• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMAPARAN DATA

B. Penyajian Data

3. Kedudukan Sompa dan Dui‟ Menre‟ Dalam Pernikahan

Untuk memperoleh informasi mengenai kedudukan sompa dan dui‟

menre‟ dalam pelamaran adat Bugis, maka terlebih dahulu penulis

mewawancarai subjek S selaku warga dan tokoh masyarakat. Adapun pernyataan subjek S adalah sebagai berikut:

“rilalenna ade‟ ugi‟e narekko melokki te botting ia mutto aro poko‟ duae, yanaritu sompa selong dui‟ menre‟, engka riaseng sompa afa ianaro diabbereangnge narekko laoi taue kahing, ia tossi dui‟menre‟na difake manre‟ ade‟ sibawa dui‟ balancana. iyaro sompae silong dui‟ menre‟e tarippe tanre angke‟na nasaba de‟najaji siala makkunrai silong furane narekko keluargana furane de‟gaga mabbereang sompa silong dui‟menre‟, nasaba iyanaro difake fitu ngesso fitu mpenni manre ade‟, narekko de‟gaga dui‟menre‟na otomatis de‟ diulle palaloi ade‟na bottingnge”106

(di dalam adat bugis ketika kita ingin menikah maka ada 2 yang harus kita siapkan, yakni sompa dan dui‟ menre‟. Ada yang disebut sompa dan

dui‟ menre‟ karena itu yang kita berikan pada saat melamar. Itu sompa

dengan dui‟ menre‟ sangat tinggi kedudukannya dalam adat bugis karena pernikahan akan batal ketika laki-laki tidak memberikan sompa dan dui‟

menre‟ kepada pihak perempuan, ketika keduanya tidak ada maka prosesi

adat tidak bisa dilaksankan)

Menurut pernyataan subjek A bahwa sangat penting adanya sompa dan

dui‟ menre‟ dalam pernikahan karena dua hal tersebut menjadi kebutuhan

106 Wawancara bersama subjek di rumah kediaman subjek pada tanggal 13 Juni 2019 pukul 13.30 WITA.

keluarga setelah menikah. Hal serupa juga dikatakan subjek R bahwa ada pernikahan kalau ada mahar sompa dan dui‟ menre‟ begitupula sebaliknya, prosesi adat akan dilaksanakan jika semua persyaratan dari mempelai sudah disiapkan. Subjek R menambahkan bahwa terdapat makna tersendiri dari pemberian sompa tersebut.107

Selanjutnya penulis mewawancarai subjek MA terkait kedudukan sompa dan dui‟ menre‟. Adapun pernyataan subjek MA adalah sebagai berikut:

“iya pajajiangngengngi bottingnge itu anu fole disompae, iyakko de‟ gaga sompana dena‟ itu najaji bottingna. Fada mui sompa fada mui kempu de‟ gaga. Akkatana tau hugi‟e makkeda bottingno ko engkana agagannu. Narekko de‟ gaga maka muabbereang aja lalo mubotting nasaba mancaji dokomi kuharai botting. Iya dielokke idi makkeda mancaji tau deceng mua narekko furani difabbotting, ajana nafarompaiki

tomatoanna”108

(yang dimaksud sompa yaitu pemikat perkawinan. Jadi, kalau orang ingin menikah tapi tidak punya sompa yaa pernikahannya batal. Tidak ada sompa dan kempu pernikahan tetap gagal. Pesan orang dulu bahwa jangan menikah ketika kau tidak punya apa-apa karena akan kesusahan saja yang didapat. Yang kita mau ketika kalian habis menikah tidak menambah beban orang tua tapi sudah bisa mandiri)

Menurut pernyataan subjek MA senada dengan pernyataan subjek S dan subjek AH bahwa sompa dan dui‟ menre‟ wajib ada ketika melamar seorang perempuan, karena sah atau tidaknya pernikahan dilihat dari pemberian mereka. Subjek S juga menambahkan bahwa jika salah satu diantaranya tidak ada maka lamaran pun dibatalkan dan pernikahan tidak dilanjutkan selama syarat tersebut dipenuhi. Hal senada juga dikatakan oleh subjek bahwa

perbedaan tradisi pernikahan adat bugis dengan adat lainnya terletak di pemberian maharnya.

Selain pernyataan beberapa subjek di atas, penulis juga melampirkan beberapa pertanyaan informan. Peneliti terlebih dahulu mewawancarai informan P yang berprofesi sebagai salah satu tokoh adat bugis yang ada di Sinjai Selatan. Adapun pernyataan informan P terkait kedudukan sompa dan

dui‟ menre‟ adalah sebagai berikut:

“dena‟ najaji diasengnge botting narekko de‟ gaga sompana. Fura muttonni diatoro‟ rilalenna ade‟ e makkeda ditarimai dutana narekko engkana sompa sibawa kempuna, dui balancana dimunrifi ri bisyara. Maegana kejadiang keddi rikampongnge doi‟ balancana na fatenrei nappa de‟ gaga natiwi sompa. Kokkoro mani itu na assaleng engkana sompana na rifajajiang bottinna. Dinria dena‟ nawedding sembarang

sompa, iya muttoppa makkigunae na ala sompa.”109

(tidak sah sebuah pernikahan tanpa adanya sompa dan dui‟ menre‟. Peraturan adat sudah mengatur bahwa kita terima lamaran jika dia membawa sompa dengan kempu. Itu uang belanja dibelakangan baru dibicarakan, karena sudah banyak kejadian banyak yang memberikan uang belanja yang tinggi tetapi tidak membawa sompa. Zaman sekarang baru sompa yang diberikan hanya dijadikan pelengkap untuk pernikahan. Dulu, sompa yang diberikan harus yang berguna)

Menurut pernyataan informan P bahwa jika tidak ada pemberian sompa maka pernikahan dianggap tidak ada. Informan P mengatakan bahwa peraturan adat sudah mengatur tentang persyaratan meminang diantaranya harus ada

sompa dan kempu, sedangkan uang belanja hanya kesepakatan dari pihak

keluarga.

Sebagai tambahan informasi, penulis juga mewawancarai seorang penghulu terkait kedudukan Sompa dan Dui‟ Menre‟. Adapun pernyataan Informan (AS) adalah sebagai berikut:

“iye sebenarnya tugas ta‟ disini sekedar pencatatan nikah ji saja, tetapi kalau ta tanyakan ki masalah kedudukannya sompa ya tentu menjadi kewajibannya pihak laki-laki yang harus membawa, karena pada nanti kita tanyakanki masalah sompanya maka terlebih yang harus dia serahkan kepada penghulu yaitu surat pengantarnya atau surat keterangan sompanya dari kantor desa. Kalau sudah mi na isi dia punya formulir ya barumi kita terima dan dicatat di formulir NB dari KUA. Karena yang dibilang sompa bae itu ya maharna dalam bahasa indonesia, yang kita tau mahar itu wajib toh jadi harus mentong ada sompa baruki bisa menikah. Kalau dui‟ menre‟ itu sebenarnya tidak ada campur tangannya penghulu ka itu doi‟ menre kesepakatan dari keluarga ji seberapa besar bisa na bawa, tidak ditulis ji nanti dibuku nikah,, kan untuk pesatanya ji toh yang dibilang dui‟ menre‟ jadi tergantung

kesepakatan keluarga dan adat ji, beda kalau sompa tadi.”110

(iya, sebenarmya tugas kami hanya sekedar pencatatan nikah, akan tetapi jikalau anda menanyakan masalah kedudukan sompa ya sudah menjadi kewajiban seorang laki-laki yang harus membawa, karena ketika kita menanyakan sompa laki-laki tersebut maka laki-laki itu harus mengeluarkan bukti berupa surat pengantar atau surat keterangan dari desa. Kalau sudah diserahkan kepada kami maka tugas kami memasukkan ke dalam formulir NB dari KUA. Karena yang dibilang

sompa itu ya mahar dalam bahasa Indonesia, yang kita tau bahwa mahar

itu wajib jadi memang pada dasarnya harus ada sompa baru bisa menikah. Sedangkan dui‟ menre‟ sebenarnya kami tidak ikut campur tangan, karena itu hanya kesepakatan dari pihak keluarga mempelai mengenai seberapa besar dia bawa, karena nantinya dui‟ menre‟ juga tidak dicatat di dalam buku nikah, kan hanya sebatas uang belanja buat pesta saja. Jadi, untuk dui‟ menre‟ sendiri ya tergantung kesepakatan keluarga dan adat saja yang mengaturnya, berbeda dengan sompa.

Menurut pernyataan informan AS di atas yang selaku penghulu di Kecamatan Sinjai Selatan bahwasanya sompa memang kewajiban seorang laki-laki untuk membawa ketika hendak melamar. Informan AS mengatakan bahwa ketika laki-laki datang melamar maka penghulu mengecek surat keterangan mahar dari kantor Desa, ketika penghulu telah memeriksa surat keterangan tersebut barulah dimasukkan ke dalam formulir NB dari KUA. Menurut informan AS Sompa dan mahar sama, perbedaannya hanya dari tutur bahasa.

Sedangkan dui‟ menre‟ menurut informan AS tidak ada wewenang dari pihak pencatatan nikah, penghulu hanya sebatas mencatat mahar, untuk dui‟ menre‟ sendiri itu wewenang pihak keluarga mempelai dan tokoh adat.