• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rata-rata tingkat keempukan daging secara organoleptik selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 6. Keempukan daging secara organoleptik didasarkan pada kemudahan penetrasi gigi pada daging dan usaha-usaha yang dilakukan oleh otot-otot pada daerah geraham selama pengunyahan (Soeparno, 2005). Rerata tingkat keempukan daging secara organoleptik karena pengaruh dosis ekstrak papain kasar 0, 1, 2, dan 3 mg/bb adalah 2,23

commit to user

(kurang empuk menuju empuk), 2,8 (kurang empuk menuju empuk), 2,97 (kurang empuk menuju empuk) dan 3 (empuk).

Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan dosis ekstrak papain kasar pada injeksi antemortem berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap keempukan daging secara organoleptik. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik F.1. di bawah menunjukkan perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar dapat meningkatkan keempukan daging. Menurut Soeparno (2005) keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging.

Menurut Ionescu et al. (2005) enzim papain memotong ikatan peptida pada residu Arg, Lys, dan Gly. Sebanyak 42 % residu ikatan peptida ini terdapat di dalam moisin sehingga terpotongnya residu ini mengakibatkan perubahan pada struktur miofibril yang terdiri dari protein aktin dan miosin. Soeparno (2005) menyatakan perubahan struktur moifibrilar mempengaruhi keempukan daging. Suhartatik (2002) menambahkan bahwa peningkatan keempukan terjadi karena melemahnya ikatan kepala miosin ke aktin. Oleh karenanya, perlakuan injeksi ekstrak papain kasar dapat meningkatkan keempukan daging dan terjadi peningkatan keempukan daging dengan semakin meningkatnya dosis hal ini karena perubahan struktur miofibril menjadi rantai peptida yang lebih pendek (Istika, 2009).

Tingkat keempukan pada dosis injeksi 0 mg/bb berbeda sangat nyata dengan injeksi ekstrak papain kaar pada dosis 2 dan 3 mg/bb namun tidak berbeda nyata pada dosis 1 mg/bb. Tingkat keempukan pada dosis injeksi 1 mg/bb tidak berbeda nyata dengan dosis injeksi 2 dan 3 mg/bb, sedangkan tingkat keempukan pada dosis 2 mg/bb tidak berbeda nyata dengan nilai keempukan pada dosis 3 mg/bb. Hal ini disebabkan konsentrasi 1 mg/bb kecepatan hidrolisis belum maksimal dan mencapai kecepatan maksimal pada dosis 2 mg/bb. Namun diatas dosis 2 mg/bb kecepatan hidrolisis tetap hal ini disebabkan enzim telah jenuh dengan subtrat sehingga menghasilkan percepatan hidrolisis yang tetap walaupun dosis injeksi ditingkatkan

commit to user

(Girindira,1990). Penambahan dosis injeksi 2 mg/bb merupakan nilai optimal untuk meningkatkan keempukan daging secara organoleptik.

Tabel 6. Tingkat keempukan secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 1,80 2,70 2,90 2,80 2,55

4 2,50 2,80 3,00 3,00 2,83

8 2,60 2,90 3,00 3,20 2,93

Rerata 2,30A 2,80AB 2,97B 3,00B

Keterangan: A, B Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Nilai derajat skala keempukan : 1 (keras), 2 (kurang empuk), 3 (empuk), 4 (sangat empuk)

Grafik F.1. Rerata tingkat keempukan daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Tingkat keempukan yang tinggi pada injeksi ekstrak papain kasar diduga disebabkan rendahnya ikatan silang pada daging tersebut karena proses proteolisis serat daging. Lawrie (1995) menambahkan, peningkatan keempukan dapat direfleksikan oleh kadar air yang tinggi dan kapasitas memegang air dari protein daging yang lebih besar serta sifat pembengkakan serabut daging berikut pada pH. Pada pengujian sebelumnya adanya proses hidrolisis protein mengakibatkan naiknya nilai pH dan DIA daging ayam petelur afkir.

Perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar menghasilkan nilai pH dan DIA yang lebih tinggi dari kontrol, yang mengindikasikan proses

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb 2.3 2.8 2.9 3

commit to user

hidrolisis yang lebih intensif. Sedangkan menurut Lawrie (1995) terdapat korelasi antara susut masak dan keempukan pada daging. Nilai susut masak daging ayam petelur afkir pada perlakuan ini semakin meningkat dengan semakin tingginya dosis injeksi yang menunjukkan adanya degradasi oleh enzim papain pada ikatan-ikatan peptida yang lebih intensif pada protein jaringan ikat dan miofibrilar. Oleh karena itu pada pengujian test panelis untuk tingkat keempukan secara organoleptik menghasilkan kecenderungan sifat daging menjadi semakin empuk dengan naiknya dosis papain.

Grafik F.2. Rerata tingkat keempukan daging daging ayam petelur afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam.

Rerata tingkat keempukan pada pelayuan 0, 4 dan 8 jam adalah 2,550, 2,825, dan 2,925 (kurang empuk menuju empuk). Hasil perhitungan statistik menunjukkan lama pelayuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap keempukan daging secara organoleptik. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik F.2. di atas menunjukkan perlakuan lama waktu pelayuan menghasilkan rerata tingkat keempukan yang relatif sama. Hasil ini kemungkinan disebabkan karena kolagen dalam serabut otot selama proses pelayuan tidak terhidrolisis Lawrie (1995). Oleh karenanya, menyebabkan ada kecenderungan panelis menilai daging masih keras walaupun perlakuan pelayuan lebih lama. Menurut Soeparno (2005) keempukan daging diantaranya ditentukan oleh kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya.

2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3

0 jam 4 jam 8 jam

2.55

2.83

commit to user

Kolagen merupakan jaringan ikat yang memiliki ikatan heliks yang berfungsi mengikat serat daging. Soeparno (2005) menyatakan kandungan kolagen otot ikut menentukan kealotan daging sedangkan menurut Muchtadi et al. (1992) makin banyak jaringan pengikat yang terdapat dalam daging mengakibatkan daging semakin alot. Enzim katepsin B yang mendegredasi kolagen aktif pada pH rendah sekitar 3. Sementara pH daging pada penelitian ini berkisar antara 6,1 hingga 5,8 oleh karenanya kandungan kolagen masih tinggi, sehingga menimbulkan daging memiliki struktur yang liat. Hal ini yang menyebabkan kecenderungan panelis untuk menilai keempukan daging dengan perlakuan lama waktu pelayuan memiliki nilai yang relatif sama. Namun demikian penilaian subyektif panelis mengindikasikan seiring dengan bertambahnya waktu pelayuan mempunyai kecenderungan meningkatkan nilai keempukan.

Interaksi antara kombinasi perlakuan dosis injeksi antemortem ekstrak papain kasar dan lama waktu pelayuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap keempukan daging. Rata-rata nilai keempukan daging dengan kombinasi perlakuan dosis injeksi dan lama waktu pelayuan menghasilkan nilai keempukan yang relatif sama, hal ini disebabkan enzim papain lebih banyak menghidrolisi miofibril daripada jaringan kolagen Ionescu et al. (2005) dan selama pelayuan jaringan kolagen tidak terhidrolisi oleh enzim proteolitik oleh karenanya perlakuan kombinasi perlakuan dosis injeksi dan lama waktu pelayuan menghasilkan nilai rerata keempukan yang hampir sama. Hasil ini sesuai dengan tes pengukuran tak langsung (ilyod instrument) pada nilai kekuatan tarik. Kepekaan panelis diperkirakan juga memiliki sensitivitas terhadap keempukan daging yang hampir sama dengan alat sehingga dapat menghasilkan nilai keempukan yang sama.

G. Tekstur Daging Secara Organoleptik

Rata-rata tingkat tekstur daging secara organoleptik selama penelitian ditunjukkan pada Table 7. Rerata tingkat tekstur daging dengan injeksi papain dosis 0, 1, 2 mg/bb, dan 3 mg/bb adalah 2, 53 (kurang lembut menuju lembut),

commit to user

2,53 (kurang lembut menuju lembut), 2,73 (kurang lembut menuju lembut) dan 2,83 (kurang lembut menuju lembut). Hasil analisis statistik menunjukkan injeksi ekstrak papain kasar pada berbagai dosis memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tekstur daging.

Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik G.1. dibawah menunjukkan perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar menghasilkan rerata tingkat tekstur daging yang relatif sama. Hal ini karena pH daging selama penelitian yang masih dalam batas pH normal antara 6,1 hingga 5,8. Menurut Buckle et al. (1985) pH rendah (5.1 sampai 6.1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka (renggang), sehingga mempengaruhi kemudahan gigi dalam memotong daging menjadi fragmen yang lebih kecil, oleh karena itu panelis menilai tekstur yang tidak berbeda antara perlakuan. Namun demikian penilaian subyektif panelis mengindikasikan seiring dengan meningkatnya dosis injeksi mempunyai kecenderungan meningkatkan nilai tekstur daging.

Rerata nilai tekstur daging pada pelayuan 0, 4, dan 8 jam adalah 2,56 (kurang lembut menuju lembut), 2,75 (kurang lembut menuju lembut), dan 2,81 (kurang lembut menuju lembut). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pelayuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tekstur daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik G.2. dibawah menunjukkan perlakuan lama waktu pelayuan menghasilkan rerata tingkat tekstur daging yang relatif sama. Abustam (2009) menyatakan jumlah jaringan ikat dalam otot akan mempengaruhi tekstur daging. Kolagen merupakan jaringan ikat dalam daging yang tidak terhidrolisis selama pelayuan. Hal ini menyebabkan daging memiliki struktur yang ketat dimungkinkan karena masih tingginya kolagen dalam daging sehingga semakin lamanya waktu pelayuan menghasilkan nilai tekstur yang relatif sama. Santos et al. (2004) menyebutkan daging ayam memiliki waktu ideal pelayuan selama 1 hingga 2 hari. Oleh karenanya dimungkinkan waktu pelayuan dalam penelitian ini belum mampu berdampak pada perubahan tesktur daging.

commit to user

Tabel 7. Tingkat tekstur secara organoleptik daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 2,30 2,60 2,70 2,70 2,56

4 2,70 2,30 2,90 2,90 2,75

8 2,60 2,70 2,60 2,90 2,81

Rerata 2,53 2,53 2,73 2,83

Keterangan: Nilai derajat skala tekstur : 1 (kasar), 2 (kurang kasar), 3 (lembut), 4 (sangat lembut)

Grafik G.1. Rerata tingkat tekstur daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Grafik G.2. Rerata tingkat tekstur daging daging ayam petelur afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam.

2.35 2.4 2.45 2.5 2.55 2.6 2.65 2.7 2.75 2.8 2.85 0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb 2.53 2.53 2.73 2.83 2.4 2.45 2.5 2.55 2.6 2.65 2.7 2.75 2.8 2.85

0 jam 4 jam 8 jam

2.56

2.75

commit to user

Berdasarkan analisis statistik hasil interaksi antara perlakuan kombinasi dosis injeksi ekstrak papain kasar dan lama waktu pelayuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap tekstur daging. Hasil penelitian perlakuan kombinasi dosis injeksi dan lama waktu pelayuan menghasilkan rata-rata tingkat tekstur daging yang relatif sama. Hal ini disebabkan tekstur daging juga dipengaruhi oleh jaringan ikat daging. Enzim yang menghidrolisis pada gugus protein yang lebih disukai mengakibatkan kolagen tidak

terhidrolisis maksimal (Ionescu et al., 2005). Sedangkan menurut Yupita et al. (2008) kolagen tidak terhidrolisis oleh enzim papain namun

enzim ini lebih intensif menghidrolisis protein miofibril. Hal ini kemungkinan mengakibatkan masih tingginya jaringan ikat kolagen dalam daging sehingga menghasilkan nilai tekstur daging secara organoleptik yang relatif sama, disamping hal ini nilai pH daging perlakuan yang hampir sama menyebabkan daging memiliki tekstur yang relatif sama.

Soeparno (2005) menyebutkan proteolisis enzim endogenous dalam daging berlangsung cepat pada pH tinggi diatas 6,0 atau pH ultimate daging dibawah 5,8. Sementara pH daging pada penelitian ini berkisar antara 6,1 hingga 5,8 sehingga aktivitas enzim proteolitik endogenous daging belum maksimal. hal inilah yang kemungkinan membuat asumsi panelis terhadap tekstur daging menghasilkan nilai yang relatif sama karena enzim dalam daging belum maksimal menghidrolisis protein kolagen yang mampu mengakibatkan berubahan tekstur daging (Rimayoga, 2010).

Dokumen terkait