• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara terminologis “pengakuan” atau (erkennning) berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata “mengakui” bertanya berhak. Sebuah pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keeberadaan suatu negara/ pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de yure.103

Pengakuan de facto adalah pengakuan secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah. Pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de yure, sedangkan Pengakuan de yure adalah pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan ini ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan apakah pemerintahannya efektif menyebabkan

kedudukan yang stabil. Pengakuan de yure bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum lainnya.

Pengakuan secara hukum (de yure) merupakan pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengakuan melalui hukum negara (hukum positif) menurut Austin diartikan sebagai hukum yang dibuat oleh orang atau lembaga-lembaga yang memiliki kedaulatan, dan pengakuan tersebut diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yang merdeka (independent political society). Anggota masyarakat tersebut mengakui kedaulatan dan supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, kebiasaan menurutnya hanya akan berlaku sebagai hukum jika Undang-undang menghendaki atau menyatakan dengan tegas atas keberlakuan kebiasaan tersebut.104

Konsep dasar masyarakat adat yang paling klasik bisa dirujuk adalah konsep Ter Haar yang disebut sebagai adatrechtsgemeenshap (masyarakat hukum adat) yaitu masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli yang terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, dimana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu aturan tertentu, dimana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan belangsung akibat adanya suatu aturan tertentu (yang

tiada lain adalah aturan hukum adat).105 Hazairin mengungkapkan bahwa masyarakat hukum adat sperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.106

Didalam UUD 1945, adanya pengaturan tentang eksistensi masyarakat hukum Adat, yaitu terdapat dalam pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28I ayat 3. Pasal 18B ayat (2) menyebutkan “Negara Mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.” Pasal 28I ayat 3 menyebutkan “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.107

Berdasarkan ketentuan kedua pasal diatas, jelas terlihat adanya bentuk pengaturan bahwa eksistensi masyarakat adat dan atau masyarakat tradisional diakui hanya jika memenuhi kriteria yaitu tidak bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

105 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita , Jakarta, 1979, Hlm. 27

106 Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia , Jakarta:

Regional Initiative on Indigeneous Peoples‟ Rights and Development. UNDP, 2006. Hlm 36

Adanya konsep pengakuan terbatas ini lebih terlihat lagi pada pengaturan dalam tingkat legislasi (undang-undang), yang dimulai dari UUPA (Undang-undang yang secara tegas tidak hanya mengatur eksistensi masyarakat adat, tetapi juga hukum adat. Pengaturan UUPA mengenai masyarakat adat, bisa dilihat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3, mengenai pengaturan masyarakat hukum adat bisa ditemui dalam Pasal 5. Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan demikian, sebagai turunan langsung dari konsep negara hukum, adalah jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat adat berikut hak-hak dan kepentingan negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif negara dalam perundang-undangan, keberadaan masyarakat adat beserta kepentingan-kepentingan dan hak-hak tradisionalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut bisa diabaikan. Pasal 2 ayat (4) UUPA menyebutkan bahwa:

“ Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan pemerintah.”.

Pasal 3 UUPA menyebutkan, dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 5 UUPA menyebutkan: “ hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam UUPA diatas, jelas terlihat bahwa eksistensi masyarakat adat dan hukum adat hanya diakui jika tidak bertentangan

dengan perturan perundang-undangan dan kepentingan nasional. Mengenai kepentingan nasional ini harus dirujuk pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagimana yang disebutkan dalam pasal 3 UUPA, yaitu kepentingan penguasaan negara dalam level yang tertinggi atas bumi, air, ruang angkasa beserta segala kekayaan alam yang ada didalamnya.

Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dibawah konsep pengakuan terbatas sebagaimana linear dengan UUPA juga dapat ditemui pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Beberapa pasal yang mengatur eksistensi masyarakat adat dalam Undang-undang Kehutanan ini antara lain adalah Pasal 4 ayat 3, dan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Kehutanan menyebutkan bahwa: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Adapun pasal 67 Undang-Undang kehutanan menyebutkan bahwa:

1. Masyarakat hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang

2. Pengukuhan dan hapusnya keberadaan masyarakat hukum adat sebagimana dimaksud ayat (1) dtetapkan dengan Peraturan Daerah

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Selanjutnya didalam Pasal 67 ayat (1) mengemukakan tentang syarat-syarat diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur lain:108

1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya

3. Ada wilayah hukum adat yang jelas

4. Ada pranata dan perangkat hukum, khusunya peradilan adat, yang masih ditaati

5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk kebutuhan sehari-hari

Ayat (2) Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ayat (3) Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:109

a. Tata cara penelitian

b. Pihak-pihak yang diikutsertakan c. Materi penelitian

d. Kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat

Berdasarkan uraian diatas, menurut Undang-undang kehutanan eksistensi masyarakat adat diakui keberadaanya hanya jika keberadaannya tersebut telah ditetapkan Peraturan Daerah yang mendasarkan diri pada kriteria sebagaimana

108M. Rizal Akbar, Khairul AK, Thamrin, Suwarto, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyaraka t

Adat, Penerbit LPNU Press, 2005, Hlm. 18

109 Abdul Muis Yusuf, Muhammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan Di Indonesia , Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta, Hlm 245

dijabarkan dalam penjelasan pasal 67 ayat 1 diatas, dan hal yang paling fundamental di atas itu semua adalah bahwa pengakuan keberadaan masyarakat adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pasal 4 ayat 3.

Dalam Peraturan Menteri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat. Bahwa masyaraat hukum adat adalah warga negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal-usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan suatu wilayah tertentu secara turun temurun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Junto Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 Untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum adat harus memiliki Unsur-unsur sebagai berikut:

1. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban

2. Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas

4. Ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati 5. Sejarah Masyarakat Hukum Adat;

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Junto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, untuk mendapatkan pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi unsur-unsur yang ada. Masyarakat Suku Akit hanya memiliki unsur-unsur:

1. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban

Masyarakat yang berbentuk paguyuban adalah perkumpulan berupa organisasi sederhana yang bersifat kekeluargaan (biasanya terdiri dari anggota yang masih ada hubungan saudara).110 Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai didalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.111

Menurut Tonnies, ada 3 (tiga) Tipe Paguyuban yaitu:112

a. Paguyuban karena ikatan darah yaitu ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.

110 Eko Hadi Wiyono, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Penerbit Talanta Compugrafik, 2007. Hlm. 444.

111 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengntar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm.

132.

b. Paguyuban karena tempat/wilayah yang sama yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong-menolong. Contoh: RukunTetangga, Rukun Warga, Arisan.

c. Paguyuban karena jiwa-pikiran yang sama, yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama.

Masyarakat suku Akit dalam menjalankan kehidupannya di Kecamatan Rupat utara berbentuk paguyuban, dikarenakan suku Akit hidup menempati wilayah yang sama secara berdampingan dengan masyarakat suku Cina, Jawa, Madura dan Batak di Kecamatan Rupat Utara, sehingga ada saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Mereka hidup bersama dengan rukun dan damai, saling menghormati dengan suku lainnya.

2. Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya

Masyarakat suku Akit memiliki Lembaga Adat yang dipimpin ketua Adat yang bernama Bathin, Bathin untuk menjalankan tugasnya dibantu oleh Wakil Bathin. Bathin memiliki tugas menjalankan Adat istiadat suku Akit. Adapun adat istiadat yang dipimpin oleh Bathin adalah:113

a. Dalam Acara Kelahiran b. Dalam Acara Sunatan c. Dalam Acara Perkawinan

113Wawancara dengan Anyang, Selaku Kepala Suku Akit Hatas, Titi Akar, Pulau Rupat Pada hari Sabtu 16 April 2016

d. Acara Kematian

Bathin menjalankan tugasnya bukan saja dalam acara Adat-istiadat, namun bathin juga dapat menyelesaikan segala permasalahan yang berkaitan tentang:

a. Dalam hal Pewarisan, Kepala Adat ikut dalam menyelesaikan permasalahan harta warisan yang akan dibagikan kepada seluruh ahli waris.

b. Dalam hal Perceraian

c. Dalam hal perkelahian antara sesama suku, maupun dengan suku lain 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas

Pengertian Wilayah Adat sebagaimana tercantum didalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.114

Hak Ulayat adalah hak dari persekutuan hukum Adat tempat tanah tersebut berada sebagai wujud dari kekuasaan persekutuan hukum adat yang bersangkutan,

114 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

yaitu kekuasaan atas tanah beserta segala sumber daya alam yang ada yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat.115

Moh. Koesnoe mengatakan bahwa adanya eksistensi hak ulayat atas tanah membawa konsekuensi hukum kedalam (secara internal) dan keluar persekutuan (secara eksternal), bahwa secara internal, adanya hak ulayat memberikan kepasitas secara eksklusif kepada persekutuan hukum adat yang bersangkutan untuk mengelola, memanfaatkan dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya. Adapun secara eksternal, memberikan tanggung jawab untuk menjaga tanah dan sumber daya alamnya dari penguasaan pihak asing berserta segala hal yang membahayakan keberadaan tanah dan sumber daya alam tersebut.116

Menurut Sukarto bahwa Masyarakat Suku Akit yang berada di kecamatan Rupat utara tidak memiliki wilayah adat baik berupa Tanah Adat maupun Hutan Adat. Mereka memiliki tanah atas iniasiatif sendiri dengan melakukan penebangan hutan, lalu mengolah tanah tersebut menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sehingga tanah tersebut menjadi hak milik pribadi (Individual) Masyarakat suku Akit, bukan menjadi tanah ulayat yang dimiliki bersama oleh masyarakat hukum Adat itu sendiri.117

115 Moh. Koesnoe, Prinsip-prinsip Hukum Adat Tentang Tanah, Ubhara Press, Surabaya, 2000,

Hlm. 22

116Ibid, Hlm. 39

117Wawancara dengan Sukarto, Selaku Kepala Desa Titi Akar, Pulau Rupat, pada hari Selasa, 12 April 2016

Tabel 1

Dokumen terkait