• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

BAB 4 KONDISI UMUM

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Masyarakat Kecamatan Blanakan 1 Karakteristik sosial budaya

5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut

Kabupaten Subang memiliki dua pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang keduanya berlokasi di Kecamatan Blanakan. Kegiatan di bidang perikanan laut dan permukiman nelayan terpusat di dekat atau di sekitar PPP yang terletak di pinggir sungai Ciasem (Desa Muara Ciasem) dan sungai Blanakan (Desa Blanakan). Keberadaan PPP di lokasi penelitian telah dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). PPP dan TPI ini dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Mina.

Keberadaan PPP/TPI di Desa Blanakan dan Desa Muara Ciasem ini menunjang aktivitas perekonomian bidang perikanan di dua desa tersebut seperti perdagangan ikan basah dan pengolahan ikan laut, disamping itu juga telah

membangkitkan usaha ekonomi lainnya seperti pusat perdagangan baik sandang dan pangan, serta bidang telekomunikasi seperti warung telekomunikasi (wartel). (1) Koperasi Unit Desa (KUD) Mina

Pelabuhan Blanakan dan Muara Ciasem termasuk pelabuhan perikanan pantai (PPP), yaitu pelabuhan yang dirancang untuk melayani kapal perikanan berukuran 5-15 GT dan kapal ikan yang beroperasi di perairan pantai (PIPP 2006). Tabel 20 menunjukkan perahu atau kapal motor yang mendaratkan ikan di dua PPP di Kecamatan Blanakan.

Tabel 20 Perahu/kapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 Ukuran perahu/kapal motor Jumlah perahu/kapal motor (buah)

(Gross Ton/GT) PPP Blanakan PPP Muara

< 5 37 78

5 - 9,99 198 47

10 - 15 29 59

Total 264 184

Sumber: Fajar Sidik 2005, Mina Bahari 2005

Pengelola Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan perikanan pantai (PPP) di lokasi penelitian adalah KUD (Koperasi Unit Desa) Mina Mandiri, yaitu KUD Mandiri Mina Fajar Sidik yang mengelola TPI Blanakan dan KUD Mandiri Mina Bahari yang mengelola TPI Muara. PPP di lokasi penelitian tergolong maju, karena sudah dilengkapi dengan TPI, dermaga, listrik, dan air tawar. Bahkan PPP di Desa Blanakan sudah memiliki perumahan nelayan tipe RSS (Rumah Sangat Sederhana) dan stasiun penyediaan solar untuk nelayan atau SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan).

Hasil total produksi dua KUD/TPI tersebut menempati peringkat pertama dan kedua untuk semua KUD/TPI di Kabupaten Subang (lihat Tabel 17 di Bab 4) dengan total produksi sebesar 76,95 persen dari total produksi perikanan laut Kabupaten Subang. Hasil pelelangan ikan atau produksi dari KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Produksi KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005

KUD/TPI Volume produksi (ton) Nilai produksi (Rp)

Fajar Sidik 9.947,2 86.789.320.000

Mina Bahari 3.559,8 31.059.255.000

Total 13.507,0 117.848.575.000

KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari terletak di wilayah kecamatan yang sama dan merupakan pesaing satu sama lain, disamping itu sistem honorarium pengurus dan pegawai KUD/TPI tergantung nilai pelelangan ikan. Oleh karena itu, masing-masing KUD berusaha untuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pembeli dan pemasok ikan, khususnya nelayan dari luar daerah yang mempunyai armada perikanan yang lebih besar dan lebih moderen dibanding nelayan lokal yang masih menggunakan perahu sope. Inilah yang menyebabkan para pengurus KUD selalu berusaha untuk menarik minat nelayan dari luar wilayah Kabupaten Subang untuk menjadi anggota KUD setempat dan melelang ikan hasil tangkapannya di TPI yang mereka kelola. Berbagai cara dilakukan untuk melayani nelayan tersebut, antara lain dengan menyediakan kemudahan dalam memperoleh keperluan melaut seperti BBM, es balok, air tawar, dan bahan pangan; harga lelang ikan yang lebih tinggi daripada harga di TPI lain; adanya kepastian bahwa ikan tangkapan akan habis terjual di tempat pelelangan; pembayaran tunai bagi nelayan yang melelang ikan; dan keamanan saat perahu atau kapal bersandar untuk mendaratkan ikan.

Dua KUD Mina ini juga mengelola berbagai bidang usaha lain disamping mengelola TPI dan PPP. KUD Mina Fajar Sidik di Desa Blanakan mempunyai lima unit usaha, yaitu unit TPI, unit pabrik es, unit simpan pinjam, unit warung telekomunikasi (Wartel) dan unit SPDN (Fajar Sidik 2005). KUD Mina Bahari di Desa Muara Ciasem mempunyai lima unit usaha, yaitu unit TPI, unit simpan pinjam, unit warung serba ada (Waserda), unit kios pembayaran listrik PLN (unit listrik) dan unit kios telekomunikasi (Kiostel) (Mina Bahari 2005).

Unit simpan-pinjam di dua KUD hanya melayani anggota KUD yang aktif. Yang disebut anggota aktif yaitu aktif dalam hal (i) menyimpan uang di KUD; dan (ii) ikut lelang dan melelang ikan di TPI yang dikelola KUD yang bersangkutan. Nelayan atau pedagang ikan yang tidak menjadi anggota KUD dan tidak aktif terlibat dalam pelelangan ikan serta nilai simpanan lebih rendah daripada nilai pinjamannya maka dia tidak dapat meminjam uang karena dana simpanan berfungsi sebagai agunan.

TPI merupakan tempat pertemuan antara nelayan yang memasok ikan dan pembeli ikan, pedagang ikan segar atau pengolah ikan. Jadi TPI sekaligus

berfungsi sebagai tempat usaha penyedia jasa. Adanya Perda Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang retribusi dan penyelenggaraan TPI yang mewajibkan penjualan hasil ikan tangkapan dilakukan di TPI menyebabkan nelayan harus menjual ikan secara lelang di TPI dan tidak menjual ke Bakul Ikan. Dengan demikian, para Bakul Ikan harus membeli ikan melalui sistem lelang di TPI. Biaya untuk lelang yang dikenakan kepada nelayan sebesar dua persen, sedangkan kepada bakul (pembeli) sebesar tiga persen dan dari hasil pemotongan untuk biaya lelang tersebut, Pemda memperoleh 1,6 persen.

Melelang ikan hasil tangkapan di TPI ada keuntungan. Keuntungan nelayan menjual ikan di TPI adalah: (i) hasil ikan tangkapan pasti terjual, karena pihak KUD dapat memaksa pedagang besar atau pembeli yang bermodal besar untuk membeli ikan tangkapan tersebut, (ii) adanya peluang ikan akan dapat terjual dengan harga cukup tinggi dengan adanya sistem lelang yang mengharuskan pembeli bertarung harga untuk mendapatkan ikan. Kerugian nelayan dari menjual ikan di TPI adalah: (i) adanya pemotongan dari TPI terhadap hasil lelang tersebut dengan besaran yang bervariasi yaitu 7 persen di TPI Fajar Sidik dan 11 persen di TPI Mina Bahari, (ii) sistem antrian dalam keikutsertaan pelelangan yang cukup melelahkan bagi nelayan sepulang melaut, apalagi bagi mereka yang memperoleh hasil tangkapan ikan sedikit. Hal ini dialami oleh nelayan Desa Muara yang harus menjual hasilnya sendiri dan bukan dibantu oleh istri seperti nelayan di Desa Blanakan, (iii) penjualan ikan dengan cara pemajangan ikan kurang memuaskan nelayan karena adanya penaksiran berat ikan yang berbeda antara nelayan dengan yang terlelang; (iv) sulitnya meminjam uang untuk keperluan perbaikan mesin atau pembelian perbekalan melaut, walau dengan besaran berkisar antara 100-200 ribu rupiah saja, akibat nilai simpanan di KUD lebih rendah dari nilai pinjaman.

Harga pelelangan ikan tidak dapat dipastikan, sewaktu-waktu dapat naik dan kapan saja dapat turun, tergantung pasokan. Pada saat paceklik, harga ikan cenderung tinggi akibat pasokan yang sedikit. Sebaliknya, pada saat panen, harga ikan turun karena banyaknya ikan yang dilelang. Menurut nelayan, pada musim paceklik, harga ikan pada saat pelelangan pagi atau siang hari lebih rendah daripada harga pelelangan sore hari dimana para pembeli harus bertarung untuk dapat membeli ikan dan akibatnya harga lelang ikan dapat meningkat sekitar 30

persen. Sebaliknya, pada musim panen, harga ikan pada saat pelelangan pagi hari lebih tinggi daripada harga pelelangan sore hari, karena mutu ikan lebih baik dan pembeli pun bersaing ketat untuk mendapatkan ikan segar, perbedaan harga dapat mencapai 50 persen.

Kantor KUD Fajar Sidik di Desa Blanakan dan juga KUD Mina Bahari di Desa Muara Ciasem sering digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pembinaan bidang perikanan laut untuk tingkat kecamatan oleh Dislutkan dan perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB). Pembinaan tersebut umumnya berupa penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan yang pernah diselenggarakan di kantor KUD tersebut antara lain tentang sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Retribusi dan Penyelenggaraan TPI, sosialisasi tentang hukum laut dan navigasi, pelatihan tentang perbaikan mesin dan alat tangkap yang kesemuanya ditujukan kepada nelayan. Pembinaan kepada pengolah ikan yang pernah diselenggarakan berupa pelatihan tentang teknologi pengolahan ikan dan sosialisasi tentang mutu olahan ikan dipandang dari segi kesehatan manusia, seperti larangan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan.

Karyawan di KUD Fajar Sidik berjumlah 50 orang dengan komposisi 43 lelaki dan 7 perempuan. Karyawan di KUD Mina Bahari berjumlah 26 orang dengan komposisi 24 lelaki dan dua perempuan. Karyawan perempuan umumnya bertugas di bagian administrasi dan kerumahtanggaan. Petugas di TPI umumnya adalah lelaki, alasan yang dikemukakan oleh bapak S sebagai berikut:

“Kerja di pelelangan ikan itu berat, jadi dikerjakan oleh lelaki. Perempuan tidak kuat kerja berdiri dan berteriak seharian untuk melelang ikan.”

(2) Komunitas perikanan laut

Pelaku yang terkait dengan kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut ini adalah (i) nelayan, (ii) pedagang ikan, dan (iii) pengolah ikan.

(i) Nelayan

Nelayan lokal, sebagai nelayan kecil, umumnya memiliki perahu motor tempel (PMT) yang disebut perahu sope yang menggunakan satu mesin motor. Perahu sope berukuran dibawah 5 GT, dengan jenis alat tangkap ikannya (jaring) adalah jaring rampus, jaring udang, jaring kada dan jaring arad. Wilayah tangkap

ikan nelayan lokal adalah di sekitar pantai. Jenis ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan yang menggunakan jenis jaring tersebut adalah sebagai berikut: ikan kembung, ikan kurau, ikan blanak, ikan tigawaja, ikan petek, udang dogol, dan rebon. Harga ikan yang tergolong mahal dari tangkapan nelayan kecil tersebut adalah udang dogol, ikan kurau, ikan kembung, ikan blanak dan ikan tiga waja, sedangkan ikan yang tergolong harga murah adalah ikan petek dan rebon. Pada saat panen ikan kembung, nelayan akan mendapat uang banyak yang disebut dengan along.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di akhir tahun 2005 menyebabkan banyak nelayan yang berhenti melaut, sehingga produksi menurun. Pada saat musim paceklik ikan yang ditambah dengan kenaikan harga BBM yang meningkat tajam maka banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut daripada merugi besar. Pada saat wawancara dengan nelayan dan istri nelayan, tercetus keluhan dari mereka tentang kenaikan harga solar per liter dari Rp.2.100 menjadi Rp.4.300 yang menyebabkan pendapatan mereka menjadi sangat menurun karena meningkatnya ongkos melaut, sedangkan harga ikan tidak meningkat karena dipengaruhi oleh harga pasar. Tingginya komponen bahan bakar dan ketidakpastian memperoleh hasil tangkapan ikan jelas akan sangat merugikan dan meningkatkan jumlah hutang para nelayan. Untuk menyiasati tingginya harga solar, mereka mengganti bahan bakar perahu dengan minyak tanah dengan harga eceran per liter sebesar Rp.3.000. Ungkapan responden di lokasi penelitian mengenai kenaikan harga BBM adalah sebagai berikut:

“Itu (harga solar naik) sih ganti harga, bukan kenaikan harga. Bikin nelayan tambah susah. Harga ikan tidak pasti, tapi belanja minyak (solar) sudah pasti banyak. Biar ada kelebihan hasil (uang penjualan ikan), solar diganti minyak tanah.”

Pada awalnya, untuk melumasi mesin perahu agar bekerja dengan mulus, nelayan mencampur (meng-oplos) 20 liter minyak tanah dengan satu liter oli motor bekas. Perkembangan selanjutnya (saat penelitian dilakukan April 2006), nelayan di dua desa sudah tidak lagi mencampur oli bekas dengan minyak tanah karena mereka beranggapan bahwa mesin perahu sudah dapat beradaptasi dengan minyak tanah. Menurut nelayan, bapak K:

“Awalnya sih, minyak tanah dicampur oli bekas untuk ganti solar. Sekarang mesin perahu sudah biasa dengan minyak tanah saja, jadi tak perlu ditambah oli bekas.”

Menurut nelayan, biaya kerusakan mesin (sparepart) akibat penggunaan minyak tanah masih lebih rendah daripada hasil penjualan tangkapan ikan, sehingga mereka lebih memilih untuk menggunakan minyak tanah daripada solar sebagai bahan bakar mesin perahu. Pada umumnya mesin perahu sope yang digunakan nelayan adalah mesin buatan Cina yang disebut mesin dompleng yang memungkinkan terjadinya penggantian penggunaan jenis bahan bakar yang tidak mempengaruhi kerja mesin kapal motor. Nelayan yang menggunakan kapal motor besar (bukan perahu sope) dengan penggunaan mesin sejenis Kubota sangat dipengaruhi oleh harga solar yang tinggi sebagai bahan bakar mesin dan tidak dapat diganti dengan minyak tanah.

Di PPP (pelabuhan perikanan pantai) Blanakan sudah ada fasilitas SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan) yang menjual solar dengan harga yang telah ditetapkan oleh Pertamina (yaitu Rp.4.300/liter). PPP di Desa Muara belum memiliki SPDN sehingga nelayan setempat harus membeli solar secara eceran dengan harga yang lebih tinggi yaitu antara Rp.4.700 sampai Rp.5.000. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan mendapat pasokan BBM sesuai harga pasar juga mempengaruhi besarnya biaya untuk melaut. Disamping itu, kelangkaan atau keterlambatan pemasokan BBM juga mempengaruhi kinerja nelayan yang tidak dapat berangkat melaut.

Nelayan di Desa Muara Ciasem yang membutuhkan BBM juga perlu menjaga hubungan baik dengan penjual BBM tersebut. Adanya konflik antara pembeli (nelayan) dengan penjual BBM dapat menghambat pasokan BBM, sehingga nelayan harus membeli BBM ke luar desa yang membutuhkan biaya transportasi tambahan untuk membawa BBM tersebut ke perahu yang disandarkan di tepi sungai Ciasem. Hal ini berarti adanya biaya tambahan untuk mendapatkan pasokan BBM.

Kebutuhan akan bahan bakar menentukan lamanya nelayan melaut yaitu semakin jauh jarak melaut dan semakin lama di laut maka bahan bakar yang dibutuhkan juga semakin banyak. Biaya pengadaan bahan bakar merupakan komponen terbesar (50-60%) dari keseluruhan biaya perbekalan melaut,

disamping konsumsi dan rokok. Rincian biaya operasional nelayan perahu sope melaut selama satu hari dan dengan dua atau tiga orang awak perahu (1 Jurumudi dan 1-2 Bidak) adalah BBM (minyak tanah) 10 liter @ Rp.3.000, 2-3 bungkus rokok @ Rp.2.500, 2-3 bungkus nasi @ Rp.5.000, dan 2-6 bungkus mi instant @ Rp.1.000. Total pengeluaran adalah sebesar Rp.47.000-58.500. Pada musim paceklik, biaya melaut dapat ditekan melalui pengurangan biaya untuk komponen konsumsi.

Istri nelayan memegang peranan penting dalam pengaturan keuangan usaha perikanan. Istri yang membagikan uang hasil penjualan ikan kepada jurumudi dan Bidak yang melaut, karena istri yang menjual ikan ke TPI dan yang menerima uang. Pembagian uang hasil penjualan ikan yang umum dilakukan di lokasi penelitian adalah sebagai berikut: 50 persen untuk Juragan dan 50 persen lainnya untuk Jurumudi dan Bidak, dengan demikian semakin banyak awak perahu yang melaut akan semakin sedikit uang yang diperoleh. Oleh karena biaya pembelian perbekalan melaut ditanggung oleh pihak Juragan, maka Juragan memperoleh bagian yang lebih besar. Temuan ini membuktikan bahwa perempuan nelayan berperan dalam pengelolaan usaha keluarga sesuai pendapat Hubeis (2001).

Pengelolaan keuangan rumahtangga umumnya dilakukan oleh istri atau kaum perempuan. Pengelolaan keuangan oleh perempuan di daerah didasarkan persepsi masyarakat bahwa kaum perempuan lebih hati-hati dalam mengatur keuangan baik keluarga atau usaha dibandingkan dengan kaum lelaki. Disamping itu, pelabelan negatif (stereotipi) yang umum dan terkait dengan pengelolaan keuangan dalam komunitas pesisir adalah kaum perempuan itu pelit dan pintar mengurus uang, sedangkan kaum lelaki itu boros dan tak dapat mengurus uang. Hal ini diungkapkan oleh bapak S, ibu M, bapak M, dan ibu C:

“Perempuan itu pelit, maka pintar simpan uang. Lelaki itu boros, enggak (tidak) bisa simpan uang.”

Pendapat yang senada diutarakan oleh bapak C, ibu M, bapak S dan ibu C sebagai berikut:

“Kalau laki (suami) pegang uang, dalam sekejab uang habis. Biar istri saja yang pegang (mengelola) uang. Suami tinggal terima uang rokok.”

Stereotipi ini yang menyebabkan kaum perempuan dianggap sesuai sebagai pengelola keuangan. Pada saat along (panen ikan) terjadi peningkatan biaya belanja untuk keperluan makan keluarga dan jajan anak serta investasi berupa pembelian perhiasan emas yang kelak dapat dijual lagi saat paceklik.

Pengaturan yang dilakukan oleh istri pada saat memiliki banyak uang dari hasil melaut, yaitu dengan cara (a) dengan membayar utang-utang yang dilakukan pada saat musim paceklik, (b) menabung mengikuti arisan yang dibayar harian dan akan diundi (dikocok) setiap 10 hari; semakin banyak peserta maka semakin besar jumlah uang arisan yang akan diperoleh dan bagi keluarga nelayan berfungsi sebagai tabungan, dan (c) membeli perhiasan emas yang dijual lagi pada saat musim paceklik.

Menurut beberapa aparat Pemda, masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan cenderung hidup boros. Pernyataan mereka adalah sebagai berikut

“Pengelola uang keluarga dan usaha (perikanan) adalah istri atau perempuan. Kebanyakan nelayan masih berorientasi pada hidup hari ini dan jarang yang memikirkan hari esok, sehingga pendapatan tinggi pada saat panen ikan juga dibarengi dengan pengeluaran konsumtif yang tinggi. Tabungan yang mereka miliki umumnya berupa perhiasan emas sehingga mudah untuk dijual kembali pada saat paceklik. Dari perhiasan emas yang dipakai mereka dapat dijadikan ukuran untuk menentukan apakah keluarga tersebut sedang memiliki uang atau tidak.”

Di sebelah utara komplek TPI terdapat warung remang-remang atau daerah prostitusi. Pada saat nelayan memperoleh uang banyak atau along, daerah utara ini ramai dikunjungi oleh nelayan pendatang atau nelayan lokal bujangan. Istilah setempat untuk menyebut orang yang pergi berfoya-foya di daerah utara adalah ngalor. Selain Pekerja Seks Komersial (PSK), di lokasi tersebut juga terdapat tempat hiburan cafe yang menjual minuman keras (miras). Miras inilah yang menjadi penyebab timbulnya gangguan atau kerawanan keamanan setempat karena timbulnya perkelahian antar-nelayan ketika mereka mabuk.

(ii) Pedagang ikan

Di sekitar PPP Desa Muara Ciasem, masih dapat dijumpai pedagang ikan yang dikenal dengan Bakul Ikan yang menerima penjualan ikan dari nelayan secara langsung. Pada umumnya bakul ikan ini adalah lelaki, dalam pelaksanaan usaha dibantu oleh istri dan anak atau menantu. Bakul Ikan seperti ini tidak dapat

dijumpai di Desa Blanakan karena penjualan ikan hasil tangkapan nelayan harus dilakukan melalui lelang di TPI Blanakan. Pengawasan oleh pihak berwenang di Desa Blanakan terhadap praktik Bakul Ikan sedemikian ketatnya sehingga Bakul Ikan tidak dapat beroperasi di desa tersebut.

Hubungan jual-beli langsung tersebut terjadi karena nelayan Muara dapat meminjam uang (berhutang) kepada Bakul Ikan untuk berbagai keperluan seperti memperbaiki mesin atau membeli perbekalan. Selanjutnya, nelayan akan menjual hasil ikan tangkapannya kepada Bakul Ikan tersebut sebagai pembayaran hutang. Jika nelayan tidak menjual ikannya kepada Bakul Ikan yang bersangkutan, maka Bakul dapat menagih hutang nelayan yang bersangkutan dalam bentuk uang. Selain uang, Bakul Ikan di Muara juga menyediakan berbagai fasilitas kepada nelayan pendatang seperti tempat tinggal sementara sebagai pengikat bagi nelayan tersebut. Hubungan nelayan dan bakul ini diakui oleh pegawai Dislutkan masih tetap ada, karena:

Bakul ikan selalu siap membantu jika nelayan membutuhkan uang. Hal ini sulit terpenuhi oleh Dinas (Dislutkan), maka bakul ikan masih tetap dapat dijumpai di daerah nelayan.”

Sistem pembelian ikan di Bakul Ikan adalah dengan menggunakan timbangan, berbeda dengan di TPI yang menggunakan cara taksir berat ikan berdasarkan besar ikan yang dipajang. Penjualan ini memberikan kepastian berdasarkan berat ikan jualan bagi nelayan, ditambah lagi Bakul Ikan dapat menerima ikan dari nelayan, kapan saja karena mereka banyak yang berlokasi di pinggir sungai Ciasem, berbeda dengan TPI yang sudah tutup sore hari jika penjualan ikan sedikit. Umumnya ikan yang dijual ke Bakul Ikan adalah ikan berkualitas ekspor dan berharga mahal seperti jenis udang besar, ikan bawal, sedangkan ikan yang harganya murah dijual ke TPI. Bagi nelayan kecil yang memperoleh tangkapan yang sedikit, penjualan ikan ke TPI dengan sistem antrian juga melelahkan bagi mereka, sehingga mereka menjual ikan ke Bakul Ikan yang tidak perlu antri panjang, apalagi setelah lelah melaut nelayan ingin cepat pulang dengan membawa uang hasil penjualan. Ibu D mengungkapkan keluhannya tentang lelahnya mengantri melelang ikan di TPI:

“Di TPI kadang-kadang capek menunggu antrian ikan yang dilelang. Ikan yang dijual tak seberapa (tidak banyak), nunggu gilirannya lama,

hasil yang didapat sedikit lagi. Enakan (lebih enak) jual di Bakul, cepat selesai.”

Kerugian bagi nelayan jika menjual ke Bakul Ikan adalah dari segi harga karena ditetapkan oleh Bakul secara sepihak. Namun demikian, bagi nelayan yang tidak ada utang kepada Bakul, dia dapat menjual ikannya kepada Bakul siapa saja secara bebas. Oleh karena itu, Bakul berusaha untuk memberikan ikatan kepada nelayan agar nelayan tetap menjual ikan kepada mereka, apalagi masih banyak bakul lain sebagai pesaing mereka. Menurut bapak J tentang ikatan ini sebagai berikut

“Untuk mendapatkan ikan, Bakul perlu memberi ikatan uang dan servis (seperti menyediakan tempat untuk tinggal, minuman kopi, rokok tambahan). Kalau tidak (beri), tak ada yang mau jual ke saya (Bakul).”

Pada bulan Mei 2006, terjadi penggerebekan Bakul Ikan di Desa Muara oleh pihak berwenang menyusul pemberlakuan Perda No 5 Tahun 2005, karena praktik Bakul Ikan dinilai merugikan TPI, sehingga pemasukan dana hasil retribusi pelelangan ikan ke Pemda pun menurun. Bakul Ikan pun menghilang dari tepi Sungai Ciasem, tetapi beberapa Bakul masih menerima kiriman ikan secara diam- diam, yaitu pada saat sebelum pagi, sehingga sering disebut dengan “Serangan Fajar” dan dilakukan di tempat yang tersembunyi. Transaksi ini dapat terjadi