan konstitusi yang
muncul dalam praktek ketatanegaraan selama ini.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak dapat diingkari
terinspirasi oleh Mahkamah Konstitusi di negara lain, namun konsep Mahkamah
ketatanegaraan Indonesia, karena setiap negara memiliki karakteristik sistem
ketatanegaraan yang berbeda. Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 (empat
puluh lima) negara. Mahkamah Konstitusi menjadi trend terutama di
negara-negara yang baru mengalami perubahan rezim dari otoriter ke rezim demokratis.
Sebagai salah satu lembaga yang baru,Mahkamah Konstitusi mempunyai
wewenang khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial control dalam
kerangka sistem check and balances diantara cabang-cabang kekuasaan
pemerintah, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan
prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga
pelaksana kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi merupakan
suatu perkembangan paradigma baru dalam ketatanegaraan Indonesia, oleh karena
kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung hanya diberi kewenangan
untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dengan
alasan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan untuk
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
Pasal 24C ayat (1) Undang Dasar 1945 dan pasal 10
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan memutus pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap perkara-perkara
ketatanegaraan tertentu. Dalam menyelenggarakan peradilan tersebut Mahkamah
Konstitusi harus mendasarkan pada ketentuan hukum beracara sesuai dengan
Pasal 28 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstiusi dalam pelaksanaan pasal 24C ayat(6) Undang-Undang Dasar 1945
adalah Undang-Undang yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak membuat aturan baru yang bersifat membatasi pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945.
Pada Pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi yang mengatur secara khusus kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu).
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana terlihat dalam permohonan yang masuk dan terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Lembaga pengujian ini telah mengalami
Konsekuensi dari pengujian undang diterima dan pembentukan
undang-undang dipandang terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
maka Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut akan dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
Salah satu contoh kekuatan mengikat dari implementasi putusan
Mahkamah Konstitusi dapat dilihat melalui Putusan Perkara No 5/PUU-V/2007
tentang ketentuan yang hanya membuka kesempatan bagi partai politik atau
gabungan partai politik dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah
berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kekuatan mengikat dari implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
mengikat bagi pihak-pihak yang berperkara (interpartes), tetapi implementasi
putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi semua orang, lembaga negara
dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat latar belakang, penulis berpendapat
bahwa studi terhadap Mahkamah Konstitusi masih kurang atau belum banyak
menjadi perhatian para ahli hukum, khususnya hukum tata negara. Hal ini
disebabkan karena Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena ketatanegaraan
yang tergolong baru sehingga Mahkamah Konstitusi dalam bentuk ideal masih
harus terus mencari formulasi yang sebaik-baiknya, masih banyak negara yang
belum mempunyai Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan, dan segala
Dalam melakukan suatu penelitian, pada hakekatnya setiap permasalahan
yang akan diteliti berkaitan dengan latar belakang yang diuraikan dalam penulisan
perumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi ?
2. Bagaimana dampak implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
memutus perkara uji materiil Putusan No. 5/ PUU-V/ 2007 tentang pemilihan
calon kepala daerah independen ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945
b. Untuk mengetahui ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi yang berlaku
saat ini menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
c. Untuk mengetahui dampak implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam memutus perkara uji materiil Putusan No. 5/ PUU-V/ 2007 tentang
pemilihan calon kepala daerah independen.
2. Manfaat Penulisan
Secara teoritis, pembahasan terhadap pemasalahan-permasalahan sebagaimana
diuraikan di atas diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian
bagi pembaca mengenai tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia. Jadi secara teoritis manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi
perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi
pemikiran yang menyoroti dan membahas Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman selain
daripada Mahkamah Agung.
B. Secara Praktis
Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk
peminat pada perkuliahan di fakultas hukum dan untuk sumbang pemikiran
ilmiah hukum positif di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penempatan
hukum tata negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum Indonesia,
dimana salah satu ciri dari negara yang demokratis dengan menjunjung tinggi
supremasi hukum (supremacy of law). Penulisan ini diharapkan mampu
menggambarkan tentang pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Putusan No. 5/ PUU-V/ 2007.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan Penulis, “Implementasi Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar
judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan diulas oleh penulis oleh karena
sepengetahuan penulis, topik permasalahan ini semakin menghangat
pembahasannya dalam masyarakat.
Penulisan skripsi ini oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran
penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada,
penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam
skripsi ini, penulis mencoba mengarahkan pembahasannya ke arah bagaimana
ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dan implementasi putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipetanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Implementasi merupakan suatu pelaksanaan/penerapan hukum, yang mana
didalam kamus law dictionary adalah bagaimana hukum diterapkan, ditegakkan
atau dilaksanakan. Istilah implementasi biasanya digunakan dalam bentuk kata
benda. Didalam suatu implementasi dimaksud dalam penerapan hukum tata
negara biasa digunakan dalam putusan seperti yang telah diputus Mahkamah
Kewenangan berasal dari kata “wenang” yang dalam kamus bahasa
Indonesia memiliki arti: kuasa;berhak, jadi kewenangan dapat diartikan sebagai
hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.2
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.3
Menguji berasal dari kata “uji” yang dalam kamus bahasa Indonesia
memiliki arti: tes; tindakan ingin tahu baik/buruk atau kemampuan seseorang,
jadi menguji dapat diartikan sebagai memriksa untuk mengetahui mutu
(kepandaian,dan sebagainya) sesuatu.4
Menurut Prof. Dr. R. Sri Soemantri M, SH, Undang Undang Dasar sama
artinya dengan Konstitusi.5 Undang Undang Dasar 1945 adalah: suatu kitab yang
memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau
dasar-dasar yang sifatya tertulis yang menggambarkan sistem ketatanegaraan
suatu negara.
Yang dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam skripsi ini
adalah: undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
2
Daryanto S.S., Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Apolo, Surabaya, 1997, Hal.
3
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003.
4
Daryanto, opcit, Hal.616.
5
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
1987, Hal. 1.
F. Metode Penelitian
Metode dapat diartikan sebagai jalan ke atau suatu jalan/cara untuk
mencapai sesuatu. Namun demikian, menurut kebiasaan, metode dapat
dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
- Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ;
- Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;
- Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.6
Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang
digunakan penulis adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode
penelitian hukum sosiologis. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis
melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan
hukum yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Implementasi
melakukan penelitian terhadap bagaimana Implementasi putusan Mahkamah
Konstitusi dalam suatu kasus yang diajukan oleh pemohon.
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,
Hal. 5.
2. Metode Pendekatan
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode
pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan
yang diteliti adalah ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dan akibat
wewenang Mahkamah Konstitusi dalam uji materiil undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
5/PUU-V/2007.
3. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian untuk penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi di
kantor Mahkamah Konstitusi yang terletak di Jalan Merdeka Barat No. 7
Jakarta yang termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan kota Jakarta.
4. Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data-data yang diperlukan penulis yang berkaitan dengan
penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui cara penelitian kepustakaan
(Library Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap
penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini
adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan
perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun
bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) akan
dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif
yang berpedoman kepada bagaimana implementasi putusan Mahkamah
Konstitusi dalam suatu perkara.
Analisa deskriptif artinya penulis semaksimal mungkin berupaya untuk
memaparkan data-data yang sebenarnya.
Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia tentang implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan yang
bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.
Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai implementasi
kewenangan Mahkamah Konstitusi akan dapat ditarik kesimpulan umum yang
akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus
skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang
terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN, yang merupakan pengantar yang di dalamnya
terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, dan kemudian diakhiri dengan Sistematika
Penulisan.
BAB II : KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA, terdiri dari pembahasan
mengenai : Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Hubungan
Mahkamah Konstitusi Dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) di Indonesia.
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG KEPALA DAERAH, yang terdiri
dari : Kewenangan Daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Daerah,
Syarat-Syarat Pencalonan Kepala Daerah, Tugas dan Wewenang
Kepala Daerah
BAB IV : IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 5/ PUU-V/ 2007, yang
secara khusus membahas tentang : Ketentuan Beracara di Mahkamah
Konstitusi, Pengujian Terhadap UU No 32 Tahun 2004 Dalam Hal
dalam Pengujian Ketentuan Calon Kepala Daerah Independen (No. 5 /
PUU-V / 2007).
BAB V : PENUTUP, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II
KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Sejarah Pembetukan Mahkamah Konstitusi 1. Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebelum perubahan UUD 1945 kekuasaan kehakiman di Indonesia
didasarkan atas ketentuan Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 sebagai
berikut.
Pasal 24, yang berbunyi:
1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang,
2. Susunan dan kekuasaan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang
Pasal 25, yang berbunyi:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim
Dari kedua ketentuan ini dapat dilihat bahwa:
a. Kekuasaan kehakiman meliputi badan-badan kehakiman, jenis tingkatannya,
susunan dan kekuasaannya, acara dan tugasnya, yang seluruhnya akan diatur
dengan undang-undang;
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, bebas dari
kekuasaan pemerintah, yang berarti telah dianut asas peradilan yang bebas dan
tidak memihak sebagai salah satu prasyarat bagi sebuah negara hukum.
Perintah UUD 1945 agar kekuasaan kehakiman itu lebih lanjut diatur
dengan undang-undang telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan
dikeluarkannya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dan sistem peradilan di Indonesia7, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2951).
2. Untuk melaksanakan UU No 14 Tahun 1970 yang merupakan undang-undang
pokok telah dikeluarkan beberapa undang-undang pelaksanaannya, yaitu:
a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981 No. 76);
b. Undang-Undang Republik Indonesia NO. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (lembaran Negara RI Tahun 1985 No. 73, Tambahan
7
Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
Sekretriat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal 112-113.
c. Undang-Undang Republik Inonesia No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara RI Tahun1986 No. 20, Tambahan Lembaran
Negara RI No. 3327);
d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun1986 No. 77, Tambahan
Lembaran Negara RI No. 3344);
e. Undang-Undang Republik Indonesia No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 49)
f. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
Sebagai usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,
sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dilakukan perubahan terhadap
UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang isinya segala urusan
mengenai peradilan, baik menyangkut teknis yudisial maupun organisasi,
administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap yaitu: Mahkamah Agung dan
sudah dilaksanakan paling lambat 5(lima) tahun sejak diundangkannya UU No. 35
Tahun 1999.8
Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001) antara lain telah
8
Ibid, Hal 113.
melakukan perubahan tehadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dari semula
hanya terdiri dari dua pasal (Pasal 24 dan 25) menjadi lima pasal, yaitu: Pasal 24,
Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Perubahan ini telah memasukkan
ketentuan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula hanya
tercantum dalam penjelasan UUD1945 dan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai
badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ke dalam Pasal 24, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
c. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
Sebagai akibat perubahan pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD
1945, maka telah dikeluarkan beberapa undang-undang terkait dengan kekuasaan
kehakiman yaitu:
2. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI
Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4316) untuk
melaksanakan perintah Pasal24C ayat (6) UUD 1945;
3. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI
Tahun 2004 No.8, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4358) untuk
menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun1999
tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1970
4. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 9, Tambahan
Lembaran Negara RI No.4359) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat
(5) UUD 1945;
5. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 NO. 34, Tambahan Lembaran Negara RI
No. 4379) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD1945;
6. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 35,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4380) untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 24A ayat (5) UUD 1945;
7. UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara RI Tahun
2004 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4415) untuk melaksanakan
Perubahan tersebut menunjukkan bahwa jaminan konstitusional atas
prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman semakin kuat, demikian pula
eksistensi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung telah
mendapat jaminan konstitusional (semula hanya dimuat dalam undang-undang).
Perubahan Pasal 24 juga tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai
“single top authority” dalam kekuasaan kehakiman, karena kehadiran Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 24C UUD
1945.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Negara Republik Indonesia setelah
perubahan UUD1945 didasarkan atas 4 hal yaitu:
a. Sebagai implikasi atau pelaksanaan paham konstitusionalisme
Paham konstitusionalisme adalah: paham yang menganut adanya pembatasan
kekuasaan . Paham ini memiliki 2(dua) makna:
1. Konsep negara hukum, bahwa kewibawaan hukum secara umum mengatasi
kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan melakukan
kontrol terhadap politik.
2. Hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa kebebasan warga
negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negarapun dibatasi oleh
konstitusi, kekuasaan inipun hanya memperoleh legitimasi dari konstitusi.9
b. Mekanisme “check and balance”
Sebagai salah satu ciri pemerintahan yang baik, ditandai dengan adanya
9
Soetandyo Wignojosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan
Permasalahannya, Elsam Huma, Jakarta, 2003, Hal. 405.
pengujian undang-undang. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman akan mewujudkan mekanisme check and
balance dalam penyelenggaraan negara yang baik.
c. Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
Sistem pemerintahan yang baik menggambarkan penyelenggaraan negara
yang bersih, transparan, dan partisipatif dari semua pihak. Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman untuk
melakukan kontrol terhadap akuntabilitas pemerintah.
d. Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia
Kekusaan yang tidak terkontrol dari lembaga-lembaga tinggi negara dapat
menyebabkan tindakan yang merugikan pihak-pihak tertentu sehingga
menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Pembentukan Mahkamah
Konstitusi yang merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bertugas untuk menjaga penyelenggaraan negara tetap pada prinsip demokrasi,
menghormati, dan melindungi hak asasi manusia.
Dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di Indonesia, sebagaimana dalam Pasal 18 UUD 1945 dan
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Hakim Konstitusi
berjumlah 9(sembilan) hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden (Keppres) guna untuk mengawal konstitusi dan menafsirkan konstitusi
dalam Pasal 18 UUD 1945, 3(tiga) hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah
Agung, 3(tiga) hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, dan 3(tiga) hakim
konstitusi diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat,kemudian ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Hal ini disebabkan karena sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersinggungan langsung dengan
kepentingan ketiga unsur lembaga tersebut. Untuk kelancaran pelaksanaan
kekuasaan kehakiman menuju peradilan yang modern, sembilan hakim konstitusi
tersebut dibantu oleh sekretariat jenderal dan kepaniteraan
B. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia 1. Tugas Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto
Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kedudukan
Mahkamah Konstitusi adalah:
a. merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman;
b. merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan
c. sebagai penegak hukum dan keadilan.
Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan Umum
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstusi adalah menangani perkara
ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi
(UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa
lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu,
selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), Mahkamah
Konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of
constitution).
Atas dasar tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut, maka visi dan
misi Mahkamah Konstitusi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Visi Mahkamah Konstitusi :
Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan
demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.10
2. Misi Mahkamah Konstitusi:
a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan
kehakiman yang terpercaya.11
b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.12
Dengan visi dan misi dalam melaksanakan tugasnya, Mahkamah
Konstitusi diharapkan dapat menjadi salah satu lembaga negara yang dapat
mengayomi masyarakat maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD1945.
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Untuk mengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai
10
Abdul Mukhtie Fadjar, op.cit, hal. 119.
11
Ibid.
12
Ibid.
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
a. Menguji undang-undang tehadap UUD 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;
e. Memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari hukum acara umum untuk
semua kewenangan Mahkamah Konstitusi14 dan hukum acara khusus untuk setiap
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dilengkapi lebih lanjut dengan Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) sesuai dengan ketentuan Pasal 86 UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara rinci adalah
sebagai berikut:
a. Pengujian undang-undang terhadap UUD1945
Pengujian undang-undang terhadap UUD1945 diatur dalam pasal 50 sampai
dengan Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi dan telah dilengkapi dengan PMK
1. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk orang yang mempunyai
kepentingan sama;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam
undang-undang;
3. Badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara, yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan yaitu hak/
kewenangan yang diberikan oleh UUD1945.
Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undang-undang yang
meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai apakah
pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai atau tidak dengan ketentuan
UUD1945, dan pengujian secara materiil, yaitu apakah materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.
Hasil putusannya terdiri dari: dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian,
dan tidak diterima.
b. Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
Memutus sengketa kewenangan konsitusional lembaga negara diatur dalam
Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
sedangkan termohonnya adalah lembaga negara yang mengambil kewenangan
lembaga negara lainnya. Obyek sengketa adalah kewenangan yang diberikan
oleh UUD 1945.
Memutus pembubaran partai politik diatur dalam Pasal 68 sampai dengan
Pasal 73 UU Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya adalah Pemerintah,
sedangkan termohonnya adalah partai poitik yang dimohonkan dibubarkan.
Alasan pembubaran adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan
parpol yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Jika permohonan
dikabulkan, parpol yang bersangkutan dibatalkan pendaftarannya sebagai
badan hukum pada pemerintah.
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Memutus perselisihan hasil pemilu diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal
79 UU Mahkamah Konstitusi dengan PMK No. 04/PMK/2004 dan No.
05/PMK/2004. Pemohonnya adalah:
1. perorangan peserta pemilu DPD;
2. partai politik peserta pemilu;
3. pasangan Calon Presiden/ Calon Wakil Presiden peserta pemilu presiden
dan wakil presiden.
Termohonnya adalah Komisi Pemilihan Umum.
e. Impeachment DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Diatur dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Mahkamah Konstitusi.
Pemohonnya adalah DPR yang disetujui oleh 2/3 dari minimal 2/3anggota
DPR yang hadir. Alasan impeachment antara lain:
1. Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum karena pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan
2. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan
UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pendapat DPR terbukti atau tidak
terbukti sehingga apabila terbukti dapat ditindaklanjuti oleh DPR.
C. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia
1. Presiden
Kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden diatur dan ditentukan
dalam Bab III UUD 1945 yang mengatur berbagai aspek mengenai presiden dan
lembaga kepresidenan, termasuk rincian kewenangan yang dimiliki presiden
dalam memegang kekuasaan pemerintah. Hal-hal yang berkaitan dengan Presiden
terutama dalam bidang eksekutif ini telah banyak mengalami perubahan setelah
amandemen UUD 1945.
Sesuai dengan prinsip amandemen UUD 1945 untuk mempertegas sistem
presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang
utama dengan prinsip check and balances, maka terjadi beberapa perubahan yang
berkaitan dengan Presiden yaitu:
a. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, tidak lagi memegang
memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang telah bergeser ke
tangan DPR, melainkan hanya berhak mengajukan RUU ke DPR,
memberikan persetujuan bersama dengan DPR dan mengesahkan RUU
b. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih
oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik;
c. Masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua
periode;
d. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden;
e. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden dan atau Wakil
Presiden yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR;
f. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR;
g. Penegasan hak-hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara harus dengan
persetujuan atau pertimbangan DPR;
h. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK, Hakim Agung,
anggota Komisi Yudisial harus dengan persetujuan DPR;
i. Presiden berwenang membentuk dewan pertimbangan sebagai pengganti DPA
yang dihapuskan;
j. Dalam pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur
dengan undang-undang, tidak bebas seperti sebelum amandemen UUD 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia terdiri atas anggota partai politik
peserta pemilihan umum yang dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan
daftar calon terbuka. Anggota DPR berjumlah 550 orang. Keanggotaan DPR
negara Republik Indonesia. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan
berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota DPR mempunyai hak yaitu:
a. Mengajukan rancangan undang-undang;
b. Mengajukan pertanyaan;
c. Menyampaikan usul dan pendapat;
d. Memilih dan dipilih;
e. Membela diri;
f. Imunitas, yaitu hak anggota DPR untuk tidak dapat dituntut di muka
pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam
rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat-rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
g. Protokoler, yaitu hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan
berkaitan dengan jabatannya dalam acara-acara kenegaraan atau acara resmi
maupun dalam melaksanakan tugasnya;
h. Keuangan dan administratif.
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a. Mengamalkan Pancasila;
b. Melaksanakan UUD 1945 dan mentaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara
e. Memperhatikan upaya peningkatan kesehjateraan rakyat;
f. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;
g. Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan.
Sebelum amandemen UUD 1945, sistem dan pelembagaan Dewan
Perwakilan Rakyat di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. DPR dikategorikan sebagai salah lembaga tinggi negara.
b. Seluruh anggota DPR merupakan anggota MPR,dan susunan keanggotaannya
akan diatur dengan undang-undang;
c. Tidak ada ketentuan konstitusional tentang cara rekrutmen anggota DPR,
sehingga dalam paktek Orde Baru ada anggota DPR yang dipilih melalui
pemilu dan ada anggota DPR yang diangkat oleh Presiden;
d. Kewenangan DPR adalah memberi persetujuan atas UU, APBN, pernyataan
perang, perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;
e. Kekuasaan membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) bukan ditangan
DPR, melainkan di tangan Presiden, sedangkan DPR hanya berwenang
memberi persetujuan.
Setelah terjadinya amandemen UUD 1945 di Indonesia, sistem dan
pelembagaan DPR juga mengalami perubahan yaitu:
a. Anggota DPR dipilih melalui pemilu;
b. DPR memegang kekusaan membentuk undang-undang;
d. DPR memiliki kewenangan:
1. Mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada
MPR setelah ada putusan MK;
2. Memberikan persetujuan atas UU bersama Presiden;
3. Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian,
dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden;
4. Persetujuan calon hakim agung atas usulan Komisi Yudisial, persetujuan
pengangkatan calon anggota Komisi Yudisial, memberikan pertimbangan
kepada Presiden atas pengangkatan duta, menerima penempatan duta
negara lain, dan pemberian amnesti dan abolisi, memlih calon anggota
BPK,dan mengusulkan tiga orang calon hakim konstitusi kepada Presiden.
Fungsi utama dari DPR adalah dalam pembentukan undang-undang
sebagai sebuah produk hukum yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Normanya harus mengatur tentang fakta dan tidak bersifat relatif;
b. Perintah-perintahnya tidak merancukan substansi pokok;
c. Tidak bersifat alternatif;
d. Mempunyai manfaat nyata;
e. Tidak menggoyahkan sendi-sendi dasar dan hakikat permasalahan yang diatur;
f. Tidak menggoyahkan keadilan;
g. Dapat diukur kemungkinan diterapkannya.
Prinsip yang dianut dalam model pembagian kekuasaan (division or
disyribution of power) sebelum amandemen UUD 1945 adalah prinsip kedaulatan
rakyat yang diwujudkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan
yang diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak
terbatas. Dari MPR inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke
dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya.
Sebaliknya dalam UUD 1945 setelah diamandemen, kedaulatan rakyat
dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power)
menjadi kekuasaan-kekuasaan yang diberikan sebagai fungsi lembaga-lembaga
negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan
prinsip check and balance. Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di tangan
MPR, tetapi Majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan
lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yaitu DPR dan DPD. Cabang kekuasaan
eksekutif berada di tangan Presiden dan Wakil Presiden. Cabang kekuasaan
yudikatif berada di tangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sesuai
dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan
judikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu
sama lain.
Pergeseran atau perubahan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terjadi seiring dengan amandemen UUD 1945, antara
lain pergeseran dari supremasi eksekutif ke supremasi legislatif, dari pembagian
power) dan check and balance, sehingga dari segi kelembagaan semua lembaga
negara berkedudukan sederajat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.13
Lembaga-lembaga yang memiliki tiga kekuasaan kenegaraan tersebut
diletakkan pada pengaturan yang setara dan mempunyai hubungan saling
mengendalikan dalam rangka menjamin tegaknya hukum dan terwujudnya
demokrasi. Kedudukan MPR sebagai lembaga yang sederajat dengan
lembaga-lembaga lain, menyebabkan terhapusnya kedudukan MPR sebagai lembaga-lembaga
tertinggi negara yang mempunyai kewenangan menguji berbagai produk politik,
atau dengan dengan tindakan-tindakan yang bersifat kebijakan politik. Hal inilah
yang menjadi alasan konstitusional perlu ada institusi khusus untuk menguji
substansi hukum sebagai politik hukum (recht politik) atau political law. Oleh
karena itu, maka dibutuhkan sebuah institusi baru yaitu Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena pentingnya prinsip kesetaraan dan kemerdekaan
lembaga-lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan dalam UUD 1945, maka
mekanisme hubungan satu sama lainnya sangat perlu diatur menurut
prinsip-prinsip hukum. Jika timbul sengketa dalam menjalankan kewenangan
konstitusionalnya masing-masing, diperlukan lembaga pemutus menurut UUD
1945. untuk itulah UUD 1945 menyediakan mekanisme peradilan khusus untuk
mengatasi berbagai kemungkinan timbulnya sengketa kewenangan konstitusional
13
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat
antara lembaga-lembaga negara ini. Fungsi pemutus inilah yang diberikan kepada
lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kewenangannya dalam
mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi (the highest law of the
land).
Dalam ketentuan UU Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 80 sampai dengan
Pasal 84 tentang pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden,yang ditegaskan dalam Pasal 82 yaitu dalam hal Presiden
dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di
Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan dihentikan dan permohonan
dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
tidak sampai kepada pelaksanaan putusan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
presiden melainkan kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya sampai pada
tahapan membenarkan dugaan tersebut atau sebaliknya tidak membenarkan
dugaan tersebut.
UUD 1945 juga membuat fungsi DPR sebagai pembentuk undang-undang
bersama-sama dengan Presiden, dan untuk hal-hal tertentu diperlukan peranan
dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, apabila suatu undang-undang
baik secara formil maupun materiil bertentangan dengan UUD 1945, maka
Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan menyatakan tidak mengikat untuk
umum. Dengan kata lain DPR sebagai pembuat undang-undang, sedangkan
Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan undang-undang tersebut. Hal ini sesuai
(legislator positif), maka lembaga verfassungsgerichtshaft (Mahkamah Konstitusi)
tidak ubahnya merupakan negative legislator.
Dalam hubungan antara Mahkamah Konstitusi, Presiden, dan DPR yang
kewenangannya diatur oleh UUD 1945, dapat dikatakan bahwa posisi Mahkamah
Kostitusi berada ditengah-tengah. Karena itu, posisinya sangat sentral dan
strategis. Itu sebabnya 9 (sembilan) orang hakim Mahkamah Konstitusi ditentukan
tidak oleh satu lembaga negara saja. 3 (tiga) hakim konstitusi dipilih oleh
Presiden, 3 (tiga) hakim konstitusi dipilih oleh DPR, 3 (tiga) hakim dipilih oleh
Mahkamah Agung. Dengan demikian, dapat dijamin bahwa Mahkamah Konstitusi
dapat benar-benar berada dalam posisi yang netral dan imparsial, tidak berpihak
pada salah satu lembaga negara. Jika timbul sengketa (disputes) antarlembaga
negara mengenai pelaksanaan kewenangan konstitusional yang satu dengan yang
lainnya, maka Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai pemutus yang bersifat
Hamonangan P. Sidauruk : Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang BAB III
KEPALA DAERAH SEBAGAI PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH
A. Kewenangan Daerah dalam Melaksanakan Otonomi Daerah
Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan pengertian bahwa “Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”. Setiap negara di dunia mempunyai sistem yang berbeda
dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan
yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Sistem ini dapat dibagi menjadi
5 (lima) bagian,14yaitu:
1. Sistem Residu (Teori Sisa)
Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas
yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan
rumah tangga daerah. Sistem ini dianut oleh negara-negara di daratan Eropa
seprti Perancis, Belgia, Belanda, dan sebagainya.
Kebaikan sistem ini terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru,
14
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah, PT Raja Grafindo Persada,
pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan
yang dianggap perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat.
Sebaliknya sistem dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan
daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan
atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini
dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kapasitasnya besar atau
sebaliknya terlalu luas bagi daerah yang kemampuannya terbatas.
2. Sistem Material
Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu secara
limitatif atau terperinci. Di luar dari tugas yang telah ditentukan, merupakan
urusan dari Pemerintah Pusat. Sistem ini lebih banyak dianut oleh
Negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika Serikat.
Cara ini begitu fleksibel, karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah
baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus dilakukan melalui
proedur yang lama dan berbelit-belit. Ini akan menghambat kemajuan bagi
daerah yang mempunyai inisiatif/prakarsa, karena mereka harus menunggu
penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan
menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
3. Sistem Formal
Dalam sistem ini, urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah
tidak secara langsung dilihat dari sebelumnya (apriori) ditetapkan dalam atau
yang dianggap penting bagi daerahnya, jika tidak mencakup urusan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Jadi urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya (hierarchische taakafbakening).
Kelemahan dari sistem ini adalah batasan kewenangan dari Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah tidak dapat ditentukan secara pasti, tetapi
tergantung kepada keadaan, waktu, dan tempat.
4. Sistem Otonomi Riil
Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada
daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan yang riil dari daerah maupun Pemerintah Pusat serta
kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban
serta wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat,
maka kemungkinan yang akan ditimbulkan adalah tugas yang/urusan yang
selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat menjadi dapat diserahkan
kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kemampuan dan keperluannya
untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang menjadi wewenang
daerah, pada suatu saat jika dianggap perlu dapat diserahkan kembali kepada
Pemerintah Pusat.
5. Prinsip Otonomi yang Nyata, Dinamis, dan Bertanggung Jawab
Prinsip ini merupakan variasi dari sistem otonomi riil. Dasar dari otonomi
a. Otonomi daerah itu harus riil atau nyata, dengan pengertian pemberian
otonomi kepada daerah harus didasarkan kepada pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang-benar dapat menjamin daerah tersebut secara nyata
mampu mengurus rumah tangganya sendiri;
b. Otonomi daerah itu merupakan otonomi yang bertanggungjawab, dalam
arti bahwa dalam pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan
tujuannya;
c. Otonomi daerah merupakan kewajiban dari hak;
d. Pemberianotonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian;
e. Asas dekonsentrasi sama pentingnya dengan asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan adanya pelaksanaan asas tugas
pembantuan;
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus dapat menunjang demokrasi.
Adapun yang menjadi Manfaat otonomi daerah menurut Drs.Josef.Riwu
Kaho15 yaitu:
1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di Pusat Pemerintahan;
2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan
tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari
Pemerintah Pusat;
15
3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan
dapat segera dilaksanakan;
4. Dapat diadakan pembedaan (differensiasi) dan pengkhususan (spesialisasi)
yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teritorial,
dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan/keperluan dan
keadaan khusus daerah;
5. Dengan adanya desentralisasi teritorial, Daerah Otonom dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan
Pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang
ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah negara, sedangkan yang
kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu
dapat lebih mudah untuk ditiadakan;
6. Mengurangi kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat;
7. Dari segi Psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi
daerah-daerah karena sifatnya yang lebih langsung.
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,
antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan Undang-undang. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menitikberatkan pada
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
Pasal 10 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwa dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004, memberikan batasan
kewenangan Pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah yang meliputi:
1. Politik luar negeri;
2. Pertahanan;
3. Keamanan;
4. Yustisi;
5. Moneter dan fiskal nasional;
6. Agama.
Pasal 20 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum
penyelenggaraan negara yang terdiri atas:
1. Asas kepastian hukum;
2. Asas tertib penyelenggara negara;
3. Asas kepentingan umum;
4. Asas keterbukaan;
6. Asas profesionalitas;
7. Asas akuntabilitas;
8. Asas efisiensi;
9. Asas efektivitas.
Sesuai dengan Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menentukan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah harus
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan dimana daerah termasuk
daerah kabupaten dan kota mempunyai hak:
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
2. Memilih pimpinan daerah;
3. Mengelola aparatur daerah;
4. Mengelola kekayaan daerah;
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah;
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 22 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam menyelenggarakan otonomi, daerah termasuk daerah kabupaten dan kota
mempunyai kewajiban:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. melestarikan lingkungan hidup;
12. mengelola administratif kependudukan
13. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya;
14. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penyerahan kewenangan urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah
harus sejalan dengan sumber dana, pengalihan sarana dan prasarana, serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 UU No. 32 Tahun 2004. Apabila telah disesuaikan Kemampuan
daerah otonom dalam melaksanakan otonomi yang seluas-luasnya maka sistem
otonomi riil dan nyata dapat dilaksanakan.
B. Syarat-Syarat Pencalonan Kepala Daerah
Amandemen UUD 1945 yang telah meletakkan dasar-dasar kehidupan
diwujudkan melalui pengembangan format politik dalam negeri dan
pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah ke arah yang lebih demokratis. Sebagai konsekuensi negara
hukum perubahan format politik dan sistem pemerintahan harus ditindaklanjuti
dengan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang politik dan
pemerintahan. Dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempuyai peran
yang strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan,
pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara
Pemerintah dan Daerah serta antara Daerah untuk menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan pengembangan sarana demokrasi kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
serta UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, bebas, rahasia, jujur, dan
adil melalui pemungutan suara. Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan
melalui beberapa tahapan dimulai dari masa persiapan dan tahap pelaksanaan
meliputi, persiapan pemilihan, penyelenggara pemilihan, penetapan pemilih,
pendaftaran, dan penetapan pasangan calon terpilih, pengesahan dan pelantikan.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan UU No.
32 Tahun 2004, dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Adapun bentuk laporan pertanggungjawaban yang dilakukan Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tentang pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah adalah bentuk laporan. Dalam rangka pengawasan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah dibentuk panitia pengawasan yang
keanggotaannya terdiri dari:
1. Unsur Kepolisian;
2. Unsur Kejaksaan;
3. Unsur Perguruan Tinggi;
4. Unsur Pers;
5. Tokoh Masyarakat.
Anggota Pengawas Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah tersebut masing-masing terdiri dari:
1. Pengawas pemilu untuk propinsi 5 (lima) orang;
2. Pengawas pemilu untuk Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang;
3. Pengawas pemilu untuk Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
Masa persiapan pemilihan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2005. Masa persiapan pemilihan meliputi; pemberitahuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa
Kepala Daerah, perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan
jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, pembentukan Panitia
Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS, dan pemberitahuan dan pendaftaran pemantau
pemilihan. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan pemilihan disampaikan oleh
KPUD kepada Pemerintah Daerah untuk diproses sesuai dengan mekanisme dan
prosedur pengelolaan keuangan daerah.
Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila sebagai
Dasar Negara, UUD 1945, cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
2. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
3. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
4. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
5. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan Pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
6. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
8. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
9. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan
negara;
10. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
11. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
12. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum
mempun